Aku bergegas masuk karena hari pun mulai petang. Kusimpan semua barang yang dibeli dan segera mandi. Lalu kemudian melaksanakan Sholat magrib.
Bunda telah duduk di meja makan saat aku turun untuk segera mengisi perut. Aku segera menghampirinya, bunda menoleh sekilas saat aku duduk di sampingnya.
"Kemana saja?" tanya bunda sambil sibuk menyendokkan nasi ke piring.
"Ah, tadi aku jalan sama Rival, Bun."
"Tumben kamu pergi tapi gak bilang-bilang. Tadi ada Iqbal ke sini, loh!" ujar bunda.
Ah, aku sampai lupa pamit ke bunda saking pengen ketemu Rival biar gak ada salah paham di antara kami.
"Eh, maaf. Aku tadi buru-buru, Bun," jawabku sedikit malu, karena itu sama sekali bukan perilaku yang baik. "Oh ya, ada apa Iqbal datang ke sini?" tanyaku kemudian.
"Pas datang sih nanyain kamu, entah mau apa. Tapi karena kamu gak ada, jadi dia bantu bunda bersih-bersih kebun di belakang," jawab bunda.
"Oh," jawabku singkat seraya mengangguk tak lagi bertanya. Aku fokus menyantap makanan dan segera menghabiskannya. Lalu setelah itu, kuputuskan kembali ke kamar berdiam di sana.
Kuingat kembali apa yang terjadi hari ini. Sepertinya banyak hal yang biasa tidak dilakukan tapi dilakukan. Ya, seperti tadi contohnya, aku pergi tanpa pamit. Kupijat pelipis kiri merasa aneh dengan diri sendiri.
Sejurus kemudian ponselku berbunyi. Panggilan masuk dari Iqbal. Bergegas ku angkat.
"Hei, Queen! Kemana tadi siang? Sampai bunda aja gak tahu kamu kemana! Apa kamu gak pamit pas mau pergi?" Iqbal langsung nyerocos begitu panggilannya kujawab.
"Ya, sesuai dugaan kamu! Aku lupa pamit," jelasku.
"Lupa? Sampai seharian lupa? Ya biasanya juga 'kan, kamu bakal kontek kalau emang lagi buru-buru. Terus emang tadi kamu pergi kemana? Aku heran deh kenapa kamu kayak gitu?!"
"Ya, kalo lupa mau gimana lagi!" tegasku. Aku sudah merasa kesal dengan semua ucapan Iqbal. Walau memang semua yang diucapkannya memang benar. Ah, justru karena semua itu benar aku jadi kesal.
"Kamu gak biasa! Apa ini gara-gara si Rival itu?"
"Hei, Iqbal! Cukup ya, kamu! Kenapa kamu nyalahin orang lain? Dah aah, aku males!"
Kuputuskan segera sambungan telepon sebelum Iqbal menjawabnya. Bergegas merebahkan tubuh ini di atas kasur. Jika diingat-ingat aku sendiri heran dengan kelakuanku saat ini.
Sejurus kemudian ponsel kembali berdering. Kali ini Rival yang menelponku. Aku cukup senang, karena dia datang pada waktu yang tepat.
"Hai, Sayang. Belum tidur?" sapaku segera setelah mengangkat telepon darinya.
"Belum. Ada yang ingin aku bicarakan," jawab Rival, suaranya terdengar serius.
Aku yang sedari tadi rebahan beringsut bangun. Kira-kira apa yang ingin Rival bicarakan? Kenapa terdengar serius sekali? Jantungku seketika berdebar.
"Ya, ada apa?" tanyaku kemudian.
"Emmm … aku malu mengutarakannya, tapi saat ini aku benar-benar sedang membutuhkan," ucapnya kembali.
"Bicara saja, tidak apa-apa. Kenapa kamu malu pada pacar sendiri?"
"Emmm … i-itu … aku butuh uang, Yang. Kalau boleh, aku pinjam sama kamu nanti bulan depan aku bayar." Suara Rival terdengar ragu.
Aku mengembuskan napas panjang. Dasar! Aku kira apa. Padahal jantungku sampai berdebar.
"Kirain ada apa, rupanya hanya pinjam uang! Katakan saja butuh berapa, nanti aku transfer, Sayang."
"Beneran?" tanyanya memastikan.
"Ya, nanti nomor rekeningnya kamu kirim lewat pesan aja, ya!"
"Ah, baik. Terima kasih banyak, Sayang."
"Oh, ya. Mau berapa?"
"Satu juta ada?"
Aku terdiam sesaat, tak menyangka jumlahnya sebanyak itu. Bukan tak ada, hanya saja untuk apa? Namun, sedikit pun aku tak berani bertanya. Takut jika dia tiba-tiba marah.
"Aku benar-benar perlu untuk tambah-tambah biaya pendaftaran kuliah," jelasnya tanpa kutanya.
"Ah, baiklah," ucapku tergugu.
Setelah itu aku putuskan panggilan setelah sebelumnya meminta dia kembali agar mengirimkan nomor rekeningnya. Aku cek saldo yang tersedia sebelum aku kirimkan uang tersebut. Satu juta lima ratus. Masih ada sisa.
Sebetulnya uang itu, aku simpan sengaja untuk membeli kebutuhan mendadak nanti saat aku di Bandung. Biar gak minta lagi sama ayah dan bunda. Ya, walau semua fasilitas dan barang-barang akan bunda lengkapi selagi masih di sini. Namun, tetap saja tidak menutup kemungkinan jika tiba-tiba ada sesuatu yang harus kubeli. Ya, istilahnya sedia payung sebelum hujan.
Ting. Satu pesan masuk. Rival mengirimkan nomor rekeningnya. Aku sedikit ragu untuk memberi karena jumlahnya yang terlalu besar. Selain itu, uang ini juga untuk bekalku satu bulan ke depan.
[Sayang … kalau aku transfer lima ratus ribu aja gimana?] balasku sebelum memutuskan mengirimkan uangnya.
[Ya elah, kalau emang gak ada bilang dari tadi! Aku udah nunggu loh dari tadi kenapa masih banyak tanya?!] Rival mengirim balasan.
Aku diam sejenak, menimbang-nimbang antara mengirimkannya atau tidak. Karena satu bulan lagi juga aku akan mulai tinggal di Bandung.
[Aku bayar, kok. Bulan depan!] Pesan kembali masuk dari Rival, meyakinkan. Seolah tahu akan keraguanku.
[Ah, baiklah. Tunggu sebentar!]
Aku segera mengirimkannya lalu menangkap layar sebagai bukti bahwa sejumlah uang telah dikirim. Setelah itu aku kirim hasil tangkapan layar tersebut pada Rival.
[Makasih, Sayang. Kamu memang yang terbaik. I love you]
Hanya dengan kata-kata itu, senyumku mengembang.
[Sama-sama] balasku dengan disisipi emoticon love.
Tak ada lagi jawaban. Mungkin dia sedang sibuk, atau malah ketiduran. Ah, sudahlah. Tubuhku pun sudah ingin istirahat, maka aku pun segera merebahkan badan memejamkan mata. Tak lama aku tertidur.
***
Pagi ini aku memutuskan untuk lari pagi mengelilingi kompleks perumahan selepas shalat subuh. Sejuknya udara pagi benar-benar menyegarkan hingga terasa sampai hati. Seketika membuat hati ini terasa tentram dan damai.
Aku berlari empat sampai lima kali putaran. Kemudian kembali ke rumah karena cukup melelahkan. Saat membuka gerbang, aku dikejutkan oleh sosok makhluk yang sepagi ini sudah datang. Dia tampak tengah menungguku sejak lama.
Aku melaluinya tanpa menyapa, seolah ia memang tak ada. Namun, tangan kekarnya menahan sehingga mau tak mau aku pun berhenti menghadapnya.
"Mau kemana? Sudah tahu ada aku di sini!" protesnya, rasa kesal kentara di kedua matanya.
"Oh, kirain kamu makhluk ghaib. Lagian pagi buta gini udah nongol aja di mari!"
"Aku mau ngajak kamu lari," ucapnya mengutarakan maksud tanpa kuminta.
"Sayang sekali, kamu telat!" cibirku seraya menjulurkan lidah ke arahnya.
Aku pun berbalik, kembali melangkah meninggalkan dia. Namun, bukan Iqbal namanya jika ia tidak mengikuti aku masuk. Tanpa diminta atau dipersilakan dia akan tetap masuk layaknya rumah sendiri.
"Queen … yuk, sarapan!" teriak bunda dari arah dapur.
"Iya, Bun," balasku bergegas menuju tempat asal suara tersebut.
"Eh, ada Iqbal juga? Yuk, sini sekalian!" ujar bunda.
Dan Iqbal tentu saja dia tak akan menolak. Ia ikut duduk bersama kami untuk sarapan. Aku mendelik ke arahnya. Bukan, bukan karena aku kesal. Walau semalam sempat kesal, tapi rasa kesalku padanya tak pernah selama itu. Saat ini aku hanya ingin mengerjainya.
Iqbal terlihat ragu untuk meneruskan sarapan atau tidak. Hahaha lucunya. Entah, mungkin ia pun merasa malu jika diperlakukan begini oleh orang rumah. Akan tetapi, aku tetap mendelikkan mata, memperhatikan dengan sudut mata selama ia menghabiskan makanan dengan bibir yang melengkung seolah aku tak suka.
"Queen, sudah! Ayo, teruskan makannya!" tegur bunda tiba-tiba menyadari akan sikapku. "Jangan melihat Iqbal seperti itu!" belanya.
Ah, Bun. Di sini itu sebetulnya siapa yang anak Bunda?