Ponsel Janisa tiba-tiba bergetar di atas meja rias. Ia baru saja menggulung rambutnya dengan bando ketika notifikasi dari Kinanti muncul di layar.
“Selamat pagi, Janisa. Berdasarkan hasil wawancara kemarin, kamu dinyatakan diterima sebagai pegawai magang. Kamu bisa mulai bekerja besok. Silakan datang pukul 08.00 dan langsung menuju ruang HRD.”
Janisa membacanya dengan mulut menganga, lalu seketika melonjak dari duduknya. “AKU DITERIMA!”
Suara teriakannya menggema ke seluruh penjuru rumah. Dalam sekejap, ia sudah menggenggam ponselnya dan menekan kontak bernama Dara Bestie. Tak butuh waktu lama sebelum telepon itu tersambung.
“HALOOO, GUE DITERIMA! Mulai besok gue resmi jadi anak magang, Dar!”
“Wah, gila! Seriusan lo?” suara Dara terdengar setengah ngantuk di ujung sana. “Baru juga kemarin lo wawancara.”
“Iyaaa, cepat banget kan?! Tapi yaudahlah, gue seneng banget sumpah. Walaupun cuma magang, at least gue kerja beneran!” ujar Janisa penuh semangat.
Dara tertawa kecil. “Di posisi apa emangnya lo? Staff marketing? Admin?”
“Enggak tahu persis sih, cuma Mbak Kinanti bilang gue bakal jadi staffnya asistennya manajer. Tapi nggak dijelasin juga siapa orangnya.”
Dara langsung diam sejenak. Lalu mendesah. “Jadi… lo bakal kerja di satu kantor sama Jevan?”
“Well… technically, yes,” jawab Janisa dengan nada pasrah. “Tapi kan kita beda divisi. Lagian, gue juga nggak niat sering ketemu dia di kantor. Gue ke sana buat kerja, cari duit, bukan buat drama.”
Dara mendengus. “Gue bener-bener gak paham kenapa lo milih magang di kantornya suami pura-pura lo sendiri. Kayak lo minta masalah datang aja.”
Janisa tertawa. “Ya mungkin gue doyan tantangan.”
Dara ikut tertawa, walau terdengar cemas. “Yah… good luck deh, Jan. Semoga lo kuat mental. Gue udah bisa ngerasain baunya bakal ada drama panjang.”
“Gue juga ngerasa sih... Tapi bodo amat. Gue kerja buat nabung lagi. Lo tahu kan betapa pentingnya uang tabungan buat gue.”
“Yup, gue tahu. Tapi please, jangan sampe lo sakit hati di tengah jalan.”
“Thanks, Dar. Doain aja gue bisa tahan sampe program magangnya selesai.”
Begitu panggilan berakhir, Janisa baru meletakkan ponselnya. Tapi belum sempat ia menyentuh sisir, satu pesan baru masuk—dari kontak bernama Mas Jevan.
“Besok kamu mulai kerja. Jangan bilang siapa-siapa soal hubungan kita. Di kantor, kamu bukan siapa-siapa saya.”
Janisa membaca pesan itu dengan alis terangkat. “Wow. Tegas amat, Pak Suami.”
Ia membalas singkat.
“Saya ngerti. Saya juga nggak pengin orang kantor tahu. Dan saya juga nggak berniat sering-sering ngobrol sama Bapak di kantor.”
Tanpa emoji. Tanpa basa-basi.
Tepat setelah menekan tombol kirim, Janisa bersandar di kursi, menghela napas panjang.
Hubungan ini memang rumit. Tapi untuk saat ini, yang terpenting adalah satu hal: dia akan memulai harinya sebagai karyawan magang. Dan entah dia suka atau tidak, ini adalah awal dari sebuah babak baru—babak di mana drama rumah tangga pura-pura dan kehidupan profesional akan beririsan di lorong kantor yang sama.
Dan dia harus siap. Karena tidak ada ruang untuk lari sekarang.