Interview

625 Words
Janisa mondar-mandir di ruang tengah, sesekali melirik jam dinding dengan gelisah. Sudah hampir pukul delapan malam dan Jevan belum juga pulang. Padahal, sejak sore ia sudah berdandan rapi mengenakan kemeja putih dan rok hitam selutut—penampilan formal yang disiapkannya untuk wawancara magang besok pagi. Ia ingin menunjukkan penampilannya pada Jevan. Sekadar bertanya, “Aku sudah pantas belum buat interview besok?” atau mungkin, kalau beruntung, dia bisa meminta Jevan mengajaknya latihan wawancara. Tapi yang datang bukan Jevan yang diharapkan. Begitu pintu rumah terbuka dan langkah kaki terdengar menaiki anak tangga, Janisa segera berdiri di posisi terbaik. Senyumnya siap, semangatnya utuh. “Mas Jevan! Lihat, aku udah siap buat interview besok. Kira-kira—” “Janisa,” suara Jevan datar, hampir tanpa ekspresi. “Aku capek. Aku mau istirahat. Jangan ganggu.” Suara itu... tajam. Tidak sekadar dingin, tapi juga keras. Bahkan seperti hentakan. Bukan nada bicara yang pantas untuk seseorang yang hanya ingin menunjukkan semangat. Janisa terpaku. Tubuhnya terasa membeku di anak tangga. Matanya melebar, mulutnya sedikit terbuka. Ia tidak tahu harus bicara apa. Hatinya mencelos. Dia dibentak. Oleh suaminya sendiri. Oleh seseorang yang bahkan selama ini hanya bicara dengannya secukupnya. Dan sekarang? Nada suaranya seakan tidak sudi mendengar satu patah kata pun lagi. Seketika semangatnya runtuh. Janisa menunduk, menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik kembali ke kamarnya dengan langkah ringan, seolah takut lantai ikut menambah bising suasana. Ini... pertama kalinya seseorang membentaknya. Bahkan kedua orangtuanya pun tak pernah melakukannya. Yang Janisa tak tahu, Jevan baru saja kehilangan rutinitas yang membuat harinya terasa normal. Clara, kekasih yang biasanya menyambutnya dengan pelukan hangat dan makanan buatan sendiri, sedang pergi ke luar kota selama seminggu. Jevan lelah, kesal, kosong, dan sayangnya... melampiaskannya pada orang yang tak bersalah. *** Pagi harinya, Janisa bangun lebih awal. Meski semangatnya sempat hilang semalam, dia tetap bertekad menghadiri wawancara. Hari ini bisa jadi awal yang baik, dan dia tidak akan membiarkan kemarin malam merusaknya. Dengan dandanan lebih minimalis, rambut ditata rapi dan wajah segar, Janisa menuruni anak tangga menuju dapur. Namun langkahnya terhenti saat mendapati Jevan yang juga sedang bersiap berangkat kerja. Pria itu baru selesai sarapan dan sedang memasukkan laptop ke dalam tas kerja. Tak ada sapaan. Tak ada tatapan. Bahkan suara sendok dan gelas pun terasa lebih keras dibanding kehadiran mereka berdua di ruang makan itu. Janisa diam. Jevan juga tak bicara. Hanya udara kaku yang menyelimuti antara mereka. Janisa memutuskan untuk langsung sarapan tanpa duduk. Tak mau berlama-lama. Sesaat kemudian, mobil Jevan terdengar meninggalkan rumah. Janisa hanya menghela napas. Suasana pagi itu membuatnya ingin cepat-cepat menyibukkan diri. Sopir pribadi yang sudah disiapkan Jevan mengantarkannya ke kantor. Ini pertama kalinya Janisa menginjakkan kaki di perusahaan besar milik keluarga suaminya. Tapi anehnya, dia tidak merasa gugup. Justru lebih tenang dari yang dia kira. Setelah bertanya ke resepsionis, dia langsung diarahkan ke lantai HR dan dibawa masuk ke ruangan Kinanti—staff HR yang akan mewawancarainya. Ruangan itu sederhana tapi nyaman, dan suasana di dalamnya membuat Janisa tidak merasa seperti sedang menghadapi interogasi. Sesi wawancara berjalan selama dua puluh menit. Kinanti banyak tersenyum, dan pertanyaannya pun ringan tapi tetap menggali kemampuan. Janisa menjawab dengan lancar dan percaya diri. Bahkan beberapa kali Kinanti tertawa kecil karena jawaban jujur dan spontan dari gadis itu. Begitu wawancara selesai, Janisa keluar dari ruangan dengan langkah ringan dan senyum lebar di wajahnya. Ia berhasil melewati sesi pertamanya, dan tidak seburuk yang ia bayangkan. Bahkan menyenangkan. Namun senyum itu perlahan memudar saat ia masuk ke lift dan pintunya terbuka di lantai bawah. Tepat di depannya, Jevan berdiri hendak masuk ke dalam lift yang sama. Tatapan mereka bertemu sesaat. Hening. Tak ada sapaan. Tak ada basa-basi. Dan sebelum pintu lift menutup kembali, Jevan sudah lebih dulu membuang muka. Janisa diam. Tapi kali ini, dia tidak sakit hati. Hanya... kecewa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD