Siang itu, Jevan sudah merencanakan segalanya. Setelah rapat dengan tim marketing, ia akan langsung meluncur ke apartemen Clara. Sudah menjadi rutinitas mereka hampir setiap minggu—Clara akan memasak makan siang, dan Jevan datang membawa makanan penutup favorit gadis itu. Sesederhana itu, tapi cukup membuat hari Jevan terasa sedikit lebih ringan.
Namun rencana itu mendadak runtuh begitu saja saat satu pesan singkat masuk ke ponselnya.
Clara: Sayang, maaf banget… aku baru dapat tugas mendadak. Harus ke Surabaya malam ini. Satu minggu. Kita ketemu lagi minggu depan ya? 💛
Jevan menatap layar ponselnya cukup lama. Ia belum langsung membalas. Rasanya seperti ada bagian dari rutinitasnya yang tiba-tiba dikosongkan, dan ia sendiri bingung harus mengisinya dengan apa. Pundaknya sedikit merosot, dan jemarinya mulai mengetik pelan.
“Hati-hati di jalan. Sampai ketemu lagi.”
Tak ada tanda-tanda kesal, marah, atau protes. Sejak awal hubungan mereka, Clara memang punya dunianya sendiri. Kariernya di dunia kreatif membuat Clara sering bepergian mendadak. Dan Jevan… sudah terbiasa untuk tidak menuntut banyak.
Hanya saja, hari ini ia jadi tidak tahu harus makan siang di mana.
Dengan lesu, Jevan melangkah ke kantin kantor. Sesekali memang dia makan di sana, tapi hanya kalau terpaksa atau sedang ada meeting dadakan. Dan hari ini? Bisa jadi ini jadi kebiasaan baru selama seminggu ke depan. Karena kekasihnya yang biasa memasakkan makan siang untuknya sedang sibuk jauh di luar kota.
Saat masuk ke kantin, Jevan langsung disambut oleh pemandangan khas jam makan siang. Ramai. Ramai dan… penuh suara yang tidak ia suka. Tapi sudahlah, yang penting perutnya terisi.
“Pak Jevan!” suara familiar menyapa dari sudut kanan ruangan.
Afif, asistennya yang terkenal ceria dan selalu punya topik obrolan, melambaikan tangan dari meja dua orang yang masih kosong satu kursi. Di seberangnya duduk seorang pemuda dengan hoodie biru gelap, menunduk sambil mengaduk mie goreng di nampannya.
“Gabung, Pak. Di sini kosong.”
Jevan mengangguk pelan dan menarik kursi. Makanan kantin sudah ada di nampannya—nasi, ayam goreng, dan sedikit tumis sayur. Simpel, tidak sebanding dengan masakan Clara, tapi cukup untuk menahan lapar.
“Oh iya, kenalin, Pak,” Afif menunjuk pemuda di seberangnya. “Ini Refal, anak magang dari divisi IT. Dia lumayan sering bantuin kalau ada masalah sistem atau kalau saya butuh temen ngopi.”
Refal langsung berdiri sedikit dan menjulurkan tangan. “Halo, Pak Jevan. Senang bisa ketemu langsung.”
Jevan menyambut tangan itu singkat. “Iya. Sama-sama.”
Sisa makan siang dihabiskan dengan obrolan ringan antara Afif dan Refal, sementara Jevan lebih banyak diam. Sesekali hanya menyela kalau ada pertanyaan langsung kepadanya. Tapi di kepalanya, masih ada bayangan Clara dan rencana makan siang yang batal. Bukan karena kecewa, tapi karena kini ia merasa ada ruang kosong yang biasanya terisi, dan sekarang hampa.
Dan itu membuatnya berpikir, sejak kapan kehadiran Clara menjadi titik tengah rutinitasnya?
Entahlah.
Yang pasti, siang ini dia duduk di kantin, makan ayam goreng, mendengarkan celoteh dua orang yang lebih muda darinya. Tanpa masakan hangat dari Clara. Tanpa aroma apartemen Clara yang biasa menyambutnya dengan teh dan pelukan.
Dan ini baru hari pertama dari tujuh hari yang akan terasa lebih sepi dari biasanya.