Anak Magang Titipan GM

575 Words
Pagi itu, kantor pusat perusahaan tempat Jevan bekerja mulai berdenyut dengan kesibukan seperti biasa. Derap langkah para karyawan, suara mesin fotokopi, dan gemericik mesin pembuat kopi menjadi latar rutin di setiap pagi. Di dalam ruangannya yang selalu rapi dan minim hiasan, Jevan duduk di belakang meja kerjanya. Ia memandangi sebuah amplop putih di tangannya, berisi satu lembar CV. Bukan CV kandidat hebat yang direkomendasikan headhunter, bukan pula lamaran dari universitas ternama. Tapi CV milik Janisa—istrinya. Istri yang ia nikahi secara mendadak, kontrak satu tahun, dan seharusnya tidak perlu mencampuri urusan profesionalnya. Namun entah kenapa pagi itu dia malah membawa berkas itu ke kantor. Jevan berdiri dan melangkah menuju ruangan HRD. Di sana, Kinanti—salah satu staff HRD yang terkenal cekatan dan tidak banyak bertanya—tengah sibuk menatap layar komputernya. “Kinanti,” ucap Jevan sambil menyerahkan amplop putih itu. “Ini CV kandidat magang. Namanya Janisa.” Kinanti menerima amplop itu dengan cepat dan sopan. “Baik, Pak. Akan segera kami proses.” “Segera panggil dia untuk interview. Kalau bisa, besok.” Kinanti mengangguk patuh, seperti biasa. Tidak bertanya, tidak berkomentar. Sejak awal bekerja, dia tahu bahwa Jevan bukan orang yang senang banyak diskusi, apalagi urusan remeh. “Dan... tempatkan dia di divisi saya. Jadi anak magang. Saya minta dia langsung jadi bawahannya Afif.” “Baik, Pak.” Jevan mengangguk pelan, kemudian kembali ke ruangannya. Ia duduk, menatap kosong ke layar komputernya. Kenapa tadi dia melakukannya? Kenapa dia justru membantu permintaan Janisa? Bukankah gadis itu hanya ingin ‘mengisi waktu liburan’? Bukankah ini hanya pernikahan kontrak? Tapi nyatanya, pagi ini dia sendiri yang memberikan akses masuk ke kantornya. Bahkan langsung menaruh Janisa di bawah pengawasan asistennya sendiri. Sementara itu, di tempat lain—di kamar dengan dinding berwarna pastel dan tumpukan novel remaja di meja nakasnya—Janisa tengah berbaring santai. Rambutnya dikuncir sembarangan, dan tangan kanannya sibuk menggulir layar ponsel, menonton video pendek lucu. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Ragu-ragu, ia menerima. “Halo?” sapanya pelan. “Selamat siang. Dengan Janisa, ya?” terdengar suara perempuan, ramah dan formal. “Saya Kinanti, dari staff HRD kantor pusat Greyson Corp. Kami menerima CV Anda dan ingin mengundang Anda untuk interview posisi internship. Apakah Anda bersedia hadir besok pukul sembilan pagi?” Janisa terbelalak. “Oh, iya! Saya bersedia! Terima kasih banyak!” Setelah panggilan berakhir, Janisa langsung membuka pesan dan mengetik dengan cepat: “Mas Jevan, aku baru dapat panggilan dari HRD Greyson Corp. Katanya besok aku interview di sana. Makasih ya… kayaknya CV-ku udah masuk ke sana.” Nomor Jevan sudah ia simpan beberapa hari lalu, sejak diminta untuk mengirim nomor rekeningnya demi proses transfer uang nafkah bulanan. Tapi meski sekarang mereka punya akses komunikasi lebih mudah, sikap Jevan tetap dingin, bahkan lewat pesan. Balasannya hanya: “Oke.” Janisa mendesah. Tapi ia mencoba tetap sopan dan membalas lagi. “Ada yang perlu aku siapkan buat interview-nya?” Tak lama kemudian, balasan datang. “Berpakaian rapi. Bawa CV, dan datang tepat waktu. Jangan bilang siapa pun soal hubungan kita.” Jawaban yang lugas, tanpa basa-basi. Tapi setidaknya, masih dibalas. “Maaf ya Mas… aku jadi merepotkan kamu. Ini interview pertamaku…” Tidak ada balasan lagi. Namun Janisa hanya tersenyum kecil. Setidaknya, dia bisa punya kesempatan untuk mencoba dunia kerja. Entah itu karena koneksi, atau karena pria dingin bernama Jevan itu diam-diam mengatur semuanya untuknya. Dan besok, dia siap memulai langkah barunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD