Langit sudah menggelap ketika Janisa tiba di rumah. Lampu teras menyala redup, menyambutnya dengan kesepian yang mencubit pelan. Ia menarik napas panjang sebelum membuka pintu utama. Rumah itu hening, terlalu hening. Tidak ada suara televisi atau langkah kaki Jevan di lantai atas. Tidak ada percakapan, tidak ada tawa. Hanya sepi, dan dirinya sendiri yang merasa semakin asing di rumah yang seharusnya ia tinggali bersama suaminya.
Begitu masuk, langkah Janisa disambut oleh Bibi Farah yang berjalan dari arah dapur. Wanita paruh baya itu tersenyum tipis, lalu berkata, “Neng Janisa, saya pamit pulang dulu, ya. Makan malamnya sudah saya siapkan di meja makan.”
Janisa mengangguk pelan. “Terima kasih, Bi. Hati-hati di jalan.”
Setelah Bibi Farah pergi, rumah itu kembali terperangkap dalam keheningan. Janisa berjalan pelan ke meja makan. Di sana sudah tersaji sepiring nasi hangat, ayam goreng madu, dan sup bening yang mengepul pelan. Tapi tak ada satu pun aroma itu yang membangkitkan selera makannya. Ia menarik kursi, duduk, dan mulai menyendok nasi ke piringnya.
Satu-dua suapan masuk ke mulutnya dengan malas. Tangannya menggerakkan sendok, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Matanya sayu, dan setiap kunyahan terasa hambar. Perutnya memang lapar, tapi hatinya... kosong.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu masuk. Janisa menoleh cepat. Jevan. Pria itu masuk dengan mengenakan kemeja kerja yang sedikit kusut, wajahnya lelah namun tetap tegas. Tanpa mengucap sepatah kata pun, dia hanya melewati Janisa, bahkan tak menatap ke arahnya. Lalu langsung menaiki tangga menuju lantai dua.
Janisa menarik napas pendek. “Kirain nasib gue kayak istri kedua, sering ditinggal-tinggal, ternyata dia masih pulang ke sini.” gumamnya pelan, mencoba menghibur dirinya sendiri.
Selesai makan, Janisa beranjak ke dapur. Dia membuka kulkas dengan semangat kecil yang muncul tiba-tiba—mencari satu-satunya hal yang bisa membuatnya sedikit bahagia malam itu: es krim. Namun saat pintu kulkas terbuka, ia mendapati hanya ada beberapa botol air mineral, s**u, dan beberapa bumbu dapur.
Tak ada es krim.
“Yah…” ucapnya lirih, menutup pintu kulkas dengan lemas. Kepalanya menunduk, pundaknya jatuh. Malam itu benar-benar terasa berat.
Ia berjalan ke sofa, mengambil ponselnya, dan membuka aplikasi mobile banking. Harapannya tipis. Dan benar saja, layar menunjukkan saldo: Rp 0. Janisa menelan ludah. Ia memeriksa dompetnya. Sama saja—hanya ada dua lembar seribuan dan beberapa koin.
“Hebat, Jan... lo benar-benar kere sekarang,” gumamnya getir.
Ia tahu semua ini gara-gara Arsya. Mantan tunangannya itu tidak hanya membawa kabur harapannya, tapi juga uang tabungannya. Bahkan sebagian biaya pernikahan kemarin diambil dari rekeningnya tanpa sepengetahuan orang tuanya. Dan sekarang, dia malu untuk minta bantuan pada mereka. Malu karena merasa gagal sebagai anak.
Tiba-tiba ide muncul di kepalanya. Daripada terus larut dalam kesedihan, lebih baik ia berbuat sesuatu.
Dengan langkah hati-hati, Janisa naik ke lantai dua dan berhenti di depan kamar Jevan. Dia mengetuk pelan pintu berwarna cokelat tua itu. Tak lama, pintu terbuka. Jevan berdiri di ambangnya, mengenakan kaos putih polos dan celana training. Wajahnya tetap dingin, bahkan sedikit kesal.
“Ada apa?” tanyanya datar.
Janisa berusaha tersenyum, meski sangat terpaksa. “Aku… mau ngomong. Boleh masuk?”
“Ngomong di sini aja. Ada apa?” Jevan tidak membuka pintu lebih lebar.
“Eh… aku cuma mau tanya, di kantor Mas ada lowongan kerja nggak ya?” tanya Janisa, suaranya pelan. “Daripada libur kuliah cuma nganggur, aku pengin kerja aja.”
Jevan mengangkat sebelah alis. “Kamu mau kerja di kantor saya?”
“Kalau bisa sih iya. Tapi kalau nggak bisa juga nggak apa-apa… aku cari tempat lain.” Janisa segera menambahkan, takut terlihat memaksa.
“Ya udah, nanti saya pikirin, kirim aja CV-nya ke nomor saya.” jawab Jevan, sudah bersiap menutup pintu.
“Tunggu—” Janisa cepat menahan pintu dengan tangan. “Boleh… aku pinjam uang seratus ribu? Buat beli es krim sama jajan dikit. Nanti aku ganti kalau udah kerja.”
Jevan menatapnya lama, nyaris menertawakannya. “Kerja aja belum. Gaji dari mana?”
Janisa cemberut, malu sendiri. “Ya aku cari kerja, kali. Nggak harus di kantor mas. Memang yang buka pekerjaan cuma di kantor mas Jevan aja?” jawabnya sedikit sewot. Kesal karena mendapati ekspresi Jevan yang seakan mengejeknya.
Jevan menghela napas. Lalu tanpa berkata apa-apa, ia berjalan ke dalam kamar dan kembali beberapa detik kemudian dengan selembar uang seratus ribuan. Tapi bukan cuma satu. Dia menyodorkan segepok uang.
“Ini sejuta. Pegang aja dulu. Buat kebutuhan kamu. Kalau habis, minta lagi,” katanya ringan, seperti itu hal biasa.
Janisa mengerutkan kening. “Tapi—”
“Bagaimana pun kamu istri saya. saya punya tanggung jawab buat nafkahin kamu. Kirimin nomor rekening kamu besok, biar saya transfer uang bulanan,” potong Jevan dengan nada tegas.
Janisa tercekat. “Oh… oke. Makasih.” Oh, jelas Janisa tidak menolak. Syukur-syukur Jevan masih memiliki pikiran seperti itu. Ada untungnya juga menjalani pernikahan pura-pura ini, daripada dia tidak dapat apa-apa selain kebahagiaan yang palsu. Hitung-hitung sebagai pengganti uang tabungannya yang lenyap dibawa kabur.
“Saya mau istirahat,” ucap Jevan, menutup pintu perlahan.
Janisa berdiri di depan pintu kamar itu selama beberapa detik. Matanya menatap uang di tangannya. Hatinya rumit—antara malu, senang, dan sedikit hangat karena perhatian kecil Jevan.
Dia berjalan ke kamarnya dengan langkah pelan. Untuk pertama kalinya malam itu, senyum tipis muncul di bibirnya. Walau Jevan bukan pria romantis, setidaknya dia bertanggung jawab. Dan itu saja sudah cukup untuk membuat hati Janisa sedikit lebih ringan.
Tapi tetap saja... hidup bersama pria yang tidak mencintainya adalah tantangan besar yang harus ia hadapi setiap hari mulai sekarang.