Melepas Cincin Nikah

705 Words
Waktu menunjukkan pukul dua belas siang saat Jevan menutup laptopnya dan berdiri dari kursi besar di ruang kerjanya. Jam makan siang memang selalu ia manfaatkan untuk sedikit menjauh dari tekanan kantor. Tanpa menoleh ke belakang, ia mengambil kunci mobil dari laci dan melangkah keluar dari ruangannya. Sepanjang perjalanan menuju basement, beberapa pegawai menyapa, namun Jevan hanya membalas dengan anggukan singkat. Tak ada senyum, tak ada basa-basi. Dia memang dikenal sebagai manajer umum yang dingin. Tegas, efisien, tapi jarang menunjukkan sisi personalnya. Meski begitu, tidak sedikit pegawai perempuan yang diam-diam mengaguminya dari jauh. Begitu sampai di basement, Jevan masuk ke dalam mobil hitamnya dan mengarahkan kendaraannya menuju apartemen Clara. Seperti biasa, perjalanan memakan waktu sekitar lima belas menit, dan selama itu pula pikirannya sejenak terlepas dari beban pekerjaan… dan juga dari rumah. Sesampainya di apartemen Clara, gadis itu sudah menunggunya di depan pintu dengan senyum cerah khasnya. "Hai, sayang!" sapa Clara sambil menghambur ke pelukannya. Mereka berciuman singkat sebelum Jevan masuk. Clara langsung menggandeng tangan Jevan ke meja makan, tempat berbagai hidangan sudah tersaji rapi. Aroma gurih dan sedap langsung memenuhi indera penciuman. "Aku masak yang kamu suka, chicken parm dan pasta pesto," kata Clara bangga. Sebagai seorang content creator yang khusus mengulas resep dan memasak, Clara memang jago di dapur. Tapi memasak untuk Jevan adalah hal yang paling ia nikmati, lebih dari sekadar konten. Jevan duduk dan mulai makan tanpa banyak bicara, seperti biasanya. Tapi tatapannya menunjukkan rasa puas atas makanan buatan Clara. Itulah yang membuatnya rela datang setiap hari ke apartemen itu hanya untuk makan siang bersama Clara. Terkadang, jika dia terlalu sibuk, Clara yang datang ke kantornya membawa bekal. Meski Clara cukup dikenal di dunia maya dan memiliki banyak pengikut setia, ia sangat menjaga kehidupan pribadinya. Hubungan dengan Jevan adalah sesuatu yang tidak pernah ia publikasikan. Bahkan para pengikutnya hanya tahu Clara sebagai gadis yang suka memasak dan kadang bercerita soal kesehariannya sebagai penerjemah lepas. "Ada yang berbeda dari kamu hari ini," ucap Clara tiba-tiba, matanya menatap tajam ke arah tangan kiri Jevan. Jevan mengangkat alis. "Apa maksudmu?" "Cincinnya," jawab Clara, menunjuk jari manis Jevan. “Kenapa kamu pakai cincin itu di jari tempat cincin kita biasa dipakai?” Jevan melihat ke jarinya, lalu dengan santai melepaskan cincin kawinnya dan memasukkannya ke dalam saku celana. "Lupa tadi," katanya datar. "Aku cuma pakai itu kalau lagi ketemu mama sama ayah.." Clara tersenyum kecil, tapi matanya belum benar-benar tenang. "Kamu belum cerita banyak soal pernikahanmu, Jev." Jevan meletakkan garpu dan menatap Clara. "Aku pikir kamu nggak mau membahasnya." "Aku nggak mau… tapi aku tetap penasaran." Diam sejenak. Lalu Jevan menarik napas panjang sebelum mulai bicara. "Janisa itu anak dari sahabat lama orang tuaku. Mereka sudah merencanakan perjodohan sejak dulu. Dan karena kejadian itu... ya, kamu tahu, Arsya kabur... keluarga Janisa butuh seseorang buat menggantikan mempelai pria di hari pernikahan." "Dan kamu muncul sebagai pahlawan kesiangan," kata Clara datar, mencoba tetap tenang. "Lebih seperti... korban keadaan," Jevan membalas, setengah bercanda. Clara tertawa tipis. “Lalu kenapa kamu setuju? Kenapa nggak tolak aja?” Jevan mengangkat bahu. "Aku juga nggak tahu. Saat itu situasinya mendesak. Ayah memintaku, mama memohon. Aku nggak bisa menolak saat itu." Clara memeluk tangan Jevan erat. "Dan Janisa? Dia tahu kamu udah punya pacar?" "Sudah," jawab Jevan jujur. “Makanya kami buat kontrak pernikahan. Satu tahun, setelah itu kami cerai. Aku nggak pernah janji akan mencintainya.” Clara termenung. “Dan dia setuju?” “Sepertinya iya… walau aku nggak tahu pasti isi kepalanya. Janisa masih gadis muda, impulsif, gampang percaya. Dia menikahi cowok dari aplikasi dating yang baru dikenalnya. Lalu tiba-tiba pria itu kabur di hari pernikahan. Kamu bisa bayangin gimana hancurnya dia. Keluarganya juga.” Clara menghela napas panjang. “Aku harus iri atau kasihan?” “Kamu nggak perlu dua-duanya. Ini cuma formalitas, Clara. Kamu tetap satu-satunya yang aku pilih dari awal.” Mendengar itu, Clara mencoba tersenyum walau hatinya masih digelayuti ragu. Tapi dia terlalu mencintai Jevan untuk menyingkirkannya hanya karena sebuah pernikahan kontrak. Bagi Clara, yang penting adalah masa depan yang Jevan janjikan padanya—dan cinta yang sudah mereka bangun selama ini. Sambil menyelesaikan makan siang mereka, keduanya terdiam. Ada ketegangan halus yang menggantung, namun belum cukup kuat untuk memecah hubungan mereka. Tidak hari ini. Tidak sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD