Sinar matahari belum tinggi ketika Dara mendengar bel rumahnya berbunyi. Dengan rambut masih berantakan dan piyama bergambar donat, ia menyeret kakinya ke depan pintu. Tidak biasanya ada tamu sepagi ini, dan terlebih, bukan hari di mana kurir makanan biasanya datang.
Begitu pintu dibuka, wajah Dara langsung berubah kaget.
"Jan?" ucapnya pelan, nyaris tak percaya.
Di hadapannya berdiri Janisa, dengan wajah sembab dan mata bengkak. Rambutnya diikat asal, pipinya merah karena dingin, dan jaket oversized yang menutupi tubuhnya tampak lusuh. Tanpa sepatah kata pun, Janisa langsung memeluk Dara erat—erat sekali—seolah menyalurkan seluruh luka yang tak sanggup dia ucapkan.
"Eh... ya ampun, Jan, masuk dulu deh," ucap Dara cepat, menarik Janisa ke dalam dan langsung menutup pintu.
Mereka masuk ke kamar Dara—ruangan yang dari dulu menjadi ‘rumah kedua’ bagi Janisa. Di situlah tempat mereka menghabiskan masa remaja, mengerjakan PR, curhat soal cowok, nonton drama Korea sampai pagi. Janisa langsung duduk di kasur Dara dan meledak lagi dalam tangis.
Dara duduk di sebelahnya. Ia menatap sahabatnya yang hancur, hatinya ikut ngilu. "Jan, lo kenapa sih? Ada apa? Mas Jevan kenapa? Kalian berantem? Belum satu minggu nikah masa udah berantem. Lo enggak kasih jatah ke suami lo?"
Janisa erdecak kesal. Di saat-saat seperti ini pikiran Dara masih mengarah ke sana.
Janisa menggeleng pelan, lalu mengangguk. Bingung sendiri dengan jawabannya. Air mata terus jatuh tanpa henti. "Gue capek, Dar..."
Dara mengelus punggung Janisa, menunggu sampai sahabatnya tenang. Butuh waktu beberapa menit sampai isakan Janisa mereda, lalu dia pun mulai bicara. Pelan, hati-hati, seperti mengorek luka yang belum kering.
"Gue... gue sama Jevan tuh nikah karena perjanjian, Dar. Pernikahan kontrak. Setahun."
Dara mematung.
"Apa?"
Janisa mengangguk. "Dia itu udah punya pacar. Tapi nggak tahu kenapa dia nggak nikah sama pacarnya."
Dara terdiam. Sesaat.
"Lah TERUS KENAPA LO MAU, BEGO?!"
Janisa terkejut, meski dia tahu akan ada respons seperti itu. "Gue… gue nggak tahu harus ngapain, Dar. Gue nggak bisa nyakitin mama dan papa gue. Lo tahu gimana mereka udah habis-habisan buat pernikahan ini. Gimana muka gue kalau cerai sehari setelah nikah? Orang pasti bilang gue pembawa sial, gagal terus..."
Dara memijit pelipisnya. “Gila lo, Jan. Beneran deh, ini tuh… ini kacau banget. Tapi oke, gue ngerti. Mungkin lo kepepet, mungkin lo ngerasa nggak punya pilihan. Tapi setidaknya lo sekarang tinggal cabut aja dari pernikahan itu!”
Janisa menunduk. “Gue gak berani, Dar…”
Hening sejenak. Dara menghela napas, menatap Janisa yang terlihat sangat rapuh. “Ya Tuhan, Jan…”
“Gue juga nggak ngerti kenapa Jevan nggak nikah sama pacarnya. Tapi dia bilang, selama kontrak ini berjalan, kita harus merahasiakan semuanya dari siapa pun. Harus terlihat seperti pasangan sungguhan. Bahkan di depan keluarga kami.”
“Dia manipulatif.”
Janisa tak bisa menjawab. Entah bagaimana sikap Jevan yang sebenarnya, Janisa masih belum bisa membacanya. Jevan memang jahat sudah merencakan hal ini, dalam artian bisa jadi dia menikahi Janisa untuk dijadikan tameng sesaat di depan keluarganya. Tapi di sisi lain, Jevan juga sudah menyelamatkan harga diri keluarganya Janisa.
Dara makin pusing. “Lo makin bego kalo lo bilang dia baik. Dia enak aja hidup dalam kontrak, sementara lo harus pura-pura bahagia tiap hari?”
Janisa menggigit bibir bawahnya. “Tapi kalau gue cerai sekarang, semua orang bakal ngira gue rusak, Dar. Ditinggal dua cowok dalam waktu berdekatan? Orang-orang nggak bakal denger cerita lengkapnya, mereka cuma bakal nge-judge. Gue nggak sanggup.”
Dara menarik napas panjang, lalu akhirnya memeluk Janisa. Meski masih jengkel, tapi ia tahu... Janisa hanya korban dari semua kekacauan ini.
Namun ketika Janisa tiba-tiba berkata lirih, "Tapi gue juga masih kepikiran soal Arsya..."
Dara langsung menarik diri dari pelukan. "HAH? Lo ngomong apa barusan?"
Janisa menunduk. “Gue harus jujur sesuatu…”
“Jan.”
“Waktu kita masih persiapan nikah, gue sempet ngasih ATM ke Arsya.”
Dara langsung berdiri. “EXCUSE ME?!” Dara masih ingat, saat itu Janisa cerita kalau ATM nya ada di Arsya karena pria itu hendak membantunya mengambil uang tunai karena Janisa sedang berada di rumah sakit. Tapi, kenapa ucapan Janisa saat ini berbeda?
“Gue pikir dia butuh dana buat cicilan catering dan dekor karena dia bilang dia udah bayar DP duluan dan—”
PLAK!
Telapak tangan Dara mendarat di kepala Janisa. Tidak keras, tapi cukup menyadarkan. “LO GILA YA? LO KASIH ATM LO KE COWOK? TANPA PINDAH NAMA? TANPA PENGAWASAN?”
Janisa hanya memejamkan mata. Ia tahu dirinya pantas menerima itu.
“LO TAHU NGGAK, ITU NGGAK CUMA BODOH, ITU g****k! BERKALI-KALI GUE BILANG, JANGAN PERCAYA COWOK 100%! BAHKAN GUE AJA NGGAK PERCAYA PENUH SAMA BOKAP GUE SENDIRI!”
“Gue tahu, Dar... Tapi gue cinta dia dulu...”
“CINTA PANTATKU, JANISA! LO UDAH GILA!”
Tangisan Janisa pecah lagi. Kali ini lebih keras.
“Dia habisin semua tabungan gue... termasuk setengah biaya pernikahan, ternyata itu semua dia bayar pake tabungan gue. Gue nggak bilang ke mama papa... mereka pikir semua masih aman. Mereka pikir semua itu Arsya yang bayar tanpa pakai tabungan gue sesepersen pun. Padahal semua uang tabungan gue udah habis.”
Dara mematung.
Perlahan ia duduk kembali, kini diam... tapi wajahnya masih merah karena marah.
"Jan... gue nggak tahu lo bisa sepolos dan seputus asa ini. Tapi satu hal ya, lo harus bangun. Lo udah di dasar banget sekarang. Lo nggak bisa terus-terusan ngasih alasan demi jaga muka keluarga. Mereka bakal lebih marah kalau tahu nanti-nanti, percaya deh.”
Janisa menunduk, tangan gemetar, dan air mata tak berhenti mengalir. “Gue tahu… gue tahu semuanya salah. Tapi gue nggak tahu harus mulai dari mana.”
Dara menghela napas panjang lagi. Lalu, untuk pertama kalinya sejak lama, nada suaranya melunak.
“Lo mulai dari sini, Jan. Dari jujur sama diri lo sendiri dulu. Lo udah cukup kuat buat datang ke gue dan cerita. Itu langkah awal yang penting. Sisanya... pelan-pelan.”
Janisa mengangguk. Wajahnya masih muram, tapi kali ini ada sedikit rasa lega yang mulai merayap di sudut hatinya.
“Mulai hari ini, Jan, lo nggak sendirian. Gue ada. Dan gue nggak bakal diem kalau ada yang nyakitin lo lagi. Bahkan si Jevan itu juga nggak bakal gue lepas kalau dia mulai bikin lo nangis.”
Janisa menatap Dara, dan untuk pertama kalinya sejak semalam, ia tersenyum kecil di sela air mata.
“Thank you, Dar…”
Dara merangkulnya erat.
“Janisa... next time, kasih ATM ke gue aja. Gue jamin nggak bakal kabur. Paling gue beliin tiket liburan, itu pun berdua sama lo biar lo enggak gila.”
Dan untuk pertama kalinya juga hari itu, tawa kecil terdengar di antara dua sahabat yang kembali saling menjaga di tengah reruntuhan hidup.