Dilarang Jatuh Cinta

992 Words
Pagi itu, sinar matahari menerobos lewat sela-sela tirai jendela kamar yang besar. Hangatnya membelai wajah Janisa, membangunkannya perlahan dari tidur nyenyak semalam. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, lalu menggeliat pelan sambil meraih bantal di sampingnya. Kosong. Ranjang itu masih rapi di sisi yang seharusnya menjadi milik Jevan. Tidak ada lipatan, tidak ada selimut tertekuk. Seperti tidak ada satu orang pun yang pernah berbaring di sana semalam. Jantung Janisa mendadak berdegup lebih cepat. Ia bangkit perlahan, duduk di pinggir ranjang sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tidak ada suara, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Kamar mandi pun terlihat terbuka dan kosong. “Dia... nggak tidur di sini semalam?” gumamnya pelan. Pertanyaan itu menampar dirinya sendiri. Jantungnya mencelos. Ia menggigit bibir, menahan rasa yang tiba-tiba menghujani pikirannya. Jangan-jangan… dia pergi. Kabur. Sama seperti Arsya. Rasa takut itu muncul seperti bayangan buruk yang menghantui. Tangan Janisa mulai gemetar, dan dalam sekejap, matanya memanas. Air mata mengalir tanpa bisa ditahan. Ia mendongak, berharap bisa menahan semuanya, tapi sia-sia. "Apa gue sebegitu jeleknya… sampai dua laki-laki lebih memilih kabur daripada hidup sama gue?" isaknya, suara pelan yang berubah jadi tangisan keras. Tubuhnya merosot ke lantai, punggungnya bersandar di sisi ranjang sambil memeluk lutut. Ia menangis kencang, mengabaikan betapa kacau wajah dan perasaannya pagi itu. Semua tekanan dan rasa bingung yang tertahan sejak hari pernikahan kemarin akhirnya meledak pagi ini. Ia merasa ditinggalkan, tidak diinginkan, seperti gadis menyedihkan yang bahkan tidak layak dicintai. Tapi saat tangisannya mencapai puncaknya, pintu kamar tiba-tiba terbuka. “Janisa?!” Suara berat Jevan menyentak dirinya. Ia menoleh cepat, dan di sana—di ambang pintu—berdiri pria jangkung itu, mengenakan hoodie abu-abu dan celana training, rambutnya sedikit acak-acakan. “A-aku...” Janisa tidak bisa berkata apa-apa. Yang bisa ia lakukan hanya satu hal—berdiri cepat-cepat dan berlari ke arah pria itu. Tanpa berpikir, tubuh Janisa langsung memeluk Jevan. Erat. Wajahnya membenam di d**a pria itu, isakannya kembali pecah. Jevan terdiam sejenak. Ia terkejut, jelas. Tapi instingnya mengambil alih. Lengan kekarnya terangkat dan melingkari tubuh mungil Janisa, menenangkan isakannya dengan usapan lembut di punggung. Meski gerak tangannya terasa begitu canggung. Jelas, meski mereka sudah menjadi pasangan yang legal secara hukum dan agama, tapi mereka tetap dua orang asing yang dipaksakan untuk tinggal di satu atap yang sama. “Kenapa kamu nangis?” katanya pelan, mencoba menenangkan. Janisa hanya menggeleng, memeluk lebih erat. Ia bahkan tidak peduli bahwa dirinya hanya mengenakan kaos longgar milik Jevan dan celana pendek. “Aku kira... Mas ninggalin aku... kayak Arsya...” Jevan menarik napas panjang, mencium bau shampoo dari rambut Janisa. Ia tetap diam, menunggu hingga gadis itu mulai tenang. Tangisannya perlahan mereda, hanya tersisa isakan pelan dan napas sesenggukan. “Mau duduk dulu?” tanya Jevan, setengah memaksa, sembari menggiringnya ke sofa di sudut kamar. Janisa mengangguk lemah dan mengikuti. Mereka duduk berdampingan. Jevan mengambil sesuatu dari meja—selembar kertas putih yang terlihat penting. “Saya memang mau kasih ini dari semalam, tapi kamu sudah tidur duluan.” katanya pelan, menyerahkan kertas itu ke tangan Janisa. Janisa mengerutkan dahi. “Apa ini?” “Baca aja.” Dengan jari yang masih sedikit gemetar, Janisa membuka lipatan kertas itu dan membaca isi suratnya. PERJANJIAN PERNIKAHAN Antara: Jevan Balendra dan Janisa Nervilia Dengan ini disepakati bahwa pernikahan antara kedua belah pihak bersifat kontrak selama satu tahun, dimulai dari tanggal... Pihak pertama akan menjamin tempat tinggal, kebutuhan dasar, dan kenyamanan pihak kedua selama masa pernikahan berlangsung... Setelah masa kontrak berakhir, pernikahan dapat diputus secara damai tanpa menuntut hak dan kewajiban lebih lanjut... Janisa langsung menjerit, “APA INI?!” Ia menatap Jevan dengan ekspresi campur aduk antara syok, marah, dan bingung. “Mas... kamu maksudnya kita cuma nikah setahun? Ini... ini lucu banget atau kejam banget sih?!” Jevan hanya menatapnya tenang, seolah sudah siap dengan reaksi itu. “Bukan begitu maksudnya...” “Terus maksud Mas apa? Kamu pikir aku ini apa? Boneka percobaan pernikahan?!” “Dengerin dulu, Janisa.” Jevan mencondongkan tubuhnya, menatap mata Janisa yang penuh air mata dan kemarahan. “Kita menikah karena paksaan dari orang tua masing-masing, bukan karena perasaan. Saya juga bukan orang yang kamu harapkan untuk mengucap ijab kobul dipernikahan kamu kemarin. Saya sudah membantu keluarga kamu dari rasa malu, jadi tolong kerjasama dengan saya.” Janisa menggeleng, berdiri sambil meremas kertas perjanjian itu. “Kamu nggak ngerti... aku udah ngerasa cukup buruk karena dijodohin mendadak, karena ditinggal Arsya, karena... semua hal yang memalukan di hidupku! Dan sekarang kamu nambahin daftar itu dengan... surat kontrak gila ini?!” Pupus sudah semua angan-angan Janisa tentang harmonisnya rumah tangga yang akan dia bangun dengan Jevan. Ternyata menikah dengan Jevan tidak lebih baik daripada ditinggal kabur oleh Arsya dihari pernikahan mereka. Jevan ikut berdiri, ekspresinya sedikit gelisah. “Kita cukup pura-pura bahagia aja, cuma satu tahun, setelah itu kita hidup masing-masing, kamu juga bisa balikan sama calon suami kamu yang kabur itu.” Janisa mendengus kesal, menatap Jevan sinis. Kata-kata itu sama sekali tidak menenangkannya, malah Janisa semakin merasa menjadi cewek yang menyedihkan karena tidak diinginkan oleh dua pria yang hadir di dalam hidupnya. “Oke. Setelah satu tahun kita akan pisah, kan?” Jevan menatap balik, mantap. “Ya. Kita buat peraturan bersama.” Sunyi. Janisa duduk kembali di sofa, masih menggenggam kertas yang kini sudah lecek di tangannya. Ia menarik napas panjang. “Oke. Aku cuma mau kita enggak boleh mencampuri urusan masing-masing. Mas enggak boleh nyetuh aku tanpa persetujuan dari aku.” Mendengar pernyataan Janisa yang satu itu, Jevan tersenyum sinis. "Maksud kamu apa? Saya enggak berminat dengan anak kecil. Dan satu hal yang perlu kamu tahu, saya punya pacar. Jadi kamu jangan khawatir." Wajah Janisa semakin kusut, jadi itu alasan Jevan membuat kontrak pernikahan seperti ini, karena pria itu memiliki pacar? Tapi kenapa dia tidak menikahi pacarnya saja? Kenapa mau menerima perjodohan mereka? Janisa bertanya-tanya tanpa menyuarakannya. "Saya hanya punya satu peraturan yang harus kamu ingat sampai kontrak ini selesai." "Apa?" Jevan tersenyum tipis. "Dilarang jatuh cinta sama saya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD