Jevan Balendra, pria yang baru saja menginjak usia tiga puluh tahun itu, kini menyandang status barunya sebagai seorang suami. Tak seperti calon pengantin lainnya yang biasanya mempersiapkan hari bahagia mereka sejak jauh-jauh hari, Jevan justru resmi menikah dalam hitungan menit setelah menerima paksaan dari kedua keluarga untuk menggantikan posisi pengantin pria yang kabur di hari pernikahan seorang gadis.
Dengan kata lain, Jevan benar-benar belum siap untuk memulai lembaran baru dalam hidupnya.
"Nak Jevan, Papa dan Mama titipkan Janisa padamu, ya. Mohon dimaklumi kalau nanti sifat istrimu agak menguji kesabaranmu. Tapi lama-lama Janisa pasti akan belajar menyesuaikan diri denganmu," pesan Budi, sang ayah mertua. Jevan hanya mengangguk pelan. Ia tak sanggup mengucap janji apa pun kepada pria paruh baya itu.
"Kalau ada apa-apa, tolong hubungi Mama, ya, Nak," ujar Bella singkat. Mungkin dia benar-benar percaya bahwa Jevan akan menerima anak gadisnya dengan segala kekurangannya.
Jevan membalas dengan senyuman, lalu mencium telapak tangan Budi dan Bella secara bergantian. "Aku panggilin Janisa dulu, ya, Ma, Pa," ucapnya sembari melangkah ke lantai dua, menuju kamar tempat Janisa berdiam diri sejak mereka tiba di rumah Jevan.
Tok! Tok!
Jevan mengetuk pintu dan kemudian membukanya perlahan. Ia menarik napas panjang melihat Janisa yang sedang sibuk membongkar isi koper. Ya, setelah resepsi pernikahan, Jevan langsung membawa Janisa ke rumahnya. Bukan hanya berdua, orang tua Janisa juga ikut mengantar.
"Mama dan Papa kamu mau pamit," katanya dari depan pintu kamar.
Janisa mengangguk tanpa berkata apa-apa, lalu melangkah keluar kamar mendahului Jevan.
Setelah mengantar kepergian Budi dan Bella, keduanya kembali masuk ke kamar. Tak banyak percakapan di antara mereka. Meski beberapa jam lalu mereka duduk berdampingan di pelaminan, belum ada ikatan emosional yang terbentuk seperti pasangan suami istri pada umumnya.
Namun sejak orang tuanya pulang, jantung Janisa berdebar tak karuan. Ini malam pertamanya bersama Jevan, bukan?
"Mau mandi dulu, boleh?" tanya Janisa cepat-cepat, lebih seperti permohonan izin yang buru-buru. Wajahnya memerah. Awalnya dia memang berencana untuk membuat kesepakatan dengan Jevan. Dia berniat untuk mempermainkan pernikahan ini sebab Janisa sama sekali tidak mencintainya. Tapi semua tekatnya mendadak runtuh manakala dia mengetahui sosok Jevan Balendra. Tampan, berwibawa, ah... secara visual, dia tipe Janisa banget. Jauh lebih keren daripada calon suaminya yang kabur entah kemana.
Perjodohan dadakan yang Janisa kira sebagai nasib sial, berubah menjadi sebuah keberuntungan karena mendapatkan jodoh yang sempurna tanpa bersusah payah berusaha untuk mendapatkan hatinya. Tapi setelah ini... dia pasti akan berusaha untuk mendapatkan hati Jevan. Janisa tahu, saat ini Jevan pasti belum mencintainya.
"Silakan," sahut Jevan singkat. "Setelah kamu selesai, kita perlu bicara."
Janisa mengangguk dan segera masuk ke kamar mandi.
Beberapa menit berlalu. Saat suara air dari kamar mandi mulai terdengar, Jevan berniat turun untuk mengambil air minum. Namun langkahnya terhenti ketika bel rumahnya berbunyi.
Deg.
Jevan tahu siapa yang datang. Ia bisa menebaknya tanpa perlu melihat ke lubang intip.
Ia membuka pintu dengan cepat dan menemukan sosok yang tak asing—Clara. Wajah wanita itu penuh amarah.
"Kamu serius, Jevan?! Kamu nikah?!"
Tanpa berkata sepatah kata pun, Jevan langsung keluar, menutup pintu perlahan di belakangnya, dan menarik tangan Clara menuju mobil.
"Ayo ikut aku. Kita nggak bisa ngobrol di sini."
"Jadi benar?! Kamu emang nikah dan nggak bilang apa-apa ke aku?" tanya Clara dengan nada tertahan.
Jevan tak menjawab. Ia membuka pintu mobil untuk Clara. Meski awalnya ragu, wanita itu akhirnya masuk, duduk dengan ekspresi kecewa dan kesal. Jevan segera menyalakan mobil dan mengarahkannya menuju apartemen Clara.
Suasana di dalam mobil sangat canggung. Tak ada satu kata pun terucap sampai mobil berhenti di lampu merah.
"Papa maksa aku, Cla," ujar Jevan akhirnya. "Itu cewek, Janisa, ditinggal calon suaminya di pelaminan. Semua panik. Papa maksa aku gantiin."
"Dan kamu setuju begitu aja? Tanpa pikirin aku?"
"Aku... aku bingung. Aku nggak tahu harus gimana. Papa ngancem keluarin aku dari semua bisnis. Tapi aku nggak sayang sama Janisa. Ini cuma formalitas. Aku rencana ajukan pisah setelah beberapa waktu."
Clara mendengus pelan. Ia menatap keluar jendela, matanya berair. "Kamu tahu nggak, aku tunggu kamu hari ini. Kita janjian makan malam, ingat?"
Jevan diam. Tangannya menggenggam setir erat.
Begitu sampai di depan apartemen Clara, ia memarkir mobil lalu menoleh.
"Please, Cla. Kasih aku waktu. Ini cuma... setahun. Aku dan dia cuma akan pura-pura."
Clara tak langsung menjawab. Ia membuka pintu mobil, menatap Jevan dengan sorot terluka. "Kalau kamu benar-benar cinta aku, kamu akan lawan siapapun demi aku. Tapi kamu milih nurut."
Tanpa menunggu balasan, Clara keluar dan menutup pintu dengan keras.
Jevan menarik napas panjang, lalu menunduk, menyandarkan kepala ke kemudi. Ia merasa gagal. Pada Clara. Pada dirinya sendiri.
Apa yang Clara katakan benar, dia pengecut. Hubungannya dengan Clara berjalan dengan baik, mereka bahkan saling mencintai selama dua tahun ini. Namun, tanpa memikirkan perasaannya gadis itu, Jevan dengan mudah mengkhianatinya, menghancurkan semua kepercayaan yang Clara berikan.
Jevan membuka pintu mobilnya dengan cepat, dia berjalan menghampiri Clara yang hendak masuk ke dalam lift. Namun sebelum wanita itu pergi, Jevan segera menariknya dan membawanya ke dalam pelukan. Clara menangis, terdengar begitu menyedihkan.
"Kamu minta aku untuk nunggu, dan ngeyakinin aku kalau kita pasti akan menikah. Tapi ini balasannya? Kamu pembohong, Jev!" Clara mencengkram bahu lebar Jevan.
Hubungan mereka memang tidak pernah mendapatkan restu karena kepercayaan keduanya yang berbeda. Tapi Jevan sudah berjanji dan menyakinkan dirinya kalau mereka pasti akan menikah, Jevan bilang dia akan mengusahakan segala cara agar bisa mendapatkan restu dari orangtuanya. Persetan dengan janji itu. Kepastian yang Clara dapatkan hanyalah pengkhianatan.
"Maaf, sayang..." Jevan menarik diri. Dia memegang kedua bahu Clara, meminta kekasihnya itu untuk menatapnya. "Aku janji pernikahan ini hanya sementara. Aku akan cerai sama Janisa. Aku janji, Cla."