"Aku nggak mau menikah, Ma! Batalkan saja acaranya, aku menolak perjodohan itu. Satu-satunya calon suamiku hanyalah Arsya!
Isak Janisa pecah di ruang tata rias pengantin. Gaun gading sudah melekat di tubuh rampingnya, riasan terpoles rapi, namun butiran air mata merusak pipi yang baru dicantikkan. Ia sulit percaya harus mendengar kabar segetir ini, hanya beberapa jam sebelum akad dimulai.
“Lalu kamu mau apa? Mau menunggu Arsya sampai kapan? Dia kabur, Jan!” suara Bella, ibundanya, meninggi. Guratan wajahnya campur panik sekaligus dongkol. Hari yang sehrarusnya penuh dengan kebahagiaan harus berubah kacau dan ini semua sudah menggerus tenaganya, lalu sang putri satu-satunya justru kian memperkeruh situasi.
“Ingat, biaya pesta kalian baru terbayar separuh. Kalau Arsya benar-benar lenyap, siapa menanggung sisanya, hah?” tambah Bella, terengah menahan marah.
Ya, Arsya—lelaki yang seharusnya menikahi Janisa—menghilang entah ke mana. Nomor keluarganya tak aktif, bahkan ketika sepupu Janisa mendatangi kos di Cikarang, pemilik tempat cuma berkata singkat, “Dia pindah tadi malam.”
Alih-alih menyatukan hati dengan pria pujaannya, Janisa malah mesti menerima keputusan keluarga: perjodohan kilat. Demi menyelamatkan nama baik dan menghindari malu, orang tuanya segera menghubungi sahabat lama dan menawarkannya pada pria lain.
Mau tak mau, suka tak suka, Janisa hanya disodori satu opsi: tetap menikah—dengan orang asing.
Sebetulnya, keluarga Janisa sanggup melunasi sisa tagihan resepsi. Tetapi persoalannya bukan uang. Mereka hendak menjaga martabat putri mereka dari cap "mempelai yang ditinggal kabur."
“Tenang saja, Jan, Papa jamin pilihan Mama dan Papa tidak sembarangan,” ucap Budi, ayahnya, menenangkan.
“Umurnya berapa?” Janisa menahan tangis beberapa detik.
“Tiga puluh tahun,”
“Apa?!” Mata Janisa membelalak. “Tiga puluh tahun?!” ia mengulang.
“Kenapa? Selisih sepuluh tahun itu justru pas, Jan. Mama dan Papa beda dua belas tahun,” balas Bella.
Janisa manyun. Jujur, ia sama sekali tak mengenali pengantin pengganti itu. Meski belum pernah membayangkan bersuami lelaki yang tak dicintai, ia kini tak punya pilihan. Terakhir kali ia merasa sudah memilih pendamping tepat, ia malah ditinggal kabur.
“Siapa suruh kamu buru-buru nikah? Mama sudah bilang, selesaikan kuliah dulu. Lagi libur semester bukannya traveling malah minta nikah. Rasain akibatnya!” gerutu Bella, membuat Janisa makin disesaki rasa bersalah.
“Mah, sudahlah, salah kita juga kurang menyelidiki keluarga Arsya,” Di keadaan seperti ini, bukan saatnya menyudutkan sang putri; bahkan tanpa disalahkan pun, Janisa pasti menyesal telah memilih menikah muda.
“Papa sih langsung setuju waktu Arsya melamar. Mama sudah bilang, firasat Mama jelek tentang dia.”
Bella terus menumpahkan unek-unek yang terpendam. Insting ibu memang jarang salah; ia pernah melarang anaknya menikah muda, tetapi suaminya mengalah demi kebahagiaan Janisa.
Budi hanya menghela napas pasrah. Penyesalan memang hadir belakangan. Apa boleh buat, bubur sudah tersaji. Saat itu ia cuma ingin putrinya senang. Di depannya Arsan tampak santun, saleh, persis menantu idaman. Sayang, semuanya topeng.
“Tolong yakinkan aku kalau keputusan kalian tepat,” bisik Janisa, menunduk. Ucapan Bella menyentuh hati gadis itu. Memang salahnya mempercayai Arsya seratus persen—pria yang baru setahun dikenalnya lewat aplikasi kencan daring.
“Dia putra sahabat lama Mama. Sudah lama temannya ingin mengenalkan kalian, tapi anaknya selalu menolak, dan Mama rasa kamu masih belia. Mama pernah bertemu dia, baik, tampan, sopan. Jangan khawatir, hidupmu bakal sejahtera bila menikah dengannya.”
“Tunggu, tadi Mama bilang dia selalu menolak dijodohkan denganku?” dahi Janisa berkerut.
“Iya. Barangkali dulu dia belum siap. Tapi sekarang dia mau, Jan. Dia baru dapat promosi jadi manajer umum di kantornya.”
Mendengar sekelumit info itu, hati Janisa sedikit tenang. Benar, menurutnya kondisi finansial penting. Ironisnya, kenapa ia mau dinikahi pria dengan pekerjaan tak jelas? Sampai kini ia belum pernah melihat kantor Arsya, padahal pria itu mengaku HRD di salah satu PT Cikarang.
“Namanya siapa, Ma?”
“Namanya Jevan Balendra.”
Lampu bohlam kuning di atas meja rias memantul di cermin besar, menerangi kelopak mata Janisa yang memerah. Wangi hair-spray bercampur parfum peony menusuk hidung, sementara buket mawar putih yang mestinya ia genggam rebah miring di sudut, beberapa kelopak gugur tersapu angin dari AC.
Bella meremas tisu kusut, selendang payetnya sudah berantakan karena berlari ke sana-kemari. Ponselnya terus bergetar: vendor katering, WO, keluarga besar—semuanya bertanya kabar. Notifikasi menumpuk membuat kepalanya berdenyut.
Sementara itu, grup w******p keluarga mem-forward foto kos Arsan yang kosong, juga screenshot catatan kas bon yang diduga miliknya. Detektif dadakan menyimpulkan dia kabur malam tadi bersama koper kecil.
Budi, yang diam di pojok, menghitung dalam hati DP dekorasi rustic, biaya band akustik, dan menu rendang wellington yang terancam mubazir bila pesta batal. Dahi pria paruh baya itu penuh keringat dingin.
Ketika nama Jevan muncul, Budi teringat bocah keriting berkacamata, juara olimpiade matematika, yang kini konon mengendarai sedan listrik dan baru dipromosikan menjadi manajer umum. Bayangan itu cukup meyakinkan.
Janisa sendiri mulai merancang skenario di kepala: nikah kontrak setahun demi menyelamatkan reputasi, lalu berpisah baik-baik. Aneh, tetapi mungkin.
* * *
Di aula hotel berlangit-langit kristal, hujan gerimis mengetuk kaca saat penghulu memulai akad. Detik itu, suara Jevan mengucap kabul terdengar mantap, mengalahkan gemuruh di luar.
Ketika pintu dibuka, karpet merah memanjang bagai lorong takdir. Jevan berdiri gagah bertuxedo putih. Tatapannya bersahabat, seolah berkata, “Tenang, kita jalani bersama.” Senyum tipisnya membuat d**a Janisa sedikit lebih lapang.
“Saudara Jevan Balendra bin Haki Balendra, saya nikahkan dan saya kawinkan Anda dengan putri saya Janisa Nervilia, mas kawin cincin berlian lima karat tunai!”
“Saya terima nikah dan kawinnya Janisa Nervilia binti Budi Mahesa dengan mas kawin tersebut, tunai!” lantang pengantin pria melafazkan ijab kabul.
Di balik pintu, jantung Janisa berdegup mendengar kalimat sakral dari lelaki yang belum pernah ia temui, bahkan wajahnya pun belum ia lihat.
“Selamat, Sayang,” Bella yang setia di sisinya memeluknya, mengusap air mata yang hendak jatuh.
“Ma, tolong, kasih lihat fotonya sekali saja! Biar aku nggak kaget kalau dia jelek.” Janisa merayu.
Bella mendengus. “Kamu ini! Nanti juga lihat sendiri.”
“Tapi, Ma—” Belum sempat Janisa lanjut, pintu di depannya terbuka lebar. Serentak ia dan Bella memandang tamu-tamu yang menanti mengantarkannya ke pelaminan.
Melihat pria bertuxedo putih berdiri di sana, rahang Janisa nyaris jatuh; memang tak terlalu jelas, tetapi ia yakin suaminya tampan.
“Janisa!” Bella menyikut putrinya, menyadarkannya untuk tenang lalu meraih tangannya.
Janisa berdehem, menarik senyuman manis, berusaha tampil anggun karena lensa kamera menyorot. Setidaknya, kini ia yakin suaminya tidak buruk rupa, bahkan tergolong gagah dan proporsional.
Perlahan Janisa melangkah menuju pelaminan, menebar senyum pada tamu yang dilewati. Undangan memang terbatas, konsepnya intimate; keluarga besar serta sahabat dekat saja. Selebihnya mungkin tamu mendadak dari pihak pria.
Dada Janisa berdegup ketika ia berdiri di hadapan suaminya. Senyumnya getir bersirobok dengan tatap gelap milik Jevan. Perlahan, ia menyodorkan tangan, disambut Jevan lembut.
Setelah keduanya saling menyematkan cincin, Janisa mencium punggung tangan suaminya. Mulai detik itu, lembar baru kehidupan Janisa resmi dimulai bersama Jevan.