41. Turning Point

1662 Words
Tentu saja Lea terkejut dengan Melvin yang berubah pikiran secepat ini, padahal sebelumnya Melvin lah yang paling bersikeras agar mereka bercerai. Sementara Lea hanya mengikuti alur laki-laki itu saja. Yah, meski kemarin dia juga sempat emosi karena Melvin yang terus-terusan merendahkan keluarganya sehingga ia juga bersikeras untuk bercerai, meski sebenarnya tahu bahwa ia tidak boleh melakukan itu. Selain karena keluarga mereka tidak akan menyetujui itu, mendiang Arthur Wiratmaja juga pasti akan kecewa berat jika sampai perceraian di antara mereka  terjadi. Karena Lea sudah dipilih Arthur sendiri sebagai istri Melvin, dan menganggap mereka pantas serta serasi untuk satu sama lain. Lea sendiri tidak pernah merasa begitu, Melvin apa lagi. Dan karena rasa tidak cocok di antara mereka itu lah, Lea pun merasa jika perceraian mungkin memang jalan yang terbaik. Karena kalau terus memaksakan untuk bersama-sama, yang ada mereka hanya akan menyiksa diri sendiri. Tapi sekarang...Melvin justru berubah pikiran. Dia sudah tidak mau cerai lagi, katanya. "Kenapa?" Lea bertanya begitu usai Melvin mengatakan perubahan pikirannya itu. Melvin justru balik bertanya. "Buat apa lagi?" Lea pun tertawa sembari menggelengkan kepala. "Jadi, kamu udah percaya sama aku sekarang? Karena itu nggak mau lagi cerai?" "Iya." "It's not that simple, Melvin. Kita dari awal emang nggak cocok. Apa kamu yakin masih mau bertahan di pernikahan ini?" Melvin mengangguk. "Yakin," katanya. "Kita mungkin bukan nggak cocok, Lea. Tapi belum cocok." "Oh, jadi kamu sekarang ada niatan untuk mencocokkan diri sama aku? Gitu?" "Why not?" Rasanya Lea hendak tertawa lagi. Ia merasa takjub sendiri dengan jawaban yang diberikan oleh Melvin. Perubahan sikap laki-laki itu benar-benar drastis, dan Lea sama sekali tidak siap untuk menghadapinya. Ia sudah terlanjur terbiasa dengan Melvin yang selalu bicara sinis padanya, menatapnya penuh kebencian, dan menuduhnya sesuatu yang tidak-tidak. Jadi, rasanya aneh sekali melihat Melvin bersikap baik padanya. Terutama lagi, melihat Melvin ingin mempertahankan pernikahan ini, di saat sebelumnya ia lah yang paling ingin membuat pernikahan mereka berakhir. "Kamu nggak serius kan, Melv? Lebih baik kita akhirin semuanya sekarang aja, daripada nanti." "Aku serius," ujar Melvin dengan lebih tegas. "Aku udah nggak mau lagi cerai dari kamu. Lagipula, kalau kita cerai, akan ada banyak masalah baru, iya kan?" Oh, tentu saja iya. Tapi bukan berarti masalah-masalah itu tidak bisa diselesaikan nantinya. Sebelum Lea sempat mengatakan apa-apa untuk membalas Melvin, laki-laki itu sudah kembali berujar, "Sekarang ataupun nanti, kita nggak akan cerai, Lea. Dan mulai sekarang, aku bakal benar-benar melihat kamu sebagai istri aku. I'll try to be a better husband for you." Lea hanya bisa terdiam mendengarnya. Ia tidak tahu apakah harus merasa tersanjung atau justru ngeri atas perubahan sikap Melvin yang sangat tiba-tiba ini. *** Melvin pikir, pulang ke rumah akan bisa membuatnya kembali tidur nyenyak setelah kemarin ia sama sekali tidak bisa tidur dan beristirahat dengan baik. Nyatanya, sama saja. Melvin tetap tidak bisa tidur dengan nyenyak, meski ia sudah berada di kamarnya sendiri, di atas tempat tidurnya sendiri, dan bantal khusus untuk dirinya sendiri. Padahal, semua yang ada di kamarnya betul-betul nyaman dan berkualitas baik. Namun, mau senyaman apapun, jika pikirannya yang tidak tenang, bukan berarti akan membuatnya ikut merasa nyaman, kan? Itu lah yang dirasakan oleh Melvin. Ia baru saja bisa tertidur dua jam, tapi kembali terbangun gara-gara mimpi buruk. Semua cerita mengenai Kahraman, penyerangan yang dialaminya, hingga sang dalang yang sampai sekarang belum ketemu titik terangnya siapa pun membuat pikiran Melvin begitu carut marut hingga semuanya berpadu dalam sebuah mimpi buruk. Begitu bangun, Melvin sudah basah kuyup oleh keringat dingin yang menjalari leher, punggung, serta dahinya. Setelah mendapat mimpi buruk seperti ini, tentu saja Melvin tidak akan bisa tidur lagi tanpa merasa gelisah. Ia benar-benar sudah tidak bisa merasa aman lagi dimanapun, termasuk di rumah sendiri. Tidak peduli jika tingkat keamanan di rumahnya sudah diperketat pun, Melvin tetap tidak merasa aman. Karena tidak bisa tidur lagi, akhirnya Melvin memilih untuk keluar dari kamarnya dan pergi menuju dapur. Ia mengambil segelas air dari sana, lalu pergi ke ruang tengah dan duduk di sofa yang ada di sana. Berhubung ini sudah larut malam, tentu saja keadaan di rumahnya begitu sepi dan senyap sekarang. Karena memang semua orang sudah tidur, mungkin juga termasuk Lea. Melvin yang mulanya hendak menyalakan televisi agar suasananya tidak terlalu senyap pun memilih untuk tidak melakukannya. Takut jika yang dia lakukan justru akan membuat Lea terganggu. Meski sudah diizinkan pulang dari rumah sakit, tapi Lea masih dalam masa pemulihan. Karena itu, ia butuh beristirahat dengan baik. Namun, baru saja Melvin menandaskan air di dalam gelasnya, tiba-tiba ia mendengar suara pintu kamar Lea terbuka. Begitu menoleh, dilihatnya Lea keluar dari kamar. Perempuan itu tidak terlihat mengantuk, justru terlihat masih sangat segar. Entah karena dirinya memang belum tidur, atau justru sudah lama terbangun. "Kenapa nggak tidur?" Tanya Melvin ketika Lea berjalan keluar dari kamarnya. "Nggak bisa tidur," ungkap Lea jujur. "Kamu?" "Sama. Mimpi buruk." Lea hanya mengangguk paham. Lalu, perempuan itu berjalan menuju dapur dan kembali dengan membawa segelas air di tangannya. Lea pun hendak masuk lagi ke dalam kamarnya. "Aku masuk dulu ya, Melv." Kepala Melvin hanya terangguk saja sebagai balasan. Namun, di saat Lea belum sempat menutup pintu kamarnya, tiba-tiba saja Melvin memanggil Lea hingga perempuan itu batal menutup pintu dan kembali melihat ke arah Melvin. "Kenapa?" Tanyanya dari ambang pintu kamar. "Can I sleep in your room tonight?" Melvin tidak tahu darimana asalnya keberanian untuk mengatakan hal itu. Tiba-tiba saja, pertanyaan tersebut mengalir dari bibirnya, hanya karena ia berpikir tidak ingin kembali ke kamarnya dan tidur sendirian malam ini. Sendiri hanya membuatnya gelisah. Mungkin saja, jika berada di dekat Lea bisa membuat rasa gelisahnya sedikit berkurang. Lea pun nampak terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba Melvin itu. Karena memang ini adalah pertama kalinya Melvin meminta begitu. Selama ini, yang ingin dilakukan oleh Melvin adalah mengambil jarak sejauh mungkin dari Lea. "Forget it. Anggap aja aku cuma ngomong ngelantur," ujar Melvin akhirnya, setelah sadar bahwa permintaannya tadi sangat lah aneh. Namun, Lea justru membuka pintu kamarnya kian lebar. "Of course you can," ujarnya. "Tapi, jangan apa-apain aku ya, Melv. Aku masih belum siap kalau kamu mau have s*x, soalnya bahuku masih sakit." Melvin memutar bola mata. "Seriously, Lea?" Perempuan itu terkekeh. Dia jelas hanya bergurau saja. Dan karena Lea sudah memberi persetujuannya, akhirnya Melvin pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamar Lea. Begitu Melvin sudah berada di dalam, baru lah Lea menutup pintu kamarnya lagi. Kembali ke kamar ini membuat Melvin agak merasa bersalah. Sebab terakhir kali masuk ke sini, ia sama sekali tidak mengantongi izin Lea dan secara sengaja menggledah kamar ini. Melanggar batasan privasi antara mereka. Setelah Lea meminum air di dalam gelas yang tadi dibawanya, ia pun langsung berbaring di atas tempat tidur. Semula Melvin hanya diam saja memerhatikannya, bingung harus melakukan apa hingga Lea menepuk-nepuk bagian kasur kosong yang ada di sebelahnya. "Ngapain canggung sih? Kayak kita nggak pernah tidur sekasur aja." Lea benar, seharusnya memang Melvin tidak perlu canggung. Lagipula, mereka tidak akan melakukan apa-apa lagi kecuali tidur. Dan yah, akhirnya Melvin pun ikut berbaring di tempat tidur Lea, persis di sebelah perempuan itu, dan berada di bawah satu selimut  yang sama. Keduanya pun berbaring dengan posisi lurus, sehingga memandangi langit-langit kamar sekarang. "Maaf karena waktu itu aku udah masuk ke kamar kamu tanpa izin. Sekarang aku paham kalau kamu pasti nggak suka banget," ujar Melvin setelah beberapa detik mereka hanya berbaring berdampingan tanpa mengatakan apa-apa. Lea menghembuskan napas. "Udah lah, jangan dibahas lagi. Kamu juga emangnya nggak capek apa minta maaf terus?" Melvin menoleh ke samping dan kebetulan Lea juga sedang melakukan hal yang sama, sehingga mereka jadi berhadapan. "Nggak kok, nggak capek. Karena memang udah seharusnya minta maaf." Lea mendengus. "Sekali lagi kamu minta maaf, mending keluar aja dari kamar aku." Melvin tersenyum dan itu membuat Lea kaget. "Oh wow, did I just see Melvin smiling? Kayaknya ini pertama kalinya kamu senyum tulus di depan aku deh." Oh, benar-benar sindiran yang mantap, Lea. Tapi memang benar kok, Melvin sadar jika selama ini memang ia tidak pernah tersenyum secara tulus pada Lea. "Kamu sekarang beneran mau jadi suami yang baik ya, Melvin?" Goda Lea. "Beneran nggak nyangka momen ini bakal terjadi." "Aku nggak pernah main-main sama omonganku, jadi aku serius." Lea terkekeh. "Tapi aku nggak janji bisa jadi istri yang baik sih." "It's okay." "Bercanda." Melvin hanya diam, Lea juga. Dan keduanya kembali memandang langit-langit cukup lama. Sampai Melvin pikir, Lea sudah tertidur karena tidak bicara lagi. Namun, begitu ia menoleh ke samping, kedua mata Lea masih terbuka lebar dan terlihat sangat segar. "Melvin," panggil Lea kemudian. "Ya?" Lea menoleh pada Melvin, membuat Melvin juga menoleh padanya. "Jadi, kenapa kamu nggak mau cerai?" tanyanya. Tanpa perlu berpikir panjang, Melvin pun langsung menjawab, "Karena kamu pilihan Papi." "Ya terus?" "Papi bilang kamu pasangan yang tepat dan paling serasi buat aku. Kemarin aku sama sekali nggak percaya itu dan sekarang pun sebenarnya belum percaya itu. Tapi setelah semuanya, ada bagian dari pikiran aku yang langsung berubah. Aku sadar, di saat yang Papi mau cuma melindungi keluarganya, kenangan terakhir aku dan Papi justru buruk, dan bikin aku ngerasa sangat bersalah ke Papi. Dan aku pikir, satu-satunya yang bisa aku lakuin sekarang untuk nebus kesalahan itu adalah dengan melanjutkan perjuangan Papi, dan menjaga dengan baik apa yang udah Papi kasih, dan percayakan ke aku. And he chose you for me, Lea, so that's why I want to keep you." Cukup lama Lea terdiam dan hanya mengerjapkan mata memandangi Melvin usai ia bicara seperti itu. Apa Lea tersanjung? Well, tidak juga. Apa yang dikatakan oleh Melvin bukan lah sesuatu yang menurutnya romantis. Lea diam hanya karena ia berpikir saja, apakah memang pernikahan ini bisa bertahan nantinya walau Melvin sudah berpikir seperti itu? Dan akhirya, Lea menganggukkan kepala. "Makasih udah jawab," katanya. "Now sleep, Melvin." "You too, Lea." "Aight, good night." "Good night." Jika malam-malam sebelumnya mereka selalu tidur dengan posisi saling membelakangi jika harus berada di kasur yang sama begini, malam ini justru keduanya mempertahankan posisi miring berhadapan hingga mereka terlelap dengan sendirinya. Momen yang terjadi hari ini pun benar-benar menjadi turning point bagi hubungan Melvin dan Lea.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD