42. Asumsi

1740 Words
Surprisingly, Melvin bisa tidur nyenyak semalam, setelah dirinya pindah ke kamar Lea. Tidak ada perasaan gelisah lagi, maupun mimpi buruk. Yang terjadi benar-benar kebalikan dari momen ketika awal-awal mereka tidur di kamar yang sama. Di saat seperti ini, ketika ia sulit untuk merasa aman lagi, memiliki seseorang yang tidur di sebelahnya justru membuat Melvin merasa lebih baik. Karena Lea sudah keluar dari rumah sakit, maka hari ini Melvin akan kembali datang ke kantor. Tentu saja ia tidak bisa terus-terusan mangkir untuk datang ke sana, karena hal itu hanya akan membuat reputasinya jadi buruk di mata para karyawan. Jelas Melvin tidak mau dianggap sebagai seorang bos yang pemalas oleh mereka. Meski Melvin sendiri masih merasa was-was untuk keluar rumah setelah penyerangan yang terjadi padanya dan Lea tempo hari, tapi ia tetap harus memberanikan diri. Lagipula, kemana pun dia pergi sekarang, akan ada anggota The K dan Kahraman yang ikut bersamanya. Dan kali ini, mereka tidak perlu melindunginya secara sembunyi-sembunyi lagi. "Kamu nggak apa-apa sendiri di rumah? Apa perlu aku suruh Mami sama Abby datang ke sini?" Lea jadi berhenti mengunyah sarapannya mendengar Melvin bilang begitu. Ia yang semula sibuk menatap piring nasi gorengnya pun jadi mendongak untuk memandang ke arah sang suami yang ada di hadapannya. Lea pun terkekeh. "Of course I'll be fine," ujar Lea santai. "Kenapa sampai nanya gitu deh?" "Cuma mau make sure kalau kamu nggak akan kenapa-napa, dan tetap ada yang ngawasin. Karena walaupun kamu udah keluar dari rumah sakit, tapi kamu masih dalam masa pemulihan, jadi butuh perhatian lebih." Ada senyuman geli di bibir Lea usai mendengar Melvin bicara begitu. "Kamu sekarang beneran mau jadi suami yang baik ya, Melvin baby?" Melvin hanya mengedikkan bahu sebagai balasan. Biasanya, jika Lea sudah menggodanya dengan cara seperti itu, Melvin akan merasa sebal bukan main. Tapi sekarang, ia mencoba untuk merasa biasa saja. Asumsi Lea memang benar, Melvin sedang berusaha untuk menjadi sosok suami yang baik, setelah sebelumnya ia bersikap like a total jerk kepada istrinya itu. Apa yang dikatakan Melvin pada Lea semalam benar-benar serius. Walau terkesan ia begitu cepat berubah pikiran, namun Melvin sudah yakin sekali bahwa menceraikan Lea tidak akan jadi keputusan yang tepat. Tapi, bukan berarti juga ia langsung jatuh cinta pada Lea setelah tahu bahwa asumsinya mengenai keluarga Sadajiwa ternyata berujung salah besar. Kalau pun sedari awal asumsi buruk itu tidak ada, jatuh cinta dengan Lea juga tidak akan jadi perkara yang mudah. Karena sedari awal, pernikahan ini memang bukan didasari oleh rasa cinta, tetapi perjodohan yang membangun relasi antara keluarga mereka. Jadi, meski sudah memutuskan untuk tidak jadi bercerai, belum tentu ke depannya mereka bisa memiliki kehidupan pernikahan seperti pasangan normal yang saling jatuh cinta pada umumnya.  "Pokoknya, mending kamu jangan kemana-mana dulu sampai sembuh seratus persen. Oke?" Lea masih menyunggingkan senyum geli, namun ia menganggukkan kepala. "Okay, Mr. Hubby. Don't worry." "Langsung telepon aku kalau ada apa-apa." "Aku rasa nggak akan ada apa-apa. Di rumah ini juga sekarang udah ada banyak banget yang jagain, kan?" "Tetap aja, harus selalu hati-hati. Kamu juga lebih baik fokus istirahat aja, jangan sampai ngelakuin sesuatu yang bisa bikin kamu capek. Jangan lupa makan dan jangan lupa juga minum obat kamu." Lea mendengus. "Oh, jadi gini ya rasanya punya suami betulan? Ternyata kamu bawel juga." "Just say yes, Lea." "Yes, Melvin." "Good." Melvin tersenyum puas. Ia yang sudah selesai dengan sarapan di piringnya pun menutup agenda sarapan itu dengan meminum segelas air. Lalu, Melvin melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Sudah waktunya ia berangkat ke kantor sekarang. "Sebenarnya, ada yang mau aku bahas sama kamu tentang pernikahan kita ini. Berhubung kita sama-sama sepakat untuk nggak jadi cerai dan berencana untuk mempertahankan pernikahan ini selama mungkin, kita butuh kesepakatan baru." Satu alis Lea terangkat dan ia memandang Melvin tertarik. "Kesepakatan seperti apa contohnya?" "Pekerjaan kamu." Melvin menjawab tanpa ragu. "Tapi kita bisa bicarain nanti sore, setelah aku pulang dari kantor. I need to go now, Savero udah nunggu di depan."  Mendengar Melvin menyebutkan nama Savero, ekspresi Lea sedikit berubah, dan Melvin menyadari itu. "Kenapa?" Ia langsung menanyakannya dan batal untuk langsung beranjak dari tempat duduknya di kursi ruang makan. "Kamu kayaknya nggak terlalu suka dengar nama Savero?" "Bukannya begitu," tukas Lea. "Terus?" "Kamu udah tau semuanya dari Papa, kan? Tentang masalah yang kamu hadapi sekarang dan siapa aja yang berkemungkinan untuk jadi dalang dari semua ini." Melvin tertawa dan geleng-geleng kepala. "What? Kamu curiga sama Savero?" Lea tidak menjawab dan hanya mengedikkan bahu sebagai responnya. "Pelakunya bukan Savero, aku bisa jamin itu. Kamu nggak tau sedekat apa Savero sama keluargaku, jadi mustahil kalau sampai dia ngelakuin hal-hal buruk begitu ke keluarga aku. Terlebih lagi, ngebunuh Papi aku. That's impossible." "Kita nggak tau itu, Melvin. Ingat frasa keep your friends close and your enemies closer? Jadi, pelakunya bisa siapa aja, termasuk orang terdekat kamu sekali pun. Orang yang bisa jadi nggak kamu sangka-sangka, justru menganggap kamu sebagai musuh." Sekali lagi, Melvin menggelengkan kepala, tidak setuju pada asumsi Lea itu. "Pelakunya emang bisa siapa aja, tapi bukan Savero," ujarnya yakin, atau setidaknya berusaha untuk meyakinkan diri. Dan sekali lagi Melvin mengulang, "Pasti bukan Savero." "Hati-hati aja. Dan ada baiknya juga, jangan ceritain apa yang kamu tau ke orang lain, termasuk Savero." Melvin memilih untuk tidak merespon Lea, dan langsung beranjak dari duduknya tanpa mengatakan apa-apa lagi. Sebab Melvin tahu, jika semakin lama ia membahas perihal ini bersama Lea, maka bisa saja keyakinannya terhadap Savero justru akan memudar secara perlahan. Dan tentu saja, Melvin tidak mau itu. ***  "Gue nggak jadi cerai sama Lea, jadi tolong lo batalin kesepakatan gue sama kuasa hukum yang kemarin." Savero cukup terkejut mendengar apa yang disampaikan oleh Melvin di saat posisinya belum lama laki-laki itu masuk ke dalam mobil. Pagi ini, Melvin memang meminta Savero untuk menyetirinya ke kantor. Mereka hanya berdua di dalam mobil. Tapi, ada satu mobil lain di belakang mereka yang berisikan orang-orang dari The K dan Kahraman yang bertugas untuk menjaga Melvin. Savero sempat bertanya tentang mereka karena terkejut ia melihat orang-orang itu yang diketahuinya sebagai orang-orang dari keluarga Sadajiwa. Melvin memang belum menceritakan apapun pada Savero tentang apa yang kini sudah diketahuinya. "Lo bener-bener banyak mengagetkan gue hari ini," ungkap Savero jujur. Ia melirik Melvin sekilas yang kini hanya memasang raut wajah datar. "Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?" Melvin menghembuskan napas. "Setelah apa yang udah Lea lakuin ke gue, gimana bisa gue menceraikan dia, kan? Gue nggak mau jadi seenggak tau diri itu." "Tapi, bukannya kalian udah sepakat untuk cerai? Lea juga udah mau, kan?" "Iya." "Terus, dia juga setuju dengan perubahan keputusan lo ini?" Melvin mengangguk saja. Sementara itu Savero hanya bisa menganga kaget. Siapa juga yang tidak akan kaget jika tahu bagaimana sebelumnya Melvin dan Lea sangat ingin bercerai, lalu tiba-tiba berubah pikiran seperti ini? "Apa lo udah nggak curiga lagi sama dia? Lo udah mutusin buat percaya ke mereka sekarang?" Melvin diam sebentar dan memerhatikan Savero yang sibuk menyetir sambil sesekali melirik ke arahnya. Sejujurnya, semua cerita yang sebenar-benarnya mengenai apa yang dia ketahui lewat Hermadi sudah berada di ujung lidah Melvin, siap untuk ia sampaikan pada Savero. Namun, sampai detik semua cerita itu tidak tersampaikan. Jujur saja, Melvin kepikiran sekali dengan perkataan Lea tadi. Dan ia jadi merasa bersalah sendiri karena telah memikirkan itu. Sebagian dari dirinya masih tetap berpikir jika mustahil sekali Savero sampai melakukan sesuatu yang begitu buruk terhadap keluarganya, terlebih sesuatu yang membunuh Arthur Wiratmaja. Selama ini Melvin dan keluarganya sudah sangat membantu Savero. Bahkan, Savero pun dianggap seperti anak sendiri oleh orang tua Melvin. Dan Savero juga kerap berkata bahwa ia merasa lebih dekat dengan keluarga Melvin daripada keluarganya sendiri. Karena itu, Melvin merasa mustahil sekali jika Savero adalah pelakunya. Namun, sebagian dari diri Melvin yang lain menolak untuk bercerita pada Savero karena ia tahu, meski kemungkinan Savero sebagai pelaku sangat lah kecil, tapi tetap saja kemungkinan itu ada dan bisa terjadi. Karena itu lah, Melvin masih menahan diri untuk bercerita dan memilih untuk menyembunyikan apa yang diketahuinya. Dan perasannya yang seperti ini justru membuatnya merasa bersalah pada Savero. Bagaimana mungkin ia meragukan Savero yang selama ini sudah menjadi personal assitant dan orang yang paling dipercayainya? Melvin pun berdeham. "Sebenarnya, gue mempertimbangkan omongan lo waktu itu untuk nggak terlalu berpikiran buruk mengenai Lea dan keluarganya. Bisa aja, semuanya cuma asumsi gue doang, kan? Lagipula, insiden waktu itu juga bikin gue sadar kalau mungkin mereka bukan pelakunya. Karena kalau iya, mana mungkin Lea mau nolongin gue, kan?" Savero mengangguk paham. "Betul. Bagus deh kalau lo udah mikir begitu. Gue pikir, lo udah tau sesuatu." "Tau apa?" Tanya Melvin cepat. Tanpa menoleh pada Melvin, Savero mengangkat bahu santai. "I don't know, Melv. Mungkin ayah mertua lo ngasih tau sesuatu." Melvin benci merasa seperti ini terhadap Savero, namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada sedikit kecurigaan yang dia rasakan karena Savero bilang begitu. Melvin pun berusaha untuk tetap mempertahankan raut wajah datarnya. "Nggak ada," ujar Melvin. "Penyelidikan lo sendiri udah sampai mana?" Savero menghembuskan napas. "Sorry, Melv. Sampai sekarang gue belum dapat apa-apa. Mereka semua beneran hilang tanpa jejak." "Okay. Kasih tau terus aja ke gue perkembangannya." Tanpa melihat ke arah Melvin, Savero mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk bahunya. "Pasti." Sesaat Melvin tidak bicara lagi dan berpikir. Perkataan Lea benar-benar tengah mempengaruhinya sekarang. Dan percakapan yang baru saja terjadi antara dirinya dan Savero barusan pun juga membuat pikiran Melvin jadi bertambah rumit. Entah ini hanya sugestinya saja karena pengaruh perkataan Lea tadi atau memang sikap Savero mencurigakan, kini ia merasa bahwa Lea mungkin ada benarnya. Untuk sekarang, Melvin tidak bisa percaya sepenuhnya pada siapa pun, termasuk orang-orang terdekatnya. Termasuk Savero. Melvin benar-benar merasa buruk karena sudah merasa seperti ini terhadap Savero, tapi dia juga tidak bisa mengendalikan rasa curiga yang tiba-tiba saja muncul. "Ro." "Ya, Melv?" "We are family, right?" "Of course!" "Dan keluarga nggak pernah saling mengkhianati, kan?" "Jelas lah, Melv. Itu nggak perlu ditanya lagi." "Jadi, lo nggak akan pernah mengkhianati gue, kan?" Savero terkekeh, lalu diliriknya Melvin dan ia menggelengkan kepala. "Terpikir untuk mengkhianati lo pun nggak pernah." Seharusnya, Melvin langsung percaya saja pada kata-kata Savero itu, seperti biasanya. Tapi, kali ini Melvin tidak bisa untuk langsung percaya, karena sebagian dari dirinya justru mulai meragu. Lea mungkin benar. Keep your friends close and your enemies closer. Mungkin saja Savero menerapkan frasa itu. Tidak menutup kemungkinan, bukan? Hanya satu hal yang bisa dilakukan untuk membuat Melvin menghilangkan asumsi buruk terhadap Savero ini, yang hanya membuat dirinya merasa sangat buruk. Dan satu hal yang harus dilakukan itu adalah, membuktikan bahwa Savero sama sekali tidak bersalah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD