26. Last Memory

1817 Words
Dari sekian banyak kemungkinan buruk yang terpikirkan olehnya dapat terjadi malam ini, mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal dunia adalah sesuatu yang sama sekali tidak Melvin pikirkan sedikit pun. Rasanya mustahil saja, karena selama ini Melvin selalu memandang ayahnya sebagai sosok yang begitu sehat, bugar, dan mungkin bisa hidup sampai seratus tahun lamanya. Belum lagi, Melvin tahu bagaimana sang ayah selalu menjaga kesehatannya selama ini. Clean eating, olahraga teratur, juga chek up rutin setiap bulan untuk memastikan kondisi kesehatannya. Karena itu, mendengar kabar jika ayahnya meninggal secara tiba-tiba, sangat sulit sekali untuk dipercaya. Melvin rasa, Harris dan Pandu hanya bercanda. Atau kalau pun mereka memang tidak bercanda, pasti ada kesalahan di sini. Tidak mungkin seorang Arthur Wiratmaja bisa meninggal begitu saja karena collapse secara tiba-tiba di tengah pesta. Melvin akan jauh lebih percaya jika ayahnya meninggal karena kecelakaan akibat olahraga ekstrem daripada itu. Namun, kedua kakak beradik Lakeswara itu tidak bercanda. Tidak ada tawa yang mereka berikan untuk mengatakan bahwa semuanya hanya lah prank. Mereka justru terlihat prihatin dan mengucapkan bela sungkawanya pada Melvin. Lalu, ada Savero yang menelepon. Meski awalnya sempat enggan menerima telepon dari Savero itu, pada akhirnya Melvin tetap menerima telepon tersebut hanya untuk mendengar suara Savero yang terdengar panik. Dan Savero pun mengatakan hal yang sama seperti yang disampaikan oleh Pandu dan Harris padanya. Arthur Wiratmaja memang dinyatakan meninggal dunia malam ini. *** Rencana Melvin pun langsung berantakan. Lupakan mabuk-mabukkan untuk bersenang-senang dan melupakan sejenak masalahnya malam ini, Melvin justru mendapat sebuah bom baru yang seketika membuat hidupnya langsung berantakan dan tidak pada tepatnya. Savero mengatakan bahwa Arthur langsung dibawa ke rumah sakit setelah kejadian collapse-nya. Namun, beliau sudah dipastikan tidak bernapas lagi dalam perjalanan menuju rumah sakit, dan dokter yang memeriksa langsung menyatakan beliau meninggal dunia. Melvin sama sekali tidak sanggup untuk bereaksi atau pun mengatakan apapun dalam perjalanannya menuju rumah sakit tempat Savero memberitahu dimana Arthur Wiratmaja dibawa. Tristan dan Darel menemaninya, bahkan Tristan yang menyetir langsung menuju rumah sakit. Sementara Pandu dan Harris mengikuti dengan mobil mereka sendiri. Sepanjang perjalanan, Melvin hanya memandang ke luar jendela. Otaknya masih mencerna apa yang terjadi dan menolak percaya pada kenyataan yang jelas-jelas sudah menamparnya. Melvin memang tidak menangis, namun dalam hati ia berharap jika kabar yang didapatnya malam ini tidak benar-benar terjadi. Semoga saja, semua hanya mimpi buruk, dan ia hanya perlu bangun untuk keluar dari mimpi buruk ini. Sayangnya, harapan Melvin itu tidak terkabul. Sesampainya ia di rumah sakit, semuanya kian terasa nyata. Keadaan rumah sakit sudah ramai oleh wajah-wajah yang asing dan tidak asing. Beberapa di antara mereka menyampaikan bela sungkawa ketika Melvin melintasinya, namun ia tidak punya tenaga dan keinginan bahkan untuk sekedar menoleh pada mereka semua. Melvin hanya berjalan gontai ke tempat Tristan dan Darel membawanya. Tatapan Melvin bahkan nyaris kosong, dan ia sama sekali tidak merasa seperti dirinya sendiri. "Melv..." Savero sudah menunggu di depan pintu sebuah ruangan, tempat semua orang membawanya. Sepasang mata Savero sudah memerah, sepertinya karena habis menangis. Ia langsung memeluk Melvin begitu mereka sudah berhadapan. "I'm sorry. I'm so sorry." Melvin benar-benar tidak suka dengan semua ucapan belasungkawa ini. "Ini...nggak mungkin bener, kan?" Tanya Melvin lirih. Ia benar-benar masih menolak untuk percaya ini semua. "Bokap gue loh, Ro, ini...mana mungkin bisa meninggal secepat dan setiba-tiba ini? It's really not him at all." Savero menepuk-nepuk punggung Melvin. "I'm sorry," ujarnya sekali lagi. Hanya itu yang bisa dikatakannya. "Please...stop bercanda." "I'm sorry, Melvin." "Nggak mungkin." "I'm sorry." "Stop saying sorry." "I'm sorry." Melvin benar-benar muak mendengar ucapan prihatin itu. Ia melepaskan pelukan Savero, lantas berjalan masuk menuju ruangan yang pintunya setengah tertutup itu. Di belakangnya, Tristan dan Darel mengikuti. Di ruangan itu, pada bed rumah sakit, ada seseorang yang sudah ditutupi oleh kain putih. Melvin masih merasa biasa saja melihatnya, ia tidak gemetaran, apa lagi menangis. Hanya saja, pikirannya yang jadi carut marut. Mana mungkin orang di balik kain putih itu adalah ayahnya? Tidak mungkin, kan? Darel dan Tristan berdiri mengapit Melvin di sebalah bed itu, berjaga-jaga andai Melvin ambruk atau terlalu shock. "Melv...lo mau gue yang buka atau-" Melvin menggelengkan kepala, tidak membiarkan Darel melanjutkan omongannya, sekaligus menolak tawaran sepupunya itu. "Biar gue aja." "Oke." Darel mengangguk mengerti. Melvin terlebih dahulu menghela napas dalam sebelum ia mendekat ke bed, lalu dengan kedua tangan, ia membuka kain putih yang ada di bagian kepala. Begitu melihat memang sosok ayahnya lah yang terbaring di sana, memejamkan mata dengan wajah pucat pasi, dan tubuh yang begitu kaku, Melvin yang semula tidak merasakan apa-apa pun perlahan mulai merasakan sesak di dadanya. Kini, Melvin pun percaya bahwa yang terjadi memang benar-benar nyata. "Pi..." panggil Melvin lirih. Disentuhnya wajah Arthur, dan ia berjengit merasakan dingin ketika kulit mereka bersentuhan. "Kenapa...kok...Papi pergi..." Darel merangkul Melvin, mengusap-usap bahunya untuk menenangkan sang sepupu. Melvin menggelengkan kepala dan menepis pelan Darel. Ia tahu, Darel juga turut berduka, sama sepertinya sekarang. Dan saat ini, baik Darel, Tristan, maupun semua orang sedang prihatin padanya. Hanya saja, Melvin tidak ingin merasakan raut wajah atau kata-kata prihatin dari mereka semua sekarang. Hal itu justru hanya akan membuatnya kian sedih. "Boleh nggak gue sendirian dulu sama Papi?" Pinta Melvin pada dua sepupunya itu. "Kalian...better kabarin keluarga yang lain." Darel sempat hendak protes, tidak mau membiarkan Melvin berduka sendirian di saat mereka ada di sini untuknya, namun Tristan menuruti permintaan Melvin itu dan segera mengajak sang kakak untuk keluar dari sana. Meninggalkan Melvin sendirian, bersama sang ayah yang kini sudah terbujur kaku. Selepas mereka pergi, sesaat Melvin hanya mampu terdiam memandangi sosok pria yang selama ini memiliki hubungan yang sulit untuk dijelaskan dengannya. Kadang, Melvin benci sekali dengan ayahnya yang perfeksionis dan selalu mengatur hidupnya. Tapi, seringnya juga ayahnya jadi tempat yang pertama kali Melvin datangi setiap ia menghadapi kesulitan. Dari kecil sudah begitu. Dan selama ini, Melvin belum pernah membayangkan bagaimana rasanya jika beliau sudah tidak ada lagi. Melvin masih belum menangis ketika ia mencari tangan sang ayah di balik kain putih itu, lalu menggenggam erat tangan tersebut yang sudah sangat dingin karena tidak ada lagi darah yang mengalirinya. Ia juga masih belum menangis ketika tidak lagi merasakan ada denyut nadi di pergelangan tangan itu. Namun, begitu benaknya memutar kembali memori terakhir yang terjadi antara dirinya dan sang ayah, d**a Melvin langsung dilingkupi oleh sesak yang begitu menggigit, hingga rasanya ia jadi sulit bernapas. Melvin ingat apa yang dia katakan pada ayahnya tempo hari. I can't believe you're my father. Itu yang terakhir kali Melvin katakan padanya di hari terakhir mereka bertemu. Dan mengingat itu telah sukses menimbulkan rasa bersalah yang begitu besar pada diri Melvin. Kali ini, ia tidak bisa baik-baik saja lagi. Melvin ambruk ke lantai dengan satu tangannya masih menggenggam tangan sang ayah. Perlahan, airmata Melvin luruh, dan semakin lama semakin deras, seiring dengan rasa bersalah yang terus menggerogotinya. Andai ia tahu jika pertemuan mereka tempo hari akan jadi pertemuan mereka yang terakhir, Melvin pasti tidak akan mengatakan hal-hal yang menyakitkan pada ayahnya sendiri. Karena mau sekesal atau semarah apapun ia pada beliau, Arthur Wiratmaja adalah ayahnya. Dan sebagai seorang anak, Melvin menyayanginya. *** Berduka tentu saja tidak akan pernah terasa menyenangkan. Dan itulah yang dirasakan oleh Melvin sekarang. Cukup lama ia berdiam diri di dalam ruangan itu, memilih untuk berduka sendirian, dan menolak untuk ditemani oleh siapa-siapa. Melvin memang tidak menangis untuk waktu yang lama, namun rasa sakit karena kehilangan tetap menggerogoti meski airmatanya sudah berhenti mengalir. Yang dilakukan oleh Melvin pun hanya melamun di ruangan itu, terduduk di lantai dengan kepala yang bersandar di bed tempat ayahnya masih terbujur kaku. Rasanya Melvin seperti dihukum sekarang. Sebab di antara sekian banyak hari, Arthur justru memilih untuk berpulang dimana hanya ada Melvin di sini, sementara Mayana dan Abby sedang berada di benua lain. Sehingga Melvin harus menyimpan duka dan sedihnya sendiri selama beberapa waktu, tanpa bisa bebagi pada sang ibu serta adiknya sendiri. Meski tahu jika anggota keluarganya lain maupun teman-temannya juga peduli dan ikut berduka bersamanya, tapi tetap saja rasanya akan berbeda jika Abby dan ibunya bisa langsung datang menemani. Sebagai keluarga inti, tentu mereka yang paling sedih, dan mereka lah yang bisa mengerti perasaan berduka satu sama lain. Melvin sendiri tidak tahu apakah Abby dan ibunya sudah dihubungi atau belum, atau apakah mereka sudah dalam perjalanan menuju kemari. Yang pasti, Melvin bisa menebak jika keduanya tidak akan bisa berhenti menangis di sepanjang perjalanan pulang ke sini. Sungguh tragis sekali, mereka harus pulang karena berita duka. Entah sudah berapa lama Melvin mengurung diri di ruangan ini dan tidak membiarkan siapa pun masuk karena ia ingin sendirian. Tapi sepertinya sudah cukup lama, karena sekilas ia sempat melihat keluar dan mendapati orang-orang yang datang semakin ramai. Hingga pada akhirnya, Savero datang dan kembali menghampirinya. Savero pun berjongkok di depan Melvin yang masih terduduk di lantai. "Ayo, Melv, kita keluar dulu. Keluarga dan teman-teman Om Arthur yang lain udah datang dan mau liat dia juga." Melvin masih bergeming di tempatnya. "Melv...ayo..." Melvin melirik Savero yang berusaha untuk menariknya keluar. Bukannya menjawab, ia justru bertanya, "Kok bisa sih, Ro? Kenapa bisa Papi tiba-tiba meninggal begini?" Savero menggelengkan kepala. "Gue juga nggak tau, Melv. Kejadiannya tiba-tiba banget, dan dokter yang periksa cuma bilang kalau kemungkinan Om Arthur kena serangan jantung." "Papi nggak ada riwayat sakit jantung." "Tapi itu yang dokter bilang." "Gue nggak percaya." "I don't know, Melv...gue juga bingung..." Pelan-pelan, Melvin sudah bisa berpikir dengan benar lagi. Dan sekarang, ia mulai merasa ada yang janggal dengan kematian ayahnya. "Lo harus selidikin ini nanti," perintahnya pada Savero. Kepala Savero pun terangguk. "Pasti. Gue janji." Dan janji dari Savero itu yang pada akhirnya membuat Melvin mau bangkit dari duduknya, lalu ia berjalan keluar dari ruangan. Yang sekilas dilihatnya tadi ternyata memang benar, keadaan di luar sudah ramai oleh keluarga serta rekan-rekan kerja Arthur yang berdatangan. Melvin berpapasan dengan mereka semua, namun ia hanya berjalan melewati mereka karena ia tidak siap untuk mendapat ucapan belasungkawa lagi, yang hanya akan membuat perasaannya jadi begitu buruk. Ia membiarkan Savero menghadapi itu semua, sementara yang ingin dilakukan Melvin saat ini hanya lah menenangkan diri di tempat yang lebih sepi. Namun, baru beberapa langkah Melvin berjalan menjauh dari orang-orang, tiba-tiba saja ada yang meraih lengannya. Melvin pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang, mendapati jika Lea lah pelaku yang melakukan itu. Iya, Azalea Sadajiwa, istrinya, yang tadi siang menelepon bahwa ia akan extend sehari di Singapura. Bohong kalau Melvin bilang ia tidak terkejut melihat kehadiran Lea di sini, di saat seharusnya Lea ada di negara lain. Kalau pun memang Lea baru pulang setelah mendengar kabar kematian mertuanya, bagaimana mungkin ia bisa sampai secepat ini? Lama waktu yang harus ditempuh dari Singapura ke Jakarta saja hampir dua jam. "I'm sorry for your loss," ujar Lea. Ketika istrinya itu mengambil langkah maju untuk memberinya sebuah pelukan, Melvin justru mengambil langkah mundur. Menolak pelukan dari Lea, menolak ucapan belasungkawa, serta emotional support yang diberikan oleh istrinya sendiri. Sebab hati kecil Melvin berkata, Lea tidak lah tulus untuk itu semua. Dan kehadiran Lea tiba-tiba sekarang pun, sangat patut untuk dipertanyakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD