25. Kabar Buruk

2026 Words
Melvin marah dengan ayahnya usai percakapan mereka ketika bermain tennis beberapa hari yang lalu. Ia jelas kecewa berat karena lagi-lagi, omongannya sama sekali tidak dipercaya, dan sang ayah justru lebih membela Lea dan keluarga Sadajiwa. Seolah menutup mata dengan semua kecurigaan yang Melvin rasakan belakangan ini. Marahnya Melvin membuatnya menolak untuk bicara pada sang ayah selama beberapa hari setelahnya. Ia bahkan tidak menerima ajakan ayahnya untuk bertemu, entah itu untuk sekedar makan bersama, hingga permintaan ayahnya untuk menemani hadir di sebuah pesta yang diadakan oleh salah satu teman sekaligus rekan kerjanya yang diadakan malam ini. Melvin beralasan kalau ia sibuk, padahal ia hanya ingin menghindar saja. Tidak mau mereka terlibat percakapan yang pada akhirnya hanya akan menyudutkan Melvin dan membuatnya muak. Melvin sama sekali tidak peduli jika tingkahnya yang seperti ini justru terkesan kekanakkan. Ia sudah terlanjur kecewa, dan tidak didukung, bahkan oleh keluarganya sendiri. Melvin pun tidak suka dengan cara ayahnya menutup-nutupi sesuatu dengan berdalih belum saatnya Melvin tahu. Justru ketidaktahuan Melvin ini lah yang membuatnya dilingkupi oleh kecurigaan. Hari ini, seharusnya Lea pulang. Dan sebetulnya, Melvin antara tidak sabar menunggu istrinya itu pulang sekaligus juga tidak ingin ia pulang. Menjalani aktivitasnya selama beberapa hari ini tanpa Lea membuat hidup Melvin jadi lebih tenang, tapi di sisi lain, ia juga ingin Lea cepat kembali agar ia bisa mengonfrontasinya perihal senjata yang berada di dalam koper di kamarnya. Namun, siang ini Melvin justru mendapat telepon dari Lea. Sesuatu yang jarang sekali didapat olehnya, padahal mereka sendiri sudah berstatus sebagai suami istri. Bahkan sejak Lea berangkat karena agenda business trip-nya ke Singapura, Melvin dan Lea bahkan belum berkomunikasi sama sekali. Telepon dari Lea itu adalah yang pertama. "Halo?" Melvin menyapa Lea datar begitu ia menerima telepon dari perempuan itu. "Halo, Melvin baby." Lea balas menyapa, namun jauh lebih ceria dibandingkan Melvin. "Kenapa?" "Kangen." "Quit the bullshit, Lea. Langsung to the point aja." Lea terkekeh, dan kekehannya terdengar begitu menyebalkan di telinga Melvin. "Galak banget sih," keluhnya. "Padahal cuma bercanda dikit." "To the point, please. Aku sibuk." Lea berdecak. "Okay, Mr.Husband. Jadi, aku mau bilang kalau hari ini aku nggak jadi pulang, extend sehari di sini. Baru pulang besok." "Kenapa?" "Kirain bakal langsung jawab oke tanpa mau tanya-tanya kenapa." "Kenapa?" Ulang Melvin sekali lagi. Ia sungguh tidak ingin berbasa-basi dengan Lea sekarang. "Masih ada kerjaan yang perlu diurus, makanya extend sehari," jelas Lea akhirnya. "Masih sama Letta?" "Enggak. Sama pacarku yang ada di sini." "Oke." "Jangan cemburu ya." "Terserah." Tanpa mau mendengar Lea bicara apa-apa lagi, Melvin segera memutus sambungan telepon mereka. Ia tahu kalau Lea hanya menggodanya saja dengan memberi jawaban seperti tadi, dan sungguh Melvin sedang tidak dalam mood yang bagus untuk meladeni itu. Jika Lea akan memperpanjang sehari perjalanan bisnisnya di Singapura, itu berarti Melvin juga masih punya waktu satu hari lagi untuk menikmati kesendiriannya di rumah, tanpa perlu merasa was-was memikirkan keberadaan Lea dan senjata-senjatanya. Yah, lebih baik seperti itu. Atau kalau bisa, Lea extend selamanya saja di sana, supaya mereka tidak perlu bertemu lagi. *** Menolak permintaan sang ayah untuk menemaninya datang ke sebuah pesta, malam ini Melvin justru pergi ke sebuah kelab malam untuk berkumpul dengan sepupu dan teman-temannya. Sudah lama sekali ia tidak melakukan sesuatu untuk bersenang-senang. Belakangan ini, ia selalu disibukkan oleh urusan pernikahan dan pekerjaan, sehingga selalu merasa suntuk dan tidak bahagia akan hidupnya. Maka dari itu, khusus malam ini Melvin ingin bersenang-senang sesaat. Mumpung Lea belum pulang, dan kebetulan ada yang mau menemaninya nongkrong di kelab malam ini. Dalam agenda bersenang-senang ini, Melvin akan ditemani oleh dua temannya yaitu Pandu Lakeswara dan Harris Lakeswara, dua kakak-beradik itu merupakan segelintir teman akrab yang Melvin punya di Indonesia. Dua sepupu Melvin juga akan datang, yaitu Darel Wiratmaja dan Tristan Wiratmaja. Selain Savero, Melvin juga dekat dengan dua sepupunya yang itu. Yah, walaupun hubungan mereka dengan Savero bisa dibilang tidak baik sama sekali. Melvin jadi yang pertama sampai di kelab tempat mereka telah berjanji untuk bertemu, karena memang ia sengaja datang tiga puluh menit lebih cepat dari waktu janjian mereka. Ia pun memilih kursi yang berhadapan langsung dengan meja bar. Sengaja ingin menunggu di sana, sebelum mereka open table yang lebih besar. Pada bartender yang ada di sana, Melvin memesan satu shot whiskey yang dianggapnya sebagai pemanasan. Malam ini ia sudah berencana untuk mabuk. Bahkan, Melvin pun sudah berpesan pada supirnya untuk stand by di kelab ini dan mengawasinya kalau-kalau nanti ia wasted, agar bisa langsung membawanya pulang. Melvin sudah siap mabuk dan melupakan sejenak semua masalahnya. Tapi, begitu ia sudah duduk sambil menikmati segelas whiskey di tangannya, Melvin justru mencari masalah baru untuk hatinya sendiri. Yang dilakukannya justru membuka ponsel, memilih scrolling timeline **, lalu mengklik profil Gema, yang sudah cukup lama tidak dilihatnya. Niat Melvin hanya ingin catch up bagaimana kabar Gema sekarang lewat akun ** perempuan itu, karena memang ia sudah cukup lama tidak melihatnya karena terlalu sibuk. Dan tentu saja, yang dilakukan oleh Melvin itu hanya membuahkan patah hati. Sebab beberapa unggahan terakhir Gema hanya berisikan hal-hal yang berhubungan dengan suaminya. Ada foto Gema bersama Harlan, foto Harlan sendiri, hingga pengumuman bahwa Gema akan segera merilis lagu yang lagi-lagi terinspirasi dari Harlan. Rasanya Melvin rindu masa-masa dulu dimana dirinya lah yang menjadi inspirasi Gema. Saat itu, Gema memang belum jadi seorang penyanyi, namun ia sudah suka mencoba menulis lirik lagu atau mengaransemen musik. "Kamu satu-satunya inspirasi aku. Rasanya, aku bisa buat ratusan lirik lagu yang terinspirasi sama kamu." Gema pernah bilang begitu pada Melvin. Dan memang benar, dulu ada banyak sekali lirik yang Gema ciptakan untuknya. Iya, dulu. Sebelum semuanya rusak dan kini semuanya berubah sudah. Sumber inspirasi Gema telah berubah dan ia telah berbahagia dengan cinta sejatinya. Sedangkan Melvin...masih merana dan mengharap andai yang mereka punya dulu tidak rusak. Melvin tersentak ketika bahunya ditepuk dari belakang secara tiba-tiba. Begitu menoleh, didapatinya Darel dan Tristan yang baru saja datang. Melvin pun cepat-cepat mengeluarkan aplikasi ** di ponselnya, tidak ingin mereka tahu apa yang sedari tadi dilihatnya. "Tumben banget lo datengnya paling cepet, biasa juga jadi yang paling ngaret." Melvin nyengir saja mendengar Tristan bicara begitu. Ia pun melakukan fist bump dengan dua sepupunya itu, kemudian Darel dan Tristan pun duduk mengapit Melvin di kursi yang masih kosong kiri dan kanannya. "Lo lagi gabut apa gimana, Melv?" Darel ikut menyahut. "Masa iya bapak CEO kita gabut?" "Emangnya lo pikir gue kerja dua puluh empat jam gitu?" "Ya, siapa tau lo mesti ngelonin bini dulu." Tristan ngakak mendengar omongan kakaknya, sementara Melvin mendengus keras. "Omongan lo nggak etis," cibirnya. "Lagian, istri gue lagi nggak di sini. Dia lagi business trip ke Singapore." "Wah, pantes aja nih lakinya berani ke kelab gini. Jangan-jangan lo diem-diem ya ke sini?" Melvin hanya mengedikkan bahu, lalu menandaskan whiskey dari shot glass-nya. Untuk apa juga dia bilang-bilang Lea? Mereka kan sudah sepakat untuk sama-sama tidak akan mencampuri urusan masing-masing, serta tidak merasa memiliki kewajiban untuk saling mengabari tentang apapun, tidak peduli sekarang mereka sedang jauh dan mereka adalah suami-istri. Melvin justru menyikut Tristan. "Lo sendiri gimana? Nggak dimarahin cewek lo apa?" "Masih cewek, masa mau marah? Apa haknya?" "Tris...jangan ikutin jejak buaya kakak lo dong." Darel meninju pelan bahu Melvin. "Sialan lo." Ketiganya pun tertawa-tawa saja. Dan setelah sekian lama, baru kali ini rasanya Melvin bisa tertawa lepas lagi. Karena sudah bertiga, akhirnya mereka open table yang lebih besar dan duduk di sana, selagi menunggu dua orang lagi yang belum datang. "So, how's marriage life, bro?" Ditanya begitu, Melvin mengerang. "Bisa nggak jangan nanyain itu? Gue udah muak banget sama semua orang yang nanyain itu mulu." Darel terkekeh dengan respon Melvin. "Wajar aja lah, kan lo baru nikah, jadi semua orang pasti bakal nanyain itu." "Kayak nggak ada pertanyaan lain aja." "Emangnya kenapa sih? Sensitif banget kayaknya?" Tanya Tristan. Darel menepuk-nepuk pundak adiknya. "Lo kayak nggak tau aja gimana biasanya pasangan dari kalangan kita yang dijodohin." "Ouch sorry, gue lupa kalau Melvin dijodohin," ujar Tristan. Lalu, senyum nakalnya terbit. "Kalau gitu, malam ini kita jajan aja lah, Bos." Darel kembali terkekeh, dan Melvin kembali mendengus dengan diiringi putaran bola mata. "Gila lo. Gak doyan jajan gue," tolak Melvin. "Payah." Melvin hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia sendiri sudah tidak heran lagi dengan dua tingkah sepupunya ini. Mereka memang terkenal hobi bersenang-senang. Party, gonta-ganti cewek, sampai jajan sana-sini. Marcus Wiratmaja, ayah mereka, bahkan sering dibuat pusing karena kelakuan keduanya. Sungguh berbeda dengan Melvin yang justru hanya akan setia pada satu orang, dan tidak akan pernah menoleh yang lain jika hatinya masih pada orang itu. Bahkan di saat ia punya kesempatan seperti sekarang pun, dan Lea juga tidak akan marah kalau ia berbuat macam-macam karena kesepakatan open marriage mereka, Melvin tetap tidak akan mau. Prinsipnya untuk yang satu itu begitu kuat. Selagi menunggu Pandu dan Harris tiba, obrolan mereka pun mengalir begitu saja. Bahkan, ketiga sepupu itu sempat membahas perihal pekerjaan sebentar. Berbeda dengan keluarga Melvin yang merupakan pewaris utama dari perusahaan pusat Rangkai Bumi, keluarga Darel dan Tristan justru mewarisi anak perusahaan Rangkai Bumi yang bergerak di bidang perhotelan. Dan keduanya bekerja di sana sekarang, meski yang menjadi pimpinan masih ayah mereka. Nantinya, sama seperti Melvin, Darel sebagai anak tertua yang akan mengambil alih jabatan itu. Melvin senang sekali karena ia bisa bertemu orang lain, melupakan sejenak masalahnya, dan merasa jauh lebih rileks seperti ini. Meski hanya sebentar, tapi setidaknya jauh lebih cukup untuk membuat suasana hatinya membaik. Alkohol, hiruk pikuk kelab, serta kehadiran Tristan dan Darel adalah kombinasi yang menyenangkan malam ini. Senyum Melvin pun kian melebar ketika dari kejauhan dilihatnya Pandu dan Harris yang baru datang. "Nah, ini dia akhirnya dua bos kita dateng juga," ujar Darel begitu melihat kedua teman mereka itu. "Tumben banget kalian nggak on time." Melvin menambahkan. Melvin memang agak heran dengan keterlambatan kakak-beradik itu, apa lagi mereka sudah terlambat lebih dari setengah jam dari waktu janjian mereka. Padahal, keduanya terkenal sekali sebagai orang yang tepat waktu. Karena itu Melvin heran sendiri. Di luar dugaan, begitu sudah sampai di meja mereka, raut wajah Pandu dan Harris justru terlihat tidak enak. Keduanya berpandangan, sebelum akhirnya melihat ke arah Melvin. Saat itu, Melvin sama sekali tidak terpikir bahwa kakak-adik Lakeswara itu akan datang dengan membawa sebuah kabar buruk. Melvin keheranan sendiri ketika Pandu berpindah ke sebelahnya, lalu langsung merangkulnya erat. Sementara Harris masih berada di hadapannya, memandang Melvin dengan ekspresi yang tidak enak itu. "What's wrong with you guys?" Tanya Melvin heran. Darel dan Tristan juga bingung dengan sikap Pandu dan Harris, sampai-sampai mereka terdiam. "We have bad news for you, Melvin," ujar Harris. "Hah?" Melvin benar-benar bingung. Ia sama sekali tidak terpikir, berita buruk apa yang bisa terjadi padanya. Namun, rangkulan Pandu di bahunya justru kian mengerat. "Kami berdua lama sampai karena sebelumnya mampir sebentar ke party yang diadain keluarga Wangsa, kalian tau kan?" Baik Melvin, Darel, maupun Tristan menganggukkan kepala. Mereka tahu dengan pesta itu, bahkan pesta itu lah yang dihadiri oleh Arthur Wiratmaja dan Melvin tolak untuk datangi ketika ayahnya meminta. Sehingga Arthur berujung datang dengan Savero, karena ibunya yang sedang berada di Melbourne untuk menjenguk Abby di sana. Melvin memang masih belum tahu apa yang terjadi, namun melihat raut wajah Harris, perasaannya jadi tidak enak sendiri. "Kita ketemu sama bokap lo di sana, Melvin. We greeted him there, and he was fine. Tapi, waktu di jalan ke sini, bokap kita justru ngabarin kalau bokap lo tiba-tiba collapse." Harris menarik napas sejenak sebelum melanjutkan, "Dan katanya...langsung meninggal." Jantung Melvin rasanya langsung mencelos turun ke lantai. Ia menggelengkan kepala tidak percaya, begitu pun dengan Darel dan Tristan. "Lo jangan bercanda deh, Ris. Nggak lucu," kata Darel. "Gue sama sekali nggak bercanda," balas Harris. "Apa muka gue sekarang kelihatan kayak bercanda?" Semuanya terdiam. "Melvin, I'm so sorry..." ujar Pandu yang masih merangkulnya. Melvin menggelengkan kepala. Tidak, ia tidak percaya. Walau kini jantungnya berdegup kencang dengan cara yang tidak menyenangkan, tapi Melvin tetap tidak percaya. "Nggak mungkin lah. Kalau emang kejadiannya begitu, kenapa belum ada yang ngabarin gu-" Belum sempat Melvin melanjutkan ucapannya, ponselnya yang ada di atas meja tiba-tiba saja berdering. Nama Savero tertera di sana, sukses membuatnya tertegun. Rasanya Melvin enggan mengangkat telepon itu. Sebab ia takut, kabar buruk yang didengarnya memang terjadi, dan malam ini akan berubah dari malam paling menyenangkan, menjadi malam terburuk yang pernah terjadi dalam hidupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD