24. Tennis

1614 Words
Bohong kalau Melvin bilang dia tidak takut setelah melihat isi koper yang ada di kamar Lea itu. Selama ini, Melvin memang tidak suka dengan gagasan ada senjata berbahaya di rumahnya. Bahkan, pistol yang diberi oleh Hermadi Sadajiwa pun disimpan Melvin di tempat yang tidak terlihat olehnya. Semata agar ia tidak merasa takut ketika melihat benda itu. Dan mengetahui ternyata Lea memiliki satu koper berisi senjata, mana mungkin Melvin tidak geger? Pertanyaannya, untuk apa semua senjata itu? Apa memangnya yang Lea kerjakan sampai ia membutuhkan senjata sebanyak itu? Menyimpannya di kamar, di tempat tinggalnya, di rumah mereka! Tidak munafik, Melvin sempat berpikir kalau mungkin saja, Lea memiliki niat untuk membunuhnya secara diam-diam. Melvin pun tidak ingin berlama-lama melihat isi koper tersebut. Ia pun segera membereskannya lagi, menutup koper itu rapat-rapat, dan sebisa mungkin mengembalikannya persis ke tempat semula agar Lea tidak sadar jika Melvin sudah membuka isi koper itu. Kemudian, ia buru-buru keluar dari kamar istrinya itu dan mengunci pintunya rapat-rapat. Jantung Melvin berdebar-debar begitu is sudah menjauh dari kamar Lea. Bukannya ingin bersikap payah atau apa, tapi melihat semua senjata itu sukses membuatnya ketakutan. It's terrifying. Malam itu, Melvin pun sulit untuk tidur. Ia jelas kepikiran dengan semua senjata itu, dan jadi merasa tidak aman di rumahnya sendiri. Apa sebenarnya tujuan Lea memiliki itu semua? Mau dipikirkan bagaimana pun, lagi-lagi Melvin terus kembali ke kemungkinan jika bisa saja Lea menyimpan semua senjata tersebut karena ingin membunuhnya diam-diam. Dan sedang menunggu kapan waktu yang tepat. Melvin pun jadi membayangkan bagaimana jadinya jika tengah malam, Lea masuk ke kamarnya tanpa sepengetahuan Melvin, lalu menusukkan salah satu pisau itu ke perutnya. Pikiran itu membuat Melvin segera mengunci pintu kamarnya rapat-rapat dan ia nyaris tidak tidur semalaman meski Lea sedang tidak berada di rumah. Atas penemuannya malam itu, Melvin memang memilih untuk tutup mulut dulu. Kalau pun nantinya ia ingin mengonfrontasi Lea, ia akan menunggu hingga perempuan itu pulang, agar mereka bisa bicara secara langsung. *** Sehari setelah penemuannya di kamar Lea, secara kebetulan Melvin diajak oleh ayahnya untuk bertemu. Dan kebetulan lagi, hanya berdua saja. Setelah hari pelantikan Melvin, ini adalah kali pertama dirinya diajak bertemu berdua lagi orang Arthur Wiratmaja. Melvin yakin bahwasanya pertemuan ini hanya untuk membahas urusan kantor. Namun, Melvin sendiri sudah berniat untuk memberitahu apa yang ditemukannya di kamar Lea, tidak peduli bagaimana respon ayahnya nanti. Berhubung hari ini weekend, maka Arthur mengajak Melvin untuk bermain tennis, sekaligus sarapan bersama. Melvin sendiri tidak banyak protes dan menurut saja untuk datang di tempat dan waktu yang telah ditentukan. Biasanya, jika sama-sama sedang memiliki waktu luang, Melvin dan Arthur memang kerap berolahraga bersama, contohnya bermain tennis karena memang olahraga itu merupakan olahraga favoritnya Arthur. Melvin hanya mengimbangi ayahnya saja. Di lapangan tennis milik keluarga mereka sendiri itu, Melvin jadi yang kedua sampai. Untuk urusan tepat waktu, Arthur Wiratmaja memang masih belum ada tandingannya. Dan sesuai janji, hanya ada Arthur sendirian di sana. Melvin agak terkesan karena ayahnya bisa pergi sendiri tanpa ada ibunya mengekori. Padahal, jika pasangan ayah dan anak itu menghabiskan waktu berduaan, Mayana yang tidak mau kalah akan mengaja Abby untuk pergi berdua juga. Namun, sekarang Abby sudah kembali ke Melbourne. Karena itu Melvin agak takjub ibunya mau ditinggal dan tidak ingin merecoki quality time ayah dan anak itu. "Tumben Mami nggak maksa ikut," celetuk Melvin begitu ia sudah berhadapan dengan Arthur. "Lagi ada acara tea party sama teman-temannya pagi ini." "Oh, pantesan." "Papi dengar Lea lagi business trip ke Singapore?" "Iya." "Berapa lama?" "Lima hari katanya." "Oh, oke." Melvin mengangguk saja, tidak ingin bicara banyak dulu tentang Lea, karena memang belum saatnya. Tanpa banyak bicara lagi, Melvin dan Arthur langsung memulai permainan mereka. Biasanya memang seperti itu, mereka bermain dulu, baru nanti mengobrol setelah permainan mereka selesai. Pagi ini, keduanya bermain lima set sekaligus. Tiga set berhasil dimenangkan oleh Melvin, sementara duanya lagi dimenangkan oleh Arthur dengan selisih poin yang tidak terlalu jauh. Jadi, pagi ini Melvin menang. Hal yang sebetulnya tidak sering terjadi karena ia tahu betul betapa jagonya sang ayah bermain tennis. Sementara Melvin sendiri lebih senang bermain golf. Setelah permainan selesai, mereka pergi menuju meja dan kursi yang didekat lapangan yang kini sudah ditata rapi dengan sarapan untuk mereka. Pada lapangan tennis ini memang sengaja disediakan ruangan outdoor yang diperuntukkan bagi mereka untuk beristirahat maupun makan-makan seperti sekarang. Dan selalu ada pekerja yang berjaga untuk menyiapkan semuanya kapanpun mereka butuh. Melvin dan Arthur duduk berhadapan di sana. Keduanya sama-sama menenggak air minum lebih dulu karena lelah setelah bermain tennis tadi. Lalu, Arthur kembali membuka pembicaraan di antara mereka. "Gimana keadaan kantor? Baik?" Melvin menganggukkan kepala. "Of course baik-baik aja, emangnya Papi bakal mikir ada apa? I can handle everything very well." Arthur terkekeh. "Ya, Papi tau. Karena emang seharusnya begitu. Nggak mungkin juga kamu nggak bisa apa-apa di saat Papi sudah menyiapkan kamu untuk ini semua dari dulu banget." "Right." "Terus, para karyawanmu gimana? Mereka bisa cepat beradaptasi dengan transisi kepemimpinan kamu?" "So far so good sih." "Glad to hear that then." Sejenak mereka menjeda obrolan mereka dulu karena sama-sama mengambil roti isi tuna yang ada di atas meja dan memakannya. Setelah permainan tadi, perut keduanya tentu saja sama-sama lapar. Sesuai dengan etika yang selalu ditanamkan dalam keluarga Wiratmaja, tidak ada yang bicara sama sekali jika sedang mengunyah makanan. Ayah dan anak itu pun fokus pada makanan masing-masing, lalu beberapa kali menyesal kopi yang ada di gelas mereka. Melvin belum juga selesai meminum kopinya ketika Arthur bertanya lagi. Dan pertanyaannya cukup mengejutkan. "Sejauh ini, apa kamu merasa ada yang memusuhi kamu atau perusahaan kita?" Alis Melvin bertaut. "Maksudnya?" Arthur mengedikkan bahu. "Ya, Papi mau tau aja, apa akhir-akhir ini kamu ngerasa ada yang ngemusuhin kamu atau enggak? Atau ada yang mau menjatuhkan perusahaan kita gitu? Karena biasanya, di saat perusahaan baru saja ganti pemimpin, suka ada yang usil." "Papi mau aku jawab jujur nggak?" "Kenapa juga Papi mau kamu jawab bohong?" "Oke, aku akan bilang jujur. But you have to believe in me," ujar Melvin. Ia menatap Arthur serius. "Aku justru ngerasa yang mau usil atau jahatin aku itu keluarga Sadajiwa, bahkan si Lea, istriku sendiri." Napas Arthur terhela panjang usai Melvin mengatakan itu. Dari raut wajahnya, ia terlihat lelah karena lagi-lagi, harus menghadapi percakapan sejenis ini dengan putranya sendiri. "Sampai kapan sih kamu mau berpikir buruk terus tentang keluarga Sadajiwa?" "Sampai aku dapat bukti kalau mereka memang nggak punya tujuan buruk ke kita." "Melvin, harus berapa kali Papi bilang kalau mereka sama sekali nggak punya intensi buruk ke kita? Kenapa susah banget bagi kamu untuk percaya itu." Melvin terkekeh mengejek. "Papi bisa bilang begitu karena Papi nggak tau apa yang aku tau." "Papi rasa itu nggak penting. Apapun yang mau kamu bilang, nggak akan mengubah penilaian Papi tentang mereka." Oh, jelas bohong sekali jika Melvin bilang ia tidak kesal mendengar penuturan itu. Bahkan, bukan lagi kesal, yang dirasakan oleh Melvin pun dapat dikategorikan sebagai marah karena sikap sang ayah yang terlihat sekali seolah ingin menutup mata. Karena itu, Melvin tidak akan tinggal diam lagi. "Papi tau nggak? Aku sama sekali nggak nyaman waktu tinggal di rumah mereka. They're super weird. Mereka nyuruh aku ini-itu, bahkan nyuruh aku ngelakuin olahraga yang berhubungan dengan senjata," ungkap Melvin. "Terus Papi tau nggak? Lea itu sering pergi dan pulang malem, Pi! Entah ngapain. Dan satu hal lagi yang perlu Papi tau, aku ketemu satu koper besar yang isinya pisau dan senjata api di kamarnya Lea! Gimana bisa aku nggak mikir tinggal sama orang nggak baik di saat Lea aja begitu?" Arthur geleng-geleng kepala. "Emangnya kamu sendiri udah tanya apa tujuan mereka begitu? Terlebih lagi Lea itu istri kamu loh, kenapa justru kamu diemin aja dia pulang dan pergi malam? Terus, kalian pisah kamar?" "That's not the point, Papi. Poinnya adalah, aku ngerasa kalau Lea dan keluarganya nggak baik, dan sekarang aku sama sekali ngerasa nggak aman tinggal serumah sama Lea. Pilihan Papi untuk nikahin aku sama dia tuh udah salah banget." "Melvin-" "Aku serius, Pi!" Melvin memotong ucapan Arthur. "Dan aku juga udah tau kalau ada alasan di balik Papi mempercepat pelantikan aku. Orang-orang bilang, itu semua karena Papi lagi parnoan akan sesuatu. Why? Apa yang bikin Papi ngerasa begitu? Kenapa aku ngerasa kalau ini semua ada hubungannya sama keluarga Sadajiwa ya?" Dari cara Arthur yang tidak langsung menjawab, Melvin pun tahu jika sebagian tebakannya benar. Karena kalau ia mengatakan hal yang salah, sang ayah pasti akan langsung menyangkal. "Aku nggak maksa Papi untuk jawab sih, karena aku tau Papi pasti nggak akan buka mulut kalau emang Papi nggak mau. Tapi, kalau emang Papi ngerasa parno, atau memang Papi ada suatu masalah yang berhubungan sama keluarga Sadajiwa, aku nggak paham kenapa Papi masih bisa belain mereka sekarang. Are you blind, tho?" Akhirnya, Arthur hanya bisa menghela napas lagi. "Kamu nggak tau apa-apa." Melvin sungguh muak dengan jawaban itu. Selalu saja, jawaban semacam itu yang diberikan padanya. Jawaban yang sungguh tidak jelas. "Kalau memang aku nggak tau apa-apa, kasih tau aku dong, Pi! Apa masalahnya? Kasih tau aku!" "Belum saatnya kamu tau karena semuanya belum pasti," ujar Arthur serius. "Dan satu hal lagi, keluarga Sadajiwa nggak ada salah sama kita. Mereka juga nggak ada niatan jahat sama kita. Justru...kita berhutang banyak sama mereka. Jadi sebaiknya kamu berhenti bersikap begini, dan jangan pernah menuduh Lea yang enggak-enggak lagi." That's it. Melvin betulan sudah muak, hingga rasanya ia sudah tidak sanggup lagi berada di sana untuk berhadapan dengan sang ayah. Oh, tidak hanya muak, tapi Melvin juga sangat marah sekarang. Melvin berdiri dari duduknya, ia memandang Arthur penuh kekecewaan. "I can't believe you're my father. Bisa-bisanya nggak mau percaya sama anak sendiri," gumamnya. Lalu, tanpa bilang apa-apa lagi, Melvin pergi dari sana. Mengakhiri permainan tennis mereka hari ini dengan sebuah akhir yang tidak begitu baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD