54. Berhenti

1700 Words
Ada gejolak amarah yang begitu besar ketika Melvin melihat Darel dalam kondisi babak belur seperti itu, serta tulisan yang ada di belakangnya. Sang pelaku sepertinya sengaja menculik Darel hanya untuk memberi terror lain untuk Melvin. Dan di saat sebelumnya Melvin merasa takut setiap kali sebuah terror terjadi, kali ini tidak ada ketakutan sama sekali yang dirasakannya, melainkan hanya amarah. Melvin marah karena hal seperti ini harus terjadi padanya, marah karena apa yang telah mereka lakukan pada Darel, serta marah karena sang pelaku yang ingin menghancurkan keluarganya. Apa sebenarnya salah keluarga Wiratmaja sehingga sang pelaku ingin mereka mati? Ada baiknya jika pelaku itu bicara langsung di depan Melvin dan menyampaikan apa yang diinginkannya. Jika sang pelaku ingin uang, berapa pun yang dia mau, Melvin bisa memberikannya. Atau jika ada masalah lain, Melvin akan berusaha untuk menyelesaikannya. Apa pun itu, asal bukan dengan cara seperti ini. Di saat Melvin masih mematung menahan gejolak amarahnya karena tulisan yang ada di dinding reyot nan kumuh itu, Tristan dan para anggota Kahraman yang lain bergerak cepat untuk memeriksa kondisi Darel. Tristan bahkan hampir menangis karena berpikir kakaknya sudah mati. Syukurnya, Darel masih hidup, meski Tristan bilang napas sang kakak sudah tidak teratur lagi. Mereka pun mengeluarkan Tristan dari bangunan itu dan cepat-cepat membawanya ke rumah sakit. Darel sangat membutuhkan pertolongan medis sebelum sesuatu yang lebih buruk lagi terjadi padanya. Melvin tertinggal di sana belakangan bersama dengan Selatan dan beberapa anggota Kahraman lain yang masih sibuk berjaga-jaga di sekitar bangunan itu. "Kayaknya mereka sengaja ninggalin Darel di sana supaya lo bisa liat." Selatan berujar pada Melvin setelah Darel dibawa pergi dari sana. Sementara itu, Melvin masih memandangi tulisan merah tersebut dengan penuh dendam. "Gue nggak bodoh dan gue bisa ngerti itu," balas Melvin. "Apa kalian nggak berhasil ketemu mobil yang bawa Darel kemarin? Nggak berhasil menemukan salah satu pelakunya?" "Kita semua udah berpencar di sini, bahkan sampai ada yang naik ke gunung sampah sana, lo tau? Tapi nggak ada satu pun dari mereka yang ketemu, bahkan mobilnya sekali pun. Entah karena mereka sudah pergi dari sini lewat jalan yang nggak adanCCTV atau karena mereka bisa menyembunyikan mobil itu dengan sangat baik." Melvin tertawa sinis. "Atau mungkin karena kinerja kalian yang nggak becus?" "Excuse me?" Tentu saja Selatan tidak terima dibilang begitu. "Lo tau nggak musuh lo itu punya siapa? Noir! Lo pikir mereka bodoh apa? Semua orang yang tahu tentang shadow business di negara ini pasti juga tahu kalau Noir itu paling ditakuti. Andai mereka cuma organisasi ecek-ecek, gue sama yang lain udah maju duluan buat datengin markas Noir dan konfrontasi mereka secara langsung untuk berhenti ngelakuin terror ke keluarga lo! Tapi nggak bisa! Karena kalau kami ngelakuin itu, sama aja kayak Kahraman menyatakan perang ke Noir, dan itu bukan hal yang bagus. Sekarang, baik Kahraman mau pun Noir hanya menjalankan pekerjaan mereka masing-masing." Penjelasan panjang Selatan itu membuat Melvin merapatkan bibir. Ia sebenarnya sudah tahu mengapa Kahraman tidak bisa langsung mengonfrontasi Noir secara langsung meski pun tahu bahwa Noir lah yang telah membantu sang pelaku untuk melakukan terror demi terror terhadap keluarga Melvin. Lea pernah menjelaskannya satu kali pada Melvin. Namun, untuk sekarang Melvin tidak ingin menutup sebelah mata, dan berpikir bahwa ia tidak mengetahui apa pun tentang itu. "Gue bukan anggota Kahraman, jadi nggak ada salahnya kan kalau gue mengonfrontasi Noir langsung ke tuannya? Gue udah terlalu muak sama ini semua." "Maksud lo apa?" "Gue mau ketemu Brian Wangsa." "What the f**k? Are you out of your mind? Sama aja lo mau bunuh diri!" Melvin tidak merespon itu dan hanya berjalan cepat melewati Selatan untuk keluar dari bangunan itu. Selatan pun menyusul Melvin, mencoba untuk menepuk bahu laki-laki itu untuk berhenti berjalan. Namun, Melvin tidak berhenti sama sekali dan semakin mempercepat langkahnya. Begitu kembali ke tempat dimana mobil mereka terparkir, satu mini bus Kahraman sudah pergi, begitu pun dengan Tristan, Darel, dan beberapa anggota Kahraman. Mereka sudah pergi membawa Darel ke rumah sakit terdekat. Sementara itu, supir Melvin sedang merokok di depan mobil ketika mereka datang. Ia pun langsung mematikan rokoknya ketika Melvin kembali dan sudah siap untuk menjalankan tugasnya lagi. Namun, ketika sang supir hendak kembali masuk ke dalam mobil, Melvin justru menahannya dan mengulurkan telapak tangannya yang terbuka. "Kunci mobil," katanya. "Buat apa, Pak?" "Saya mau nyetir sendiri. Kamu pulang sama mereka." Melvin mengedikkan dagu pada mobil mini bus yang ada di depan mereka. Sang supir terlihat ragu, tapi tatapan mengintimidasi Melvin membuatnya mau tidak mau memberikan kunci mobil itu. Selatan menahan Melvin sebelum dia masuk mobil. "Lo jangan gila," katanya. "Lo nggak boleh pergi kemana-mana tanpa pengawasan." Dengan mudah, Melvin melepas cekalan Selatan di bahunya, lalu ia menodongkan pistol dari sakunya pada Selatan. Setelah mengalami banyak terror belakangan ini, Melvin memang diam-diam selalu membawa pistol pemberian Hermadi Sadajiwa di sakunya. Bahkan, Lea pun tidak tahu soal itu. Selatan yang sedang tidak memegang senjata apa pun langsung mengangkat kedua tangannya, sementara supirnya memilih melangkah mundur dengan takut. Para anggota Kahraman yang lain pun bersikap siaga melihat Melvin menodongkan pistol pada Selatan. Mereka bisa saja melakukan hal yang sama terhadap Melvin, tapi tahu kalau mereka tidak bisa melakukan itu. Sebab keselamatan Melvin adalah prioritas nomor satu. "Kalian semua stay di sini dan cari pelaku yang udah nyakitin Darel sampai dapat. Jangan ada yang ngikutin gue." "SERIOUSLY?! LO GILA YA?!" Teriak Selatan marah. Ketika Selatan mengambil satu langkah mendekat, Melin menembak ke tanah, persis di dekat kakinya. Membuat Selatan akhirnya memilih untuk tidak berkutik, karena Melvin yang tidak segan-segan untuk melayangkan tembakan itu. Sambil masih terus menodongkan pistolnya, Melvin berjalan mundur hingga ia masuk ke dalam mobil. Bahkan ketika sudah di dalam pun, ia membuka kaca mobilnya lebar-lebar dan masih menodongkan pistol itu pada Selatan, sehingga ia pun menyetir dengan satu tangan. "Jangan ada yang ngikutin gue," tegas Melvin sekali lagi, sebelum dirinya melajukan mobil meninggalkan Selatan dan para anggota Kahraman yang mengumpati kepergiannya. *** Melvin tahu bahwa keputusannya untuk mendatangi Brian Wangsa sangat lah gila. Seperti kata Selatan, apa yang akan dilakukannya ini bisa saja menjadi tindakan bunuh diri. Jika Noir saja bisa seberbahaya itu, Brian Wangsa selaku pemimpinnya pasti lebih berbahaya lagi, kan? Tapi, Melvin tidak peduli. Ia sudah terlalu muak dan ingin ini semua berhenti. Ia ingin bicara pada Brian untuk berhenti menolong siapa pun itu yang sudah menggunakna jasa Noir untuk menerror keluarganya. Bahkan, Melvin pun akan menyanggupi mengganti berapa pun nominal yang telah dibayarkan sang pelaku kepadanya. Apa pun itu, agar Brian Wangsa menghentikan semua tindakan Noir. Melvin menyetir seperti orang kesetanan. Jarak yang harus ditempuhnya dari Bantar Gebang menuju kediaman keluarga Wangsa yang diketahuinya tentu saja tidak bisa dibilang dekat, namun Melvin menyetir secepat yang dia bisa, bahkan hingga dirinya beberapa kali diklakson dan diumpat oleh orang-orang di jalan karena telah menyetir dengan sangat ugal-ugalan. Ia tidak tahu apakah di belakang para anggota Kahraman mengikutinya atau tidak. Melvin hanya fokus ke depan sehingga ia tidak sempat untuk melihat ke belakang lagi. Ponselnya pun beberapa kali berdering karena Lea meneleponnya. Melvin bisa menebak kalau Lea menghubunginya karena tahu dari Selatan apa yang akan dilakukannya sekarang. Karena itu, Melvin memilih untuk mengabaikan semua telepon tersebut. Lea mungkin akan sangat marah padanya setelah ini, tapi Melvin mencoba untuk tidak memedulikan itu sekarang. Amarah sudah terlanjur menguasainya, sehingga yang ingin dilakukannya  sekarang hanya lah bertemu dengan Brian Wangsa, dan mengonfrontasi pria itu langsung di depan wajahnya, dan membayar pria itu untuk mengetahui siapa dalang di balik ini semua. Perjalanan Melvin sendiri bisa dibilang lancar tanpa ada hambatan apa pun, hingga ia sudah hampir sampai di kompleks perumahan elit tempat Brian Wangsa tinggal, tiba-tiba saja sebuah mobil menghadang mobilnya, hingga mau tidak mau Melvin ngerem mendadak. Sumpah serapah pun keluar dari bibir Melvin, dan ia baru berhenti mengumpat begitu dilihatnya Lea keluar dari mobil itu, dan terlihat marah. Perempuan itu pun berjalan mendekati mobil Melvin, berhenti persis di depan pintu mobil pengemudi, lalu mengetuk-ngetuk jendela dengan keras agar Melvin mau membukanya. "I know you're mad with me, tapi tolong minggir dulu karena aku perlu ngelakuin sesuatu. Setelahnya, baru kita ngobrol." Lea tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri. "Aku nggak akan kemana-mana," katanya. "Aku nggak akan pernah ngebiarin kamu pergi nemuin Brian Wangsa." "Lea, aku nggak mau ribut sama kamu sekarang." "Siapa juga yang mau ngajak kamu ribut? I'm here to protect you! Semua ini bisa jadi cuma jebakan Brian supaya kamu datengin dia. Kalau sampai menginjakkan kaki ke sana, kamu bakal jadi sasaran empuknya!" "Trust me, I can't handle him well." "No, you can't. So, please stop." Melvin membuang napas dan memilih melengos dari istrinya itu. "Sorry." Usai menggumamkan itu, Melvin memundurkan mobilnya sehingga membuat Lea menyerukan namanya. Namun, Melvin memilih untuk menulikan pendengarannya dan bersiap untuk kembali pergi menuju kediaman Brian Wangsa. Hanya saja, Melvin yang hampir tancap gas pun tiba-tiba berhenti begitu mendengar apa yang diserukan Lea padanya. "Kalau kamu lanjut pergi ke rumah Brian Wangsa, aku nggak akan pernah berhenti dari Kahraman! Kamu tau apa artinya itu, kan?" Fuck. Tentu Melvin tahu apa artinya itu. Mau tidak mau, ia pun kembali menghentikan mobilnya. "Please, Lea...jangan begini." Lea tidak peduli dan ia menatap Melvin tegas, menunjukkan bahwa ia sangat serius dengan perkataannya. "Sekarang kamu pilih, kalau kamu tetap mau ke rumah Brian, aku betulan bakal ngelakuin apa yang aku bilang tadi. Tapi, kalau kamu nurutin omongan aku, sekarang juga aku keluar dari Kahraman. It's all up to you, kamu maunya kita gimana," ujar Lea lagi dengan memberi sedikit penekanan ketika menyebutkan 'kita'. Salah kah jika Melvin menduga bahwa alasan Lea belum menjawab permintaannya waktu itu agar ia bisa memainkan kartu tersebut di saat seperti ini? Sebab Lea tahu bahwa pilihan itu bisa membuat Melvin goyah. Dan Melvin juga tahu betapa seriusnya Lea dengan perkataannya. Rasa marahnya terhadap Brian Wangsa pun berangsur berkurang karena ucapan Lea itu. Sementara tatapan Lea jadi melunak ketika ia berjalan mendekati Melvin lagi. "Aku sebenarnya nggak mau jadi annoying dengan ngasih kamu pilihan begini, tapi aku cuma mau ngelindungin kamu, Melvin. Percaya sama aku, terlalu bahaya kalau kamu mau ke sana sendirian. Apa kamu pikir Brian Wangsa bisa dengan mudah berpaling dari kliennya? That's not how it works." Akhirnya, Melvin hanya bisa menunduk dan menyadarkan kepalanya pada roda kemudi. Sudah jelas, apa yang Melvin pilih dari dua pilihan yang diberikan oleh Lea tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD