55. Sealing Kiss

2041 Words
Masih tersisa sedikit kewarasan pada diri Melvin untuk tidak mengikuti amarahnya dengan meneruskan perjalanan ke rumah Brian Wangsa. It's not worth it, jika sebagai gantinya Melvin harus merelakan pernikahannya dan Lea jadi berakhir. Hubungannya dengan Lea memang belum sampai ke tahap mereka memiliki perasaan satu sama lain, namun Melvin serius dengan kata-katanya waktu itu. He wants her to stay as his wife. Sebab Lea adalah pilihan ayahnya, sehingga Melvin ingin menjaga pernikahan mereka sebagai tribute untuk beliau. Jadi, sudah bisa ditebak, Melvin lebih memilih Lea berhenti dari Kahraman dan tetap menjadi istrinya, dibanding melanjutkan perjalanan menemui Brian Wangsa yang akan membuat Lea bukan hanya tidak akan berhenti dari Kahraman, tapi juga akan membuatnya berhenti jadi istri Melvin. "Fine. Aku nggak akan ke sana." Melvin akhirnya berujar begitu pada Lea setelah dirinya merasa cukup tenang. Lea pun menyunggingkan senyum kepada sang suami. "Thank you," ujarnya. Lalu, Lea hendak masuk ke dalam mobil Melvin, tidak ingin membiarkan Melvin sendirian dulu karena takut jika Melvin ingkar dengan perkataannya dan kembali melanjutkan perjalannya menuju tempat tinggal Brian Wangsa. Hanya saja, Melvin tidak membukakan pintu mobil untuk Lea. Ketika Lea memberinya isyarat untuk membuka pintu mobil pun, Melvin menggelengkan kepala. "Lebih baik kamu nggak naik mobil ini, kayaknya aku bau sampah." Sesaat Lea bingung dan berpikir jika Melvin hanya sarkastik saja dengan bicara begitu, lalu dia ingat bahwa Melvin baru saja kembali dari Bantar Gebang. Ia pun tidak bisa menahan kekehannya. "It's okay," ujarnya. "Istri yang baik harus terima suaminya mau dia bau sampah sekali pun, kan?" "It's not appropriate. Jadi, lebih baik kamu jangan ada di dekat aku dulu, setidaknya sampai aku udah mandi." Lea menggelengkan kepala, tidak setuju dengan gagasan itu. "Buka pintunya, aku mau naik mobil kamu. Lagi pula, aku juga udah pernah kok ke Bantar Gebang." Melvin menghembuskan napas dan akhirnya membukakan kunci mobilnya agar Lea bisa membuka pintunya dan masuk. Namun, sebelum Lea sempat masuk ke dalam mobilnya, ia terdistraksi oleh sebuah mobil yang baru saja berhenti di belakang mobilnya Melvin. Lewat kaca spion mobilnya, Melvin ikut melihat mobil itu yang ternyata adalah mini bus milik Kahraman. Tidak lama kemudian, Selatan muncul dari pintu penumpang depan dan terlihat begitu marah. Ia langsung menghampiri Melvin, dan tanpa berpikir dua kali, lewat kaca mobil Melvin yang terbuka lebar, laki-laki itu menarik kerah baju Melvin. "Atan! Kamu ngapain?!" Lea yang sudah berada di sisi pintu penumpang bagian depan mobil pun kembali mendekati sisi tempat duduk Melvin, menghampiri Selatan yang marah. Sementara itu, Melvin tetap tenang dan dengan berani menatap sepasang mata Selatan yang berkilat marah. Selatan menuding Melvin dan berujar dengan penuh emosi, "Sekali lagi lo nodongin senjata ke gue, gue nggak akan segan untuk balas melakukan hal yang sama. Ingat itu." Lea menarik Selatan agar ia melepaskan cengkeramannya dari kerah Melvin. Letta yang sedari tadi hanya diam di mobil depan pun sampai keluar karena melihat Selatan yang datang dan langsung marah-marah. "Aku awalnya nggak mau ikut campur, tapi kalian kenapa?" Tanya Letta. Selatan yang sudah melepaskan cengkeramannya dari Melvin pun mendengus keras. "Mending tanya langsung aja sama adik ipar kamu." Selatan menjawab pertanyaan Letta itu. Lalu, ia beralih pada Lea. "Dan suruh suami kamu untuk berhenti gegabah dan jadi beban. He's such an asshole." Setelah mengatakan itu, sekali lagi Selatan memberi Melvin tatapan tidak suka, lalu ia berbalik untuk berjalan kembali ke mobilnya. "Selatan." Baru dua langkah berjalan, Selatan kembali menoleh karena Melvin memanggilnya. "Tepat hari ini, Lea mau resign dari Kahraman. Lo urus itu." Lea menghela napas karena cara Melvin menyampaikan kabar ini. Di saat Letta tidak terlihat terkejut sama sekali dengan perkataan Melvin itu, Selatan justru kebalikannya. Ia sontak menatap Lea tidak percaya. Melvin tahu bahwa dari tatapan yang ditujukan Selatan pada Lea itu, tidak hanya menunjukkan bahwa dirinya marah, tapi juga kecewa, sekaligus terluka. *** Darel sudah dibawa ke rumah sakit dan menerima perawatan di sana. Dari kabar yang diberikan oleh Tristan, tidak ada luka dalam yang dialami oleh Darel, meski kepalanya cedera cukup parah akibat pukulan benda tumpul, dan hidungnya patah. Kondisi Darel pun masih sangat lemah sehingga ia belum bisa dimintai keterangan apa-apa. Sementara itu, Tristan belum memberitahu orang tuanya mengenai kondisi Darel yang babak belur. Ia pun sudah sepakat dengan Melvin untuk tidak langsung memberitahu mereka, karena takut mereka terkejut dan nantinya berujung memengaruhi kesehatan mereka. Om dan tante Melvin itu memang memiliki riwayat penyakit jantung dan hipertensi. Karena itu, akan lebih baik jika mereka tidak mengalami stress, agar kondisi kesehatan mereka juga tidak menurun. Keduanya pun hanya diberitahu jika Darel sudah ketemu dan baik-baik saja. Ia sulit dihubungi karena ponselnya rusak, sementara Darel sibuk berpesta dengan para teman perempuannya sampai mabuk berat seperti biasa. Dengan sangat terpaksa, mereka harus berbohong seperti itu, setidaknya sampai kondisi Darel jadi sedikit lebih baik.  Setelah tindakan gegabahnya yang menimbulkan sedikit keributan antara dirinya dan Selatan, Melvin dan Lea memilih untuk pulang ke rumah terlebih dahulu sebelum menjenguk Darel yang ada di rumah sakit. Melvin pun sudah mengabari Tristan tentang itu dan beralasan bahwa ada sesuatu yang perlu dikerjakannya terlebih dahulu. Dalam perjalanan pulang, Lea ikut dengan mobil Melvin, dan mobil mereka kembali disetir oleh supir. Mereka juga kembali diikuti oleh anggota Kahraman yang bertugas untuk melindungi mereka. Sementara itu, Selatan ikut ke mobil Letta, dan pergi entah kemana. Begitu tahu Lea akan keluar dari Kahraman, Selatan nampak begitu shock, dan Letta pun menarik laki-laki itu untuk ikut masuk ke dalam mobilnya. Mungkin, Letta ingin mengajak Selatan bicara soal itu. Sesampainya di rumah, yang pertama kali dilakukan oleh Melvin adalah mandi. Setelah amarah yang sempat dirasakannya itu luruh, entah sugesti atau kenyataan, Melvin merasa jika dirinya sangat bau sampah dari Bantar Gebang. Karena itu, yang sangat ingin dilakukannya adalah membersihkan diri. Menyikat setiap jengkal dari tubuhnya, dan bersabun lebih dari satu kali, untuk menghilangkan sepenuhnya bayang-bayang bau dari Bantar Gebang. Begitu keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan bathrobe yang melekat di tubuh, wangi sabun Melvin dari pintu kamar mandi yang terbuka langsung menguar ke sepenjuru kamar. Membuat Lea yang duduk di tepi kasur di kamar itu pun langsung menoleh ketika Melvin keluar. Selama ini, Lea tidak pernah benar-benar memerhatikan bagaimana penampilan Melvin ketika dia baru selesai mandi. Dan di saat sekarang Lea sedang sedikit memerhatikan, Lea harus mengakui, her husband is hot. "Udah nggak bau sampah lagi?" Ledek Lea ketika Melvin sudah sepenuhnya keluar dari kamar mandi, dan kini tengah sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Melvin tidak langsung menjawab dan memilih untuk berjalan mendekati Lea. Ia baru berhenti ketika sudah berada tepat di depan perempuan itu. "Menurut kamu gimana? Masih bau nggak?" Tanya Melvin serius. Tanpa perlu memajukan tubuhnya untuk lebih mendekat lagi, Lea sudah bisa mencium betapa wanginya Melvin sekarang. Jadi, tentu saja, Melvin sudah tidak bau lagi. Bahkan, Lea rasa memang sedari awal Melvin tidak bau sampah. Itu hanya sugestinya saja. Lea pun menggelengkan kepala. "Smells good already." Melvin mengangguk, lantas melangkah menuju walk in closet di kamar ini sehingga ia menghilang sepenuhnya dari pandangan Lea. Begitu Melvin kembali beberapa menit kemudian, laki-laki itu sudah berpakaian lengkap, meski rambutnya masih basah dan jatuh menutupi keningnya. Membuat penampilan Melvin jadi lebih santai. Ia pun tidak lagi berpakaian seformal sebelumnya, namun tetap rapi karena sebentar lagi mereka akan pergi ke rumah sakit untuk membesuk Darel. Melvin duduk di sebelah Lea. Setelah kejadian tadi, mereka perlu bicara. "Jadi...kamu serius kan sama omongan kamu tadi? Berhenti dari Kahraman mulai hari ini?" Melvin lah yang memulai pembicaraan mereka. Sebagai balasan, Lea menganggukkan kepala. "Aku nggak pernah ingkar sama omonganku sendiri. Jadi yah, aku bakal berhenti dari Kahraman sebagai ganti dari kamu yang nggak jadi pergi nemuin Brian Wangsa." "Dengan jawaban kamu itu, berarti kita sekarang udah officially husband and wife for real? Nggak ada open marriage lagi, nggak ada pisah kamar lagi, dan nggak ada rahasia-rahasia lagi. Right?" Lea kembali menganggukkan kepala, membenarkan pertanyaan Melvin itu. Dengan setuju untuk berhenti dari Kahraman, maka Lea juga setuju untuk menjadi istri Melvin sepenuhnya. Perubahan besar dalam dinamika hubungan mereka tentunya akan semakin bertambah karena ini, contohnya tiga hal yang Melvin sebutkan tadi. Karena alasan itu lah, Lea tidak bisa langsung mengiakan permintaan Melvin waktu itu. Di saat Melvin yakin untuk melanjutkan pernikahannya dan ingin menjadikan pernikahan ini 'nyata' begitu tahu kejadian yang sebenarnya dan ia ingin menghormati keputusan ayahnya, Lea masih perlu berpikir lagi tentang ini. Sebab masalahnya bukan hanya ia harus berhenti dari Kahraman, tapi harus menghabiskan seumur hidupnya sebagai istri Melvin. Dan sekarang, Lea sudah menyetujui itu. Ia tidak bisa mundur lagi. Alasannya simpel saja, ia sudah terlanjur tercebur dalam situasi ini. Dan tadi, satu-satunya yang terpikirkan oleh Lea untuk menghentikan Melvin menemui Brian Wangsa hanya itu. Lagi pula, ia tahu jika cepat atau lambat harus memberikan jawaban atas permintaan Melvin tempo hari. Dan tadi adalah waktu yang tepat.  "Sebagai istri kamu, aku nggak mau lagi kamu bertindak gegabah kayak tadi. Kabur dari Selatan dan yang lain, nodongin senjata ke mereka, dan mau nemuin Brian Wangsa? Itu gila namanya. Kamu sendiri yang mau kita menjalani pernikahan ini secara betulan, jadi tolong jangan bikin aku terlalu cepat jadi janda. Oke, Melvin baby?" Melvin menganggukkan kepala. "Oke, aku usahain nggak akan begitu lagi." "Wow, that's fast. Aku pikir kamu mau menyangkal dengan berbagai alasan supaya masih bisa ngelakuin tindakan kayak tadi." "Karena sekarang kesepakatan kita udah berubah dan kita udah jadi suami-istri betulan, apa yang kamu mau harus aku pertimbangin, kan?" "How sweet." Ledek Lea, tapi kemudian ia bicara dengan serius lagi. "Wajar kalau Selatan marah banget sama kamu yang bisa-bisanya mau datengin Brian. Aku juga kesal tau kamu begitu, karena itu bahaya banget. You don't know what he's capable of doing. Noir itu selalu setia sama klien mereka dan nggak akan berpaling ke orang yang jadi musuh klien mereka. Mau dibayar lebih besar pun, loyalitas mereka nggak akan goyah. Itu prinsip yang selalu mereka pegang dari dulu. The only good thing about them. Jadi, kalau kamu nemuin Brian dan masuk ke kandangnya dia, yang ada kamu yang abis." Melvin membuang napas. "Aku terlalu emosi karena liat kondisi Darel tadi. Dan kalau kamu belum tau, pelakunya juga ngirim terror tulisan kalau keluarga Wiratmaja harus mati." Lea mengusap punggung Melvin untuk menenangkan suaminya itu yang sepertinya mulai emosi lagi. "Aku tau, tapi kamu tetap harus bisa berpikir jernih. Tolong banget, setelah ini jangan gegabah lagi, terutama untuk sesuatu yang bisa membahayakan kamu." "Oke." "Promise me?" "Aku janji, tapi kamu juga harus janji hal yang sama. Jangan ngelakuin sesuatu yang bisa membahayakan diri kamu juga, dan jangan terlibat dengan pekerjaan Kahraman lagi." "Deal. Aku juga janji." "Should we seal the promise then?" "Okay." Konyolnya Lea, ia justru menunjukkan jari kelingkingnya pada Melvin, berpikir bahwa Melvin ingin menyegel janji mereka itu dengan sebuah pinky promise. Melihatnya membuat Melvin tertawa kecil. Lea cukup kaget karena melihat suaminya sendiri tertawa seperti itu. Sebab rasanya jarang sekali ia melihat Melvin tertawa begitu semenjak mereka menikah, terlebih lagi alasan tertawanya adalah Lea. Selama ini, kalau pun Melvin tertawa karenanya, itu karena tawa sinis atau tawa mengejek. "Pinky promise? Emangnya kita umur berapa? Lima tahun?" Lea justru lebih fokus pada tawa Melvin daripada pertanyaannya itu. "Kamu harus sering ketawa begitu, Melvin baby. You look thousand times more handsome when you do," ungkap Lea jujur. Keduanya saling berpandangan sekarang. Sebuah senyuman masih menggantung di bibir Melvin, sementara Lea hanya memandangi laki-laki itu dengan sepasang mata bulatnya yang terlihat jernih di bawah sinaran lampu kamar. "Let's seal the promise, shall we?" Lea baru sadar bahwa segel janji yang dimaksud oleh Melvin bukan lah pinky promise yang sebelumnya Lea pikirkan, setelah Melvin membisikkan itu dan merapatkan jarak di antara wajahnya. It's not a pinky promise, but something more than that. Lea tidak mengatakan apa-apa dan hanya diam ketika perlahan, jarak di antara mereka semakin terkikis. Lalu, satu tangan Melvin menangkup wajahnya, sebelum mempertemukan bibir mereka dalam sebuah ciuman, sebagai simbol untuk mengikat janji mereka tadi. Melvin ada benarnya, mereka bukan lagi bocah lima tahun, sehingga sebuah pinky promise tidak lagi cocok untuk mereka mengikat sebuah janji. Untuk dua orang yang baru saja sepakat untuk mempertahankan pernikahan yang semula mereka benci, dan kini menginginkan pernikahan itu jadi nyata, sebuah ciuman lebih tepat untuk mengikat janji tersebut. It's a sealing kiss. Dan lewat ciuman itu, mereka sadar jika tidak hanya janji saja yang terikat, tapi juga ada sesuatu yang baru saja dimulai.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD