35. Distraksi

1739 Words
Di dunia ini, Melvin paling benci yang namanya merasa berhutang atau merasa bersalah pada orang lain. Terutama lagi, jika rasa berhutang itu menyangkut hidupnya. Nyawa. Ketika sudah merasa seperti itu, kadang kala Melvin bisa tidak menjadi dirinya sendiri. Sehingga apa yang dirasakannya terhadap sesuatu pun bisa berubah secara drastis karena perasaan itu. It really haunts him, the way how she put her life in risk for him. Benar-benar menghantui Melvin hingga ia tidak bisa untuk tidak menyalahkan diri sendiri karena rasa bersalah itu. Melvin yang sebelumnya bersikap begitu dingin pada keluarga Sadajiwa pun, kini tidak sampai hati lagi untuk melakukannya. Katakan lah Melvin naif atau terlalu bodoh karena terlalu melonggarkan rasa waspadanya pada keluarga Sadajiwa karena masalah ini. Ia juga sebenarnya tidak mau begini, tapi mau bagaimana lagi? Melvin jelas tidak bisa jika harus bersikap buruk kepada orang yang telah menyelamatkan nyawanya. Andai Lea tidak melakukan itu, mungkin Melvin sudah menyusul ayahnya sekarang. Tewas secara tiba-tiba karena ulah seseorang yang entah siapa. Keluarga Sadajiwa tidak mengajak Melvin bicara sama sekali ketika mereka sampai. Semuanya hanya ikut duduk menunggu di bangku tunggu yang ada di depan ruang operasi dengan raut wajah khawatir bercampur tegang. Namun, Melvin bisa merasakan tatapan penuh kebencian yang ditujukan Ella padanya, serta Letta yang menatapnya dingin. Sementara sisanya menatap Melvin mereka tidak mau. Andai kata Lea meregang nyawa di meja operasi, Melvin tidak akan heran jika Ella yang akan maju pertama kali padanya, dan menembak Melvin dengan cara paling menyakitkan yang bisa terpikirkan olehnya. "Don't blame yourself too much, Melv." Melvin hanya diam ketika Abby bilang begitu padanya. Ia baru saja selesai membersihkan diri, berganti pakaian, dan luka-lukanya diobati. Abby terus memaksa Melvin untuk melakukan itu, sementara Melvin mulanya tidak ingin pergi sama sekali dari tempatnya di depan ruang operasi. Akhirnya, Melvin baru mau setelah ibunya datang, dan meminta Melvin untuk menuruti perkataan Abby. Luka di telapak tangan Melvin kini sudah ditangani, begitu pun dengan memar-memar lain yang ada di tubuhnya. Darah Lea sudah tidak ada lagi mengotori tangan dan wajahnya. Tapi, bukan berarti Melvin sudah melupakan sensasi hangatnya meski ia sudah membersihkan semua noda darah tersebut. "Aku tau gimana kamu paling benci merasa berhutang sama seseorang, tapi please...untuk yang satu ini jangan terlalu merasa begitu. You scared me, you know? Kamu nggak biasanya jadi begini." Melvin melirik Abby dan menghela napas dalam. "Abby, aku hutang nyawa sama Lea sekarang. Gimana bisa aku bersikap biasa aja?" "I know that. Tapi kamu juga jangan terlalu menyalahkan diri kamu sendiri. Bukan salah kamu. Ini salah orang yang mau nyakitin keluarga kita." "Tetap aja, Lea ada di meja operasi sekarang karena aku. She could be dead. Padahal, seharusnya aku yang mati hari ini." "Nggak akan ada yang mati hari ini," ujar Abby tegas. "Oh, siapa yang tau?" Setelahnya, Melvin beranjak meninggalkan Abby, ingin kembali menuju ruang operasi. Ia akan menunggu di sana sampai operasi Lea selesai dan memastikan bahwa Lea baik-baik saja. Abby hanya bisa berdecak saja karena lagi-lagi, sang kakak begitu sulit untuk dibujuk. Lalu, ia pun mengekorinya. Begitu Melvin kembali ke ruang operasi itu, sudah ada dua hal yang berbeda. Pertama, saudara-saudara Lea sudah tidak ada lagi, dan hanya menyisakan Hermadi Sadajiwa saja yang duduk di bangku tunggu depan ruang operasi tersebut. Lalu, Mayana juga tidak terlihat lagi di sana, padahal sebelum Melvin pergi mengikuti Abby, ia melihat ibunya bicara dengan Hermadi dan juga saudra-saudaranya Lea. Lalu, ada beberapa orang-orang dari The K Royal Security yang kembali, berdiri di sekitar Hermadi dan juga ruang operasi itu, mengawasi keadaan sekitar, sekaligus berjaga. Melvin tidak tahu harus merasa seperti apa melihat mereka semua. Masih ada sebersit keraguan yang ia rasakan untuk mereka, terlebih lagi dengan masih banyaknya teka-teki yang belum terpecahkan. Tapi, ia juga tidak bisa lagi meminta mereka untuk pergi menjauh dari pandangannya. Hermadi menoleh begitu sadar akan kehadiran Melvin dan Abby yang kembali. "Abby, Mami kalian sudah kembali ke kamar rawatnya, ditemani oleh Ella, Letta, dan Poppy. She wants you to be there as well," ujar Hermadi pada Abby. Kepala Abby pun terangguk mengerti. Ia paham jika Hermadi berkata begitu untuk mengusirnya secara halus. Sebab pria itu hanya ingin Melvin yang ada di sana sekarang, hendak membicarakan sesuatu yang tidak seharusnya didengar oleh orang lain. Setelah Abby pergi, Hermadi menepuk bangku kosong di sebelahnya, menyuruh Melvin yang semula masih berdiri, untuk duduk di sana. Tanpa mengatakan apa-apa, Melvin pun menurut dan duduk di sebelah ayah mertuanya. Sebelum Hermadi sempat mengatakan sesuatu, Melvin sudah mendahului dengan menyebutkan satu kata, "Maaf." Helaan panjang napas Hermadi terdengar. "Bukan salahmu, Melvin," ujarnya. "Sama sekali bukan salahmu." Rasanya Melvin muak sekali karena semua orang terus bicara begitu padanya. Dan di saat mereka semua berpikir begitu, Melvin sama sekali tidak bisa berpikiran yang sama. Di benaknya terus terpatri bahwa ia bersalah. Karenanya, Lea mempertaruhkan nyawa. Melvin berhutang nyawa dengan perempuan itu. Dan nyawa jelas bukan sesuatu yang main-main. Melvin pun hanya diam saja, duduk bersandar di dinding, dan menatap lurus pada pintu ruang operasi yang lampunya masih menyala, menandakan bahwa masih ada operasi yang tengah berlangsung di dalam. "Kami sudah berhasil menangkap orang yang menyerangmu dan Lea tadi, juga supir ojek yang mengantarkan terror untuk Abby, dan masih mengejar orang yang menjadi penyebab kecelakaan Mayana." Mendengar Hermadi bicara begitu, tentu saja Melvin langsung menoleh padanya. Hermadi masih terlihat tenang, sementara Melvin sendiri sulit untuk menggambarkan apa yang dirasakannya usai mendengar itu. Ia tidak tahu apakah harus percaya pada perkataan ayah mertuanya itu. Rasa bersalahnya memang membuat Melvin mengendurkan rasa was-wasnya terhadap keluarga Sadajiwa, namun bukan berarti ia juga akan percaya seratus persen pada apa yang dikatakan oleh Hermadi. Terlebih lagi, Melvin sama sekali belum mengatakan apapun padanya mengenai kecelakaan sang ibu, juga terror yang didapat oleh Abby. Dan rasa-rasanya, Lea pun baru tahu mengenai terror yang didapat Abby sebelum mereka mengalami kejadian itu. Melvin juga tidak menjelaskan lebih lanjut sehingga mustahil Lea sudah memberitahukan ayahnya tentang hal itu. "Aku taku, Melvin, sulit bagimu untuk percaya dengan kata-kataku. Dan mungkin, kamu justru akan semakin curiga karena aku bicara seperti ini," ujar Hermadi lagi. "Well, aku tidak akan memaksamu untuk percaya. Aku hanya mau bilang kalau aku tidak akan main-main dengan orang yang sudah macam-macam dengan keluargaku. Bukan hanya pada Lea, tapi juga padamu dan keluargamu, karena kini kalian juga sudah termasuk ke dalam bagian keluarga Sadajiwa." Melvin menggelengkan kepala. "I don't understand." "I know. Memang ada banyak hal yang perlu kamu tau supaya bisa mengerti." "Ini nggak masuk akal...gimana bisa orang-orang itu udah ditangkap? Padahal, Savero bilang kalau jejak mereka bahkan hampir nggak ada. Dan kalau memang mereka udah ditangkap...dimana mereka sekarang?" "Di tempat yang aman, kamu nggak perlu khawatir." Hanya itu yang diberikan oleh Hermadi, dan hal itu justru semakin membuat Melvin bingung, sekaligus sangsi untuk percaya. Hermadi pun menepuk-nepuk bahu sang menantu. "There's a lot to explain, Melvin. Untuk sekarang, di situasi kamu yang masih terguncang, kamu sama sekali belum siap untuk mendengarnya. Nanti, setelah keadaan membaik, aku akan menjelaskan semuanya padamu dan membuatmu percaya bahwa kami semua ada di pihakmu, bukan sebaliknya." Melvin hendak mengatakan bahwa ia siap untuk mendengarkan apapun itu penjelasan dari Hermadi saat ini juga, namun keduanya sama-sama terdistraksi ketika pintu ruang operasi tiba-tiba terbuka. Operasi Lea baru saja selesai. *** Dokter bilang, operasi Lea berjalan dengan lancar. Meski peluru itu menembus tubuhnya cukup dalam sehingga terjadi pendarahan yang cukup parah, namun syukurnya peluru tersebut tidak mengenai organ vital, sehingga dapat dipastikan bahwa Lea bisa sembuh. Melvin mungkin jadi yang paling lega mendengar penjelasan dari dokter itu. Meski rasa bersalah tetap masih ada, tapi setidaknya kemungkinan terburuk tidak terjadi, dan itu sangat melegakan. Begitu melihat Lea dibawa keluar dari ruang operasi dalam keadaan masih tidak sadarkan diri, Melvin langsung terdistraksi. Benar yang dikatakan oleh Hermadi, saat ini ia belum siap untuk mendengar apapun itu penjelasannya, sebab dirinya memang masih sangat terguncang dan pasti tidak akan bisa berpikir dengan jernih. Meski tidak tahu apa saja yang akan dijelaskan oleh Hermadi nantinya, namun Melvin perlu untuk tenang dan punya pikiran yang jernih agar ia pun bisa memutuska apakah penjelasan Hermadi nantinya dapat dipercaya atau tidak. Saudara-saudara Lea kembali muncul setelah Lea dipindahkan ke kamar perawatan pasca operasi. Namun, mereka semua hanya bisa berkumpul di luar kamar karena dokter bilang, hanya satu orang yang boleh menunggui Lea di dalam. Baik Letta, Ella, serta Poppy, berebut untuk menjadi yang menunggui saudara mereka di dalam sana hingga Lea sadar. Namun, Hermadi menolak kemauan mereka itu. "Melvin yang seharusnya ada di dalam, dia suaminya." Sebetulnya, Melvin sendiri dihadapkan oleh dilema. Di satu sisi ia memang ingin berada di dalam untuk melihat keadaan Lea dan ingin jadi yang pertama melihat Lea sadar nantinya, agar bisa memastikan dia baik-baik saja. Tapi, di sisi lain Melvin juga merasa tidak pantas ada di dalam sana. Dan ia yakin jika saudara-saudara Lea pun berpikiran yang sama tentangnya. Namun, baik Hermadi, serta Mayana bersikeras agar Melvin yang bertugas menjaga Lea. "Jagain istri kamu, Melvin," ujar sang ibu padanya. "Sebaiknya kamu yang pertama kali dia lihat waktu dia bangun nanti." Dan akhirnya, di sini lah Melvin. Berada di dalam kamar rawat Lea sejak beberapa jam yang lalu, memerhatikan perempuan itu yang masih tidak sadarkan diri karena pengaruh obat bius. Dokter bahkan bilang jika Lea bisa saja baru akan bangun esok hari. Seharusnya Melvin tidur saja, karena sekarang pun sudah lewat tengah malam. Tidak terasa, hari yang begitu panjang sudah terlalui. Namun, meskipun tubuhnya lelah bukan main, Melvin sama sekali tidak bisa tidur atau sedang merebahkan dirinya untuk beristirahat. Selain karena otaknya tidak bisa berhenti berpikir, Melvin juga yakin bahwa ia hanya akan mendapati mimpi buruk ketika menutup mata. Karena itu, ia memilih untuk tetap terjaga. Duduk di kursi yang diletakkannya di sebelah bed dimana Lea masih terbaring tidak sadarkan diri. Sejak tadi, Melvin hanya memerhatikan Lea, berusaha melihat pergerakan kecil yang bisa saja terjadi pada perempuan itu. Dan pada akhirnya, Melvin yang sudah lelah pun menyandarkan kepalanya pada ranjang Lea dengan bertumpukan kedua lengannya yang terlipat di sana. Posisi kepala Melvin pun berada persis di sebelah kepala Lea yang masih tidur, sehingga ia bisa melihat dengan jelas fitur wajah perempuan itu dari dekat. Melvin nyaris saja ikut menutup mata, ketika ia menyadari kelopak mata Lea perlahan bergerak. Melvin pun langsung duduk tegak melihatnya, memerhatikan dengan lekat bagaimana Lea membuka mata setelahnya, dan mereka langsung bertatapan. "Lea?" Panggil Melvin pelan seraya menyentuh lengan perempuan itu. "Are...you...okay?" Adalah yang jadi pertanyaan Lea pertama kali begitu sadar Melvin ada di sebelahnya. "I'm sorry." Dan hanya itu yang bisa Melvin katakan sebagai balasannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD