34. Hangatnya Darah

1518 Words
Tubuh Melvin sedikit oleng ke belakang ketika Lea jatuh ke pelukannya dalam keadaan tidak sadarkan diri. Karena melindungi Melvin dari tembakan yang entah datang dari mana itu, Lea jadi tertembak di bagian punggungnya, dekat dengan bahu. Rasanya kepala Melvin langsung didera oleh pening ketika ia merasakan hangatnya darah Lea mengenai wajahnya. Melvin shock dan tubuhnya bahkan gemetaran. Bukannya ingin menjadi lemah atau apa, tapi ini adalah kali pertama Melvin melihat seseorang ditembak di depan mata kepalanya sendiri. Dan sialnya, yang tertembak adalah Lea, istrinya. Melvin mencoba melihat ke arah tembakan itu berasal. Sekilas ia bisa melihat sang penembak di balik mobil yang ada di tempat parkir itu. Sadar bahwa Melvin sudah menyadari keberadaannya, sang penembak pun berlari kabur melewati samping-samping mobil yang terparkir, hingga rupanya tidak terlihat sama sekali. Rasanya Melvin mengejar orang itu yang jelas-jelas baru saja hendak membunuhnya. Namun, dengan kondisi menopang tubuh Lea sekarang, ia tidak bisa melakukan itu. Terlebih lagi, yang terpenting sekarang adalah keselamatan Lea. Bahkan Melvin tidak bisa melakukan apapun saat pria yang menyerangnya tadi menggunakan kesempatan ini untuk kabur. Melvin hanya bisa kesal dan marah melihat orang itu pergi, tapi ia juga tidak bisa mengejarnya dan meninggalkan Lea begitu saja. Sialnya lagi, tidak ada orang yang bisa dimintai tolong di parkiran basement ini sekarang. Melvin memiliki keyakinan jika siapa pun itu yang telah menyerangnya di sini, sudah merencanakan momen penyerangan ini dengan sedemikian rupa sehingga tidak tahu bagaimana caranya, mereka terlebih dahulu mengosongkan parkiran basement sebelum beraksi. Bahkan setelah keributan yang terjadi di sini pun, tidak membuat orang-orang langsung berdatangan. Melvin pun yakin, penyerangnya tidak hanya ada satu atau dua orang, tapi lebih banyak dari itu. Karena kalau tidak, mustahil mereka bisa mengatur ini semua. Dan bisa jadi, otak dari penyerangan ini merupakan seseorang yang memiliki power besar, sehingga dengan itu, mereka bisa mematikan sesaat sistem keamanan di tempat ini. Kini Melvin sudah merubah posisinya jadi duduk, membuat Lea yang bertumpu padanya pun jadi berbaring di pangkuan Melvin. Darah mengalir deras dari luka tembakan yang ada di tubuh perempuan itu dan kini kedua tangan Melvin sudah dilumuri oleh darah Lea yang terasa begitu hangat dengan cara yang tidak disukainya. "Lea..."   Satu tangan Melvin kini menangkup wajah Lea yang sudah berubah pucat. Ditepuk-tepuknya pelan wajah si perempuan, berharap agar Lea bisa mendapat kesadarannya kembali. Melvin tidak ingin Lea benar-benar hilang kesadaran, karena takut itu bisa membahayakannya. "Lea...wake up...please...please stay with me..." Ditepuk-tepuknya pelan kedua pipi Lea, sementara tangan satunya mencoba untuk menutupi luka tembak Lea agar darahnya bisa berhenti. Melihat Lea yang tak kunjung sadar, Melvin pun hanya bisa berteriak frustasi di tengah tempat parkir basement yang sepi itu. Sangat sulit bagi Melvin untuk bisa berpikir jernih setelah mengalami kejadian yang traumatis tadi. Perasaan dan pikirannya sungguh kacau sekarang. Dan melihat wajah pucat Lea, serta darah hangat perempuan itu yang melumuri tangan dan juga pakaian yang dikenakannya sekarang membuat Melvin merasa bersalah sekaligus khawatir pada Lea, untuk yang pertama kalinya setelah mereka saling mengenal. Terus terngiang di benak Melvin bahwa Lea bisa seperti ini, karena hendak melindunginya. *** Setengah jam kemudian, Melvin sudah berada di dalam ambulans yang membawa Lea ke rumah sakit. Bantuan dari orang-orang di sekitar gedung apartemen benar-benar baru datang setelah teriakan Melvin menggema di parkiran basement itu. Savero juga langsung datang untuk melihat keadaan Melvin, sekaligus membereskan tempat kejadian. Melvin tidak ingin apa yang terjadi tadi terendus oleh media, apa lagi jika sampai polisi ikut campur. Melvin ingin membereskan masalah ini sendiri, karena ia tahu, terkadang polisi tidak bisa untuk tidak percaya. Terlebih lagi jika dalang yang menyerangnya merupakan seseorang yang memiliki power dan kuasa yang hebat. Bisa saja, orang itu membayar polisi untuk memutar balikkan kasus ini demi menyelamatkan orang-orangnya. Di negara ini, tidak sulit untuk melakukan hal semacam itu jika uang dan kekuasaan sudah terlibat. Semua itu Melvin serahkan pada Savero untuk dibereskan, karena sekarang fokusnya hanya tertuju pada Lea yang masih tak sadarkan diri di dalam ambulans. Melvin duduk di samping brankar ambulans tempat Lea berada, kedua tangannya menggenggam erat satu tangan Lea, sementara tatapannya tak kunjung lepas dari perempuan itu. Memastikan Lea tetap bernapas dalam perjalanan mereka ke rumah sakit. Syukurnya, Lea masih bisa bernapas, meski harus menggunakan bantuan selang oksigen, dan meski detak jantungnya kini tengah melemah. Melvin tidak bisa memikirkan apa-apa lagi selain Lea sekarang. Urusan di luar pun sudah ia buang dari kepalanya, karena saat ini ia hanya memikirkan Lea. Apakah Lea akan baik-baik saja? Apa kemungkinannya besar bagi Lea untuk bisa selamat? Jika sampai kemungkinan terburuknya Lea tidak selamat, maka Melvin jelas akan merasa bersalah seumur hidup. Bahkan sekarang pun, Melvin sudah sangat berhutang pada Lea. Andai tadi Lea tidak melindunginya, mungkin tembakan itu sudah berhasil menghujam tepat ke jantung Melvin.   Sungguh, Melvin sama sekali tidak mengerti mengapa Lea melakukan ini semua. Perempuan itu sudah muncul tiba-tiba di parkiran tadi, lalu bisa-bisanya merelakan diri untuk melindungi Melvin dari tembakan tersebut. Pada detik ini, semua rasa curiga yang Melvin punya untuk Lea hilang begitu saja. Karena jika memang dalang di balik ini semua adalah keluarga Sadajiwa, atau memang mereka terlibat dalam hal ini, untuk apa Lea repot-repot mengorbankan diri? Mengorbankan nyawanya sendiri? Dan Melvin rasa, keluarganya pun juga tidak ingin Lea berada dalam bahaya. Keraguan yang kini muncul pun membuat perasaan Melvin jadi kian merasa bersalah. Jika sampai hal buruk benar-benar terjadi pada Lea, he is the one to blame. Genggaman Melvin pada Lea pun mengerat. "Please..." gumamnya. "...please be okay." Dua orang perawat yang juga ada di ambulans itu pun hanya bisa memandangi Melvin dengan prihatin. Mungkin mereka berpikir jika kekhawatiran dan ketakutan yang dirasakan Melvin adalah hal wajar karena Lea adalah istrinya. Tapi, mereka tidak mengerti serumit apa emosi Melvin sekarang, ketika seseorang yang membuatnya merasa muak dan sempat tidak ingin dilihatnya lagi, justru kini sangat diharapkannya masih bisa ia lihat hingga esok. Melvin pun sama sekali tidak melepaskan genggaman tangannya pada Lea, hingga mereka sampai di rumah sakit. Sesampainya di sana, Lea langsung dibawa ke ruang operasi, karena memang kondisinya yang harus segera mendapat tindakan pembedahan sebelum terlambat. Sementara Lea sudah berada di dalam ruang operasi itu, Melvin justru hanya bisa menunggu di depan pintu. Penampilannya sekarang kacau balau, bahkan ia sudah tidak peduli lagi dengan tatapan orang-orang di sekitar yang melihatnya terduduk di lantai dalam keadaan tangan dan pakaiannya yang dinodai oleh darah kering. Melvin benar-benar terduduk di lantai, bersandar pada dinding yang letaknya bersebelahan dengan pintu ruang operasi. Jantungnya kini kembali berdetak kencang, seiring dengan kejadian tadi yang terus berputar di kepalanya. Suara tembakan, Lea yang melindunginya, lalu darah yang hangat terasa di kulitnya. Kedua tangan Melvin bahkan sampai gemetaran hebat karena mengingat itu. Dalam satu hari ini, ada banyak sekali kejadian yang menimpanya, dan semua itu membuat kepalanya pening. Melvin sungguh frustasi. Siapa yang ingin mencoba menghancurkan keluarganya? Memang apa salah mereka hingga dianggap pantas mendapat semua siksaan ini?" "MELVIN!" Mendengar suara Abby membuat Melvin yang semula menundukkan kepalanya pun jadi mendongak. Dilihatnya Abby yang kini tengah berlari ke arahnya dengan raut wajah yang terlihat begitu panik. Sepertinya Abby sudah dikabari oleh Savero sehingga langsung menghampiri Melvin kemari. Kebetulan, Lea memang dibawa ke rumah sakit tempat Mayana dan Abby berada, sehingga kini Abby bisa langsung menghampirinya. Abby pun segera berjongkok di depan Melvin, memandang sang kakak khawatir, lalu memeriksa kondisi tubuh Melvin sekarag. Dilihatnya kedua tangan Melvin yang berdarah, lalu wajahnya yang juga dinodai darah kering serta lebam di beberapa sisi. "What happened?" Tanya Abby gusar. "Kamu kenapa?" Melvin menggelengkan kepala. "Aku nggak apa-apa," ucapnya lirih. Meski sekujur tubuhnya sakit dan telapak tangannya pun luka akibat menggenggam kaca mobilnya yang pecah tadi, namun Melvin mengabaikan semua rasa sakit itu dan menganggapnya tidak ada sama sekali. Ia seakan luka kalau dirinya juga terluka, karena yang bisa dipikirkannya sekarang hanya lah kondisi Lea. "Nggak apa-apa gimana? Tangan kamu luka begini. Kamu harus diobatin." Abby hendak menarik pergi Melvin dari sana, namun sang kakak menggelengkan kepala dan memilih untuk tetap berada di tempatnya duduk. "Lea..." gumamnya. "Gara-gara aku...Lea di dalam sana sekarang..." Abby menggelengkan kepala. "It's not your fault." "It is, Abby...it is..." "Melvin, enggak." Abby mengulang lagi dengan tegas dan ia menatap Melvin lurus-lurus. "Ini sama sekali bukan salah kamu, oke? Please don't blame yourself." Bagaimana bisa Melvin tidak menyalahkan dirinya sendiri? Lea sudah berkorban untuknya dan kini ia digerogoti oleh rasa bersalah yang begitu besar. Belum sempat Abby berhasil membujuk Melvin untuk ikut bersamanya guna mengobati luka-luka yang dialami oleh Melvin sekarang, derap langkah terdengar mendekati mereka. Lalu, mereka melihat anggota keluarga Sadajiwa yang lain datang. Semuanya lengkap, mulai dari Hermadi, Ella, Poppy, hingga Letta yang sudah lama tidak terlihat. Bahkan, Selatan juga ikut bersama mereka. Dan mereka semua terlihat khawatir setengah mati. Rasanya, Melvin tidak bisa menghadapi mereka semua. Funny how the table has turned now. Di saat kemarin hanya rasa muak dan benci yang dirasakan oleh Melvin untuk mereka, sekarang justru Melvin merasa tidak sanggup untuk menghadapi mereka semua akibat bongkahan rasa bersalah yang kini membebaninya. Di saat kemarin Melvin bahkan bisa memandang Hermadi dengan kepala mendongak, kini ia justru hanya bisa menundukkan kepala di depan mereka semua. Terlalu merasa malu dan bersalah, sebab karenanya, keluarga Sadajiwa mungkin saja akan kehilangan Lea selamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD