33. Tumbang

2143 Words
"Can we meet today? I wanna talk about our divorcement." Secara kebetulan, Melvin mendapat telepon dari Lea tidak lama setelah dirinya pergi dari rumah, dan wanita itu mengajaknya bertemu. "Cuma kita berdua aja." Lea menambahkan. "Oke." Melvin langsung menyetujuinya, meski saat ini pikirannya sedang sangat carut marut akibat terror yang baru saja diterima oleh Abby. Gara-gara terror itu, rasanya Melvin seperti diserang bertubi-tubi. Di saat yang satu belum selesai, sudah muncul hal lain lagi yang mesti dibereskannya. Dan masalahnya, semua masalah itu menghadapi jalan buntu. Rasanya saat ini Melvin tengah berhadapan dengan musuh yang begitu dekat, namun rupanya masih tak kasat mata. Alasan Melvin setuju untuk bertemu dengan Lea sekarang pun karena sebenarnya hari ini ia memang ingin mengurusi perihal perceraiannya dengan perempuan itu. Semakin cepat perceraian mereka beres, maka semakin cepat pula satu beban Melvin akan berkurang. Sehingga ia bisa fokus sepenuhnya untuk menyelidiki pelaku yang telah berusaha mencelakai keluarganya belakangan ini. Dan jika nantinya memang terbukti keluarga Sadajiwa terlibat, maka urusannya akan jadi lebih mudah jika posisinya pernikahan Melvin dan Lea telah berakhir. Mulanya Lea bertanya dimana baiknya mereka bertemu. Perempuan itu sempat ingin pulang ke rumah mereka, namun Melvin menolak karena jika begitu, Lea akan sampai duluan di sana. Ia tidak ingin membiarkan Lea berkeliaran bebas lagi di rumah itu. Siapa yang tahu hal apa saja yang biasa dia lakukan ketika Melvin tidak ada? Rasa curiga Melvin pada Lea memang sudah berkembang jadi sebesar itu. Akhirnya, Melvin bilang kalau dia akan menemui Lea di apartemennya lagi, dan Lea setuju. Usai mengabarkan Savero untuk menambah lagi pekerjaan personal assistant-nya itu dengan menyuruhnya menyelidiki kasus terror yang didapat Abby, Melvin pun pergi menuju apartemen Lea. Tentu saja Melvin tidak membiarkan dirinya pergi sendiri. Setelah apa yang terjadi pada keluarganya, ia jadi sangat was-was dan merasa bahwa hal buruk bisa terjadi padanya kapan saja, mengingat dirinya lah yang kali ini belum tersentuh bahaya, di antara anggota keluarganya yang lain. Melvin pun pergi ke apartemen Lea bersama supir dan dua orang bodyguard yang telah dipekerjakannya. Namun, ia tidak menyuruh mereka untuk ikut masuk ke gedung apartemen. Pembicaraan yang akan dibahasnya bersama Lea terlalu personal untuk didengar orang lain. Lagipula, Melvin tidak yakin kalau Lea berani macam-macam di depan wajahnya. Selain itu, keadaan gedung apartemen Lea juga ramai oleh penghuni yang lain, dan setiap sudutnya terdapat CCTV. Melvin pun menyuruh para bodyguard-nya untuk menunggu di parkiran, tetapi ia juga mengingatkan mereka agar tetap bersiaga kalau-kalau Melvin butuh bantuan mereka secara tiba-tiba. Untuk memanggil mereka, yang Melvin butuhkan hanya lah sebuah panggilan telepon. Melvin hanya menekan sekali bel di interkom unit apartemen Lea, dan tidak lama kemudian, sang istri yang sebentar lagi akan menjadi mantan istrinya itu pun membukakan pintu lebar-lebar untuk Melvin. "Silahkan masuk, future ex-hubby," ujar Lea dengan nada manis yang dibuat-buat. Sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam unit apartemen itu, kedua mata Melvin terlebih dahulu menyisir keadaan di dalam apartemen Lea. Dan sejauh yang dilihatnya, tidak ada siapapun di dalam. Hening dan lengang. Tidak ada tanda-tanda adanya Hermadi Sadajiwa, saudara-saudara Lea, maupun orang lain. Lea pun sadar kalau Melvin sedang benar-benar memastikan ucapan Lea di telepon tadi yang bilang kalau mereka hanya akan bertemu berdua saja. "Nggak ada siapa-siapa, aku jamin," ujarnya serius. "Lagian, aku juga nggak mau ada orang lain, apa lagi keluargaku di tengah pembicaraan kita nanti. Kalau ada mereka, surely they won't let us divorce." Melvin masih belum mau melangkahkan kakinya masuk ke dalam unit apartemen Lea, dan ia masih memandang perempuan itu curiga. "Kenapa? Takut aku bohong? Atau takut aku mau nodongin pistol ke kamu secara tiba-tiba?" Sindir Lea. Akhirnya, baru lah Melvin melangkahkan kaki masuk. Lea tidak menutup pintu setelah calon mantan suaminya itu sudah berada di dalam. Dengan penuh penekanan, ia sengaja berujar, "Nggak perlu ditutup lah ya, siapa tau kamu takut diapa-apain." Melvin memilih untuk mengabaikan ucapan Lea itu, lalu tanpa disuruh, ia pun duduk di sofa ruang tamu apartemen ini. Persis di tempatnya duduk berhadapan dengan Hermadi Sadajiwa tempo hari. Kali ini, Lea yang mengambil tempat duduk Hermadi kemarin, sehingga ia dan Melvin jadi duduk berhadapan. Tanpa ingin berbasa-basi, Melvin memilih untuk menjelaskan langsung ke inti permasalahan yang ingin dibahasnya. "Aku udah lengkapin semua persyaratan supaya kita bisa cerai, dan udah hire kuasa hukum juga. Tinggal daftarin gugatan cerainya aja." Lea mengangguk paham. "Terus, aku harus ngelakuin apa?" Melvin pun menjelaskan apa saja persyaratan yang harus dilengkapi oleh Lea dan bagaimana strategi strategi yang harus mereka lakukan agar nantinya proses perceraian bisa berlangsung dengan mudah dan lancar. Walau hubungan mereka saat ini tidak bisa dibilang akur, tapi untuk melalui proses peceraian, keduanya harus kooperatif supaya semuanya berjalan sesuai rencana. "Oke, kamu tenang aja, aku bakal penuhin itu semua," ujar Lea usai Melvin selesai dengan penjelasannya. "Dan aku juga bakal kooperatif." "Good." "Tapi, aku minta sama kamu, kalau bisa kita laluin semua proses perceraian ini diem-diem aja. Lebih baik lagi kalau keluarga kita nggak tau perceraiannya udah diproses." "Papa kamu masih nggak setuju?" "Iya." Melvin tersenyum miring. "Di saat Papa kamu aja masih bersikeras supaya kita nggak cerai, kenapa kamu justru bersikeras banget?" "I'm sick of you already," jawab Lea simpel. "Besok aku mau ambil barang-barang aku yang masih ada di rumah." "Oke." "Can't wait to divorce you, Melvin." "Same." Lea mengulurkan tangan untuk mengajak Melvin bersalaman, namun Melvin tidak menerima uluran tangan Lea itu dan hanya menatapnya datar. Membuat sang perempuan tertawa mengejek dan menggelengkan kepala. "Attitude yang sangat bagus," sindirnya. Lalu, ia melirik Melvin dan pintu unit apartemennya secara bergantian, "Kalau udah nggak ada urusan lagi, kamu bisa pulang." Bukannya langsung beranjak atas pengusiran secara halus yang dilakukan oleh Lea, Melvin justru masih duduk manis di tempatnya. "Ada satu hal yang perlu aku tanyain ke kamu sebelum aku pulang," katanya. "Apa?" "Kamu tau apa fobianya Abby?" Lea mengerutkan kening, bingung atas pertanyaan yang diajukan oleh Melvin padanya. Pertanyaan itu jelas saja melenceng jauh dari topik pembicaraan mereka sebelumnya. Namun, Lea tetap menjawab pertanyaan itu. "Seingat aku, Abby pernah bilang kalau dia ophidiophobia. Phobia of snakes. Emangnya kenapa?" Oh, ternyata dia tau...itu yang langsung terlintas di benak Melvin. Di ujung lidahnya, Melvin bisa mersakan sudah banyak umpatan yang tertahan dan siap untuk dilontarkannya pada Lea. Namun, ia masih bisa menahan diri dan memutuskan untuk tidak gegabah. Melvin pun mempertahankan raut wajah datarnya. Sebelum memberi respon, Melvin terlebih dahulu beranjak dari duduknya. Kali ini benar-benar akan pergi dari unit apartemen itu, seperti yang diinginkan oleh Lea. Perempuan itu pun ikut berdiri. "Cuma mau tau aja," ujar Melvin kemudian. "Siapa tau, kamu bisa jadi salah satu orang yang patut dicurigai atas terror ular yang didapat Abby siang ini." "Maksud kamu apa? Ada yang ngirimin Abby ular?" "Bukan sekedar ular, tapi calliophis intestinalis." Kedua mata Lea membola, terkejut mendengar itu. Apa Melvin percaya atas keterkejutan Lea itu? Tidak. Menurut Melvin, Lea bisa saja hanya berakting. "Terus gimana? Is she okay?" "Kamu nggak perlu tau itu." "Melv-" Belum sempat Lea menyelesaikan panggilannya, Melvin sudah keburu pergi meninggalkan unit apartemen Lea tanpa mengatakan apa-apa dan tanpa berbalik lagi. *** Bagi Melvin, mendengar jawaban Lea yang bilang kalau ia tahu mengenai fobia yang dimiliki oleh Abby sudah cukup untuk menumbuhkan rasa curiganya. Meski tadi Lea terlihat peduli begitu tahu kalau Abby mendapat kiriman ular berbisa, namun Melvin tidak percaya jika perempuan itu benar-benar peduli. Bisa saja, semua itu hanya topeng. Setelah pembicaraannya dan Lea selesai, Melvin pun meninggalkan unit apartemen perempuan itu dan berjalan kembali menuju parkiran, tempat supir dan bodyguard-nya sudah menunggu. Ia sudah tidak sabar meninggalkan lingkungan tempat tinggal Lea yang sama memuakkannya dengan Lea dan keluarganya. Melvin juga tidak sabar untuk menunggu hari esok karena ia akan segera mengajukan gugatan cerainya terhadap Lea. Kebetulan, tadi mobil Melvin kebagian tempat parkir di basement karena memang parkiran di lantai lain sedang penuh. Sambil memasuki lift, Melvin sibuk dengan ponselnya, membaca pesan dari Savero yang memberitahukan progress penyelidikannya. Begitu sudah sampai di dalam lift pun, Melvin juga masih sibuk dengan ponselnya, kali ini ia mengabari kuasa hukumnya jika besok ia akan memulai proses perceraiannya dan Lea. Bahkan Melvin baru sadar jika dirinya hanya sendirian di lift, ketika pintu lift terbuka dan ia langsung sampai di parkiran basement. Melvin pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling parkiran basement untuk mencari di mana mobilnya terparkir, begitu berhasil menemukannya, Melvin segera berjalan menuju mobilnya itu. Berhubung parkiran basement ini jauh dari unit apartemen yang ada di lantai atas, jadi kondisinya cukup sepi. Melvin bahkan tidak melihat siapa-siapa selain dirinya dan mobil-mobil yang terparkir di sana. "Halo, Ro? Kenapa?" Sembari berjalan menuju mobilnya, Melvin mengangkat telepon dari Savero yang kebetulan muncul. Ia terlalu sibuk mendengarkan penjelasan Savero, sampai-sampai tidak sadar jika ada yang janggal dengan keadaan mobilnya. "Lo forward aja dokumennya, Ro, entar gue liat. Gue lagi mau jalan pul-what the fuck." Sebuah umpatan otomatis keluar dari mulut Melvin begitu ia sadar jika salah satu sisi jendela mobilnya pecah, lalu ia melihat supirnya tak sadarkan diri di kursi pengemudi. Sementara salah satu bodyguard-nya ikut tidak sadarkan diri kursi penumpang belakang, lalu Melvin baru sadar jika bodyguard yang satu lagi terkapar di belakang mobil dalam keadaan kepala yang berdarah. Melihat apa yang terjadi di depan matanya, Melvin mematung di tempat dengan jantungnya yang sudah berdetak kencang. Selama beberapa saat, Melvin pun hanya bisa terdiam, berusah untuk mencerna semuanya. Ia memang sudah tidak menempelkan ponsel di telinga lagi, namun suara Savero samar-samar masih bisa didengarnya, terus memanggil nama Melvin dengan nada khawatir akibat mendengar umpatan Melvin tadi. Suara Savero lah yang akhirnya menyadarkan Melvin dari lamunannya. Ia baru saja hendak bicara lagi pada Savero ketika tiba-tiba saja, Melvin merasakan punggungnya dipukul dari belakang menggunakan sebuah benda yang keras. Ponsel di tangan Melvin pun terlempar ke lantai parkiran, cukup jauh darinya. Mengabaikan rasa sakit yang kini menjalari punggungnya, Melvin mencoba untuk berbalik untuk melihat siapa pelaku yang sudah menyakitinya secara terang-terangan seperti ini. Namun, orang itu tidak membiarkan Melvin untuk berbalik. Ia mendorong Melvin dengan keras hingga tubuhnya menghantam mobil, tepat di sisi kaca mobil yang pecah, dan menahan tubuh Melvin di sana hingga Melvin tidak bisa bergerak. Melvin pun mencoba mendorong tubuhnya dengan bertumpu pada kaca yang kini permukaannya tajam sehingga melukai telapak tangannya. Mengerahkan tenaganya, Melvin mencoba untuk mendorong tubuhnya agar bisa bebas dari cekalan orang itu, namun tenaga penyerangnya terlalu kuat. Sekali lagi ia mencoba berbalik, namun gagal melihat wajah orang itu dan hanya bisa melihat pakaiannya yang serba hitam. Lalu, benda keras itu kembali dihantamkannya ke punggung Melvin. Lewat pantulan dari kaca mobil, Melvin pun bisa melihat jika orang yang menyerangnya mengenakan topeng sehingga wajahnya tidak terlihat. Lalu, Melvin juga melihat orang yang menyerangnya itu mengayunkan kembali benda keras di tangannya, kali ini berniat untuk menjadikan kepala Melvin sebagai sasaran. Melvin sudah memejamkan matanya, bersiap menerima kemungkinan terburuk jika benda itu sampai menghantam kepalanya. Namun, sedetik setelahnya, yang dirasakan oleh Melvin adalah tekanan di tubuhnya yang mengendur sehingga ia bisa membebaskan diri. Dan ia mendengar penyerangnya mengerang kesakitan. Begitu Melvin membalikkan tubuh, dilihatnya Lea sudah berada di belakang penyerang itu. Perempuan itu lah yang baru saja menendang orang yang menyerang Melvin, tepat di selangkangannya. Melvin cukup kaget melihat kehadiran Lea yang tiba-tiba, tapi tidak ada waktu untuk itu. Lea mencoba meninju penyerang Melvin, namun orang itu berhasil dengan mudah berkelit dari serangan yang ditujukan Lea padanya. Tidak ada rasa takut sama sekali yang terlihat di wajah Lea ketika melawan si orang jahat. Ia justru melawan dengan sungguh-sungguh, menggunakan teknik bela diri yang dikuasainya. Kesempatan itu pun digunakan Melvin untuk membebaskan diri. Meski punggungnya sakit dan serasa remuk, namun ia ikut bergabung bersama Lea untuk melawan orang itu. Melvin memang tidak menguasai banyak teknik bela diri seperti Lea maupun anggota keluarga Sadajiwa yang lain. Tapi, ia jelas tahu bagaimana caranya berkelahi. Dan sebisa mungkin, tidak membiarkan Lea melakukan lebih banyak pekerjaan itu. Dengan posisi lawan yang tidak seimbang, orang itu berhasil dilumpuhkan. Melvin membantingnya ke lantai, setelah Lea berhasil membuatnya oleng dengan sebuah tendangan di bagian vitalnya. Dengan kakinya, Melvin menahan orang yang kini sudah tengkurap tidak berdaya di lantai semen parkiran basement ini. "LO SIAPA, ANJING?!" Seru Melvin murka. "SIAPA YANG NYURUH LO?!" Setelah semua yang terjadi, mustahil jika Melvin bisa bersikap biasa saja. Dia hampir mati, dan entah bagaimana keadaan supir dan para bodyguard-nya gara-gara ini. Lea diam saja selagi Melvin murka pada penyerangnya. Melvin sendiri tidak sadar jika sedari tadi, Lea tetap bersikap awas dan siaga dengan keadaan sekitar mereka. Lalu, di saat Melvin hendak menunduk untuk menarik topeng penyerangnya itu, tiba-tiba saja Lea berteriak panik menyebut namanya. "MELVIN!" Melvin tidak sadar apa yang terjadi karena memang kejadiannya begitu cepat. Tiba-tiba saja, Lea maju ke arahnya, memeluknya dan membalikkan arah posisi mereka. DOR! Suara tembakan terdengar menggema di tempat parkir itu. Melvin mematung di tempat saat ia merasakan hangat darah yang mengenai wajahnya. Bukan darahnya, melainkan darah Lea yang baru saja melindunginya. Dan sedetik setelahnya, Lea kehilangan kesadaran, lalu tumbang di pelukan Melvin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD