70. Akhir Yang Buruk

1633 Words
Lea benar-benar kesal dengan Melvin karena apa yang diberitahukannya lewat telepon pada Lea. Untuk yang ke sekian kalinya, Melvin bersikap gegabah. Padahal, baru semalam mereka bersenang-senang bersama. Dan siang ini, semuanya kembali jadi kacau karena masalah datang lagi. Hidup mereka memang tidak bisa tenang sama sekali.  Lea sendiri marah bukan karena ia ingin melarang-larang Melvin tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan olehnyo. Sungguh, Lea tahu kalau Melvin sudah dewasa dan tahu mana yang terbaik untuk dilakukan dan tidak dilakukannya. Hanya saja, Melvin kerap tidak tahu kapasitas dirinya sendiri.  Memang hal bagus mereka berhasil menemukan titik lokasi Savero. Namun, untuk ikut datang ke sana dan memastikan apakah Savero berada di sana, itu semua bukan tugas Melvin. Ia hanya perlu duduk diam dan menunggu. Why is it so hard for him? Melvin justru lebih memilih ikut ke sana dan membahayakan dirinya sendiri. Padahal, apapun bisa saja terjadi di sana.  Bisa jadi pesan dari Savero itu hanya jebakan agar Melvin mau mencari lokasinya dan datang ke sana. Lalu, begitu Melvin tiba, ternyata sudah ada orang-orang yang menunggu dan bersiap untuk menyakitinya. Mereka tidak pernah tahu itu, kan? Tapi, Melvin begitu keras kepala. Dan yang paling membuat Lea kesal, ia baru diberitahu di saat Melvin sudah berada di setengah perjalanan. He didn't even ask for her permission! Melvin hanya memberitahunya tanpa butuh pendapatnya tentang pergi atau tidak pergi. Selatan pun tidak bilang apa-apa, sehingga Lea baru tahu apa yang terjadi ketika Melvin meneleponnya dan menjelaskan semua yang terjadi. Lea geram bukan main, karena ia jadi tidak berkesempatan untuk menghentikan Melvin. Untuk menyusulnya pun sudah tidak mungkin lagi karena percuma saja, ia sudah jauh tertinggal dari Melvin yang hampir sampai ke lokasi. Selain itu, Lea juga tidak diizinkan ayahnya untuk pergi menyusul Melvin. Hermadi Sadajiwa memang datang mengunjungi Lea di rumahnya hari ini. Beliau tiba tepat setelah Lea baru pulang dari hotel. Tidak ada tujuan khusus, Hermadi hanya ingin bertemu dengan Lea karena sudah lama mereka tidak bertemu, jika dibandingkan dengan saudara-saudara Lea yang lain. "It's not fair. Aku udah turutin kemauan dia untuk berhenti dari Kahraman dan dia udah janji, kalau aku berhenti, dia nggak akan bersikap gegabah lagi begini! But see? Melvin malah melanggar janji yang dia buat sendiri!" Lea mengeluhkan apa yang dia rasakan kepada sang ayah. Sejak beberapa menit yang lalu setelah ia mengakhiri teleponnya dan Melvin dengan emosi yang begitu meledak-ledak, Lea jadi begitu gelisah. Ia berjalan mondar-mandir di depan ayahnya yang duduk tenang di sofa. Hermadi menghela napas, untuk yang ke sekian kalinya sejak ia melihat sang putri bersikap begitu gelisah dan marah seperti ini.  "Melvin mau kamu berhenti dari Kahraman karena dia khawatir, bukan karena dia mau ngajak kamu bertaruh atau apa." Lea berhenti berjalan dan memandang ayahnya. "Aku juga khawatir sama Melvin, Papa. Makanya aku nggak mau dia sembarangan ikut anggota Kahraman dalam misi. Itu bukan kerjaan dia, he is the client. Dan Papa tau sendiri bisa sebahaya apa kalau dia ikut. Dia itu target utamanya. Bisa aja semuanya cuma jebakan." "Papa tau, Lea. Tapi di sana ada para anggota Kahraman yang pasti bakal jagain dia. Seperti yang kamu bilang, Melvin adalah klien. Dan kita selalu menuruti apa yang klien kita mau." "Tapi nggak begini juga. Papa harus tegur Selatan setelah ini, karena dia ngebiarin Melvin ikut. Kalau aku yang ngomong ke dia, dia nggak akan mau dengerin dengan alasan aku bukan anggota Kahraman lagi." Akhirnya Hermadi menarik Lea untuk ikut duduk di sampingnya, dan merangkul Lea. Tidak tahan lagi melihat sang putri sejak tadi sudah berjalan bolak-balik di hadapannya.  "Kamu harus tenang dulu, jangan emosi. You should understand his position. Wajar kalau Melvin marah dan mau langsung mendatangi Savero setelah apa yang Savero lakukan. Dia pasti nggak akan bisa cuma duduk menunggu aja," ujar Hermadi. "Papa tau, kamu memang mungkin jauh lebih hebat dalam bela diri. You really know how to protect yourself because you were part of Kahraman. Tapi, bukan berarti Melvin nggak bisa melindungi dirinya sendiri, Lea. Papa yakin, Melvin lebih dari mampu untuk melindungi dirinya. Dia tau gimana caranya mukul orang, gimana caranya nembak. Bahkan, Ella sendiri yang ngajarin dia. Karena itu, kamu nggak perlu terlalu khawatir. Have some faith in him." Lea diam saja, memilih untuk tidak memberi respon apapun. Tapi, bukan berarti ia sudah merasa tenang. Sekarang, ia justru sibuk mengigiti jari karena masih merasa begitu gelisah. Menurut Lea, saat ini Melvin sedang dalam perjalannya untuk masuk ke kandang buaya. Melihat Lea yang kini begitu mengkhawatirkan Melvin membuat Hermadi tidak bisa menahan senyum kecilnya. Pria itu menyadari, sudah ada perubahan besar antara dinamika hubungan Melvin dan Lea. Dan dinamika hubungan tersebut berubah ke arah yang lebih baik.  "You already care so much for him, hm?" Lea menghembuskan napas. "Kalau Papa mau menggoda aku, sekarang sama sekali bukan waktu yang tepat." "Papa nggak bermaksud untuk godain kamu," tukas Hermadi. "Papa justru senang kalau kamu dan Melvin sekarang sudah saling peduli satu sama lain. Kita semua tau kan gimana buruknya hubungan kalian di awal, dan perubahan hubungan kalian sekarang jelas sebuah perubahan yang bagus." "Iya, tapi bukan saatnya bahas itu. I'm worried as hell right now." "Okay, sorry." Lea memijat kepalanya sendiri, tiba-tiba merasa bersalah kepada ayahnya. "Maaf, Papa. Aku nggak maksud untuk marah-marah, aku cuma—" "Kamu khawatir, Papa ngerti." Hermadi memotong perkataan Lea dan mengusap-usap bahu sang anak perempuan untuk membuatnya merasa sedikit lebih baik. Lea tidak bicara apa-apa lagi setelahnya, dan hanya memandangi ponselnya yang tergeletak di atas meja. Menunggu adanya kabar dari Melvin maupun Selatan. Walaupun Lea sempat marah-marah pada Melvin dan mengakhiri telepon mereka tadi secara sepihak, tapi bukan berarti Lea tidak mau mengetahui kabar Melvin lagi. Ia sangat ingin tahu dan benar-benar menunggu kabar itu datang. Rasanya Lea nyaris gila karena di saat seperti ini, menit demi menit terasa bergulir dengan begitu lambat.  Hermadi juga tidak bicara apa-apa lagi dan hanya duduk menemani Lea menunggu kabar. Ia mencoba memahami situasi putrinya saat ini sehingga tidak ingin mengatakan sesuatu yang tidak tepat lagi. Apa yang ada di pikiran Hermadi mengenai hubungan Melvin dan Lea pun, akhirnya dia simpan sendiri dalam kepalanya. Sekitar setengah jam menunggu dalam keheningan, ponsel Lea yang ada di atas meja akhirnya menyala dan berdering. Cepat-cepat Lea meraih ponselnya itu dan melihat bahwa yang menelepon adalah Selatan.  Tanpa menunda-nuda sedikit pun, Lea menerima panggilan telepon dari Selatan itu. "Melvin gimana?" Adalah pertanyaan yang pertama kali diajukan oleh Lea tepat setelah ponselnya menempel di telinga. "Ah iya, sebelum itu, aku rasa kita perlu ngomong soal ini. Kenapa bisa-bisanya kamu ngajak Melvin ke sana? Don't you think it must be dangerous for him?" "Marah-marahnya bisa disimpen nanti, ada hal lebih urgent yang perlu dibahas." "Apa? Jangan bilang ada sesuatu yang terjadi sama Melvin?" "Bukan Melvin, tapi Savero." Kedua alis Lea bertaut. "Kenapa? Kalian berhasil nemuin dia?" "Iya. We found him dead." Lea tertegun. Tidak menyangka jika Selatan akan mengatakan itu, hingga Lea tak mampu berkata-kata selama beberapa saat. "Jangan bercanda," gumamnya kemudian. Selatan terdengar membuang napas dan berdecak penuh frustasi. "Ngapain juga aku bercanda?" Keluhnya. "Savero gantung diri...dia benar-benar udah nggak bernyawa waktu kami temukan. Dan suami kamu super f****d up sekarang. Oh, bahkan kami semua juga sama f****d up-nya, karena ini semua benar-benar di luar ekspektasi kami!" Genggaman Lea pada ponselnya mengerat, sementara tubuhnya seketika saja merinding atas kabar yang disampaikan oleh Selatan. Ia pun tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh Melvin yang melihatnya secara langsung di sana. *** Begitu melihat apa yang ada di dalam ruangan itu, Melvin mematung di tempat. Lututnya terasa lemas bukan main, dan jika ia bergerak sedikit saja, maka Melvin pasti akan terjatuh ke lantai.  Akan jauh lebih baik jika Melvin menemukan Savero di ruangan itu dengan menodongkan senjata padanya, mengancam untuk membunuhnya, sehingga mempersulit mereka semua. Dibanding harus melihat Savero yang lehernya terjerat oleh tali yang diikat di langit-langit ruangan, tanpa rona di wajahnya lagi, dan lidah yang terjulur keluar, karena Savero sudah tak bernyawa.  Di dekat kaki Savero terdapat sebuah kursi yang kemungkinan, dia gunakan untuk membantunya menjerat lehernya sendiri.  Melvin sungguh tidak mengerti. Kenapa jadinya seperti ini? Kenapa mereka justru menemukan Savero dalam keadaan tewas begini? Melvin memang tidak tahu apa arti sesungguhnya dari pesan yang dikirimkan oleh Savero kemarin. Namun, ia sama sekali tidak menafsirkannya sebagai pesan bunuh diri. It didn't look like that...or it did? Entahlah, Melvin tidak tahu. Namun, Savero tidak bisa tewas seperti ini setelah apa yang terjadi. Tidak sebelum ia mendapatkan balasan setimpal akibat perbuatannya. Ini benar-benar tidak adil. "Melv..." Tepukan Selatan di bahunya membuat Melvin akhirnya tersadar dari lamunan. Ia mengerjap, kembali melihat ke arah mayat Savero yang menggantung di ruangan itu. Lalu, baru lah Melvin tertampar keras oleh kenyataan yang ada.  Rasa mual tiba-tiba bergejolak di perutnya. Melvin pun berbalik dari sana dan berjalan cepat meninggalkan tempat itu untuk mencari kamar mandi terdekat. Ia nyaris saja oleng dan terjatuh karena kedua lututnya yang terasa lemas bukan main.  Begitu berhasil menemukan kamar mandi, Melvin langsung mengurung dirinya di sana, kemudian memuntahkan semua isi perutnya di westafel. Menuntaskan rasa mualnya yang bergejolak.  Tubuh Melvin bergetar hebat setelah ia memuntahkan isi perutnya. Dibasuhnya wajah dengan air dingin dari keran westafel, berharap dinginnya air itu bisa menghilangkan bayangan Savero yang tergantung. Atau kalau boleh Melvin berharap, bisa juga turut menghilangkan mimpi buruk ini. Membuatnya berakhir tidak nyata. Namun, mau berapa kali Melvin membasuh wajahnya, bayangan itu tetap tidak mau hilang. Semuanya nyata, semuanya terjadi, dan tidak ada yang bisa dilakukan untuk menghentikan itu semua.  Setelah membasuh wajahnya berkali-kali, yang Melvin lihat di cermin justru pantulan dirinya yang terlihat begitu kacau sekarang. Melvin pun berteriak, lalu meninju kaca di depannya hingga pecah, tanpa peduli jika yang dilakukannya telah sukses membuat buku-buku jarinya luka dan berdarah. Rasa sakit di tangannya tidak sebanding dengan sakit akibat sesak di d**a Melvin sekarang. Semua karena akhir yang buruk ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD