29. Musibah Baru

1820 Words
Usai perdebatan sengit yang terjadi antara Melvin dan Lea, malam itu Lea pergi dari rumah entah ke mana, dan tidak kembali. Melvin yang tengah marah pun tidak memedulikannya dan membiarkan saja Lea pergi. Justru ada kepuasan tersendiri yang dirasakan oleh Melvin karena malam ini Lea tidak tinggal di rumahnya. Setelah apa yang terjadi, berada jauh dari jangkauan Lea, mapun anggota keluarga Sadajiwa yang lain adalah sesuatu yang paling Melvin inginkan sekarang. Syukurnya, para pekerja di rumahnya ini tidak berkomentar apapun dan memilih untuk tutup mulut saja atas apa yang terjadi. Walau mereka jelas tahu bahwa Melvin dan Lea ribut besar, dilihat dari bagaimana Lea yang pergi diiringi dengan bantingan keras di pintu. Sehari setelah pemakaman ayahnya, Melvin memilih untuk langsung kembali bekerja. Ia tidak mau berduka terlalu lama. Selain karena berduka terlalu larut hanya akan membuatnya frustasi, ada banyak pula yang perlu Melvin kerjakan. Dan tentu saja, tidak semuanya berhubungan dengan pekerjaan di kantor. Untuk itu, Melvin harus menguatkan hati. Berpura-pura sudah baik-baik saja, meski sebenarnya ia masih sangat berduka. "Berhentiin mereka semua hari ini," ujar Melvin pada Savero yang siang ini kembali ia minta untuk menemui Melvin di ruang kerjanya. "Gue nggak mau ada antek-antek keluarga Sadajiwa lagi di sekitar gue dan keluarga gue." Savero hanya bisa memberikan sebuah anggukan kepala atas perintah dari Melvin itu. Konteks pembicaraan mereka saat ini adalah anggota The K Royal Security yang diketahui oleh Melvin beberapa di antaranya masih dipekerjakan oleh Arthur dalam lingkup perusahaan. Bahkan, Savero juga bilang kalau Arthur sendiri mempekerjakan beberapa orang dari perusahaan jasa keamanan itu untuk melindunginya secara langsung. "Kerjaan mereka juga nggak becus, toh bokap gue tetap mati diracun orang, walau ada mereka yang katanya di-hire untuk ngelindungin bokap gue." Melvin menambahkan. Pahit sekali rasanya mengatakan itu. Lagi-lagi, Savero hanya mampu menganggukkan kepala. Tanda bahwa ia mengerti dengan perintah yang Melvin berikan untuknya. Savero sendiri tahu, jika Melvin sekarang sedang dalam suasana hati yang begitu buruk. Dan biasanya, jika Melvin sudah seperti ini, dia akan berubah jadi seseorang yang kejam dan berhati dingin. Kali ini, Melvin sedang mode yang begitu, karena ada seseorang yang berusaha untuk mencari gara-gara dengan keluarganya. "Lo juga mulai selidikin, siapa orang yang udah racunin bokap gue, Ro. Dan untuk sekarang, sebaiknya kita masih bergerak diam-diam dulu, sampai ketemu bukti kuat yang nunjukin kalau memang orang dari keluarga Sadajiwa lah pelakunya." Setelah tadi hanya menganggukkan kepala saja, baru sekarang Savero bersuara. "Apa lo yakin kalau emang mereka pelakunya? Gue rasa nggak mungkin deh, Melv. Apa juga tujuan mereka mau bunuh besan sendiri?" Melvin berdecak. "Gue jelas yakin kalau memang mereka pelakunya. Atau kalaupun memang bukan mereka, tapi setidaknya mereka terlibat. Di sini, siapa sih yang melihara segala jenis tumbuhan racun di rumahnya? Bahkan, mertua gue itu bilang sendiri kalau dia sengaja nanam semua tumbuhan racun itu biar bisa digunain di saat butuh. Apa artinya coba kalau begitu? Kemungkinan dia gunain semua racun tanaman itu on daily basis, entah buat apa." "Tapi, tetap aja, gue rasa nggak mungkin mereka orangnya. Nggak ada motif kuat yang bikin mereka mau ngelakuin hal itu ke bokap lo." "Who knows, Ro? Lo tau sendiri, sejak mau nikahin gue sama Lea, Papi tuh udah aneh banget. Dia ngebelain keluarga Sadajiwa sampai mati, yang menurut gue nunjukin kalau dia sebetulnya takut sama mereka. Dan gue juga udah ceritain sendiri kan ke lo, semencurigakan apa keluarga Sadajiwa tuh?" Savero mengangguk. Sedari awal, Savero memang wadah Melvin menceritakan semua keluh kesahnya. Mulai dari pernikahannya dan Lea yang terasa janggal, green house mematikan yang dimiliki oleh keluarga Sadajiwa, hubungan Lea dan Selatan, arena olahraga dan persenjataan yang dimiliki keluarga Sadajiwa, tato huruf K yang mereka miliki, hingga koper milik Lea. Melvin sudah menceritakan semuanya, karena itu ia agak jengkel karena Savero yang masih terkesan tidak percaya. "Pokoknya, sekarang lo harus inget kalau mereka itu musuh kita. Jadi, sebaiknya lo hati-hati kalau ada di sekitar orang mereka." "Lo juga." Melvin mengangguk. "Terus, Lea gimana?" Tanya Savero. "Dia beneran nggak ngabarin lo setelah kalian ribut semalem?" "Gue nggak mau tau gimana dia sekarang. Terserah dia mau pergi kemana pun dan ngelakuin apapun. I'm so sick of her and her family. Kalau bisa, gue nggak akan pernah mau ngeliat mereka lagi." Ekspresi Savero terlihat tidak enak mendengar Melvin bicara begitu. Something is off, pikirnya. "Kalau memang keluarga Sadajiwa pelakunya, gue rasa Lea nggak akan semarah itu deh sama lo." Melvin mendelik pada Savero. "Lo percaya sama mereka?" "Bukan itu maksud gue," tukas Savero. "Gue cuma mau bilang kalau nggak seharusnya lo menarik kesimpulan terlalu cepat begini." "Ini bukan kesimpulan yang asal gue tarik gitu aja, Ro. Selama ini gue udah observasi mereka dan sadar kalau ada yang nggak beres sama keluarga itu. Dan bagi gue, suicide tree itu udah cukup jadi bukti yang kuat kalau mereka emang bersalah." "Melv-" "Gue nggak mau dengar teori lo lagi, pokoknya lo ikutin apa yang gue suruh. Selidikin mereka, cari siapa pelaku yang udah bunuh bokap gue sampai dapat, dan kasih hukuman yang setimpal." Savero hanya mampu menghela napas, menyerah untuk memberikan masukan lain terhadap Melvin, di saat laki-laki itu sama sekali tidak ingin mendengarnya seperti ini. Maka untuk yang ke sekian kalinya hari ini, Savero hanya mampu menganggukkan kepala. "Oke. I'll do the job." "Nice. Lo boleh pergi sekarang." Melvin sudah kembali menghadap ke layar komputernya untuk berkutat lagi pada pekerjaannya. Karena cara terbaik untuk mendistraksi diri dari duka adalah dengan menyebukkan diri, jadi seharian ini Melvin akan melakukan itu. Sebelum Savero pergi meninggalkan ruangan Melvin, ia terlebih dahulu berujar, "Pas lunch break nantia ada baiknya lo temuin Tante Mayana sama Abby. Mereka masih sedih, dan kalau kalian kumpul bertiga, pasti rasanya bakal jadi lebih baik." Tanpa menoleh pada Savero, Melvin hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Namun, Savero tak lantas pergi juga, sehingga Melvin kembali meliriknya. Memberikan Savero tatapan bertanya, sebab ia tahu jika masih ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh tangan kanannya itu. "Satu lagi sebelum gue pergi, Melv," ujar Savero lagi. "Ada baiknya kalau lo hubungin Lea baik-baik. Dia tetap istri lo, mau gimana pun juga. Gue cuma nggak mau lo nyesel, kalau nantinya justru terbukti dia dan keluarganya sama sekali nggak bersalah, Melv." Usai mengatakan itu, kali ini baru lah Savero benar-benar pergi meninggalkan ruangan kerja Melvin. Apakah Melvin akan menuruti hal yang terakhir kali Savero sampaikan padanya tadi? Tentu saja tidak. Melvin bersumpah, ia tidak akan menyesali sikapnya terhadap Lea sekarang. She deserves that. Her whole family deserve that. *** Seperti yang disarankan oleh Savero, waktu istirahat makan siangnya ia manfaatkan untuk pulang ke rumah utamanya guna menjenguk Abby dan ibunya. Sebelum Savero menyuruhnya melakukan itu pun, sebetulnya Melvin memang sudah berniat begitu. Benar kata Savero, selubung duka masih benar-benar menyelimuti mereka. Oleh sebab itu, akan jauh lebih baik jika mereka berkumpul bersama untuk saling menemani dan menguatkan. Sesampainya Melvin di rumah keluarganya yang kini terasa begitu sepi dan lengang itu, ia diberitahu oleh asisten rumah tangga di sana bahwa Mayana sedang pergi ke makam sang suami. Melvin rasa, ibunya akan terus pergi ke makam itu setiap hari, entah sampai kapan. Sementara Abby dikatakan belum keluar dari kamarnya sejak tadi pagi. Setelah mengabari ibunya bahwa ia ada di rumah dan ingin mengajak sang ibu serta Abby untuk makan siang bersama, Melvin pun beranjak untuk menemui Abby di kamarnya selagi menunggu ibunya pulang. Kamar Abby ternyata tidak dikunci. Namun selain Melvin, tidak ada yang berani membukanya karena tahu jika Abby sedang tidak ingin diganggu. Begitu Melvin masuk ke dalam kamar Abby, kondisinya gelap gulita dengan pendingin ruangan menyala dalam suhu rendah, sehingga Melvin merasa begitu dingin ketika ia masuk ke dalam kamar sang adik. Begitu Melvin menyalakan lampu, dilihatnya Abby yang masih bergulung di balik selimut tebalnya. Abby tidak tidur, namun ia diam saja walau tahu ada Melvin yang masuk ke dalam kamarnya. Tatapan kosong Abby pun tertuju ke langit-langit kamar. Melvin pun mendekati Abby, kemudian menyadari betapa kacaunya penampilan Abby sekarang. Kedua matanya bengkak karena terlalu banyak menangis, wajahnya pucat dan sembab, serta rambutnya berantakan. Padahal, selama ini Abby selalu merawat rambutnya dengan baik dan paling benci jika rambutnya berantakan, bahkan di saat tidur sekali pun. Kematian sang ayah jelas lebih mengguncang Abby daripada Melvin. Karena memang sejak dulu, Abby jauh lebih dekat dengan sang ayah. "Abigail," panggil Melvin. Abby tidak menyahut maupun menoleh. "You need to get up now," ujar Melvin lagi. Disentuhnya wajah Abby untuk menyibak rambut dari wajahnya. "Kamu belum makan dari pagi, kan?" Abby membalikkan tubuhnya hingga membelakangi Melvin. "Aku nggak nafsu makan. Bisa nggak kamu keluar aja? Aku mau sendiri." "Nggak bisa," jawab Melvin tegas. "Aku nggak akan kemana-mana. Aku mau makan bareng sama kamu dan Mami siang ini." "Udah kubilang, aku nggak nafsu makan." "But you have to. Kalau nggak makan, nanti kamu sakit." "I don't care." "Tapi semua orang peduli, termasuk Papi yang udah di atas sana sekali pun." Usai Melvin mengatakan itu, isakan samar Abby terdengar. Hati Melvin seolah tersayat mendengar bagaimana Abby yang selama ini selalu ceria dan hobi berceloteh tentang apa saja, tiba-tiba menangis seperti itu. Sungguh bukan Abby yang seperti biasanya. Tapi apa pula yang Melvin harapkan setelah duka yang menghujani keluarga mereka ini? "Nggak...adil..." isak Abby. "Kenapa sih? Kenapa...Papi harus pergi...secepat ini?" Melvin pun merunduk untuk memeluk Abby dan mengecup puncak kepalanya. Sama seperti Abby, Melvin juga merasa jika semuanya tidak adil. Terlebih lagi, ia tahu apa yang Abby tidak tahu, sehingga ketidak adilan ini lebih dirasakannya. Ia sungguh tidak sampai hati untuk memberitahu Abby kalau kemungkinan besar, seseorang membunuh ayah mereka. Surely, it will break her more. "Aku tau semuanya emang nggak adil, tapi kita harus kuat untuk jalanin semua ini. Papi juga pasti mau kita jadi kuat." "Tapi...aku nggak kuat...Melvin...aku nggak bisa bayangin...gimana hidup tanpa Papi..." "It's okay, take your time. Aku siap untuk jadi yang paling kuat di antara kamu dan Mami sekarang. Apa yang terjadi ke nanti, aku yang akan berusaha nguatin kalian. Aku juga janji akan berusaha jadi kepala keluarga yang baik, dan aku akan ngelindungin kalian dengan sebaik mungkin. Cukup kehilangan Papi aja...dan aku nggak akan ngebiarin diri aku kehilangan kamu sama Mami juga." Abby diam saja dan hanya menangis di pelukan kakaknya. Ia tidak mengerti jika di balik perkataan Melvin tadi, ada sebuah keseriusan yang merujuk pada sesuatu yang tidak diketahuinya. Melvin bersumpah, ia benar-benar akan melindungi Abby dan ibunya setelah ini. Tidak akan ia biarkan siapa pun itu yang macam-macam dengan keluarganya, ikut menyakiti mereka. Melvin benar-benar menanamkan itu dalam benaknya. Namun, niat baik Melvin untuk melindungi dua orang yang sangat disayanginya itu seolah langsung dikutuk tidak lama kemudian. Posisinya Melvin masih memeluk Abby, menenangkan sang adik, dan membujuknya agar mau beranjak dari tempat tidur untuk makan siang bersamanya. Belum sempat juga Abby terbujuk, Melvin mendapat sebuah telepon dari nomor tidak dikenal. Begitu telepon itu diterimanya, Melvin langsung menegang di tempat mendengar apa yang dibicarakan oleh orang di seberang sana. "Mami...kecelakaan?" Tidak hanya Melvin yang terkejut, Abby yang ikut mendengarnya pun histeris. Di saat pusara ayah mereka saja masih basah, sebuah musibah baru kembali datang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD