37. Di Balik Pintu Besi

1636 Words
Tidak lama setelah Lea sadar, ia dipindahkan ke ruang perawatan biasa, dan orang-orang lain sudah diperbolehkan untuk menjenguknya. Dan sebelum itu, Melvin lah yang merawat Lea. Memberikan apa yang dibutuhkan oleh perempuan itu, hingga menyuapinya makan. Kecanggungan di antara mereka pun masih terasa dengan jelas, terlebih lagi karena Melvin yang sebelum-sebelumnya sama sekali tidak pernah bersikap manis apa lagi perhatian dengan Lea. Tapi, Lea tahu jika semua sikap Melvin itu tidak lebih untuk menebus rasa bersalahnya. Setelah semua yang terjadi, sedikit membantu untuk merawat Lea adalah sesuatu yang bisa dilakukannya. Setelah beberapa hari, Melvin lah yang berjaga sampai malam untuk menemani Lea di rumah sakit. Padahal, beberapa kali Lea sudah menyuruhnya untuk pulang, dan meminta dirawat oleh salah satu saudaranya saja, namun Melvin menolak dan bersikeras untuk menjaga Lea sendiri. Tidak peduli jika Lea sudah mengingatkan bahwa Melvin pasti memiliki banyak pekerjaan, baik itu di kantor maupun pekerjaan lain, namun Melvin tetap bersikeras untuk menemani Lea di rumah sakit. Selain karena Melvin ingin merawat Lea secara langsung, tidak bisa dipungkiri bahwa ada sedikit trauma yang dirasakan oleh laki-laki itu. Sehingga berada di luar membuatnya merasa tidak aman. Dan berada di rumah sakit ini setidaknya membuat Melvin bisa merasa aman, sebab ada banyak anggota The K yang berjaga di luar kamar rawat Lea. Hermadi juga memberitahu Melvin bahwa ia kembali menugaskan para anggota The K untuk menjaga Mayana dan Abby selama dua puluh empat jam penuh. Kali ini, Melvin tidak bisa untuk berkata tidak. Meski keraguan terhadap keluarga Sadajiwa masih ada, namun proteksi lebih untuk keluarganya jelas sangat dibutuhkan sekarang. Saat ini, kondisi Lea pun sudah jauh lebih baik dibandingkan beberapa hari lalu. Ia sudah tidak lagi merasa lemas, meski terkadang luka bekas operasinya masih terasa sakit. Bahkan, Lea juga sudah bisa makan sendiri sekarang, dan menolak ketika Melvin menawarkan diri untuk menyuapinya. Kini keduanya hanya berdua saja di kamar rawat inap Lea, karena memang seringnya begitu. Kadang-kadang saudara Lea datang secara bergantian, ayahnya juga, serta Mayana dan Abby. Namun, karena keterbatasan jam besuk, mereka pun tidak bisa tinggal terlalu lama. "Udah?" Tanya Melvin setelah dilihatnya Lea mendorong piring makannya yang hanya habis setengah. Lea hanya menganggukkan kepala saja sebagai balasan, membiarkan Melvin mengambil piring itu dan meletakkannya di meja yang ada di sana. Lalu, Melvin memberikan Lea segelas air, dan Lea meminumnya hingga tersisa setengah. Lalu, Lea melirik ke arah jam dinding di kamarnya, mendapati sekarang sudah hampir pukul satu siang. Still a long way to go sampai hari ini berganti. Dan tidak akan ada yang bisa dilakukannya nanti, kecuali menonton televisi. Melvin pun duduk di kursi yang ada di sebelah tempat tidur Lea. Sejak beberapa hari yang lalu, tempat laki-laki itu memang di sana. Kadang-kadang juga di sofa yang ada di kamar VVIP ini. Melvin pun sibuk dengan iPad-nya, mengurusi pekerjaan. Walaupun tidak datang ke kantor, tapi bukan berarti Melvin membuat pekerjaannya terbengkalai. Ia masih memantau semua yang perlu dikerjakannya dari sini. Lea sudah memosisikan dirinya setengah berbaring dan menonton siaran yang ada di layar televisi, sementara Melvin masih sibuk dengan iPad-nya, ketika pintu kamar perawatan Lea terbuka. Keduanya pun menoleh, mendapati Hermadi dan Letta yang baru saja masuk. Melvin bisa merasakan tatapan tidak suka yang ditujukan oleh Letta padanya. Sebenarnya, sejak kejadian itu, semua saudara-saudara Lea memang menunjukkan rasa tidak sukanya pada Melvin secara terang-terangan. Hanya Hermadi dan Lea lah yang masih bersikap baik pada Melvin. Lea menyunggingkan senyum pada ayah dan kakaknya. "Kirain udah lupa kalau aku masih dirawat di rumah sakit," guraunya. Letta tersenyum miring. "Gimana bisa lupa? You almost died, sist." Lea hanya meringis. Sementara itu, Hermadi memandang lurus pada Melvin. "Bisa kita bicara sebentar, Melvin?" Melvin agak terkejut karena Hermadi bilang begitu. Namun, karena berpikir pria itu hendak membicarakan sesuatu yang penting dengannya, maka Melvin pun menganggukkan kepala dan beranjak untuk mengikuti Hermadi yang berjalan keluar dari kamar perawatan Lea. Membuat Lea hanya tinggal berdua bersama Letta saja di sana. Hermadi mengajak Melvin untuk duduk di bangku yang ada di koridor rumah sakit tempat kamar Lea berada. Cukup jauh dari para anggota The K yang berjaga di sana, sebab sepertinya, Hermadi tidak ingin pembicaraannya dan Melvin didengar oleh orang lain. "Gimana kabarmu sekarang, Melvin? Do you feel better?" Melvin tidak langsung menjawab dan berpikir sebentar. Setelah banyak hal yang terjadi pada hidupnya belakangan ini, sulit untuk mengatakan bahwa ia merasa lebih baik. Bahkan, setiap hari ia justru merasa semakin buruk. Melvin tidak menunjukkannya di depan orang lain saja. Namun, pada akhirnya ia menganggukkan kepala pada Hermadi. "Mungkin," jawabnya tidak pasti. "Kalau kutanya apa kamu sudah siap untuk tau semua kebenarannya, bagaimana?" Tanpa ragu, Melvin menganggukkan kepala. "Aku siap." Mau dirinya merasa lebih baik atau tidak, yang ingin diketahui Melvin sekarang adalah kebenaran seperti yang dijanjikan oleh Hermadi sebelumnya. Agar ia bisa lebih cepat memutuskan, apakah memang keluarga Sadajiwa ada di pihaknya, atau justru sebaliknya. Hermadi mengangguk paham. "Kalau begitu, ikut aku sekarang." Dahi Melvin mengerut bingung. "Ke mana?" "Pulang." "Pulang?" "Ya." Hermadi menganggukkan kepala sekali lagi, lalu ia menoleh pada Melvin dan menatapnya lurus seraya melanjutkan, "Untuk mengetahui semuanya, kamu harus ikut aku pulang." *** Semula Melvin sempat berpikir jika pulang yang dimaksud oleh Hermadi adalah pulang ke rumah Melvin. Karena mungkin saja, Hermadi ingin pembicaraan mereka jadi lebih private lagi. Namun ternyata, pulang yang dimaksud oleh Hermadi justru pulang ke rumahnya. Ke kediaman keluarga Sadajiwa. Melvin sempat bertanya, kenapa mereka harus menempuh perjalanan sejauh itu jika yang dibutuhkan oleh Hermadi hanya lah bicara. Dan Hermadi pun bilang jika Melvin tidak akan percaya jika hanya mendengar kata-kata Hermadi saja. Hermadi jelas paham bahwa Melvin butuh bukti yang bisa dilihatnya langsung untuk menyakinkannya. Karena itu, mereka harus pergi ke kediaman Sadajiwa karena Hermadi bilang, semua buktinya ada di sana. Rasanya bohong sekali jika Melvin tidak merasa was-was atas ajakan itu. Karena jika nyatanya keluarga Sadajiwa jahat, seperti dugaan Melvin selama ini, hanya Tuhan yang tahu hal buruk apa yang bisa terjadi padanya. "Boleh aku bawa Savero?" Melvin pun sempat bertanya begitu. Namun, dengan tegas Hermadi menggelengkan kepala dan berujar, "Akan lebih baik jika tidak ada orang lain yang tahu selain kita." Melihat bagaimana Melvin termangu setelahnya, Hermadi pun menyadari apa saja kekhawatiran yang ada di dalam kepala menantunya itu. "Aku bertaruh di atas nyawa anak-anakku, kalau aku dan orang-orangku tidak akan menyakitimu. Jadi, tidak perlu khawatir soal itu. Lagipula, kalau ada sesuatu yang buruk terjadi padamu ketika sedang pergi bersamaku, keluargamu akan langsung tahu. So, it's not a smart way to hurt someone, I guess?" Melvin masih tidak sepenuhnya percaya, namun setelah akhirnya berpikir selama beberapa saat, ia pun memilih menerima ajakan Hermadi itu. Sebab Melvin butuh tahu apapun itu kebenaran yang ingin dijelaskan oleh Hermadi. Tidak butuh waktu lama, Hermadi langsung mengajak Melvin pergi saat itu juga. Tentu saja, sebelumnya mereka berpamitan dengan Lea dan Letta. "Selamat mengetahui kebenarannya, Melvin," ujar Letta dengan nada mengejek, sebelum Melvin dibawa pergi oleh Hermadi. Sementara Lea tidak bilang apa-apa dan hanya melengos saja usai sang suami dan ayahnya berpamitan. Melvin hanya diam di sepanjang perjalanannya menuju rumah keluarga Sadajiwa. Tidak bisa dipungkiri bahwa jantungnya berdetak cepat dan ia merasa gelisah bukan main selama perjalanan itu. Dan perjalanan yang seharusnya terasa lama itu pun, entah kenapa justru terasa begitu cepat. Begitu mobil yang membawanya dan Hermadi memasuki gerbang kompleks perkebunan keluarga Sadajiwa, Melvin makin gelisah. Namun, ia mencoba untuk tetap tenang dan biasa saja. Ia agak bingung ketika mobil itu berjalan begitu saja melewati rumah keluarga Sadajiwa. Mereka justru berjalan lebih lurus lagi, semakin dalam ke area kebun. Melvin pun diam saja dan tidak menanyakan perihal itu. Hingga kemudian, mobil ternyata berhenti di kompleks perumahan yang diketahui Melvin sebagai kompleks perumahan para pekerja yang ada di SA Group. Hermadi jadi yang lebih dulu turun dari mobil. Dan ia pun melongokkan kepala untuk melihat ke dalam mobil begitu sadar bahwa Melvin tidak langsung mengikutinya untuk turun. "Ayo, Melvin." Teguran dari Hermadi itu akhirnya membuat Melvin sadar dari lamunannya dan ia pun mengikuti Hermadi untuk keluar dari mobil. Tentu saja Hermadi memimpin jalan, dan Melvin berjalan mengikutinya. Ada beberapa rumah di kompleks tersebut, namun Hermadi memimpin jalan menuju rumah paling besar yang ada di sana. Ternyata, keadaan rumah itu sepi dan lengang. Bahkan, Melvin tidak melihat siapa-siapa di sana. Dan tidak ada banyak barang-barang juga yang terlihat di rumah itu. Hanya ada barang-barang seadanya, seperti kursi dan meja. Membuat rumah itu tidak terkesan homey sama sekali. Yang agak membuat Melvin terkejut adalah ketika Hermadi terus mengajaknya berjalan hingga ke salah satu sudut rumah, dan membuka pintu yang ada di sana. Melvin pikir, itu merupakan pintu yang akan membawa mereka ke sebuah ruangan. Nyatanya, begitu pintu itu terbuka, yang terlihat justru tangga yang mengarah ke bawah. Rumah ini ada lantai bawah tanah? Itu yang langsung terpikirkan oleh Melvin ketika ia melihat tangga tersebut. Dan Hermadi pun menuruni anak tangga itu yang kondisinya remang karena di sana hanya ada penerangan berupa lampu kuning dengan watt yang kecil. Semakin mereka turun ke bawah, Melvin pun samar-samar dapat mendengar suara orang yang bicara di bawah sana. Hingga akhirnya, mereka tiba di depan sebuah pintu besi dengan ukiran huruf K di permukaannya, suara-suara itu kian terdengar jelas. Hermadi mengetuk pintu besi itu dengan cara yang menurut Melvin tidak biasa seperti orang lain mengetuk pintu pada umumnya. Jelas sekali, ketukan pintu Hermadi itu merupakan ketukan pintu yang mengandung kode rahasia. Jantung Melvin rasanya makin bertalu cepat ketika dari dalam, pintu besi itu terbuka. Wajah Selatan adalah yang pertama kali dilihatnya, sebelum laki-laki itu membukakan pintu kian lebar untuk Melvin dan Hermadi. Begitu dirinya memasuki ruangan itu bersama Hermadi, Melvin spontan menegang di tempat dengan perasaan ngeri. Sebab yang pertama kali dilihatnya adalah tiga orang pria yang duduk terikat di tengah ruangan, dengan kondisi wajah yang babak belur dan berdarah, dikelilingi oleh para anggota The K yang lain, termasuk Selatan. Kepala Melvin rasanya langsung pening melihat pemandangan di depannya. Just...what the actual f**k?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD