19. Cheers For Melvin

2074 Words
Hari yang ditunggu-tunggu oleh Melvin akhirnya tiba juga. Setelah seminggu penuh menginap di kediaman Sadajiwa, hari ini ia sudah bisa kembali ke rumahnya. Yah, meski sepulangnya ia nanti, itu berarti ia sudah resmi serumah dengan Lea sebagai suami-istri dan akan melihat wajah satu sama lain dalam waktu yang lama, tapi berada di rumah sendiri jelas akan terasa lebih baik. Melvin benar-benar merasa seperti baru keluar dari penjara setelah mobil Alphard yang akan mengantarkannya pulang, telah keluar dari gerbang perkebunan milik keluarga Sadajiwa. Akhirnya, ia bebas, dan bisa kembali menghirup udara bebas, tanpa perlu merasakan lagi tidur tidak nyaman bersama Lea, mendengar omelan-omelan pedas nan sarkastik Ella, canggung setiap kali harus berhadapan dengan Poppy, atau merasa tertekan setiap kali berolahraga dengan ayah mertuanya. Selama seminggu ini, akhirnya baru sekarang mood Melvin benar-benar baik, dan ia bisa tersenyum lepas lagi. Ia sudah tidak sabar untuk sampai di rumah dan kembali bekerja besok. Daripada memusingkan Lea dan pernikahan mereka, lebih baik Melvin menyibukkan diri dengan pekerjaan. Di sebelah Melvin, ada Lea yang sedari tadi memerhatikan suaminya itu. Rasanya memang masih aneh memikirkan Melvin sebagai suaminya, tapi begitu lah kenyataannya sekarang. Dan Lea pun sadar kalau Melvin terlihat begitu senang dan tidak bisa berhenti tersenyum, bahkan sejak mereka masuk ke dalam mobil dan memulai perjalanan pulang ini. "Well...seneng banget kayaknya?" Lea akhirnya bersuara, setelah mobil yang dikendarai oleh supir mereka telah meninggalkan kompleks perkebunan milik keluarga Sadajiwa, dan kini mulai memasuki jalan raya. Mendengar suara Lea, secara otomatis Melvin berhenti tersenyum. Tanpa menoleh pada Lea, ia berujar, "Aku emang lagi seneng karena akhirnya bisa pulang, so don't ruin the mood dengan cara ngajak aku ngobrol." Lea mendengus. "What a jerk." "I am." Sesuai permintaan Melvin, Lea memilih untuk tidak bicara lagi, membiarkan Melvin tenggelam sendiri dengan pikirannya, sementara ia sibuk bermain ponsel. Meski tidak menoleh pada Lea dan sedari tadi memilih menghadap jendela, namun Melvin bisa melihat wanita di sampingnya itu lewat pantulan di kaca. Sejak pagi tadi, mereka memang tidak banyak bicara, tepatnya Lea lah yang lebih banyak diam. Mungkin, wanita itu agak bad mood karena tidak rela harus meninggalkan rumahnya dan mulai hari ini, kembali tinggal dengan Melvin secara permanen. Ketika mereka pulang tadi, tidak ada satu pun anggota keluarga Lea yang datang menghampiri mereka untuk berpamitan. Hanya ada asisten rumah tangganya yang bilang kalau Ella sudah berangkat pagi-pagi untuk mengurus sesuatu, sementara Hermadi dan anak bungsunya memang belum pulang dari perjalanan bisinisnya. Entah masalah apa yang perlu diurus Ella pagi-pagi buta hingga tidak sempat lagi berpamitan lagi dengan adiknya, Melvin tidak tahu, dan Lea pun tidak bertanya lebih lanjut. Lalu, tepat sebelum mereka pulang tadi, mereka berpapasan dengan Selatan di pintu depan. Bukan berpapasan sih, tapi lebih tepatnya Selatan memang menunggu untuk memberikan sesuatu pada Lea, yaitu sebuah koper berukuran sedang yang entah isinya apa. "Ini titipan dari Poppy." Hanya itu yang disampaikan oleh Selatan ketika memberikan koper itu. Setelahnya, ia pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Tidak menyunggingkan sedikit senyum pun pada Lea, dan hanya menganggukkan kepala singkat pada Melvin. Berhubung Melvin tidak ingin merusak mood-nya yang sedang baik pagi ini karena bisa pulang ke rumah, ia pun tidak mau terlalu memikirkannya. Tapi sekarang, mengingat koper yang diberikan Selatan pada Lea, membuatnya jadi penasaran. Ia tidak tahu apa isi dari koper itu, sementara Lea akan membawa koper tersebut ke rumah mereka. Rumah dimana Melvin tinggal di dalamnya. Ia jelas tidak mau Lea membawa sesuatu yang berbahaya atau terlarang masuk ke dalam rumah, well...meski ia sendiri turut pulang dengan membawa hadiah pistol dari ayah mertuanya kemarin. Melvin pun menoleh pada Lea yang kini sudah tidak lagi sibuk bermain ponsel, namun tengah memejamkan mata sembari bersandar nyaman pada sandaran kursi mobil. "Aku mau nanya sesuatu sama kamu." Lea tidak menjawab. "Ck, aku tau kamu nggak tidur. Jadi, nggak usah pura-pura nggak dengar aku ngomong apa." Lea membuka mata. "Tadi katanya aku nggak boleh ngomong biar nggak ngerusak mood kamu." "Sekarang boleh karena aku mau nanya sesuatu." "Nanya apa?" Tanya Lea diiringi helaan napas panjang. Terlihat sekali kalau ia jengkel pada Melvin. "Better make it quick ya, so you don't ruin my mood." Tentu saja yang dikatakan oleh Lea itu sarkastik untuk membalas perkataan Melvin sebelumnya. Melvin mengabaikannya saja dan langsung bertanya tanpa basa-basi, "Apa isi koper yang dikasih sama mantan kamu itu?" "Itu dari Poppy, bukan dari Selatan." "Okay, whatever. Apa isinya?" "Hadiah dari Poppy buat aku." "Ya isinya apa?" "Kenapa kamu ngebet banget mau tau? Bukannya itu udah sepakat untuk nggak ikut campur urusan masing-masing ya?" Melvin berdecak. "Aku cuma mau tau apa yang mau kamu bawa ke rumah kita. Jangan bilang kalau isi koper itu senjata, sama kayak yang dikasih Papa kamu ke aku? Karena kalau iya, I can't let it in. Aku nggak mau ada sesuatu yang berbahaya...atau ilegal, kamu simpan di rumah kita." Lea tertawa mengejek. "Kamu tuh emang nggak bisa ya kalau sehari aja nggak berprasangka buruk sama aku dan keluarga aku?" Melvin membalasnya hanya dengan mengedikkan bahu. Tanpa perlu menjawab pertanyaan itu, jawabannya sudah jelas sekali, dan Lea tahu itu. "Isinya baju, hadiah dari Poppy. Dia belum kasih kado pernikahan ke aku, dan dia bilang mau kasih aku baju baru sekoper. That's it." Ganti Melvin yang tertawa. "Kamu pikir aku percaya?" "Cek aja sendiri kalau emang nggak percaya." "Oke." "Kalau ternyata isinya nggak sesuai ekspektasi kamu, do something for me ya." "What?" Lea mengerling nakal. "Sleep with me tonight." *** Apa akhirnya Melvin membuka koper itu? Jawabannya tidak. Begitu sampai dan supir mereka sibuk menurunkan barang-barang keduanya dari bagasi, Melvin memang sempat mendekat untuk memeriksa koper berwarna silver tersebut. Lea pun mengekorinya, sengaja ingin melihat apa yang hendak dilakukan Melvin pada koper tersebut. Melvin tahu, Lea merupakan seseorang yang nekat, dan tidak main dengan perkataannya sendiri. Ketika dia bilang mau Melvin untuk tidur bersamanya jika ternyata isi koper itu bukan lah sesuatu yang berbahaya seperti yang dibayangkannya, Melvin tahu kalau Lea serius. Dan tidur yang dimaksud oleh Lea jelas merupakan tidur dalam tanda kutip. Melvin tidak mau termakan omongannya sendiri dan dianggap sengaja mau melihat koper itu untuk bisa tidur dengan Lea. Tidak, belum saatnya bagi mereka untuk melakukan hal itu. Lagipula, ada baiknya jika mereka melakukannya hanya ketika mereka sudah sepakat untuk memulai program memiliki anak. Jadi, yang dilakukan oleh Melvin hanya lah mengguncang-guncang koper itu untuk mendengar isinya. Koper itu pun tidak terlalu berat, dan tidak ada suara apapun yang Melvin dengar ketika ia mengguncangnya, menandakan bahwa koper tersebut berisikan benda yang tidak keras maupun tajam. Meski masih menaruh curiga, namun Melvin memutuskan untuk percaya bahwa isinya adalah pakaian. Belum terlalu lama sampai di rumah mereka, Melvin mendapat telepon dari orang tuanya yang mengabarkan bahwa mereka ingin Melvin dan Lea ikut makan siang bersama dengan mereka siang ini. Mereka tahu kalau Melvin dan Lea sudah pulang, karena itu mereka langsung mengajak mereka unuk makan siang bersama. Niat Melvin untuk beristirahat di kamarnya, lalu dilanjutkan dengan mempelajari data-data perusahaannya pun harus diurungkan karena permintaan makan siang tiba-tiba itu, yang tentu saja tidak bisa mereka tolak. Belum sampai dua jam tiba di rumah, akhirnya Melvin dan Lea harus pergi lagi menuju restoran yang sudah direservasi oleh orang tua Melvin. Sesampainya di restoran Jepang fancy itu, keduanya langsung diarahkan ke sebuah ruang VIP. Sudah orang tua Melvin, Abby, serta Savero di sana. Ternyata, Melvin dan Lea jadi yang terakhir sampai. Keduanya pun disambut dengan hangat, terutama Mayana Wiratmaja yang langsung sumringah begitu melihat Lea. Sekuat tenaga Melvin menahan untuk tidak memutar bola mata di depan mereka semua, karena melihat Lea yang sekarang sedang pura-pura bersikap manis. Memuakkan. Lea pun duduk di antara sang ibu mertua dan juga adik iparnya di meja bundar itu, sementara Melvin diapit oleh ayahnya dan Savero. Melvin bisa menangkap tatapan penuh arti yang diberikan oleh Abby padanya, serta Savero yang tiba-tiba saja merangkulnya singkat seraya berbisik, "Siap-siap, bakal ada kejuta buat lo." Wah, perasaan Melvin langsung tidak enak. Rasanya agak traumatis mendapat kejutan dari orang tuanya sendiri. Mengingat kejutan terakhir yang didapatnya dari mereka adalah seorang istri bernama Azalea Sadajiwa. Kejutan apa yang bisa lebih buruk daripada itu? Melvin hendak bertanya lebih lanjut pada Savero, namun Arthur Wiratmaja, sudah bicara duluan sehingga seluruh perhatian pun jadi terpusat padanya. "So, how was your stay there?" Tanya Arthur pada Melvin maupun Lea. Melvin bisa melihat Abby yang menahan tawa karena pertanyaan itu, sebab adiknya itu tahu betapa Melvin merasa sangat tersiksa dan tidak nyaman selama ia tinggal di rumah keluarga Sadajiwa. Namun, tentu saja ia tidak bisa mengatakan itu pada orang tuanya. Selain karena mereka akan menganggap itu bukan masalah besar, kemungkinan juga orang tua Melvin akan menganggap bahwa Melvin terlalu berlebihan. Jadi, Melvin hanya menganggukkan kepala saja. "It's fine." Sementara Lea hanya tersenyum. "Bagus deh kalau begitu," sahut Mayana. "Mami harap kamu bisa lebih akrab lagi ya sama saudara-saudaranya Lea." Akrab apanya? Melvin justru dongkol bukan main pada mereka semua. Tapi lagi-lagi, Melvin hanya menganggukkan kepala. "Iya, Mi." "Terus gimana? Setelah ini kalian mau bulan madu dimana?" Kali ini Savero yang menahan tawa usai Arthur kembali bertanya. Laki-laki itu tahu jika Melvin sama sekali tidak menyukai pertanyaan tersebut. "Aku sama Melvin udah sepakat untuk nggak bulan madu dulu, Pi." Lea membantu Melvin menjawab. "Karena sekarang juga kayaknya Melvin lagi sibuk, jadi bulan madunya bisa nanti aja." "Nggak bisa gitu dong. Namanya pengantin baru ya harus bulan madu," sahut Abby. "Padahal aku mau kasih hadiah bulan madu loh ke kalian. Pilih aja mau ke mana, hunting aurora borealis di Finlandia? Safari trip ke Afrika? Atau mau ke destinasi klasik honey moon kayak Hawaii? Bilang aja, I'll make it happen." Melvin menggelengkan kepala. "No, thanks." Sementara Lea hanya tersenyum meringis. Sama seperti Melvin, ia juga tidak menginginkan honey moon bersama. Karena percuma saja, kan? Mereka tidak akan melakukan apapun jika melakukan perjalanan bulan madu itu. Mayana tertawa. "Oh, ayo lah Melvin, jangan tolak hadiah dari adik kamu itu. Sama kayak Mami, Abby juga mau liat kamu cepat-cepat punya anak." "We all do, actually." Melvin mendelik sebal pada Savero yang ikut-ikutan. Ah, sial. Melvin sungguh tidak suka pembicaraan ini. Jika memang kejutan yang dimaksud oleh Savero adalah desakan agar Melvin bisa cepat punya anak, maka ia tidak akan menerima itu. Melvin tidak mau terlalu cepat memiliki anak bersama Lea, karena masih ada banyak hal yang dikhawatirkannya. Bukan hanya perihal kecurigaannya terhadap keluarga Sadajiwa, tapi juga kekhawatirannya terhadap perasaan sendiri. Melvin takut, ia tidak akan bisa menyayangi anaknya sebagaimana mestinya, karena anak itu akan lahir dari rahim Lea, wanita yang sama sekali tidak dicintainya. Arthur berdeham, membuat perhatian semua orang di ruangan itu kembali tertuju padanya. "Yah, sebenarnya kapan kalian mau punya anak itu urusan kalian berdua. Tapi, kami semua memang maunya kalian bisa punya anak secepatnya, tanpa menunda-nunda," ujar Arthur. "Dan Papi juga setuju kalau kalian seharusnya bulan madu, selain untuk mendekatkan hubungan kalian, juga untuk membuat image hubungan kalian baik di depan publik." Artinya, Melvin dan Lea harus bulan madu agar orang-orang percaya bahwa hubungan pernikahan mereka baik-baik saja, dan mereka terlihat seperti pasangan pengantin baru yang dipenuhi rasa cinta. Memuakkan sekali. Melvin sampai berdecak diam-diam setelah mendengar itu. "Tapi, kalian baru bisa pergi bulan madu setelah pelantikan Melvin nanti." Kali ini, sebelah alis Melvin terangkat. "Emang kapan pelantikannya, Pi?" "Minggu depan." "What?! Minggu depan? Apa Papi nggak salah?" "Pelantikan kamu minggu depan." Arthur mengulang sekali lagi. "Papi nggak salah dan kamu pun nggak salah dengar, karena memang Papi mau kamu dilantik secepat mungkin." Di tempat duduknya, Melvin terdiam karena terkejut. Walau tahu bahwa dirinya akan menggantikan sang ayah sebagai direktur utama perusahaan mereka dalam waktu dekat, namun Melvin tidak berekspektasi jika pelantikannya akan terjadi secepat ini. Ia pikir masih ada waktu dua atau tiga bulan lagi, bukannya satu minggu. Sulit bagi Melvin untuk memproses ini semua karena kesannya terlalu tiba-tiba. What the heck? Kenapa bisa secepat ini? Melvin masih bengong, ketika Arthur mengangkat gelas wine-nya. "Cheers for Melvin as the new CEO of Rangkai Bumi." Yang lain mengikuti, mengangkat gelas wine mereka masing-masing, kecuali Melvin sendiri. "Cheers for Melvin as the new CEO of Rangkai Bumi." Lalu, tanpa sengaja tatapan Melvin dan Lea bertemu. Dan Melvin melihat sang istri tersenyum miring padanya. Melvin tidak lah bodoh dan ia bisa membedakan beberapa jenis senyuman yang orang-orang berikan untuknya. Senyuman yang terukir di bibir Lea itu pun bukan lah senyuman tulus untuk mengapresiasi kabar yang baru saja disampaikan, bukan juga senyuman palsu untuk menunjukkan bahwa ia pura-pura senang seperti yang lain dengan kabar ini. Lea justru tersenyum miring yang seolah ditujukan untuk mengejek Melvin. Well...apa maksudnya itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD