18. You Never Know

1631 Words
"Abby, it's crazy! Aku beneran ditatar tau nggak di sini?! It's literally a week of hell. I hate it here." Tawa renyah Abby terdengar dari sambungan telepon mereka, usai Melvin mengeluhkan itu kepada sang adik. Melvin mendengus keras, sebal karena keluhannya justru dianggapi dengan tawa, di saat ia sendiri tidak bergurau. "Nggak usah ketawa, ini nggak lucu." Tawa Abby justru makin keras. "Abisnya, tumbenan banget kamu telepon cuma untuk ngeluh," balas Abby. "Aku rasa kamu cuma hiperbola aja deh. Apa buruknya sih cuma sekedar disuruh olahraga? Lagian, kamu kan emang rajin nge-gym dari dulu, Melv. So, what's so hard about it?" Melvin mengerang. "Udah lah, kamu nggak akan ngerti." "Apa sih? Kok malah ngambek? Nggak biasanya kamu ngeluh dan ngambek begini." "Bye, Abby." "s**t, Melv, you're so-" Melvin tidak membiarkan Abby menyelesaikan kaa-katanya karena ia sudah terlebih dahulu mengakhiri telepon mereka. Biar saja nanti Abby marah padanya, Melvin sudah terlanjur malas bicara pada Abby, karena adiknya yang tidak mengerti sama sekali dengan apa yang dirasakan oleh Melvin selama hampir satu minggu tinggal di rumah keluarga Sadajiwa. Seperti yang disampaikan pada Abby tadi, it's like a week of hell. Melvin betul-betul merasa seperti ditatar, persis seperti yang dikatakan oleh Ella padanya beberapa hari lalu. Rasanya Melvin seperti kembali ke zaman kuliahnya, dimana ia sebagai anggota baru di dormitory-nya ditatar oleh para senior. Tidak hanya di Indonesia saja ada yang namanya senioritas, di luar pun juga ada, bahkan lebih parah. Ya memang sih Melvin tidak diperlakukan seperti korban bully di rumah ini, tapi dia diperlakukan seperti peserta training kebugaran yang hendak ikut perlombaan. Like for God's sake, memangnya begini rasanya tinggal di rumah mertua? Selama hampir satu minggu ini, Melvin dan Lea sama sekali tidak keluar sama sekali dari kediaman keluarga Sadajiwa. Rasanya Melvin seperti terkurung di dalam sana, dan muak dengan kegiatan yang harus dihadapinya setiap hari. Apa yang harus Melvin lakukan? Olahraga. Iya, dari hari pertama dirinya berada di sana, kegiatan Melvin bersama keluarga Lea hanya diisi oleh olahraga dan olahraga. Pagi-pagi, ia diajak oleh mertuanya sparing karate atau lari keliling perkebunan. Berkali-kali Melvin harus menahan malu karena ia terus kalah dalam sparing melawan Hermadi Sadajiwa yang kuat, dan jadi yang pertama kali kelelahan setiap mereka lari pagi bersama. Padahal, Melvin bukan lah seseorang yang payah dalam berolahraga. Namun, karena intensitas olahraga bersama ayah mertuanya sangat tidak manusiawi, Melvin jadi kewalahan sendiri. Lalu, kegiatannya berlanjut dengan latihan menembak bersama Ella. Tidak perlu diragukan, Dianella Sadajiwa merupakan seorang penembak yang handal. Namun, jelas dia bukan lah seorang pelatih yang baik, apa lagi menyenangkan. Rasanya Melvin stress sendiri karena menghadapi Ella yang galak setiap harinya. Jika Melvin belum memenuhi target latihannya hari itu, maka Ella tidak akan mau menghentikan latihan mereka. Padahal, Melvin sendiri tidak terlalu senang dengan kegiatan menembak. Ia tidak suka bagaimana tangannya yang jadi bergetar setelah menembakkan peluru, serta suara berisik di lapangan tembak itu yang masih kerap terdengar meski ia sudah mengenakan penutup telinga. Selain itu, Melvin juga diajari hal lain. Ada Poppy yang mengajarinya memanah, serta Lea yang mengajarinya melempar pisau, serta one on one combat yang menggunakan pisau atau benda tajam lain. Rasanya Melvin ingin protes saja karena semua kegiatan yang dilakukannya di kediaman keluarga Sadajiwa sama sekali tidak mencerminkan kegiatan yang biasa dilakukan oleh pengantin baru. Kalau pun tujuannya untuk mendekatkan Melvin dengan keluarga mereka, rasanya ada banyak cara lain daripada membuatnya melakukan olahraga-olahraga yang bisa digunakan sebagai pertahanan diri. Melvin yakin jika ada maksud tersembunyi dari semua kegiatan itu. Tapi, setiap kali Melvin bertanya pada Lea apa tujuan dirinya dilatih seperti ini, Lea selalu saja menjawa, "Nggak ada kok. Ini emang cuma tradisi keluarga aja, dan Papa mau para menantunya punya basic bela diri, nggak cuma untukk ngelindungin diri sendiri, tapi juga untuk ngelindungin anak-anaknya Papa." Entah lah, sangat sulit bagi Melvin untuk percaya itu. Terlebih lagi, ia tahu kalau semua putri-putri Sadajiwa memiliki kemampuan bela diri yang sangat baik dan mereka lebih dari mampu untuk melindungi diri sendiri. Mereka semua menguasai martial arts, ditambah lagi kemampuan menembak, one on one combat, dan yang lainnya. Bahkan, Lea bisa dengan mudah membanting Melvin. And that was something he felt so ashamed of. Meski menjalani semua kegiatan itu dengan berat hati, namun Melvin juga tidak bisa menolak melakukan semua kegiatan yang diminta oleh keluarga Sadajiwa untuk dilakukannya, karena Hermadi Sadajiwa sendiri kerap mengawasi semua latihan Melvin. Jadi, tidak salah kalau Melvin bilang dirinya betulan sedang ditatar selama di sini. Tidak lama setelah Melvin selesai bicara di telepon dengan Abby, Lea keluar dari kamar mandi. Perempuan itu masih memakai kimono mandinya, dan rambutya dibebat dengan handuk. Ada senyum geli yang terukir di bibirnya begitu mendapati Melvin yang tengah cemberut di atas tempat tidur. "Kenapa?" Tanya Melvin tidak suka. Lea jelas sekali sedang meledeknya. "Nggak sengaja aja dengar kamu curhat sama Abby," ujar Lea jujur. "Ngerasa ditatar banget?" Melvin memilih melengos dan mendengus. Lea pun duduk di sebelah Melvin yang tengah berbaring di tempat tidur, lalu ia sibuk mengoleskan lotion di kedua lengan dan kakinya. "Kupikir kamu suka olahraga, masa cuma disuruh segini doang kamu udah ngerasa capek sih? Didn't know that you're this weak." "I'm not weak," protes Melvin. "Aku masih nggak ngerti aja kenapa harus ngelaluin semua latihan ini, as if aku bakal berantem sama orang, atau gunain pistol untuk nembak orang lain. I would never do that." "Oh babe...you never know." Melvin melirik Lea curiga. "Apa jangan-jangan kalian semua pernah nembak orang? Atau diharuskan untuk nembak orang? Makanya bisa nembak selancar itu ya?" Lea mengedikkan bahu. "Menurut kamu gimana?" Oh, Melvin benci sekali dengan cara Lea yang selalu saja membalikkan pertanyaannya, tanpa benar-benar menjawab apa yang ingin Melvin ketahui. Dia benar-benar tahu bagaimana caranya membuat Melvin kesal, tanpa membocorkan apapun. "You and your family are so weird." Lea terkekeh. "Tapi jangan lupa, kamu sekarang bagian dari keluarga aneh ini." "You wish," gerutu Melvin kesal. Lalu, ia menarik selimut dan membelakangi Lea, bersiap untuk tidur lebih cepat setelah melewati harinya yang panjang. "Make sure besok beneran hari terakhir kita stay di sini. Aku nggak mau dengar kita harus extend or whatsoever. Lusa aku mau pulang." Lea tertawa lagi, lalu tanpa izin menepuk pelan b****g Melvin. "You're so grumpy, Mr.Hubby." "LEA!" Protes Melvin itu tidak diindahkan sama sekali oleh sang istri yang hanya tertawa-tawa puas. Lagi-lagi, malam ini Melvin tidur dalam keadaan cemberut. *** "Akhirnya, perfect score!!!" Itu seruan Lea, serta dilihatnya Melvin berhasil menembak dengan sempurna bagian tengah dari papan target yang ada di depan. Setelah satu minggu berlatih, akhirnya Melvin berhasil melakukan itu. Melvin langsung menoleh pada Ella yang ada di sebelahnya. Meski Melvin sudah berhasil mendapatkan perfect score, namun Ella sama sekali tidak terlihat terkesan. Raut wajahnya tetap saja datar. "Took you long enough to do that," ujarnya. Sekuat tenaga Melvin menahan diri untuk tidak memutar bola mata dan berdecak di depan kakak iparnya ini. "Jadi, latihan kita udah selesai, kan? Aku udah berhasil dapat perfect score tuh." "Ya, ya, ya." Ella mengangguk ogah-ogahan. "Tapi tetap aja performa kamu nggak terlalu bagus karena butuh waktu seminggu untuk kamu dapat perfect score. Seharusnya, dua hari latihan juga bisa." Fuck you, Dianella Sadajiwa. "Yang penting kan Melvin udah bisa sekarang," ujar Lea. "Tetap aja, suami kamu ini masih butuh latihan. Setidaknya seminggu sekali." Melvin buru-buru menggelengkan kepala. "No thanks. Sebentar lagi cuti aku selesai, dan aku bakal super sibuk." Ella memutar bola mata dan mencibir. "Cih, alesan." Lalu, perempuan itu berjalan menuju ruang penyimpanan, dan kembali lagi ke hadapan Melvin dengan membawa sebuah koper kecil yang tadi dibawanya dari ruang penyimpanan senjata. Ella memberikan koper kecil itu pada Melvin yang langsung mengernyit bingung melihatnya. Sebelum menerima koper itu, Melvin terlebih dahulu melirik Lea. "Ambil aja," kata Lea pada sang suami. "Itu buat kamu, dari Papa. Cuma Papa nggak bisa ngasih langsung karena dari hari ini sampai lusa nanti, ada urusan di luar kota." Melvin pun mengambil koper kecil itu, dan langsung membukanya di depan mereka berdua. Begitu melihat isi di dalamnya, Melvin terkesiap. Terdapat sebuah sebuah pistol di dalam koper tersebut, lengkap dengan amunisinya. Just what the hell? Mertua mana yang memberi menantunya pistol? Melvin menggelengkan kepala. "I can't accept that. Aku nggak mau menyimpan senjata berbahaya semacam ini di rumah. Lagian, emangnya aku boleh punya ini? Gimana soal izin dan segala macemnya?" Ella terkekeh sinis. "Jadi, kamu mau nolak hadiah dari Papa gitu? Kok nggak sopan banget ya?" Again, f**k you Dianella Sadajiwa. "Iya, Papa pasti kecewa kalau kamu nolak hadiah pemberiannya. Just take it, Melvin baby. Soal perizinan dan segala macemnya juga nggak perlu kamu pikirin, semuanya udah beres. Dan Papa juga kasih itu supaya aku semakin semangat latihan nembak." And f**k you too, Azalea Sadajiwa. Dua kakak-beradik ini, begitu juga dengan ayah mereka, sama-sama gila karena memberi Melvin hadiah pistol. Dan mau tidak mau, Melvin harus menerima hadiah ini, meskipun ia sudah berniat untuk membuang seluruh amunisinya nanti. Dia tidak mau menyimpan benda seberbahaya itu. Lagi pula, Melvin tidak akan pernah menggunakannya. Untuk apa pula? Menembak maling? Mengancam orang lain? Dia jelas bukan orang yang seperti itu. Seolah bisa membaca pikiran Melvin, Ella tersenyum miring. "You better use it well, dearest in-law. Jangan sampai dipake buat bunuh diri loh," ujarnya setengah bergurau dan setengah serius. Lea tertawa. "Ya, nggak mungkin lah Melvin bunuh diri. He loves himself so much." "Jangan juga dipake untuk bunuh Lea. Kalau sampai kamu ngelakuin itu, aku yang bakal ngebales dengan cara nembak kamu tepat di bola mata." Lea tertawa lagi. Dirangkulnya Melvin dan ia menyandarkan kepala di bahunya. "Of course he won't kill me, Kak Ella," ujar Lea manis, lalu ia mendongak untuk menatap suaminya itu. "Iya kan, Melvin baby?" Tentu saja Melvin bukan pembunuh dan tidak ada niatan untuk membunuh orang lain, terutama istrinya sendiri. Tapi, siapa yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan nanti? Seperti kata Lea semalam, oh babe...you never know.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD