17. Welcome to The Family

2075 Words
"Melvin, bisa bela diri apa aja?" Ada sesuatu yang menurut Melvin terasa menyeramkan ketika ia ditanya begitu oleh ayah mertuanya sendiri. Sekarang, mereka sudah berada di gym yang ada di kediaman keluarga Sadajiwa. Untuk ukuran gym yang berada di rumah, gym di rumah ini terbilang besar dan lengkap. Alat-alat yang ada sudah setara dengan tempat gym sungguhan. Ditambah lagi, ada area yang agak terpisah, di mana lantainya ditutupi oleh matras, tempat untuk berolahraga bela diri. Nah, mereka ada di tempat yang lantainya penuh matras itu. Tepatnya, hanya Melvin dan ayah mertuanya saja. Sementara Lea langsung melakukan treadmill ketika mereka masuk ke gym ini, dan Ella tidak kelihatan dimana-mana. Entah ke mana perginya kakak ipar Melvin yang aneh itu. "Aku nggak terlalu suka olahraga bela diri, Pa. Tapi dulu pernah nyoba karate, dan sempat rutin boxing juga." Hermadi mengangguk-anggukkan kepala puas. Beliau sendiri masih bertelanjang d**a seperti ketika sarapan tadi, menunjukkan semua tato yang ada pada tubuhnya. "Bisa bela diri itu penting," ujarnya. "Sebagai bapak dari empat anak perempuan, aku mewajibkan putri-putriku untuk bisa bela diri sedari mereka kecil agar bisa melindungi diri sendiri kalau ada bahaya. Tapi, meski mereka mampu untuk melindungi diri sendiri, aku juga mau mereka punya pasangan yang bisa melindungi mereka." Melvin menelan ludah mendengarnya. It sounds scary to him. "Nah, Melvin, can you protect Azalea as your wife?" Pertanyaan itu mungkin bisa saja terdengar seperti gurauan bagi orang lain. Tapi bagi Melvin, ia bisa mendengar ada sedikit intimidasi dan ancaman dalam pertanyaan itu. Hermadi semacam mengisyaratkan pada Melvin kalau ia akan marah jika kenyataannya Melvin tidak mampu untuk melindungi putrinya. "Sebagai suaminya Lea, aku pasti akan berusaha untuk melindunginya kalau memang dibutuhkan."  "Prove it then." "I'm sorry?" "Prove it to me, Melvin," ulang Hermadi sekali lagi. "Kamu pilih, mau karate atau boxing, itu terserah kamu. I'm fine with every martial arts karena memang aku menguasai semuanya. Karate, boxing, taekwondo, judo, kungfu, even wrestling. I can do it all." Oh, f**k. Melvin mengumpat dalam hati. "Ini tradisi yang kubuat untuk keluarga Sadajiwa. Suaminya Letta pun dulu juga harus sparing denganku untuk membuktikan apakah dia mampu melindungi putriku. Dan begitu pun dengan Selatan nanti, atau dengan pasangan Ella. Kalian semua harus membuktikan kalau kalian mampu melindungi mereka, supaya aku bisa merasa aman untuk memercayakan mereka pada kalian semua." Rasanya Melvin langsung mual. Biasanya, ia merupakan seseorang yang dipenuhi oleh kepercayaan diri, tapi kali ini tiba hari di mana rasa percaya diri Melvin merosot drastis. Sparing dengan Hermadi Sadajiwa alias mertuanya sendiri? Yang benar saja? Meski pun Melvin masih muda, tapi Hermadi memiliki tubuh yang lebih besar darinya, dan beliau masih terlihat begitu kuat dan bugar meski usianya sudah lebih dari setengah abad. Selain itu, rasanya juga membingungkan karena harus sparing dengan seseorang yang lebih tua, terlebih lagi mertua sendiri. Pasti ada rasa tidak enak untuk terlalu melawan dan mengerahkan seluruh kekuatan, apa lagi jika sampai ia menyakiti mertuanya sendiri. It's very inappropriate. "Jadi gimana, Melvin? Karate atau boxing?" "Karate." Melvin jelas tidak mau memilih boxing karena jika dirinya memukul Hermadi, rasanya pasti sangat tidak sopan. Hermadi tersenyum puas. "Karate it is." Ah, demi apapun, perasaan Melvin begitu tidak enak. Ia sudah yakin akan kalah, karena terakhir kali ia melakukan bela diri ini saja sudah bertahun-tahun yang lalu. Melvin rasa mustahil baginya untuk menang, namun kalau dia sampai kalah...seumur hidup ia akan merasa malu pada ayah mertuanya ini. Sebelum mulai sparing, Hermadi terlebih dahulu mengajak Melvin untuk mengganti pakaian mereka dengan gi alias baju karate yang ada di lemari di sana. Sudah Melvin bilang, gym ini begitu lengkap. "Kamu kemarin sudah sampai sabuk apa, Melvin?" Tanya Hermadi selagi mereka mengenakan gi. "Hitam." Yah, setidaknya waktu itu Melvin konsisten dengan karate-nya sehingga berhasil mencapai sabuk hitam, sehingga pertanyaan itu tidak membuatnya malu. Hermadi tersenyum. "Kalau begitu kita setara." Semoga saja, kesetaraan itu masih bisa membuat Melvin menang. Sebelum Melvin dan Hermadi melakukan sparing, Lea muncul, bersama Ella yang entah kapan sudah berada di dalam gym ini. Perempuan itu sudah jauh lebih segar sekarang, tidak lagi sengantuk sebelumnya, dan sudah memakai legging serta sport bra serba hitam bermerek Versace. Ditonton oleh mereka, Melvin jadi merasa tertekan sendiri. Malunya akan terasa berkali-kali lipat kalau ia betulan kalah. Dilihatnya Lea tersenyum. "Jangan malu-maluin ya, Melvin baby," ledek Lea. "You have to beat Papa." Ella mencibir. "I bet, nggak sampai lima menit Melvin udah dibanting Papa." "Oh, shut up, Kak. Don't jinx it." "Just realistically speaking. Siapa sih yang bisa ngelawan Papa? Bahkan Selatan yang terkuat di Ka-" Ella diam sejenak karena disikut oleh Lea, lalu ia mengoreksi pembicaraannya, "I mean di keluarga kita aja, masih kalah sama Papa." Hermadi tertawa. "Kalian tenang aja, I won't be too hard on him." Sial, sparing ini jadi kian terasa mengerikan. "Gimana, Melvin? Siap?" Sebenarnya tidak, tapi Melvin menganggukkan kepala saja. Dan sparing itu pun dimulai. Mulanya, Melvin takut untuk menyerang dan ia membiarkan Hermadi yang menyerangnya duluan. Dan syukurnya, ia bisa menangkis semua serangan itu. Dan ketika akhirnya Melvin mulai menyerang, Hermadi juga bisa dengan cepat menangkisnya, lalu di luar dugaan Melvin, membuatnya terbanting ke atas matras. Tebakan Ella benar, Melvin berhasil dibanting oleh Hermadi kurang dari lima menit. Perempuan itu tertawa puas, oh bahkan Lea juga tertawa, dan itu benar-benar membuat Melvin malu bukan main. Hermadi membantu Melvin berdiri seraya berkata, "Welcome to the family, Melvin." Dan setelahnya, sparing terus berlanjut, dengan Melvin yang berhasil dibanting beberapa kali oleh sang ayah mertua. *** Tidak perlu ditanya lagi semalu apa Melvin karena sudah dikalahkan oleh ayah mertuanya sendiri dalam sparing karate mereka. Terlebih lagi, ia menjadi bahan tertawaan Lea dan Ella. Mereka sepertinya puas sekali melihat Melvin beberapa kali dibanting ke matras oleh ayah mereka, tanpa diberikan kesempatan untuk menang sama sekali. Seumur hidup, rasanya baru kali ini Melvin begitu malu, dan harga dirinya sebagai pria jadi tercoreng. Tapi, bukannya terlalu hiperbola atau mau mencari pembelaan, kenyataannya memang Hermadi Sadajiwa begitu kuat. Dan teknik karate yang dimilikinya jelas lebih hebat dibandingkan Melvin. Rasanya, dibandingkan menjadi seorang pebisnis, Hermadi jauh lebih cocok jadi pelatih kebugaran karena tubuhnya yang begitu kuat dan kemampuannya dalam banyak olahraga yang tidak perlu ditanya lagi. Bahkan Melvin pun tidak akan heran jika diberitahu bahwa kepala keluarga Sadajiwa itu merupakan seorang mantan atlet. "Papa kamu pasti kecewa karena ternyata aku gagal membuktikan diri sebagai sosok menantu yang kuat. Yang mungkin nggak akan bisa ngelindungin putrinya misal ada bahaya." Melvin mengatakan itu pada Lea ketika mereka berjalan keluar dari gym. Hermadi sudah terlebih dahulu pergi karena ada urusan pekerjaan, sementara Ella juga sudah pergi duluan dan bilang kalau dia akan menunggu mereka di lapangan tembak dan panahan. Lea terkekeh. "Papa tuh cuma ngerjain kamu aja," ujarnya. "Suaminya Kak Letta juga gitu kok dulu. Dan dia juga nggak bisa ngalahin Papa. Emang dasar si Papa aja yang terlalu kuat." Speaking of Letta, Melvin jadi teringat dengan omongan kakak sulung Lea itu di hari perikahannya. Dia bilang, atau lebih tepatnya mengancam agar Melvin tidak menyakiti Lea, karena ia tidak mau Lea berujung sepertinya. Hal itu cukup membuat Melvin heran. "Letta ke mana emangnya? Kenapa nggak ikut kumpul di sini? Aku juga jarang lihat suaminya." "Kok kamu kepo? Udah mulai peduli?" Melvin berdecak. "Aku nanya karena aku mau tau." "Mereka sibuk kerja." Hanya itu jawaban singkat yang diberikan oleh Lea. Entah kerja apa, Lea tidak menjelaskan lebih lanjut. Selama ini, yang Melvin tahu adalah Lea dan saudara-saudaranya terdaftar serbagai karyawan di perusahaan keluarga mereka. Melvin pun memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut karena ia paham, Lea pasti tidak akan memberinya jawaban secara gamblang. Sama halnya seperti jawaban tentang tato itu. Ia pun hanya mengikuti Lea dalam diam. Mereka keluar dari gym, dan lewat pintu samping untuk keluar rumah. Di sana sudah ada shuttle cart terparkir. Lea naik ke shuttle cart untuk empat orang tersebut, langsung ke balik kemudi. Sementara Melvin mengambil tempat duduk di belakangnya. "Ini beneran mau ke lapangan tembak sama panahan yang tadi Ella bilang?" Lea mengangguk. Melvin sama sekali tidak heran jika kediaman keluarga Sadajiwa memiliki tempat bagi mereka untuk menyalurkan hobi menembak dan memanah, mengingat seluas apa lingkungan rumah mereka yang berada di dalam perkebunan teh dan kopi ini. Bahkan, kalau tidak salah juga mereka punya area pacu kuda sendiri, serta kompleks khusus rumah pegawai. Dengan luas tanah perkebunan yang berhektar-hektar, wajar saja jika mereka memiliki itu semua di tempat ini. Selagi Lea mengemudikan shuttle cart-nya, Melvin memukul-mukul pelan punggungnya, karena dibanting oleh sang ayah mertua tadi rasanya lumayan juga. "Kenapa Ella ngajakin ke lapangan tembak dan panahan sih?" Tanya Melvin dalam perjalanan mereka. Jujur saja, Melvin jadi agak curiga. "Karena dia mau ngajakin kamu nembak, sama main panahan," jawab Lea sekenanya. "Kamu udah pernah belum?" "Archery yes, nembak belum." "Mesti coba kalau gitu, pasti Ella excited banget mau ngajarin kamu. She is the best shooter among us." "Kalian semua bisa nembak?" "Dari kecil udah diajarin." "Wow. Biar apa?" "Biar bisa ngelindungin diri sendiri, di saat nggak ada yang bisa ngelindungin kami, termasuk suami sendiri." Melvin tahu, Lea sedang bersikap sarkastik padanya sekarang, merunut kejadian karate tadi. Ia pun hanya bisa mencibir istrinya itu. Untuk menuju ke lapangan tembak dan panahan tersebut, ternyata mereka sempat melewati kompleks rumah pegawai. Ini adalah kali pertama Melvin melihatnya, setelah selama ini ia hanya sekedar tahu. Ada sekitar lima rumah bergaya minimalis dengan dua lantai dan bertipe 45 di sana. Dan sepertinya, semua rumah itu terisi. Melvin pun melihat beberapa pegawai berseragam hitam-hitam lagi di depan rumah itu. Dan selalu saja, ada perasaan aneh yang dirasakan Melvin ketika melihat mereka. Kebanyakan dari mereka tidak terlihat seperti pegawai pada umumnya. They look like bad guys. Banyak yang berambut gondrong dan bertato, benar-benar tidak mencirikan citra pegawai yang rapi. Entah ini karena mereka bekerja di perkebunan, atau karena memang mereka bad guys alias preman, seperti yang dipikirkan oleh Melvin. Jika banyak di antara mereka yang memiliki tato huruf K itu lagi, maka kecurigaan Melvin akan kian bertambah. Begitu sampai, Lea langsung membawa Melvin menuju lapangan menembak karena Ella sudah menunggunya di sana. Lapangan itu cukup besar, dan sepertinya cukup untuk digunakan latihan oleh sepuluh orang dalam satu waktu. Ketika mereka sampai, Ella sedang sibuk membidik papan target tembak yang berada cukup jauh di depannya. Perempuan itu mengenakan kacamata, serta penutup telinga. Melvin agak berjengit mendengar lesingan peluru yang keluar dari pistol di tangan Ella, dan cukup takjub ketika dilihatnya Ella berhasil menembak tepat di bagian tengah papan target itu. Perfect score. Lea langsung sibuk mengambil peralatan untuk menembak di ruangan penyimpanan yang ada di sana. Sekilas Melvin melirik dan ia terkejut bukan main melihat betapa banyaknya senjata yang ada di ruangan penyimpanan itu. Mulai dari yang besar hingga yang kecil. "Itu semua punya kalian? Untuk apa kalian punya senjata sebanyak itu?" "Ini koleksi Papa, tapi beberapa juga koleksi kami sendiri," jelas Lea. Gila. Benar-benar gila. Bagaimana bisa keluarga ini memiliki koleksi senjata api sebanyak itu? Belum sempat Melvin menanyakannya, Lea sudah mengambil sebuah pistol serta amunisinya dari ruang penyimpanan itu, tidak lupa dengan kacamata dan penutup telinga. Ia memakaikan Melvin kacamata tersebut, begitu juga dengan penutup telinganya. Ella yang baru selesai pun menoleh pada mereka. "Melvin belum pernah nembak sebelumnya," ujar Lea pada Ella, sebelum saudaranya itu sempat mengatakan apapun. Ella mengedikkan bahu. "Ajarin dulu kalau gitu." "Iya, ini mau diajarin." "Emangnya, aku harus apa?" Tanya Melvin bingung. Karena mereka berdua seolah membuat Melvin harus bisa menembak hari ini juga. Pada Melvin, Ella tersenyum menyebalkan. Satu tangannya yang memegang pistol masih tertuju lurus pada papan target, sementara kepalanya menoleh pada Melvin. DOR! Ella berhasil menembak tanpa melihat, dan lagi-lagi, perempuan itu mendapat perfect score. "Pertanyaan yang lucu, adik ipar," kata Ella dengan nada mengejek. "Karena jelas, kamu di bawa ke sini untuk belajar nembak. A Sadajiwa family should know how to shoot, including the in-laws." Lea mengangguk membenarkan, kemudian memberikan pistol yang dia pegang untuk Melvin. "Mulai hari ini, kamu harus bisa nembak, Melvin. Dan kamu harus latihan, sampai bisa ngalahin skornya Kak Ella. Itu peraturannya untuk anggota baru keluarga ini." What the actual f**k? Melvin benar-benar merasa seperti ditatar. Peraturan macam apa itu? Melvin rasa, hanya keluarga Sadajiwa saja yang memiliki peraturan seperti ini untuk anggota keluarga barunya. Melihat ekspresi di wajah Melvin, Ella tertawa geli. "Iya, Melvin, kamu emang lagi ditatar," ujarnya, seolah bisa membaca pikiran Melvin. "Selama seminggu di sini, kamu harus bisa ngelakuin apa yang kami minta. No buts, no rejection. Kamu harus terima semuanya, karena sekarang kamu udah jadi bagian keluarga Sadajiwa. Welcome to the family, brother in law." Tidak salah lagi, keluarga Sadajiwa memang sudah gila.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD