16. Sarapan Bersama

2193 Words
Sehari setelah pernikahan Melvin dan Lea, Hermadi Sadajiwa secara khusus meminta mereka untuk tinggal selama seminggu di kediaman keluarga Sadajiwa. Katanya, bagi anak-anak keluarga Sadajiwa, terdapat peraturan untuk tinggal di sana selama seminggu sebelum sepenuhnya pindah dan tinggal dengan pasangan masing-masing. Hermadi sendiri yang membuat peraturan itu dengan tujuan untuk melepas rindu dengan sang anak sebelum sebelum anak itu sibuk dengan rumah tangganya sendiri, serta ditujukan pula untuk mendekatkan hubungan antara keluarganya dan sang menantu yang jadi anggota baru dalam keluarga mereka. Kalau mau jujur, Melvin tidak merasa begitu nyaman karena harus tinggal selama satu minggu lamanya di kediaman keluarga Sadajiwa. Ia masih merasa kalau rumah itu aneh, begitu pula dengan orang-orangnya. Baik itu Hermadi Sadajiwa sendiri, maupun saudara-saudara Lea. Meski sudah resmi menikah dengan Lea, namun rasa curiga yang Melvin punya untuk mereka belum berkurang sama sekali. Bahkan, rasa curiga itu justru kian bertambah setiap harinya. Selain itu, Melvin juga merasa aneh dengan tradisi ini. Jika memang seharusnya mereka tinggal dulu di sana selama satu minggu agar keluarga Lea bisa melepas rindu padanya, kenapa justru Lea diizinkan lebih dulu tinggal di rumah yang sudah disiapkan untuknya tinggal bersama Melvin sebelum pernikahan? Aneh. Sayangnya, mau seaneh apapun dan setidak nyaman apapun Melvin berpikir, ia juga tidak bisa menolak permintaan ayah mertuanya. Di saat kondisinya baru saja menikah, menjadi seorang menantu pembangkang tentu bukan lah sesuatu yang baik untuk dilakukan. "Good morning, babe. Gimana tidurnya semalem? Nyenyak?" Satu lagi alasan yang membuat Melvin tidak nyaman untuk tinggal selama satu minggu lamanya di kediaman Sadajiwa, dia jadi harus satu kamar dengan Lea selama seminggu penuh. Padahal, di rumah mereka sudah memutuskan untuk tidur di kamar terpisah. Sapaan Lea tadi tidak dijawab oleh Melvin. Ia hanya diam dengan mata yang menyipit silau karena sinar matahari yang masuk melalui jendela kamar tengah menyinarinya sekarang, membuat Melvin yang baru saja bangun bangun dari tidurnya belum terbiasa dengan itu. Melirik ke samping, ia mendapati Lea yang tengah sibuk di depan meja rias. Rambut Lea masih basah karena habis mandi, dan ia sedang sibuk mengaplikasikan skincare di wajahnya. Melvin rasa, Lea sudah bangun sejak satu jam yang lalu, atau bisa jadi lebih lama itu. Lea yang semula sibuk mematut dirinya di cermin rias pun sadar kalau Melvin tengah melirik ke arahnya, sehingga ia pun menolehkan kepala pada Melvin. "Kok nggak dijawab? Nyenyak nggak tidurnya semalem?" Melvin mendengus, tidak merasa itu pertanyaan yang penting. Namun, ia akhirnya menjawab jujur, "Enggak." "Kenapa?" "Because I slept beside you." Lea jadi tertawa mendengarnya. "Nggak fokus atau gimana nih?" "Nggak nyaman." "Ouch." Melvin memilih tidak merespon lagi, sementara Lea pun sudah kembali menghadap meja riasnya, sibuk melanjutkan kegiatannya tadi. Apa yang dikatakan oleh Melvin tadi adalah isi hatinya yang paling jujur. Ia memang tidak merasa nyaman karena harus tidur di sini semalam. Bukan karena kamar Lea tidak nyaman, karena jelas-jelas kamar bernuansa monokrom ini luas dan memiliki kasur yang begitu empuk. Kamar Lea juga wangi karena Melvin lihat, perempuan itu hobi mengoleksi berbagai jenis reed diffuser di kamarnya ini. Yang membuat Melvin tidak nyaman adalah keberadaannya di rumah ini dan dirinya yang harus tidur di sebelah Lea. Ia bukan tipikal orang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, karena itu sulit baginya untuk tidur nyenyak semalam. Bahkan ia baru bisa terlelap ketika hampir pagi. Selama Lea masih ada di sebelahnya dan ia berada di tempat yang sangat asing baginya ini, Melvin sama sekali tidak akan bisa tidur dengan tenang. Entah lah, rasanya Melvin punya firasat buruk saja karena ia berada di rumah keluarga Sadajiwa. Mungkin karena prasangka buruknya lah yang membuat ia merasa seperti itu, atau mungkin...karena memang sesuatu akan terjadi padanya. Melvin bengong hingga dia tidak sadar kalau Lea sudah kembali menoleh padanya. "Babe." Ia sampai agak terkejut ketika Lea memanggilnya. Dan sejujurnya lagi, Melvin benci sekali dengan cara Lea memanggilnya dengan panggilan sayang itu. It sounds so fake, membuat Melvin jadi muak sendiri. Tanpa mengatakan apapun, Melvin hanya memberi Lea tatapan bertanya. "Siap-siap gih, Papa dan yang lain udah nunggu buat sarapan bareng." Dalam hati Melvin mengerang. Rasanya begitu enggan karena hari ini, seharian ia harus menghadapi keluarga Sadajiwa yang hingga detik ini, masih tetap buruk di matanya. *** Tidak butuh waktu lama bagi Melvin untuk bersiap-siap, seperti yang diperintahkan oleh Lea. Dia merupakan tipikal orang yang hanya perlu waktu lima belas menit untuk mandi, lalu tak sampai lima menit untuk berganti pakaian. Berhubung Lea bilang kalau hari ini mereka hanya akan berada di rumah, maka Melvin pun hanya mengenakan pakaian kasual berupa celana katun dan kaus polo. Kasual, tapi tetap rapi. Berbeda dengan Lea yang justru nampak lebih santai dengan mengenakan celana pendek dan kaus berbahan knitwear. Tapi, mau sesantai apapun keduanya, tetap saja pakaian yang melekat di tubuh mereka bermerek. Ralph Lauren, Calvin Klein, Gucci, Chanel, you name it. Lea yang sudah siap lebih dulu menunggu hingga Melvin selesai bersiap agar mereka bisa keluar bersama-sama. Anggota keluarga Sadajiwa yang lain sudah menunggu di ruang makan, kecuali Letta yang tidak terlihat dimana-mana. Sepertinya, kakak sulung Lea itu memang tidak menginap di sini semalam. Yang ikut bergabung di meja makan justru Selatan, yang duduk di samping Poppy. Melvin agak kesal karena di saat ia sudah bersiap dan berpenampilan kasual namun tetap rapi, Ella justru kelihatan sekali baru bangun tidur dan masih memakai piyama. Sementara Hermadi Sadajiwa, ayah mertuanya, justru hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang d**a. Melvin benar-benar menahan keinginannya untuk geleng-geleng kepala karena kelakuan keluarga aneh ini. Terlepas dari apa yang dipikirkannya, Melvin menyunggingkan senyum pada mereka semua, termasuk pada Selatan, meski laki-laki itu terlihat tidak senang melihatnya. Melvin pun juga tidak memberinya tatapan ramah. Well...apa pula yang dilakukan oleh Selatan pagi-pagi di sini? Walau dia tunangannya Poppy, tapi...mereka kan belum menikah. "Akhirnya muncul juga pengantin baru kita," gurau Hermadi menyambut anak dan menantunya. Melvin dan Lea duduk bersebelahan di dekat Hermadi, persis di hadapan Poppy dan Selatan. Mereka semua berpura-pura tidak canggung dengan susunan duduk ini. "Gimana tidurnya semalem? Nyenyak?" Tanya Hermadi pada Melvin sembari menepuk-nepuk pundaknya. Melvin mengangguk dan tersenyum sopan. "Nyenyak kok, Pa." Tentu saja, Melvin berbohong. Mana mungkin kan ia mengaku tidak tidur nyenyak karena tidak nyaman berada di rumah ini? "Masa sih nyenyak? Bukannya pengantin baru biasanya nggak tidur?" Ella yang duduk di paling ujung tiba-tiba menyahut. Padahal sedari tadi dia terlihat begitu mengantuk dan tidak peduli dengan sekitar. "I think you're lying, Melvin." Lea mendengus. "You're so nosy, Kak." "Loh? Emangnya asumsi aku salah?" "Ya, nggak salah. Tapi aku nggak mau my s*x life dibahas di meja makan, pas mau sarapan begini." Poppy cekikikan mendengarnya, sementara Ella tersenyum miris. "s*x life much, eh?" Godanya lagi. Lagi-lagi, Lea hanya bisa mendengus sebal, sedangkan Hermadi ikut tertawa bersama anak bungsunya. Hanya Melvin dan Selatan saja yang tidak bersuara. Melvin, karena ia tidak tahu harus bicara apa, sementara Selatan pasti tidak menyukai pembahasan ini. Untuk menengahi, akhirnya Hermadi pun mengajak mereka untuk mulai sarapan sembari berbincang-bincang kecil. Sebagai istri yang baik (di depan orang lain), tentu saja Lea membantu mengambilkan sarapan untuk Melvin. Rasanya Melvin mau tertawa saja karena istrinya harus berakting seperti itu. Poppy pun melakukan hal yang sama untuk Selatan. Dan bagi Melvin, ini lebih lucu lagi. "Paps, kapan deh mau jodohin aku?" Tau-tau Ella kembali bersuara untuk melayangkan protesnya. "Nggak kasihan apa sama aku yang masih single karena belum Papa jodohin sama siapa-apa?" Hermadi kembali terkekeh. "Kamu aja males mandi pagi, siapa yang mau sama kamu coba?" "Iya, Kak Ella aja galak banget sama cowok," sahut Poppy. "Sama Atan enggak galak, iya kan?" Selatan terkekeh. "Kalau ada maunya aja sih. Seringnya juga galak, kan?" Ella bersungut. "Galak, tapi bukan berarti I'm not attractive." "Siapa bilang juga kamu nggak attractive?" Lea ikut-ikutan. "Masalahnya, cowok-cowok takut duluan sama kamu." "Makanya itu tugas Papa buat nyariin yang bisa tahan sama aku." "Susah nyarinya." "Terus, kenapa nggak aku aja yang kemarin Papa jodohin sama Melvin?" Melvin hampir tersedak mendengarnya. Satu hal yang baru dia sadari, Ella ini ternyata cukup blak-blakkan dan bawel, tidak seperti first impression dingin dan galak yang dulu ditunjukkannya. Karena pertanyaan Ella itu, semuanya jadi memusatkan perhatian pada Hermadi. Termasuk Lea dan Melvin sendiri. Sebenarnya, Melvin sudah tahu dari Lea apa alasan sehingga Lea lah yang dijodohkan dengan Melvin, di saat masih ada Ella yang sebaya dengan Melvin. Lea bilang, itu semua semata agar Lea berpisah dengan Selatan. Melvin jadi penasaran apa jawaban yang akan diberikan oleh kepala keluarga Sadajiwa itu. Ditambah lagi, semua orang yang terlibat ada di sini sekarang, dan ikut ingin tahu jawaban dari pertanyaan tersebut. Untuk yang ke sekian kalinya pagi ini, Hermadi kembali tertawa. Entah yang lain menyadarinya atau tidak, namun Melvin melihat kalau sekilas tatapannya tertuju pada Selatan dengan cara yang sukar untuk dideskripsikan. Lalu, dengan mudahnya Hermadi menjawab, "Karena begitu melihat Melvin...Papa langsung ngerasa kalau dia cocoknya sama Azalea, bukan sama kamu, Dianella." Ella mencibir. "Alasan Papa basi." "I'm serious," ujar Hermadi bersungguh-sungguh. "Liat mereka deh, serasi banget, kan? Like a pair made in heaven. Melvin pantas bersanding sama Lea, dan Lea pun juga pantas untuk bersanding sama Melvin. Bukan yang lain. Begitu pun dengan Selatan dan Poppy yang pantas untuk satu sama lain, dan bukan yang lain. Nanti, Papa pasti ketemu sama orang yang Papa rasa akan cocok sama kamu, Ella." Lagi, Melvin menangkap tatapan mata Hermadi yang sekilas tertuju pada Selatan. Seperti ingin memastikan bagaimana reaksi laki-laki itu terhadap perkataannya. Dan saat itu lah Melvin sadar, mengapa Selatan ada di agenda sarapan ini sekarang. Melvin rasa, Hermadi ingin menunjukkan dan memperjelas pada Selatan, bahwa kini hubungannya dan Lea sudah berakhir. Hanya ada Melvin-Lea, serta Selatan-Poppy sekarang, dan itu sudah tidak bisa diubah lagi. Saat ini, Melvin merasa kalau Hermadi kejam karena sengaja melakukan ini. Sebab Melvin tahu, meski Lea dan Selatan terlihat biasa saja, mereka pasti sama sekali tidak baik-baik saja. *** Setelah sarapan bersama itu, Lea jadi tidak banyak omong, dan Melvin pun membiarkannya saja. Ia cukup banyak bisa mengerti perasaan Lea, meski tidak benar-benar ingin menunjukkan bahwa ia mengerti. Mereka kembali lagi ke kamar usai sarapan, untuk berganti pakaian. Tadi, Hermadi bilang ingin mengajak Melvin dan Lea olahraga bersama, tepatnya sih mengajak Melvin. Ajakan itu tentu saja tidak terlalu disukai oleh Melvin karena ia sudah mandi. Entah nanti mereka mau berolahraga apa, yang pasti Melvin akan jadi berkeringat, sehingga ia harus mandi lagi. "Biasanya Papa kamu olahraga apa?" Tanya Melvin setelah dirinya sudah berganti dengan setelan olahraga. Ia berdiri di dekat jendela kamar Lea sekarang, menonton perempuan itu yang sedang sibuk memilih setelan olahraga dalam lemarinya. "Banyak." Lea menjawab tanpa menoleh pada Melvin. "Tapi seringnya nembak, panahan, sama angkat beban." "Kira-kira aku mau diajak olahraga apa?" "I don't know. Suka-suka Papa maunya apa, bisa jadi nggak yang aku sebutin tadi." Melvin hendak bertanya lagi, namun ia nyaris mengumpat ketika tiba-tiba saja Lea membuka kaus yang dikenakannya sekarang tanpa permisi. Melvin pun buru-buru membalikkan badan karena tidak ingin melihat. Entah lah, ia merasa tidak sopan saja, meski Lea sendiri sudah jadi istri sahnya sekarang. Pandangan Melvin pun beralih ke luar jendela, dan tanpa sengaja ia justru melihat Selatan, Poppy, dan beberapa orang yang tidak dikenalnya tengah berkumpul di depan rumah. Melvin pun sadar kalau orang-orang yang tidak dikenalnya itu merupakan pekerja di keluarga Sadajiwa yabg kerap dilihatnya wara-wiri di rumah maupun di sekitar perkebunan yang mengelingi rumah ini. Entah sebagai apa pekerjaan mereka di sini, Melvin masih belum tahu. Namun, beberapa kali Melvin berpapasan dengan mereka, dan ia sadar kalau mereka punya tato huruf 'K' itu. Kini, mereka semua, termasuk Poppy dan Selatan tengah terlibat pembicaraan yang serius. Dan mereka semua memakai pakaian serba hitam. Melvin jadi penasaran, apa yang mereka bicarakan? Dan kenapa mereka berseragam serba hitam seperti itu? "Ngeliatin apa sih? Serius banget kayaknya." Lea menghampiri Melvin bertepatan dengan orang-orang di bawah berpencar jadi dua kelompok dan naik satu per satu ke dalam mobil Jeep yang berhenti di depan mereka. Melvin menunjuk mereka semua. "Mereka tuh siapa sih?" Tanya Melvin pada Lea. "Pekerja di sini," jawab Lea singkat dan tenang. "Kerja sebagai apa?" "Penjaga keamanan." "Terus, mereka mau ke mana?" "Kok kamu jadi banyak tanya gini?" "Jawab aja." "Mau ngecek ke perkebunan yang lain," jawab Lea sekenanya. "Mereka betulan cuma pekerja biasa, kan?" Kali ini Lea tertawa. "Emangnya kamu pikir mereka apa? Pengedar narkoba?" "Bisa jadi. Terus keluarga kamu bandarnya." Bukannya tersinggung, Lea justru menatap Melvin geli, seolah laki-laki itu baru saja menyebutkan lelucon yang begitu konyol. Lalu, Lea mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk pipi Melvin pelan. "Pikiran kamu liar banget, Melvin baby," ledeknya. Ketika Lea sudah hendak berbalik pergi mendahuluinya, Melvin bicara lagi, "Aku liat mereka punya tato huruf K itu. Padahal kata kamu itu tato keluarga, tapi kenapa mereka yang pekerja biasa justru punya?" Lalu, disibaknya rambut Lea hingga ia bisa melihat tato yang menyembul di leher bagian belakang istrinya itu. Dengan jari telunjuknya, Melvin menyusuri tato tersebut. "Jadi...apa arti tato ini sebenarnya? Aku tau, tato ini pasti lebih dari sekedar tato keluarga." Lea tersenyum, manis sekaligus memuakkan. Ia mendekatkan dirinya pada Melvin agar bisa berbisik di telinganya, "Why don't you find out by yourself?" Oh, dari cara Lea mengatakan itu, justru kian membuat rasa curiga dan penasaran Melvin bertambah. Ia semakin yakin jika tato itu merupakan simbol dari rahasia besar yang disimpan keluarga Sadajiwa. Dan hanya butuh waktu, hingga Melvin bisa mengetahui rahasia itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD