31. Death Threat

1913 Words
"That's nice! Jadi, kapan kita mau cerai?" Melvin mendelik pada Lea yang baru saja melangkah ke ruang tamu dimana Melvin dan Hermadi duduk berdua. Perempuan itu nampak begitu riang, dan sama sekali tidak terlihat terkejut apa lagi terluka mendengar sang suami yang mau menceraikannya. Di depan Melvin, Hermadi menarik napas panjang karena respon yang diberikan oleh putrinya itu. Kini, Melvin dan Lea saling berpandangan, yang satu memberikan tatapan tajam, sementara yang satunya lagi justru santai. Lea pun duduk di sebelah Hermadi, membuat Melvin jadi berhadapan dengan dua anggota keluarga Sadajiwa sekarang. Perempuan itu masih mempertahankan senyum manisnya untuk Melvin, lalu ia menoleh pada sang ayah yang duduk di sebelahnya. "Papa dengar sendiri kan, dia mau cerai dari aku. Dan dengan senang hati, aku juga mau banget cerai sama dia." Lea melirik Melvin lagi. "Supaya dia sadar, dari awal bukan dia aja yang nggak mau pernikahan ini terjadi. Dari awal, aku juga nggak pernah mau nikah sama dia." "Lea..." Hermadi menegur sang putri. Namun, Lea tidak mengindahkan teguran ayahnya. Ia hanya menatap Melvin lurus, memberikan pria itu tatapan benci yang sama seperti yang diberikannya pada Lea. "Aku juga nggak mau kok bertahan di pernikahan dimana pasangan aku nggak bisa menghormati yang namanya privasi, padahal sedari awal udah sepakat soal itu. Dan tentunya, aku juga nggak mau sama orang yang nggak bisa respect sama orang lain. You're not as good as you think you are, Melvin Jatmika Wiratmaja." Melvin terkekeh. Ia sama sekali tidak tersinggung dengan perkataan Lea itu, justru Melvin merasa lucu. "Funny how you talk about respect." "Oh, bagian mananya yang lucu? Bagian kamu yang nggak sadar kalau emang kamu nggak bisa respect sama orang lain?" "Kamu sendiri tau kan kenapa aku bersikap begitu? Kenapa malah protes?" "Karena kamu nggak masuk akal!" Suara Lea mulai meninggi. Hermadi sampai harus memegangi lengan sang putri, agar membuat Lea bisa lebih tenang dan tidak meledak-ledak sekarang. Dari cara Melvin dan Lea berkomunikasi sekarang, terlihat jelas kalau mereka menatap penuh kebencian. Sama sekali tidak mencirikan pasakan suami istri baru menikah yang biasanya penuh cinta. "Bisa nggak kalian bicara baik-baik?" Hermadi menengahi. Ia pun melanjutkan dengan tegas, "Dan nggak ada lagi yang boleh bilang cerai." Melvin melirik Hermadi tidak suka. "Aku tau Om mau ngebela anak Om, tapi mau kami cerai atau ngelanjutin pernikahan ini, semua keputusan ada di tangan kami berdua. Dan Lea sendiri udah setuju, jadi Om nggak ada hak untuk ngelarang," ujarnya dengan begitu berani. "Melvin, memang keputusan cerai itu ada di tangan kalian berdua, karena ini rumah tangga kalian. Tapi, orang tua mana yang mau anaknya cerai? Apa lagi, usia pernikahan kalian ini baru seumur jagung. Dua bulan pun belum ada." "Aku nggak peduli, Om. Toh dari awal emang aku nggak mau nikah sama Lea." "Tapi kalian sudah setuju untuk menikah, karena itu pernikahan ini sudah jadi tanggung jawab kalian. Nggak seharusnya dipermainkan dan dengan gampangnya diakhiri. Kalian bahkan belum sempat mengenal satu sama lain dengan baik." "Terpaksa, Pa." Lea mengoreksi ayahnya. "Nggak ada satu pun dari kami berdua yang mau nikah secara sukarela di sini." Hermadi memberikan Lea tatapan mengingatkan. "We've talked about it before." "I told you, I don't care anymore! Aku udah terlanjur muak sama dia! Dia udah injak-injak harga diri aku dan harga diri keluarga kita. He's not worth it."  Dari cara Lea bicara dengan ayahnya, Melvin merasa kalau perempuan itu banyak drama. Hati Melvin untuk keluarga Sadajiwa sudah terlanjur beku sehingga ia bahkan tidak bisa lagi berpikiran positif sedikit saja pada mereka. Di mata Melvin sekarang, keluarga Sadajiwa adalah penjahatnya, meski ia belum memiliki bukti apa-apa terkait itu. Melvin percaya pada instingnya karena seringnya, ia memiliki insting yang hampir selalu benar. Dan termasuk untuk masalah kali ini pun, Melvin yakin jika instingnya tidak salah. Keluarga Sadajiwa harus dijauhi, bagaimana pun caranya. "Sama seperti Lea, aku juga udah nggak peduli lagi soal apapun. I want to divorce her, keputusanku soal itu udah bulat," ujar Melvin lagi. "Dan setelahnya, aku nggak mau berhubungan sama keluarga Sadajiwa lagi. Sejak berhubungan dengan kalian, satu per satu keluargaku dalam bahaya. Dan aku nggak suka itu." Lea menggelengkan kepala tidak habis pikir. "You're unbelievable. What a bastard." Sebelum Hermadi sempat memberikan respon atas perkataan Melvin itu, sang menantu sudah terlebih dahulu beranjak dari duduknya. "Biar aku yang ngurus semua perceraian kita, kamu tinggal tunggu aja," ujarnya pada Lea. "Oh, dengan senang hati," balas Lea sinis. Kemudian, tanpa mengatakan apa-apa lagi, Melvin memilih berbalik untuk segera pergi dari sana. Apa yang dibicarakannya sudah cukup, ia tidak mau lebih lama berhadapan dengan dua orang yang paling tidak ingin dilihatnya sekarang. Sebelum Melvin benar-benar pergi, Hermadi berujar lagi, "Arthur nggak akan senang atas apa yang kamu lakukan sekarang, Melvin." Melvin berbalik untuk menatap lurus pada Hermadi. "Tolong, jangan sebut nama Papi lagi, sampai aku berhasil ngebuktiin kalau kalian nggak bersalah sama sekali dalam kasus kematian Papi." Lea yang begitu kesal, sudah hendak bergerak menuju Melvin untuk menamparnya, namun Hermadi menahan Lea untuk tetap berada di tempat. Membiarkan Melvin pergi meninggalkan apartemen mereka dengan cara yang tidak bisa dibilang baik. Tapi sekali lagi, Melvin tidak peduli. Yang ada di pikirannya sekarang hanya lah keinginannya untuk melindungi keluarganya dari semua bahaya yang bisa saja, akan datang mengancam mereka lagi. *** Setelah beberapa hari ini hanya mengurung diri di kamar akibat duka mendalam yang masih dirasakannya karena kehilangan sang ayah, akhirnya Abby baru beraktivitas lagi setelah ibunya kecelakaan. Melvin secara khusus menyuruh Abby untuk menemani ibu mereka di rumah sakit. Meski dokter sendiri bilang kalau Mayana tidak terluka parah dan lukanya pun bisa dirawat jalan, namun Melvin bersikeras agar ibunya dirawat di rumah sakit selama beberapa hari hingga lukanya membaik. Sekaligus untuk menunggu hasil check up keseluruhan yang dilakukan terhadapnya guna memastikan apakah Mayana memang baik-baik saja dan tidaka ada luka dalam yang dideritanya. Dan selama beberapa hari Mayana dirawat, Abby lah yang menungguinya di rumah sakit. Satu hal yang Abby syukuri, titah Melvin yang menyuruhnya untuk menemani sang ibu membuat pikirannya berhasil terdistraksi. Setidaknya, kesedihan Abby bisa sedikit berkurang, dan ia jadi tidak terus menerus terfokus pada kesedihannya karena disibukkan untuk merawat Mayana. Berhubung dirinya sudah hampir kembali ke kondisi seperti semula, Abby pun jadi bisa berpikir dengan lebih jernih lagi. Ia jadi tersadar jika belakangan ini Melvin sangat lah bersikap aneh. Melvin memang tidak mengatakan apapun padanya, namun Abby tetap bisa merasakan kalau kakaknya itu bersikap sangat was-was belakangan ini. Seperti tidak tenang dan berpikir berlebihan. Bahkan, Abby sendiri tidak habis pikir karena Melvin yang secara khusus mempekerjakan beberapa bodyguard untuk berjaga di depan kamar rawat Mayana di rumah sakit. Padahal, selama ini mereka tidak pernah sampai berlebihan hingga menyawa jasa bodyguard seperti ini. Abby sempat bertanya pada kakaknya itu ketika Melvin mampir untuk memeriksa perkembangan kondisi Mayana. "Kamu akhir-akhir ini kenapa sih? Ada masalah?" Abby bertanya begitu. Namun, Melvin hanya menjawabnya dengan gelengan kepala. "Nggak ada apa-apa." Sudah tumbuh bersama sejak kecil tentu saja membuat Abby tahu kapan Melvin berkata jujur dan berbohong. Dan insting Abby kuat mengatakan jika Melvin berbohong saat menjawab pertanyaannya itu. "Kalau ada masalah cerita, Melv." "Udah dibilang aku nggak apa-apa kok. Lagi sibuk aja sama kerjaan di kantor dan jadi ngerasa lebih was-was karena kecelakaan Mami kemarin." "Oh ya? Terus hubungan kamu sama Lea gimana? Kok dia nggak besuk-besuk ke sini? Nggak kamu kasih tau kah kalau Mami lagi dirawat?" Melvin sempat tertegun sebentar karena pertanyaan Abby itu, sehingga Abby yakin jika apapun masalah yang sedang dihadapi oleh Melvin, pasti lah berhubungan dengan istrinya. Namun, lagi-lagi Melvin memilih untuk tidak bilang apapun pada Abby dan berdalih jika Lea sedang berhalangan untuk datang, karena sibuk akan hal lain. Sesuatu yang menurut Lea mustahil sekali. Sebab meskipun hubungan Melvin dan Lea tidak bisa dibilang baik, hubungan Lea dengan Abby dan Mayana justru sebaliknya. Dengan mereka berdua, Lea bersikap selayaknya seorang menantu dan kakak ipar yang baik. Menurut Abby, she is sweet and kind. Sampai-sampai Abby heran sendiri mengapa Melvin bisa sebenci itu pada istrinya sendiri. Tapi, tentu saja ada banyak hal yang tidak Abby ketahui. Karena itu ia memilih untuk diam, sampai Melvin buka suara sendiri nantinya. Siang ini, Melvin tidak datang membesuk ke rumah sakit, karena katanya sedang sibuk mengurus sesuatu. Abby tidak bertanya lebih lanjut dan membiarkan saja kakaknya tidak datang. Toh, dia tahu sesibuk apa Melvin di kantor sekarang. Banyak hal yang belakangan ini terjadi pada hidup Melvin, karena itu ia pasti sedikit kewalahan melaluinya. "Mi, aku mau ke depan dulu ya ambil makanan yang tadi aku pesen lewat ojek online. Aku lagi pengen sushi soalnya." Mayana sedang bersantai di bed rumah sakitnya sembari menonton televisi ketika Abby izin begitu. Ia pun menoleh pada sang putri. "Kenapa nggak minta tolong ambilin aja sama orang di depan?" Yang dimaksud oleh Mayana adalah para bodyguard yang disewa Melvin untuk menjaga mereka selama di sini. Jika Abby meminta tolong pada mereka, tentu saja mereka tidak akan menolak. Tapi, Abby tidak mau. "Aku mau ambil sendiri aja, biar bisa refreshing sedikit di luar." "Oh, yaudah kalau gitu. Hati-hati." Abby terkekeh. "Cuma ke depan doang, Mi, bukannya mau jalan jauh." "Ya, tetap harus hati-hati dong." Abby hanya mengiyakannya saja, lalu ia berjalan keluar dari kamar rawat Mayana untuk mengambil makanan pesanannya dari ojek online yang ada di depan. Para bodyguard yang menunggu di depan pun sempat menawarkan diri untuk menemani Abby mengambil makanannya, namun Abby menolak. Tentu saja akan sangat terlihat berlebihan jika ia sampai ditemani oleh bodyguard hanya untuk mengambil makanan dari ojek online yang letaknya masih berada di lingkungan rumah sakit ini. Abby tidak mau dirinya menjadi pusat perhatian karena hal konyol seperti itu. Tidak butuh waktu lama bagi Abby untuk sampai di tempat ojek online sudah menunggunya, dan mengambil makanan pesanannya. Setelah membayar pesanannya itu, Abby pun langsung kembali ke kamar rawat Mayana. "I'm back safe and sound!" Abby bergurak ketika sudah masuk lagi ke dalam kamar rawat Mayana dengan membawa seplastik makanan berisi sushi pesanannya. Mayana tersenyum saja melihat Abby yang kembali dengan riang. "Semangat banget mau makan sushi," ledek Mayana. "Udah lama enggak soalnya, Mi." Abby sama sekali tidak punya firasat apa-apa ketika mengeluarkan kotak-kotak makanan dari kantung plastik itu. Walau dia sendiri agak heran dengan packaging restoran sushi itu yang tidak terlihat seperti biasanya. Abby sendiri sudah langganan sekali di gerai yang menjual sushi tersebut hingga hapal dengan bentuk packaging-nya. Biasanya, packaging sushi tersebut merupakan sebuah kotak mika, sehingga dari luar, sushi yang ada di dalam kotak pun langsung terlihat. Tapi, packaging yang sekarang justru kotak kertas. Abby sendiri tidak memiliki pikiran buruk dan menganggap jika kemungkinan, pemilik gerai tersebut mengganti kemasannya agar jadi lebih ramah lingkungan dan tidak memperbanyak sampah plastik lagi. Tanapa rasa curiga, dengan santainya Abby membuka kotak kertas yang pertama kali dikeluarkannya dalam kantung plastik. Abby sudah membayangkan akan melihat salmon sushi di dalam kotak itu. Hanya saja, ia justru dibuat memekik dan langsung melemparkan kotak itu ke lantai begitu mendapati jika isi kotak itu bukan lah sushi, melainkan sekumpulan ular-ular kecil berwarna hitam merah. Kotak berisikan ular itu langsung terjatuh ke lantai, membuat hewan berdarah dingin itu langsung bergerak menyebar. Abby yang panik pun naik ke atas sofa di dekatnya untuk menghindari ular-ular itu. Mayana juga panik karena Abby yang tiba-tiba berteriak karena ada ular. Lalu, setelah semua ular itu telah meninggalkan kotak, keduanya bisa melihat tulisan berwarna merah yang seperti ditulis oleh darah, ada di kotak dasar kotak tersebut. Hanya ada satu kata yang tertulis; dead. Di tengah rasa panik dan ketakutannya, Abby pun menyadari, mereka memang tengah berada dalam masalah sekarang. Karena kalau tidak, mana mungkin ia mendapatkan death threat hari ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD