11. Dua Insan Patah Hati

1415 Words
Tidak butuh waktu terlalu lama bagi mereka melakukan fitting tersebut, karena memang agendanya hanya menentukan ukuran tubuh mereka untuk wedding attire nanti. Masalah pilihan konsep desain dan yang lainnya, itu bukan urusan Melvin dan Lea karena Mayana Wiratmaja yang menentukan semuanya. Mereka berdua hanya terima beres. Lagipula, baik Melvin maupun Lea juga tidak peduli dengan hal itu. Pernikahan ini sama-sama bukan pernikahan yang mereka inginkan apalagi impikan. Jadi, mereka tidak tertarik untuk menentukan gaun seperti apa yang akan dipakai Lea nanti, atau memilih tema apa yang akan mereka gunakan untuk pesta pernikahan mereka. Ketika kalian akan menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak dicintai, hal seperti itu sungguh tidak berguna dan hanya akan buang-buang waktu.  Beruntungnya Mayana tidak ikut mereka fitting di butik hari itu karena memiliki kepentingan lain. Namun, ia sudah menjelaskan semuanya kepada pihak butik sehingga pekerjaan mereka pun selesai dengan cepat. Setelah fitting mereka selesai, Melvin tidak langsung mengantarkan Lea pulang. Seperti yang dikatakannya tadi di perjalanan mereka menuju butik, Melvin ingin tahu beberapa hal mengenai Selatan dan ia ingin Lea memberinya jawaban. Karena itu, Melvin mengajak Lea ke sebuah kafe tidak jauh dari butik itu setelah urusan mereka disana selesai. Sekalian makan siang, Melvin juga ingin menggali informasi. "Mau makan apa?" tanya Melvin pada Lea setelah mereka duduk berhadapan di kafe tersebut. Mereka duduk di tempat yang dekat dengan pintu masuk dengan posisi Melvin yang membelakangi pintu. "Samain aja," jawab Lea cuek. Sepanjang hari ini, Lea sama sekali tidak bersikap ramah pada Melvin. Tidak bisa disalahkan juga sih. Siapa yang tidak akan kesal karena Melvin sudah membicarakan sesuatu yang tidak disukainya di saat Lea sendiri sudah bilang jika mood-nya sedang tidak baik? Melvin pun memesankan makanan dan minuman untuknya dan Lea. Setelah pelayan yang mencatat pesanannya pergi, fokus Melvin sepenuhnya terarah pada Lea. Sebelum Melvin bicara apa-apa lagi, Lea sudah terlebih dahulu berujar, "Aku cuma mau jawab pertanyaan menyangkut hubunganku sama Selatan. Di luar itu, atau kalau menurutku pertanyaannya melenceng dan melewati batas, aku nggak akan jajan." Smart move, pikir Melvin. Lea sudah terlebih dahulu menebak jika ada banyak pertanyaan lain di luar topik itu yang sangat ingin Melvin tanyakan padanya. "Oke." Melvin mengangguk setuju. "Jadi, kamu betulan pacaran sama tunangan adik kamu sendiri." "Iya." "Kok bisa?" "Udah terjadi sebelum Selatan dijodohin sama Poppy." "Tanpa sepengetahuan papa kamu?" "Iya, awalnya. Tapi papaku udah tau, karena itu aku akhirin hubungan sama dia." Ternyata tebakan Melvin memang benar. "Karena itu juga kamu dijodohin sama aku?" "Anggap aja begitu." "Tapi papa kamu udah tau tentang hubungan kalian sebelum Selatan dijodohin sama Poppy kan?" Lea tidak langsung menjawab tebakan Melvin itu dan sedikit menimbang-nimbang. Tapi, pada akhirnya ia menganggukkan kepala. "Kalau begitu, kenapa papa kamu malah jodohin Selatan sama Poppy dan bukannya sama kamu?" "Karena Poppy anak kesayangan Papa dan Papa tau kalau Poppy udah lama suka sama Selatan." "Kenapa Selatan nggak melawan? Dia kan bisa memutuskan mau terima perjodohan dari papa kamu atau enggak." "Pertanyaan itu melewati batas, karena nggak hubungannya sudah antara Papa dan Selatan, bukan antara aku dan Selatan lagi." Melvin tersenyum miring, agak takjub dengan betapa pintarnya Lea memilah pertanyaan yang ingin dijawabnya dan yang tidak ingin dijawabnya. Dan Melvin sendiri yakin jika jawaban dari pertanyaan itu adalah salah satu kunci yang bisa saja memberikannya petunjuk mengenai salah satu rahasia yang disimpan keluarga Sadajiwa. But she didn't let it slip. "Oke, satu pertanyaan lagi. Dan aku minta kamu jujur," ujar Melvin. Ia menatap Lea lurus dan penuh keseriusan. "Laki-laki yang aku liat berdarah-darah di kebun teh kamu waktu itu, bukan cuma halusinasi aku kan? That was him. Alterio Selatan." Pertanyaan itu sama sekali tidak diekspektasikan oleh Lea dan itu terlihat dari keterkejutan di wajahnya. Bahkan, Lea sampai melengos dan menghindari tatapan Melvin. "Aku tau pertanyaan itu melenceng dan melewati batas. Kamu tenang aja, aku nggak akan minta penjelasan kok. Yes or no, cuma itu jawaban yang aku mau." Dari intonasi tegas yang digunakan oleh Melvin, Lea tahu jika laki-laki itu tidak akan terima jika Lea memilih tidak menjawabnya. Karena itu, setelah terdiam dan berpikir cukup lama, akhirnya kepala Lea terangguk pelan. Jawaban itu sudah cukup membuat Melvin puas. Meski masih penasaran, tapi ia menepati omongannya dengan tidak menuntut penjelasan lebih. Mevin tersenyum pada Lea. Ia mungkin akan terkesan jahat karena sudah tersenyum penuh kemenangan seperti ini dihadapannya. Tapi, keluarga Sadajiwa terlalu mencurigakan sehingga ia tidak peduli. Apa yang dilihatnya terjadi pada Selatan waktu itu, mungkin saja merupakan ulahnya Hermadi Sadajiwa. Who knows? "I really feel bad for you, Lea," ujar Melvin prihatin. Lea justru tersenyum manis. "I feel bad for you too, Melvin baby." Melvin tidak mengerti kenapa Lea mengatakan itu padanya di saat ia rasa tidak ada sesuatu yang perlu dikasihani darinya. Kemudian ia sadar jika pandangan Lea tertuju pada satu titik, tepatnya ke arah pintu masuk kafe. Melvin pun langsung menolehkan kepalanya untuk melihat apa yang sudah dilihat terlebih dahulu oleh Lea. Begitu tahu siapa yang baru saja masuk ke dalam kafe ini, Melvin mematung di tempat. Senyum kemenangannya tadi menghilang, tergantikan oleh gurat kesedihan karena melihat sosok Gemani Artanya Danakitri yang baru saja masuk ke kafe ini dengan bergandengan tangan bersama suaminya. Oh, fucc. Sepertinya karma langsung menyerang Melvin. Gema sibuk menertawakan apa yang dikatakan oleh Harlan padanya ketika ia memasuki kafe ini. Tidak peduli pada sekitar karena dreamy eyes-nya hanya tertuju pada Harlan seorang. Bahkan, ia tidak menyadari keberadaan Melvin yang jelas-jelas tempat duduknya berada di dekat pintu. Tatapan Melvin justru bertemu dengan tatapan Harlan yang tentu saja langsung mengenalinya. Harlan pun mengisyaratkan Gema untuk menoleh pada Melvin dan barulah Gema sadar kalau Melvin ada di dekatnya. "Ya ampun, Melvin?!" Gema terkejut. Bersama Harlan, ia mendekati meja Melvin. "Kok bisa disini?" Melvin tersenyum pada Gema dan menganggukkan kepala pada Harlan. Ia sempat melirik pada Lea yang kini sedang tersenyum puas sembari bertopang dagu memandangi dirinya dan pasangan yang baru datang ini. "Aku emang mau pindah ke Indonesia," jelas Melvin singkat. Gema semakin terkejut. "Oh my God, serius?" Melvin hanya mengangguk. "Akhirnya ya, kamu pulang kampung juga," ujar Gema diiringi kekehannya. Cantik? Tidak perlu ditanya. Rasanya Melvin tidak mau melepaskan pandangan sama sekali dari Gema, andai ia tidak ingat kalau Gema sudah punya suami dan berbahagia dengan suaminya itu. Oh, bahkan Melvin juga sadar jika pasangan itu sama sekali tidak melepaskan genggaman tangan mereka selagi bicara dengannya. Membuat Melvin tidak bisa untuk tidak merasa iri. Gema pun sadar jika Melvin tidak sendirian. Ia melirik Lea yang langsung tersenyum padanya, dan ia balas tersenyum. Isyarat tersebut mau tidak mau membuat Melvin harus mengenalkan mereka. "Oh iya, Lea, kenalin ini Gema sama Harlan, temenku," ujar Melvin pada Lea, lalu kembali beralih pada Gema dan Harlan. "Gema, Harlan, kenalin Lea...my fiancée." "Halo, Gema. Nice to meet you. Saya suka lagu-lagu kamu," ujar Lea ramah pada Gema. Gema menyambutnya dengan senyuman. "Thank you Lea, it's nice to meet you too." "Saya juga pernah nonton filmnya Harlan. You're a great actor." "Oh, makasih." Harlan jadi terlihat sumringah. "Anyway, selamat buat kalian berdua ya. Akhirnya, Melvin mau nikah juga. Ditunggu loh undangannya." Gema menyikut Harlan sedikit tapi suaminya itu tidak terlihat peduli. "Pastinya kalian bakal kami undang nanti, bahkan jadi tamu kehormatan. Iya kan, babe?" Lea sialan! umpat Melvin dalam hati. Sementara kepalanya hanya bisa terangguk. "Itu pasti." "Kalian nggak mau gabung sama kita aja?" "Oh, nggak usah, kita nggak mau ganggu. It's nice to meet you guys, tapi kita mau duduk disana aja." Harlan menolak tawaran dari Lea itu. "Kita kesana dulu ya..." Gema pun mengatakan hal yang sama. Yang bisa dilakukan Melvin dan Lea hanya lah mengangguk dan membiarkan pasangan itu pergi untuk menempati tempat kosong yang ada di sudut kafe, cukup jauh dari meja Melvin dan Lea. Tatapan Melvin tidak lepas dari mereka hingga tawa Lea terdengar. Dua hal yang ditertawakannya adalah Harlan yang sepertinya ingin menjauhkan sang istri dari  Melvin, serta bagaimana Melvin yang menatap mereka lekat. Melvin berdecak kesal karena jadi bahan tertawaan Lea. Di mata perempuan itu, ia pasti terlihat konyol karena kehadiran Gema. Tentu saja, Melvin tidak pernah tidak kacau setiap melihat perempuan itu. Meski sudah cukup lama berlalu, tetapi masih saja begitu. Seharusnya ia tidak bertemu mereka disini. Kali ini, senyum kemenangan justru terukir di bibir Lea. Senang karena semesta mendukungnya untuk membalikkan keadaan. Perempuan itu mencondongkan tubuh agar lebih dekat pada sang tunangan. "Nah, Melvin," bisik Lea. "Kita itu nggak beda jauh, sama-sama insan yang patah hati. Jadi, daripada ngerasa kasihan sama aku, mending kasihan sama diri kamu sendiri dulu yang jelas-jelas masih cinta sama istri orang. Okay, baby?"    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD