74. Case Closed

2392 Words
Nyaris dua bulan telah berlalu sejak kematian Savero dan hubungan keluarga Wiratmaja berada pada titik terenggangnya. Dan selama sebulan ini, sudah tidak terjadi apa-apa lagi pada Melvin dan anggota keluarganya yang lain. Mereka sudah berhenti mendapatkan terror dan tidak ada pula yang mencoba menyakiti mereka, seperti menghadang di jalan atau semacamnya, seperti yang terjadi sudah-sudah.  Walau kehidupan mereka sudah tidak lagi kembali normal setelah semua yang telah terjadi, namun bisa dibilang jika hidup mereka kembali tenang tanpa mendapat gangguan lagi. Jelas saja, Savero sang dalang dari semuanya sudah tidak ada. Dan ketenangan yang kembali pada kehidupan mereka ini pun kian membuktikan bahwa memang Savero pelakunya. Selama hampir dua bulan ini, ada beberapa hal yang terjadi. Salah satunya adalah kehebohan yang kembali terjadi pada keluarga Wiratmaja. Diketahui bahwa Hanna Wiratmaja dan suaminya terlilit banyak hutang dengan beberapa orang, karena ulah sang suami yang tertipu investasi, serta karena tabiatnya yang hobi berjudi. Dan salah satu orang yang meminjamkan uang pada mereka adalah Brian Wangsa, dengan nominal yang jauh dari kata sedikit. Lewat masalah itu, Melvin jadi tahu apa hubungan tantenya dan Brian. Namun, ia memilih untuk tidak ingin mencari tahu lebih lanjut soal itu, karena ia tidak mau ikut campur. Kesannya memang Melvin seperti tidak peduli pada keluarga sendiri. Tapi, setelah semua yang terjadi, lebih baik Melvin menutup mata terhadap mereka. Melvin hanya tahu lewat Darel kalau kini perusahaan milik suami Hanna dijadikan sebagai jaminan atas hutang-hutang mereka. Dan dari desas-desus yang didengarnya juga, Larissa yang ada di London sana sempat ditangkap oleh polisi karena terjerat kasus narkoba. Lagi, Melvin memilih untuk tidak peduli. Tidak pula mencoba menawarkan bantuan apapun kepada mereka, sebab ia sendiri sudah memilih untuk menutup semua chapter hidupnya yang berhubungan dengan Savero. He doesn't want to look back anymore. Lebih baik jika ia tidak tahu apa-apa lagi dan berurusan dengan apapun yang meyangkut Savero, termasuk keluarganya. "Karma hit them hard, right?" Darel bilang begitu pada Melvin di suatu malam ketika mereka sedang pergi berdua ke sebuah kelab malam. Tristan tidak ikut, karena hubungannya dan Melvin jadi canggung sejak kejadian Melvin menuduhnya waktu itu. Meski sudah sama-sama bilang memaafkan satu sama lain, sebuah gunung es tetap muncul dan berada di antara mereka. "Maybe." Melvin merespon perkataan Darel itu dengan sebuah gumaman. "Karena Savero sudah nggak ada di dunia ini, prolly his family needs to pay for it." Darel mengangguk. "Agree. Tapi, sedari awal ini salah Tante Hanna. Andai dari dulu dia nggak main-main dan menjalani hidupnya dengan lurus, dia nggak akan melahirkan anak dengan batin terluka seperti Savero. Dan ujungnya, nasib keluarganya nggak akan se-f****d up ini. It's actually sad that they turned out as a shame for our family." Melvin hanya memberikan respon pada Darel dengan mengajaknya bersulang menggunakan shot glass di tangan mereka masing-masing. Setelah kejadian Savero, Melvin memang jadi lebih sering hang out dengan Darel. Setiap kali bertemu untuk minum beberapa shots vodka atau whiskey, keduanya selalu beralasan jika itu semua dilakukan untuk healing setelah kejadian traumatis yang mereka lalui. Melvin berusaha mengobati rasa sakit hatinya, sementara Darel berusaha mengobati rasa traumanya. Untuk waktu yang lama, Darel tidak bisa pergi kemana-mana sendirian, dan kerap mengalami panic attack setiap kali berada di sebuah tempat parkir hingga membuatnya tidak bisa menempati apartemennya lagi. Bahkan, mereka juga mendatangi psikiater yang sama. Semua demi menghilangkan rasa trauma yang mereka alami, kesulitan untuk tidur di malam hari, hingga stress yang tidak bisa lepas selama berminggu-minggu. They are getting better now. "Sekarang kita harus fokus sepenuhnya sama kehidupan kita, Melv. Moving forward. Apa yang ada di masa lalu, ada baiknya kita lupakan." "Gue sedang mencoba keras untuk itu." "Lo harus punya plan masa depan yang bisa bikin lo lebih bahagia lagi dari sekarang." "Udah punya kok." "Apa?" "Gue kepengen punya anak, for real this time. Dan gue rasa, sekarang timing-nya sudah tepat." Darel tertawa mendengarnya. Semua anggota keluarga Wiratmaja yang lain memang sudah tahu kalau kemarin Lea hanya pura-pura hamil saja, sebagai jebakan bagi para tamu di pesta. Melvin menjelaskannya ketika ia menceritakan kepada mereka semua secara mendetail mengenai masalah Savero waktu itu. Jadi, baik Melvin dan Lea sudah tidak perlu berpura-pura lagi di hadapan mereka semua. Punggung Melvin ditepuk-tepuk bangga oleh Darel. "Gue tunggu kabar baik dari lo," ujarnya. Ia pun mengedipkan sebelah mata pada Melvin seraya berujar lagi, "Gue juga udah ada rencana tentang apa yang mau gue lakukan ke depannya." Sebelah alis Melvin naik, menunggu Darel lanjut bicara. Laki-laki itu nyengir. "Gue mau kerja lebih keras, berhenti jadi playboy, dan mulai berencana untuk menikah." Ganti Melvin yang menepuk-nepuk bangga punggung sang sepupu. "Nice plan. Gue tunggu undangan lo." "Oke. Gue tunggu baby shower-nya Lea kalau gitu." Keduanya pun tertawa. Dan di saat-saat ia bisa merasa rileks lagi seperti ini, tertawa lepas bersama orang terdekatnya, membuat Melvin teringat pada perkataan Lea ketika ia sangat hancur waktu itu. Survive. Itu yang harus dilakukannya untuk menghadapi ini semua. Melvin pun melakukannya. He's surviving. They are surviving. Savero boleh saja mengkhianatinya dan kini sudah pergi untuk selamanya. Tetapi, Melvin masih punya anggota keluarganya yang lain, dan orang-orang yang benar sayang padanya. Karena mereka lah, Melvin bisa kembali bangkit dan menata kembali hidupnya yang sempat porak-poranda. *** Rasanya sudah lama sekali sejak Melvin menginjakkan kaki ke tempat ini lagi. Terakhir dia ke sana sudah berbulan-bulan lalu. Namun, walaupun sudah ke sana beberapa kali, tetap saja Melvin tidak menyukai tempatnya. Dari luar memang terlihat seperti rumah biasa, namun di dalam, ada banyak rahasia yang tersimpan. Termasuk di bagian ruang bawah tanahnya. Yang Melvin maksud adalah markas Kahraman. Ia berada di depan rumah bertingkat yang berada di perumahan karyawan yang ada di dalam kompleks perkebunan Sadajiwa. Sebenarnya, Melvin tidak memiliki agenda apa-apa di sana, namun ayah mertuanya mengundang Melvin dan Lea untuk menginap di rumahnya selama beberapa hari. Dia bilang, keduanya perlu refreshing dan menghirup udara segar di sini untuk menghilangkan penat. Sementara Lea sendiri bilang bahwa alasan sebenarnya sang ayah semata karena ia rindu pada semua putrinya. Sebab tidak hanya mengundang Melvin dan Lea saja, Hermadi juga meminta semua putrinya untuk datang dan menginap selama beberapa hari. Selepas makan siang bersama mereka, tanpa sepengetahuan Lea yang tengah menemani Hermadi main catur, Melvin mendatangi markas Kahraman. Niatnya untuk memenuhi seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Selatan. Meskipun tadi ada Poppy di acara makan siang bersama mereka, namun Selatan tidak terlihat dimana-mana. Dan Poppy sempat bilang bahwa Selatan sedang berada di markas karena ada pekerjaan yang harus diurusnya. Karena itu, di sini lah Melvin sekarang. Mencari Selatan, untuk membicarakan sesuatu dengannya. Tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau meminta izin untuk masuk ke dalam markas itu, beberapa anggota Kahraman yang ada di luar sudah mempersilahkan Melvin untuk masuk terlebih dahulu. Setelah berbulan-bulan Melvin menjadi klien Kahraman, mereka tentu sudah sangat mengenali Melvin dengan baik. Baru selangkah Melvin memasuki rumah yang masih saja terlihat lengang karena minimnya perabot di sana, ia sudah melihat Alden, anggota Kahraman yang waktu itu membantunya mencari lokasi Savero. Laki-laki berkacamata itu berada di ruangan yang bisa dibilang sebagai ruang tamu di sana, tengah duduk di sofa sembari fokus pada laptopnya. Melvin menduga, ia sedang bekerja. Melvin pun berdeham sehingga menarik perhatian Alden untuk menoleh padanya, dan meninggalkan sejenak pekerjaan di laptopnya. "Oh, hai." Alden menyapa dihiasi sebuah senyum sopan. "Selatan ada?" Melvin bertanya tanpa basa-basi. "Bang Selatan kayaknya ada di bawah." Melvin tentu tahu apa ruang bawah yang dimaksud oleh Alden. Ia sudah pernah diajak Hermadi ke sana. Dan bagi Melvin, tempat itu adalah tempat yang super mengerikan karena di sana lah Kahraman menyiksa, menyekap, menginterogasi, serta menyakiti orang-orang yang sekiranya mereka pikir perlu dibuat seperti itu. Mendengar ruang bawah tanah markas Kahraman itu disebutkan, Melvin jadi teringat dengan para anggota Noir yang waktu itu ditahan oleh Kahraman. Entah apa kabar mereka sekarang, Melvin tidak pernah tahu. Dan sejujurnya, ia juga tidak benar-benar ingin tahu soal itu. Apapun yang terjadi, itu semua urusan dan pekerjaan Kahraman.   "Mau ketemu Bang Selatan?" Tanya Alden kemudian. Melvin hanya menganggukkan kepala. Alden pun beranjak dari duduknya sambil membawa laptop. "Gue panggilin dulu kalau gitu," ujarnya. Lalu ia mengedikkan dagu ke sebuah ruangan yang pintunya terbuka. "Tunggu aja di ruangannya." Melvin hanya menganggukkan kepala, sementara Alden sudah berjalan pergi ke arah yang Melvin ketahui menuju ruang bawah tanah, sembari membawa laptopnya. Sepertinya, ia benar-benar tidak ingin meninggalkan laptopnya. Entah karena ada pekerjaan yang harus dia pantau, atau ada rahasia klien yang harus dijaganya. Padahal, sebetulnya tidak perlu. Melvin yakin jika hampir semua orang di sini tidak akan mengerti dengan kode-kode yang ada di laptop Alden. Semenit kemudian, Melvin sudah berada di ruangan yang dikatakan Alden sebagai ruangannya Selatan. Tidak ada yang khusus dari ruangan itu, isinya hanya seperti ruang kerja biasa, tidak jauh berbeda dengan ruangan yang pernah Melvin datangi bersama Hermadi waktu itu. Tidak perlu menunggu terlalu lama, Selatan datang dan langsung duduk di hadapan Melvin. "Ada angin apa tiba-tiba gue didatengin seorang tamu kehormatan?" Selatan membuka pertemuan mereka dengan sebuah perkataan sinis. "Padahal gue lagi sibuk di bawah." "Sibuk mukulin orang?" Cibir Melvin. Selatan mendengus kasar. "Gue nggak punya waktu untuk basa-basi, langsung to the point aja. Gue tau, nggak mungkin lo nemuin gue tanpa ada tujuan khusus." "Gue juga nggak mau basa-basi," sahut Melvin. "Memang ada hal penting yang mau gue bahas." Dengan tangannya, Selatan memberi gestur pada Melvin untuk menjelaskan secara langsung maksud dan tujuannya. "Let's close this case." Satu alis Selatan naik dan laki-laki itu tersenyum miring. "Oh wow, kenapa? Nggak mampu bayar jasa kami lagi?" Melvin tertawa, menganggap pertanyaan sinis Selatan itu begitu lucu. Dengan profit perusahaannya yang mencapai ratusan miliar dalam sebulan, tentu saja membayar jasa Kahraman bukan perkara yang sulit bagi Melvin. Selatan pun tahu itu, namun ia sengaja bicara begitu semata hanya untuk meledek Melvin. Walau sudah bekerja sama selama beberapa bulan, hubungan mereka tetap tidak bisa dibilang akur. Hingga detik ini, Melvin masih merasa kalau Selatan membencinya karena Lea. "Terserah, lo mau berpikir seperti apa. Tapi, gue rasa memang sudah waktunya kasus ini ditutup dan kerja sama kita berakhir, kan? He's dead and nothing happened anymore. So?" "Gue senang karena ini yang sebenarnya gue tunggu-tunggu. Seperti yang pernah gue bilang ke lo, gue nggak sabar untuk mengakhiri kerja sama kita," ujar Selatan seraya tersenyum puas. Melvin menggelengkan kepala dan tertawa kecil. "Gue penasaran deh, kenapa kayaknya lo benci banget sama gue? Apa karena gue suami Lea?" "Don't waste my time, Melvin. Gue ada di sini sekarang cuma mau membahas masalah pekerjaan, bukan masalah pribadi." Selatan mengalihkan pembicaraan, memilih menolak untuk menjawab pertanyaan Melvin tersebut. "Speaking of her, emangnya lo udah bilang sama Lea soal mau mengakhiri kasus ini? Yang mana artinya, di saat kita udah sepakat untuk berhenti kerja sama, lo nggak akan mendapat perlindungan khusus lagi. Walau lo masih bisa pakai jasa The K." "Gue memang belum ngomong soal ini ke dia, karena tau Lea pasti nggak akan setuju." "Lebih baik lo ngomong dulu ke Lea, karena gue nggak mau jadi sasaran marah dia untuk yang ke sekian kalinya gara-gara gue nurutin kemauan lo tanpa persetujuan dia." Melvin menggelengkan kepala. Ia merasa tidak bisa jika harus bicara pada Lea terlebih dahulu karena Lea pasti akan menolak dengan alasan bahwa mereka masih harus waspada. Karena itu, lebih baik Melvin bicara setelahnya. "Gue masih akan menggunakan jasa The K untuk melindungi gue dan keluarga gue yang lain. Tapi, gue rasa gue udah nggak butuh jasa dari Kahraman lagi karena pelakunya sudah ketemu...dan dia juga sudah mati," jelas Melvin. "Tapi, gue tetap mau jadi member prioritas yang dalam keadaan urgent, bisa dapat bantuan dari Kahraman hanya lewat satu telepon." Selatan tertawa. "Kita nggak punya sistem begitu. Kalau lo mau jadi klien lagi, ikuti prosedur yang ada." "Buat pengecualian untuk gue." "Nggak bisa. SOP-nya sudah begitu. Lagipula, kenapa harus? We are not even close." "Anggap aja demi Lea. Kalau ada kesepakatan itu, dia pasti setuju dan nggak akan protes karena gue mau kita nutup kasus ini." Melvin tahu, membawa nama Lea dalam pembicaraan ini berhasil sedikit melunakkan Selatan. Terlihat dari raut wajah laki-laki itu. Tidak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa tidak nyaman di hati Melvin karena menyadari hingga detik ini, sepertinya perasaan Selatan pada Lea masih utuh. Padahal, hubungan mereka sudah berakhir sejak lama. "Kita juga sama-sama menantu keluarga Sadajiwa, kan? Jadi, gue rasa lo juga nggak punya alasan untuk nolak permintaan gue itu. That's my privilege." Melvin menambahkan. Selatan berdecak dan mendengus kesal. "Fine," ujarnya pasrah. "At least, gue nggak perlu kerja ngurusin lo lagi selama beberapa waktu. Gue harap sih, selamanya kita nggak perlu kerja sama lagi." Melvin hanya menanggapinya dengan senyum. Ia merasa puas karena Selatan telah menyetujui permintaannya, juga puas karena akhirnya kasus Savero ini bisa sepenuhnya mereka tutup, sehingga Melvin tidak akan berurusan lagi dengan Kahraman. Sebetulnya, ada alasan tersendiri mengapa Melvin ingin mengakhiri kerja sama ini. Dan alasannya simpel saja, dia muak dan merasa tidak nyaman. Melihat para anggota Kahraman yang masih berkeliaran di sekitarnya setiap hari dengan senjata mereka, hanya membuat Melvin terus teringat akan semua yang sudah terjadi. Sedangkan Melvin ingin melupakan semuanya. Ia ingin melupakan bagaimana para anggota Kahraman menyakiti para anggota Noir yang mereka tangkap, bagaimana mereka dengan sigap mencari demi bukti yang mengarah ke bersalahnya Savero, bagaimana waktu itu mereka bergerak untuk menangkap para pria bertopeng yang mengejar Lea, dan yang terpenting, ia juga ingin melupakan bagaimana waktu itu mereka menemukan jasad Savero yang gantung diri. Karena itu, Melvin ingin menutup kasus ini dengan Kahraman. Kemudian, ia bisa memulai lembaran baru hidupnya dengan tenang, tanpa dibayang-bayangi oleh semua yang berhubungan dengan Savero lagi. Tidak lama kemudian, Selatan mencetak sesuatu dari printer-nya, setelah ia sibuk dengan layar komputer yang ada di mejanya. Lalu, ia menyerahkan apa yang dia cetak itu pada Melvin, yang ternyata adalah pemutusan kontrak di antara mereka. "Sign this and we are over." Melvin membaca semua isi dari berkas yang diberikan oleh Selatan, kemudian membubuhkan tanda tangannya pada bagian yang sudah disiapkan, menggunakan pulpen yang ada di atas meja. Lalu, Melvin menyerahkan berkas itu lagi kepada Selatan, dan ganti laki-laki itu yang menandatanganinya. Keduanya pun berjabat tangan setelahnya. "Now, your case is officially closed," ujar Selatan. "Terima kasih karena sudah memakai jasa Kahraman." Melvin mengangguk. "Senang bisa bekerja sama dengan kalian." "Gue nggak merasakan hal yang sama, sorry. Kalau lo udah nggak ada urusan lagi, lo bisa pergi sekarang, karena gue masih banyak kerjaan. Klien gue nggak cuma satu." Selatan mengedikkan dagunya ke arah pintu, mengusir Melvin secara halus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD