73. Goodbye

2313 Words
Keluarga Wiratmaja ribut besar setelah Melvin menjelaskan kepada mereka semua apa yang terjadi, terutama para orang tua, karena anak-anaknya sudah tahu secara garis besar apa yang terjadi pada Savero.  Di hari Melvin memanggil mereka semua untuk berkumpul di rumahnya, ia menceritakan semuanya secara detail termasuk menunjukkan bukti-bukti yang ada. Namun, dari semua penjelasan itu, tetap saja yang paling berat adalah memberitahukan kepada mereka semua bahwa Savero sudah tiada. Dan Savero mengakhiri hidupnya sendiri. Dalam pertemuan itu, Hanna Wiratmaja dan Marcus Wiratmaja jadi dua orang yang paling bersitegang. Marcus marah mendengar apa saja yang telah dilakukan oleh Savero yang selama ini ditutupi oleh anak-anaknya dan juga Melvin, sementara Hanna marah karena tidak terima atas semua tuduhan yang ditujukan pada Savero. Terlebih lagi, Hanna ikut dicurigai memiliki andil dalam masalah ini. "Dari awal aku sudah menebak kalau anak kamu itu hanya akan bawa masalah ke keluarga kita!" Marcus berujar begitu pada Hanna. "Kalian semua itu nggak tau dia gimana! Aku yakin, bukan Savero pelakunya!" Sementara Hanna selalu menegaskan seperti itu.  Hanna pun sempat menatap memohon pada Melvin, berharap Melvin percaya padanya. Sebab Melvin yang memang paling dekat dengan Savero, jadi seharusnya Melvin tahu bahwa Savero tidak akan begitu. Tetapi, apa lagi yang bisa Melvin lakukan? Bukti-bukti sudah mengarah ke sana. Tidak ada alasan buatnya percaya lagi.  Melvin tidak bisa terus membela Savero di saat sudah jelas bahwa Savero salah.  "Aku curiga, jangan-jangan kamu juga terlibat dalam ini semua. Apa ini rencana suami kamu? Kita juga tau kalau suami itu nggak benar! Apa tujuan kalian? Mau menjatuhkan keluarga Wiratmaja? Mau menguasai tahta di keluarga ini? Atau karena kamu dendam karena selama ini kami nggak bisa memandangmu dengan baik gara-gara masalah yang kamu buat sendiri? Your family is such a shame to the whole family." Pertengkaran di antara mereka pun kian membesar saat Marcus menuding Hanna seperti itu. Hanna yang tidak terima, akhirnya menampar keras sang adik.  Kacau. Semuanya jadi sangat kacau.  Mereka benar-benar ribut besar setelahnya, berdebat siapa yang benar dan siapa yang salah, dan sama-sama bersikeras pada pendapat masing-masing. Setelah sekian lama perang dingin antar keluarga, akhirnya hari itu tiba juga dimana semuanya meledak dalam emosi yang sebenarnya sudah lama tidak tersalurkan. Melvin lebih banyak jadi penonton pada hari itu. He felt numb. Diamnya Melvin juga menunjukkan bahwa ia tidak ingin membela siapa-siapa. Dan ia pun terlalu lelah untuk ikut berdebat bersama mereka.  Yang membuat Melvin miris, polemik keluarga itu justru membuat mereka lupa bahwa Savero sudah meninggal. Semuanya lebih sibuk membela diri masing-masing, dan hanya mendebatkan siapa yang benar dan salah. Mungkin hanya Melvin dan Abby yang terlihat begitu terguncang akibat kematian Savero. Bahkan, ibu kandung Savero pun tidak terlihat begitu. Mungkin, bagi mereka Savero sudah tidak pantas dikasihani lagi atas apa yang telah diperbuatnya. Well, mungkin memang begitu. Savero bahkan sudah membunuh ayah kandung Melvin dan Abby, yang seharusnya sudah cukup untuk membuat mereka benci pada laki-laki itu.  Namun, rasanya sulit untuk membenci seseorang yang selama ini sudah sangat kita sayang. Daripada benci, yang lebih terasa adalah kecewa dan sakit hati yang teramat besar.  Perdebatan besar itu baru berakhir ketika hipertensi Marcus kambuh akibat terlalu emosi. Pria itu didera sakit kepala hebat hingga terduduk di lantai. Mau tidak mau, anak-anaknya membawa Marcus pergi, memisahkannya dari Hanna agar pertengkaran mereka bisa berhenti. Tapi, bukan berarti masalah selesai begitu saja. Setelah kejadian itu, dapat dipastikan bahwa keduanya akan lebih saling membenci. Dan bukan lagi lewat perang dingin, tapi secara terang-terangan langsung. Selepas keluarga Marcus pergi, baru lah Hanna mendekat pada Melvin dan mulai menangis. Melvin sendiri memilih melengos ketika sang tante melakukan itu. Sebab ia tidak tahu apakah harus percaya atau tidak dengan kesedihan yang dirasakan olehnya.  "Melvin, kamu percaya sama kata-kata Tante, kan? Savero nggak mungkin melakukan itu semua...pelakunya pasti bukan Savero..." Hanna meraih kedua tangan Melvin dan menggenggamnya erat ketika mengutarakan itu. "Savero anak baik, Melvin...mustahil dia melakukan sesuatu yang keji seperti itu...dia tidak mungkin menyakiti keluarganya sendiri..." Melvin menghela napas dan melepaskan tangannya dari genggaman Hanna. "Maaf, Tante. Aku juga nggak mau seperti ini. Tapi, aku nggak bisa bilang apa-apa lagi karena bukti-buktinya mengarah ke sana." "Kamu harus percaya kalau Savero bukan pelakunya, Melvin!" "Kemarin aku masih coba untuk tetap percaya, tapi apa? Semakin hari buktinya justru mengarah ke sana." "Savero nggak mungkin menyakiti keluarga kamu. Kalian itu sudah seperti keluarga, seperti saudara, gimana mungkin dia tega melakukan itu semua?" Melvin terkekeh. "Aku juga mikirnya begitu, Tante. I thought we were brothers," ujar Melvin miris. Kemudian wajahnya berubah muram seraya ia melanjutkan, "But he killed my father. Dan juga mencoba membunuh semua yang ada di keluarga ini." "Jadi, kamu nggak percaya lagi sama Savero?" Melvin tahu, tantenya sama sekali tidak terima akan gagasan Melvin itu. Dan jika Melvin mengiakan pertanyaannya, maka itu akan memulai hubungan buruk mereka. Membuat Melvin yang sebelumnya selalu berada di sisi netral dan mendukung seluruh anggota keluarganya secara adil, kini berbalik untuk berada di sisi buruk Hanna, sama seperti keluarga Marcus. Right now, it's her against them. Ada sedikit rasa bersalah yang Melvin rasakan, namun ia teringat pada kata-kata Tristan sebelumnya. Melvin sudah tidak boleh bersikap lunak lagi di saat semuanya sudah jelas. Maka, kepalanya pun terangguk. Dan ia menambahkan, "Aku bahkan juga nggak bisa percaya lagi sama Tante dan keluarga Tante. I'm sorry to say this, tapi Tante harus membuktikan kalau Tante juga nggak bersalah dan nggak ikut terlibat dalam semua rencana Savero. Sampai belum terbukti kalau Tante memang nggak terlibat, aku akan terus melihat Tante sebagai musuh." Hanna Wiratmaja tentu saja marah dan tidak terima atas tuduhan itu. Ia langsung beranjak dan bersiap pergi dari sana.  Satu pesan Hanna sebelum ia benar-benar pergi, "Kamu." Tunjuknya pada Melvin. "Pasti akan menyesal karena sudah berpikir seperti itu, Melvin." Lalu, Hanna benar-benar pergi. Dan perginya Hanna Wiratmaja dari rumah Melvin bagai simbol yang mengawali kehancuran keluarga Wiratmaja. Mereka jadi tercerai-berai.  Mungkin saja, itu juga salah satu rencana Savero. Ia ingin keluarga Wiratmaja hancur dari dalam. *** Selain rekaman CCTV yang didapat oleh Selatan, hasil autopsi juga menunjukkan kalau memang Savero bunuh diri. Penyebab kematiannya hanya lah jeratan di leher yang digunakannya untuk meggantung dirinya sendiri. Tidak ada penyebab lain ditemukan, baik itu luka karena diserang orang lain, tanda perlawanan, serta kemungkinan lain seperti diracun, atau sebagainya.  Savero memang murni bunuh diri. Atas dasar kemauannya, tanpa paksaan dan keterlibatan orang lain.  Pemilik villa pun bilang bahwa Savero sudah beberapa hari menginap di villanya dan laki-laki itu hanya datang sendirian. Mereka tidak merasa ada yang aneh pada Savero, walau katanya Savero hanya agak pendiam. Sang pemilik villa pun kaget sekali atas kejadian bunuh diri Savero itu. Mereka takut jika kejadian itu dapat memengaruhi bisnis villanya. Villa bekas tempat bunuh diri jelas tidak akan digemari oleh orang-orang. Karena itu, meski sedikit melibatkan polisi sebagai formalitas dan agar tetap mengikuti birokrasi yang ada saja, pihak keluarga Melvin dan pemilik villa sepakat untuk tidak menggembor-gemborkan berita bunuh diri Savero ini. Sebisa mungkin, mereka tidak mau beritanya terendus oleh media. Biar hanya keluarga inti dan orang-orang yang ada di sana saja yang tahu.  Melvin sendiri memang tidak ingin khalayak tahu mengenai masalah keluarganya. Di mata orang-orang, keluarga Wiratmaja memiliki image sebagai keluarga yang harmonis. Jika sampai mereka tahu apa yang terjadi, hal itu akan memengaruhi banyak hal. Dan akan dianggap sebagai kelemahan keluarga mereka.  Penyelidikan terhadap Hanna Wiratmaja, suaminya, juga Larissa pun telah dilakukan. Sejauh ini, mereka berhasil membuktikan bahwa mereka tidak terlibat sama sekali dengan semua yang telah dilakukan oleh Savero. Mereka sungguh tidak tahu apa-apa dan Savero hanya bekerja sendirian. Mereka pun sangat kooperatif menjalani semua penyelidikan.  Hanna hanya mengenalkan Savero pada Brian Wangsa saja, karena memang Brian adalah kenalannya. Tanpa tujuan khusus, dan Hanna pun tidak tahu apa-apa tentang Noir. Hingga detik ini, Hanna masih bersikeras bahwa Savero tidak bersalah dan sama sekali tidak melakukan apa yang telah dituduhkan padanya. Namun, sudah tidak ada lagi yang bisa percaya itu, termasuk Melvin.  Dan meskipun Hanna serta keluarganya terbukti tidak terlibat, Melvin masih merasa was-was pada mereka. Melvin juga memilih untuk menjaga jarak, sehingga hubungan mereka pun jadi sangat merenggang usai kematian Savero.  Pemakaman Savero dilakukan secara private agar tidak mengundang perhatian orang-orang. Walau Melvin yang sedari awal mengurus semua kasus Savero ini, namun Hanna secara khusus meminta pada Melvin agar dirinya sendiri yang mengurus pemakaman Savero. Sebagai persembahan terakhir yang bisa diberikannya pada sang anak yang selama ini tidak mendapat kasih sayang yang cukup darinya. Melvin menuruti permintaan Hanna itu, sebab ia pun tidak punya alasan untuk menolak permintaan seorang ibu yang ingin mengadakan pemakaman anaknya sendiri. Hanya keluarga inti Hanna saja yang hadir dalam pemakaman itu, serta Abby dan Mayana. Sementara keluarga Marcus merasa tidak sudi untuk datang ke sana karena terlalu benci pada Savero dan apa yang dilakukannya. Mereka juga lebih baik tidak datang, karena tidak menutup kemungkinan bahwa Hanna dan Marcus akan kembali bertengkar jika mereka bertemu.  Sementara Melvin...ia merasa tidak sanggup untuk datang ke pemakaman Savero. Perasaannya terlalu kacau dan selama beberapa waktu, emosinya pun tidak stabil. Melvin merasakan banyak emosi bercampur jadi satu. Ia masih marah karena Savero sudah pergi tanpa mendapat hukuman setimpal, kecewa dan sakit hati karena tahu Savero adalah sang pelaku dan sangat membencinya, serta sedih karena dalam setahun ini, ia sudah kehilangan dua orang penting dalam hidupnya.  Kehilangan Savero pun jauh lebih menyakitkan bagi Melvin daripada kehilangan ayah sendiri. Rasa sayang Melvin pada ayahnya memang lebih besar. Namun, ayahnya tidak berkhianat seperti yang dilakukan oleh Savero.  Seminggu setelah pemakaman Savero, Melvin baru mau datang ke sana. Ditemani oleh Lea. Tidak ada siapa pun di pemakaman itu ketika mereka tiba. Bunga-bunga yang ada di pemakaman itu pun bahkan sudah layu, menandakan bahwa tidak ada lagi yang datang berkunjung setelah hari pemakamannya kemarin. Melvin juga tidak membawa bunga atau apapun itu untuk menghias makam Savero. Mau Savero sudah tidak ada di dunia ini lagi, Melvin tetap belum bisa memaafkannya. Mereka berdiri di samping makam Savero yang begitu sepi. Sedari awal sampai di kompleks pemakaman ini, Lea terus menggenggam tangan Melvin erat dan menempel dekat di sisinya. Melvin juga menggenggam tangan Lea sama eratnya, berharap bisa mendapat kekuatan lebih dari sang istri lewat genggaman tangan Lea itu. Di balik kacamata hitam yang dipakai oleh Melvin sekarang, Lea tahu bahwa tatapan mata Melvin menyorot sendu makam Savero. Sejak Savero ditemukan tewas dan mengakui kejahatannya, Melvin memang sangat hancur. Bahkan, terakhir kali Lea melihat Melvin tersenyum adalah pagi hari sebelum Melvin meninggalkannya di hotel tempo hari.  "Savero nggak pernah punya teman dekat di sini." Melvin tiba-tiba berujar begitu. "Makanya, nggak ada yang datang ke pemakaman dia kecuali keluarganya. No one really cares about him." Lea hanya diam mendengarkan perkataan Melvin itu. Tahu bahwa Melvin ingin bicara lebih banyak.  "Dia selalu bilang kalau aku teman baiknya. Satu-satunya yang peduli sama dia dan dianggapnya sebagai keluarga," lanjut Melvin lagi. Ia tertawa miris dengan pandangan yang tertuju pada makam Savero. "Was that a lie, Ro? Gimana bisa lo bohong semudah itu sampai gue sangat percaya akan kata-kata lo. Bahkan, sampai detik ini pun, gue masih wondering. Is it real? Apa lo emang kenyataannya lo benci sama gue dan berujung mengkhianati gue begini? Sebelum ini gue nggak pernah tau kalau lo ternyata sangat pintar akting. Setengah hidup lo yang lo habiskan sama gue, ternyata nggak lebih dari akting doang ya?" Tentu saja tidak ada jawaban apa-apa yang didapat Melvin dari bicara begitu. Savero sudah terkubur beberapa meter di dalam tanah. Mungkin saja, arwahnya yang masih berkeliaran di sekitar sini bisa mendengar itu. Tapi, dia tidak akan pernah bisa lagi menyahuti perkataan Melvin. "Gue nggak tau apa lo bisa beristirahat tenang di sana. Lo sendiri bilang see you in hell ke gue, so I guess you rot in hell now? Good for you then. Gue udah nggak bisa lagi ngasih lo hukuman yang setimpal dengan apa yang udah lo lakukan. Jadi, sekarang cuma Tuhan yang bisa balas itu semua. "Dan bodohnya gue, gue masih merasa kasihan sama lo. Ada sebagian dari hati kecil gue yang masih berdoa supaya hukuman yang lo dapat di sana nggak seburuk itu. Tapi, di sisi lain gue juga belum bisa maafin lo. Gue kecewa, marah, dan sakit hati. Lo udah bunuh bokap gue dan nyakitin keluarga gue. Tapi yang paling membuat gue sakit hati adalah kenyataan kalau lo berkhianat." Melvin menarik napas dalam. Suaranya sudah mulai sumbang karena sekuat tenaga menahan tangis yang mengancam keluar. Lea pun melepaskan genggaman tangan mereka, semata agar ia bisa merangkul pinggang Melvin, dan setengah memeluknya.  Dibiarkannya Melvin mengambil jeda selama beberapa saat hingga ia bisa mengendalikan diri lagi.  Suara Melvin setelahnya keluar dengan volume yang lebih kecil. "Di saat gue selama ini menganggap lo sebagai saudara, lo justru menganggap lo nggak lebih dari seseorang yang merendahkan lo. Padahal, gue nggak pernah berpikir begitu. Gue selalu kagum sama lo yang kuat dan masih bisa bertahan atas apa yang sudah terjadi di hidup lo. Kalau gue ada di posisi lo, mungkin gue nggak akan sanggup," ujarnya dengan begitu berat. "Maaf kalau selama ini, kesan itu nggak pernah sampai ke lo. I should've done better, right?" "Don't be sorry." Lea akhirnya merespon Melvin. "Kamu nggak salah. He was the one who should've done better." Melvin memilih untuk tidak menanggapi Lea dan kembali bicara pada makam Savero. "Sampai detik ini, gue belum bisa maafin lo, Ro. But, may you rest in peace. Setelah ini, gue nggak akan menginjakkan kaki ke sini lagi, dan akan melupakan semua tentang lo. Terima kasih karena udah ngasih gue pelajaran berharga dalam hidup ini. Goodbye, Ro. Just like you said, see you in hell." Setelahnya, Melvin kembali meraih tangan Lea, untuk membawanya pergi dari sana. Sudah cukup. Melvin telah menyampaikan salam perpisahannya pada sang sahabat yang ternyata tidak pernah menganggapnya begitu. Dan seiring dengan langkah kakinya menjauhi makam Savero, Melvin memutuskan untuk menutup chapterhidupnya yang kelam ini.  Tidak peduli harus berusaha sekeras apa, Melvin akan melupakan Savero dan menganggap laki-laki itu tidak pernah ada dalam hidupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD