78. Fortune Teller

2700 Words
Di honeymoon trip mereka yang hanya sepuluh hari ini, tentu saja Melvin dan Lea tidak menetap di Athens untuk waktu yang lama. Mereka hanya berada di sana selama dua hari, mendatangi tempat-tempat wisata di sana yang hampir semuanya berhubungan dengan sejarah Yunani kuno. Melvin sendiri tidak terlalu suka berkutat dengan sejarah, Lea apa lagi. Daripada harus menghabiskan waktu berjam-jam di sebuah museum, bagi mereka mengurung di kamar seharian jauh lebih menarik. Tapi, karena tidak mau menyia-nyiakan waktu liburan mereka ini, sebisa mungkin Lea memaksa agar mereka tetap pergi ke tempat-tempat wisata selayaknya para turis. Di Athens, satu hari mereka dedikasikan secara penuh untuk berkeliling tempat wisata. Mulai dari Acropolis yang punya banyak bangunan-bangunan bersejarah, seperti Parthenon yang merupakan kuil yang menjadi ikon dari Acropolis. Katanya, kuil tersebut didedikasikan untuk Athena, sang dewi perang yang bijaksana dari mitologi Yunani. Dan terakhir, mereka mengunjungi Mount Lycabettus yang merupakan titik tertinggi di Athens. Untuk mencapai ke puncak Mount Lycabettus, mereka harus naik fasilitas cable car yang tersedia. Dari atas sana, seluruh penjuru kota Athens terlihat. Dan tentu saja pemandangannya indah. Puncak Mount Lycabettus jadi tempat favorit Lea selama mereka berada di Athens. Setelah Athens, keduanya berkeliling ke bagian Greece yang lain. Mulai Thessaloniki, pulau Mykonos, dan yang terakhir pulau Santorini. Mereka juga sempat mampir ke Delphi yang merupakan situs warisan UNESCO. Katanya, situs tersebut merupakan tempat pemujaan Dewa Apollo. Melvin sendiri paling suka dengan pulau Mykonos, karena pulau itu adalah pulau yang paling glamor di Greece. Sebab pantai di sana begitu indah, dan mereka juga tidak melulu harus ke tempat sejarah, dan bisa menikmati pemandangan pantai. Atau berbelanja di butik-butik yang chic di sana, serta menikmati pertunjukan musik. Namun, ada satu hal yang paling Melvin tidak suka selama mereka di Mykonos. Saat mereka sedang jalan-jalan di sana, keduanya tidak sengaja menemukan sebuah tempat jasa fortune teller. Melvin tidak pernah percaya dengan peramal-peramal masa depan seperti itu. Lea juga sebenarnya tidak percaya, tapi dia iseng memaksa Melvin untuk pergi ke sana. "Let's hear what kind of s**t they want to tell us." Lea beralasan begitu.  Mau tidak mau, Melvin menuruti keinginan sang istri untuk masuk ke tempat jasa fortune teller yang berada dalam sepetak bangunan putih di antara bangunan-bangunan lain yang berdempet dengan warna senada di Mykonos. Semula Melvin pikir bahwa tempatnya akan terlihat gelap dan menyeramkan di dalam, lalu sang peramal adalah seorang wanita tua yang serupa penyihir seperti di film-film. Dugaan Melvin nyatanya salah. Sebab pemilik jasa fortune teller tersebut adalah seorang wanita dewasa yang usianya mungkin baru menginjak kepala empat. Wanita itu berambut ikal pirang dan ada bandana bergaya Bohemian yang menghiasi rambutnya. Melvin juga sempat mengira jika akan lampu bulat di atas meja wanita itu yang identik dengan para peramal di film dan animasi yang pernah Melvin tonton. Namun, tidak ada sama sekali. Yang ada hanya tumpukan kartu tarot serta sebuah gelas teh. Ada beberapa pilihan yang ditawarkan oleh wanita itu sebagai jasanya. Mereka bisa memilih mau dibaca lewat garis tangan, tarot reading, atau lewat gelas teh yang di dalamnya terdapat motif-motif yang tidak Melvin mengerti. Dan mereka bisa bertanya tentang berbagai macam hal, seperti love life, karir, kesehatan, atau peristiwa apa yang sekiranya akan terjadi dalam waktu dekat. Rasanya Melvin mau tertawa saja karena jasa yang ditawarkan itu sudah semacam kolom zodiak yang ada di majalah murah. Melvin saja tidak percaya pada zodiak, terlebih lagi apa yang akan dikatakan oleh fortune teller padanya. Melvin benar-benar bersikap skeptis dan hanya menuruti keisengan Lea saja berada di sana. "Aku mau dibaca garis tangan, suamiku mau tarot reading." Lea berujar dengan bahasa Inggris pada wanita yang mengenalkan dirinya sebagai Phoebe itu.  "Babe, kamu aja, aku nggak mau. Kenapa ngajak-ngajak sih?" Protes Melvin dengan bahasa Indonesia supaya Phoebe tidak mengerti. "Ssssttt." Lea menyuruhnya diam. "Nggak apa-apa kali iseng doang, biar kita bisa dapat jawaban bervariasi." "Ini tuh buang-buang waktu dan buang uang banget." "Nggak usah protes, karena bayar ini tuh cuma kayak recehan bagi kamu." "Recehan juga uang." Lea tidak menanggapi Melvin lagi. Ia yang sudah duduk di depan Phoebe pun menyerahkan telapak tangan kanannya pada wanita itu yang sedari tadi hanya tersenyum melihat perdebatan mereka. Selama beberapa saat, Phoebe menelaah garis-garis di telapak tangan Lea. Terlihat begitu serius, seolah di sana terdapat tulisan super kucil sehingga ia harus fokus melihatnya. Melvin rasanya jengah sekali menyaksikan Phoebe yang mencoba meramal Lea. Benar-benar tidak jelas, pikirnya. Zaman sekarang orang-orang bisa melakukan apapun demi mencari uang. Setelah selesai menelaah garis tangan Lea selama beberapa saat, Phoebe kembali menghadap Lea dan tersenyum lembut. "There will be a big news soon," ujar Phoebe dengan aksen bahasa Inggris yang sedikit aneh, namun masih bisa dimengerti. "A blessing for both of you." "Really?" Lea bertanya dengan wajah berseri-seri. Melvin bahkan tidak bisa menebak apakah Lea sungguh percaya dengan perkataan Phoebe itu atau hanya sekedar berpura-pura saja. Phoebe mengangguk, lalu ia menambahkan, "Tapi kamu akan sendirian ketika mengetahui kabar itu." "Kenapa sendirian?" "Aku hanya melihat kamu sendiri. Karena itu, kamu harus berhati-hati dan tetap kuat." Senyuman Phoebe hilang. "Aku melihat kabar buruk juga menyertai kabar baik kalian nanti." "Oh..." Lea jadi ikut berhenti tersenyum. "Are we going to be okay?" "Mungkin. Aku tidak tahu. Itu tergantung sekuat apa kalian bisa menghadapinya." Ini yang paling Melvin benci dari seorang fortune teller. Mereka bisa menimbulkan harap, lalu membuat orang-orang ketakutan mengenai masa depan di saat yang sama. Padahal, tidak jelas sama sekali apa konteks yang dimaksudnya. Dan masa depan itu rahasia semesta, tidak akan bisa ditebak. Mustahil jika ada orang yang bisa melihat masa depan. Melvin memilih untuk tidak percaya itu. Walau agak terkejut dengan perkataan Phoebe tadi, namun Lea sudah terlihat biasa saja setelah sesi pembacaan garis tangannya selesai. Lea pun menyuruh Melvin untuk menempati tempat duduknya tadi, karena sudah giliran Melvin untuk melakukan tarot reading, seperti yang sudah disampaikan pada Phoebe sebelummya. Dengan berat hati, Melvin duduk di sana, berhadapan dengan Phoebe yang tersenyum padanya. Melvin tidak balas tersenyum. "What do you want to know? Aku yakin kalau kamu tidak ingin tahu tentang kehidupan percintaan lagi, karena this beautiful lady right here..." Phoebe melirik Lea. "...adalah pelabuhan terakhirmu." Melvin mengangguk singkat saja. "Just let me know what's gonna happen to me soon." Phoebe mengangguk. Lalu, ia mengambil tumpukan kartu tarot yang ada di atas mejanya, dan dengan mudah menyebar kartu-kartu itu di hadapan Melvin untuk nantinya dia pilih. "Choose three." Tanpa berkomentar, Melvin segera memilih tiga kartu secara asal. Kartu-kartu yang dipilih Melvin pun dibuka satu per satu oleh Phoebe. Baik Melvin maupun dan Lea sama-sama tidak mengerti apa arti dari gambar-gambar yang ada di kartu tersebut. Namun, semua gambarnya terbalik. "Ah, it's bad," gumam Phoebe kemudian. Melvin berusaha keras untuk tidak memutar bola mata karena harus mendengarkan omong kosong Phoebe. "Someone betrayed you." Phoebe berujar dengan nada yang sarat sekali akan prihatin. Melvin dan Lea pun sama-sama tertegun karena yang dikatakan Phoebe benar. Namun, Melvin berusaha berpikir positif. Mungkin hanya kebetulan. Mustahil Phoebe tahu apa yang terjadi. "Seseorang yang megkhianatimu ini benar-benar telah menipumu dengan tipu dayanya. Yang baik jadi terlihat buruk di matamu, yang buruk jadi terlihat baik. Kamu mungkin merasa semua masalah telah selesai sekarang. Tapi..." Phoebe menunjuk salah satu kartu. "...semuanya belum selesai. Yang berkhianat belum terungkap. Yang kamu lihat dan kamu percaya selama ini hanya tipuan. Be careful of who you trust, young man." Selama beberapa detik, Melvin tidak tahu harus merespon seperti apa. Cara Phoebe menyampaikan itu semua terdengar begitu serius dan mencekam. Creepy, menurut Melvin. Tetapi, ia berusaha untuk tidak memikirkan sama sekali omongan Phoebe itu. "Okay. Will do it."  Hanya itu balasan Melvin, kemudian ia beranjak dari duduknya, melakukan pembayaran, dan mengajak Lea keluar dari tempat itu secepatnya. "Ide kamu ngajakin ke fortune teller tuh nggak jelas banget tau, nggak?" keluh Melvin setelah dirinya dan Lea keluar dari tempat Phoebe. Lea cemberut. "Iya, sorry. Kan cuma iseng," ujarnya. "Jangan percaya apa yang dia omongin tadi. Jelek banget." "Siapa juga yang percaya?" Dengus Melvin sebal. Padahal, nyatanya ia sedikit kepikiran atas apa yang disampaikan oleh Phoebe tadi. Be careful of who you trust. *** Santorini menjadi destinasi terakhir Melvin dan Lea dalam perjalanan bulan madu mereka. Selama tiga hari terakhir mereka dihabiskan di sana. Dari Mykonos ke Santorini, mereka naik helikopter. Dan nantinya, dari Santorini kembali ke Athens di hari kepulangan mereka juga akan naik helikopter agar lebih cepat sampai. Dua hari kemarin, Melvin dan Lea sudah puas berkelana mengitari Santorini yang terkenal akan bangunan di lereng bukit yang didominasi oleh warna putih dan biru di sebelah pantai, serta sunset-nya yang indah. Orang-orang bilang, berfoto di Santorini tidak perlu menggunakan filter lagi karena pencahayaannya yang sudah bagus. Dan memang begitu. Entah sudah berapa ratus foto Lea yang diambil oleh Melvin selama mereka berkelana di desa-desa kecil yang ada di sana. Melvin juga mengajak Lea untuk ikut tur kapal wisata mengitari pulau Santorini, mengunjungi Ancient Thera, beberapa pantai seperti Pantai Perissa, wisata anggur ke Megalochori yang memang terkenal memiliki banyak perkebunan dan kilang anggur. Dan yang paling melelahkan adalah hari ini, mereka mencoba hiking dari Fira ke desa Oia yang merupakan desa paling menawan di Santorini.  Mereka menghabiskan setengah hari betul untuk hiking. Walau jaraknya jauh dan matahari bersinar terik, baik Melvin dan Lea bisa melewatinya dengan baik. Semua karena mereka rajin berolahraga dan memiliki fisik yang kuat. Lea pun sama sekali tidak manja dan mengeluh. "Kamu capek nggak? Kalau capek, kita istirahat dulu." Melvin sering menawarkan seperti itu pada Lea. Padahal, Lea sendiri masih sangat full energi sehingga menolak untuk istirahat. Yang khawatir justru Melvin karena melihat istrinya itu mandi keringat. Sehingga ia memaksa Lea untuk beristirahat beberapa kali. Menyuruhnya duduk sebentar sembari memandangi hamparan laut di samping mereka, dan menyuruh Lea untu minum sebanyaknya agar tidak dehidrasi. Melvin juga tidak membiarkan Lea membawa barang apapun, sehingga semua barang bawaan mereka dibawa oleh Melvin. "Kamu lebay banget, Melvin baby." Lea bilang begitu. "Padahal aku kuat kok, soalnya pas masih kuliah dulu, aku pernah ikut organisasi pecinta alam. Sering mendaki gunung." Melvin sih percaya kalau Lea kuat. Hanya saja, ia sedikit khawatir. Mereka memang sedang menikmati honeymoon, tapi sebelum honeymoon mereka ini pun, intensitas 'hubungan' Melvin dan Lea bisa dibilang sudah meningkat dari sebelumnya-sebelumnya. "Aku takut kamu ada isi." Melvin mengungkapkan dengan jujur sembari melirik perut Lea yang masih rata. "Nggak lah. I don't feel anything." Lea menepis asumsi Melvin itu sembari tertawa. "Bulan lalu juga aku masih datang bulan kok. Dan nggak ada tanda-tanda juga." Melvin mengangkat bahu. "Lebih baik jaga-jaga." Setelah hiking, keduanya memutuskan untuk stay di hotel. Malam ini adalah malam terakhir mereka di Santorini, sekaligus malam terakhir bulan madu mereka. Besok pagi, mereka sudah harus kembali ke Athens, dan sore harinya terbang kembali ke Indonesia. Lea yang kelelahan setelah hiking pun langsung terlelap setelah mandi dan berganti pakaian. Melvin juga sebenarnya ingin tidur karena sama lelahnya dengan Lea, tapi tidak bisa. Jadi, ia memilih untuk keluar menuju area heated private pool yang menjadi bagian dari kamar hotel mereka ini. Melvin duduk di kursi santai yang ada di dekat kolam, yang menghadap langsung ke hamparan laut di depan. Meski hari sudah menjelang sore dan cuaca masih bersinar terik, namun Melvin dinaungi oleh sebuah payung besar yang menyambung dengan meja bulat di antara dua kursi santai yang salah satunya didudukinya. Melvin pun termenung memandangi laut di depan. Sejujurnya, ia terus kepikiran dengan ramalah Phoebe di Mykonos beberapa hari lalu. Meski mencoba untuk tidak percaya dan ingin melupakannya, namun Melvin tidak bisa. Pertama, apa yang dikatakan oleh Phoebe. Oke, mungkin Phoebe menebak kalau Melvin dan Lea adalah pasangan yang sedang berbulan madu, karena itu ia bilang bahwa mereka akan mendapat kabar baik sebentar lagi. Melvin terpikir bahwa kabar baik itu bisa saja kehamilan Lea. Sebelum berangkat ke sini, Melvin sendiri sudah membahas pada Lea kalau ia siap untuk punya anak, kalau Lea. Dan Lea sendiri tidak keberatan untuk itu. Jadi, mereka memang mengeskpektasikan kabar baik itu. Hanya saja, yang membuat Melvin kepikiran adalah kabar buruk yang Phoebe bilang akan menyertai kabar buruk tersebut. Seharusnya Melvin bisa mengenyahkan begitu saja omongan Phoebe itu, dan menganggapnya tidak penting. Tapi, yang membuat Melvin kepikiran adalah kartu tarot yang dibaca Phoebe menyatakan bahwa Melvin dikhianati. And that's what happened to his life recently. Melvin sungguh tidak ingin percaya semua ramalam buruk Phoebe lewat kartu tarotnya itu, tapi ia terus kepikiran, dan sebisa mungkin tidak menunjukkannya pada Lea. Yang berkhianat belum terungkap. Padahal, semua kejahatan Savero sudah terungkap, dan Savero pun sudah tidak ada di dunia ini lagi. Apa itu artinya...sang pelaku bukan Savero? Pikiran itu lah yang membuat Melvin tidak tenang. Namun, ia juga merasa bodoh karena bisa-bisanya memikirkan omongan seorang fortune teller yang tidak jelas, dan tidak masuk akal. Tidak sesuai dengan pikiran logisnya selama ini. Melvin tenggelam dalam pikirannya hingga tanpa sadar, matahari terus turun, dan sinarnya yang semula terik pun perlahan meredup, menimbulkan gradasi warna oranye di langit. Sunset di Santorini tidak pernah mengecewakan, selalu saja berhasil membuat siapapun yang melihatnya jadi takjub. Termasuk Melvin. Sejenak pikirannya yang ribut pun jadi tenang karena melihat matahari yang kurang dari lima belas menit lagi akan tenggelam sepenuhnya. "Hey." Suara Lea membuat perhatian Melvin teralih dari pemandangan sunset di langit. Dilihatnya Lea yang berdiri di depan pintu kamar dengan wajah mengantuk karena baru bangun tidur. Rambutnya agak berantakan dan dress putih selutut yang dipakainya pun jadi agak kusut bekas tidur nyenyaknya. "Kamu ngapain?" Tanya Lea, masih berdiri di tempatnya. Melvin tersenyum. "Ngeliatin sunset. Sunset terakhir kita di sini nih." Ia memberi gestur pada Lea untuk mendekat dan duduk di kursi santai yang kosong di sebelahnya. Namun, bukannya duduk di sana, Lea justru lebih tertarik untuk duduk di pangkuan Melvin, lalu bersandar di pundaknya. Melvin tidak protes, dan secara otomatis melingkarkan lengannya di pinggang ramping Lea, mengatur posisi mereka sedemikian rupa agar bisa duduk dengan nyaman di kursi santai panjang itu. Sehingga Lea jadi bersandar pada Melvin yang masih bersandar di atas kursi. Lea duduk di antara kedua kaki Melvin agar bisa bersandar dengan nyaman. "Masih ngantuk?" Lea mengangguk. "Kenapa nggak lanjut tidur di dalam?" "Nggak ada kamu, Melvin baby," jawab Lea dengan nada manja yang jahil. "Nggak ada yang peluk." Melvin terkekeh. "Now I'm hugging you." "And that feels nice." Selama beberapa saat, keduanya hanya diam dan menikmati pemandangan sunset di hari terakhir mereka di negara ini. Sesekali Melvin memberikan ciuman kecil di puncak kepala Lea dan pipinya, sementara Lea bermain dengan tangan Melvin yang masih melingkar di pinggangnya. Lalu, Lea mendongak agar bisa melihat wajah Melvin. "Kamu daritadi di sini ya?" Tanyanya. Melvin mengangguk. "Kamu mikirin apa?" "Nggak ada," bohong Melvin. "I know you're lying," ujar Lea. "Lupa apa kalau aku punya lie detector?" "Oh iya, aku lupa." Lea mendengus, lalu ia menebak, "Kamu mikirin omongan Phoebe kemarin ya?" Dan tebakan Lea tepat sasaran. Melvin tidak tahu harus bilang apa karena dengan mudahnya Lea menebak jalan pikirannya. Lea menegakkan tubuhnya, berhenti duduk bersandar pada Melvin, dan memilih untuk duduk menyamping agar ia bisa melihat wajah Melvin dengan lebih jelas lagi. Ditangkupnya wajah Melvin dengan kedua tangan, memaksa Melvin untuk menatap lurus tepat ke matanya. "Ingat ya, kamu yang kemarin bilang kalau omongan fortune teller itu nggak seharusnya dipercaya. Phoebe mungkin cuma fortune teller gadungan dan ia asal ngomong aja. Jadi, jangan kamu pikirin," ujar Lea. Ia pun mendesah menyesal. "Sorry...harusnya aku nggak perlu iseng ngajak kamu ke sana. Ramalan dia jelek semua soalnya. Harusnya aku nurut waktu kamu bilang kalau pergi ke fortune teller begitu cuma buang-buang waktu dan buang-buang duit." "Tapi...misal kejadian beneran gimana?" Lea menampar pelan pipi Melvin. "No, it's not gonna happen." "Kan aku bilang misalkan." "Oke, kalau misalnya memang kejadian, we will get through it again. We will survive. And we are going to be okay," ujar Lea yakin. Melvin baru bisa tersenyum mendengarnya. "Thank you," katanya tulus pada Lea. "Jangan terlalu khawatirin masa depan ya. Daripada itu, lebih baik kita menikmati apa yang ada di masa sekarang. Cherish what we have right now." Melvin tertawa ketika sadar kemana tatapan Lea kini terarah. "Misalnya gimana, babe?" Godanya. Lea nyengir lebar, lalu menarik wajah Melvin mendekat agar ia bisa menciumnya tepat di bibir. Membuat Melvin seketika lupa dengan semua pikiran buruknya tadi. Ia menarik Lea agar lebih dekat dengannya, mendekapnya erat hingga tidak ada jarak lagi di antara mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD