07 - Keputusan.

2226 Words
  Auriga meletakan ponsel Queen di nakas sesaat setelah ia selesai mengobrol dengan Lia, kurang lebih 1 jam 15 menit ia mengobrol dengan Lia.   Apa saja yang mereka bahas? Banyak, lebih spesifik membahas Queen. Auriga banyak bertanya pada Lia tentang apa saja yang Queen sukai dan tidak Queen sukai, mulai dari makanan, warna dan banyak hal lainnya.   Dengan lembut, Auriga mencekal pergelangan tangan Queen saat Queen ingin menyentuh otot-otot di perutnya yang kini sudah tak lagi tertutupi kemeja. Seluruh kancing kemejanya sudah Queen buka, membuat perut sixpacknya yang sedikit berbulu kini terexpose dengan sangat jelas.   Queen mendongak, menatap Auriga yang juga sedang menatapnya dengan intens, tak lupa dengan senyum manis yang manghiasi wajah tampan nan rupawannya.   "Jangan sentuh ya?" peringat Auriga penuh kelembutan.   "Kenapa enggak boleh?" tanya Queen ketus dengan raut wajah masam di iringi dengan bibirnya yang kini sedang mengerucut. Queen merasa kesal karena Auriga melarangnya untuk menyentuh 8 roti sobek milik Auriga yang sialnya sangat menggoda.   "Bahaya Sayang."   Tanpa bisa Queen cegah, rona merah menghiasi wajahnya begitu ia mendengar kata 'Sayang' yang terlontar dari Auriga.   Auriga terkekeh, membelai wajah Queen yang merona dengan penuh kasih sayang. Tanpa Queen duga, Auriga memajukan wajahnya, mengecup pipi kanan dan kirinya, membuat pipinya semakin merona.   "Cie, wajahnya merona," ledek Auriga sambil tertawa.   Queen memukul bahu Auriga, sebagai pelampiasan kekesalannya karena Auriga yang malah meledeknya. Tawa Auriga malah semakin menjadi, membuat Queen semakin kesal sekaligus malu.   Dengan manja, Queen menyandarkan kepalanya di bahu kanan Auriga dengan wajah yang kini menghadap leher Auriga. "Boleh ya Kak, Queen mau pegang, sebentar aja kok," bisik manja Queen.   Mata Auriga terpejam begitu deru nafas hangat Queen menerpa ceruk lehernya, membuat bulu kuduknya sontak berdiri. Bahkan kini tawa Auriga sudah sepenuhnya terhenti. Auriga meneguk kasar ludahnya, kemudian menarik nafasnya dalam-dalam, mencoba untuk mengontrol nafsunya.   "Tahan Auriga, tahan." Dalam hati, Auriga terus merapalkan mantra tersebut, dengan harapan kalau ia bisa menahan nafsunya yang perlahan tapi pasti mulai membara. Apalagi saat Queen meniup lehernya dengan begitu intens dan Auriga sadar kalau Queen memang sengaja melakukannya.   "Sial!" umpat Auriga dalam hati.   "Kak, boleh ya?" Queen kembali bertanya karena sejak tadi Auriga hanya diam. Sekilas, Queen melirik Auriga yang kini sedang memejamkan matanya dengan kening berkerut.   Perlahan tapi pasti, tangan kanan Queen mulai menyentuh d**a bidang Auriga. Membelai d**a Auriga dengan gerakan sensual. Queen bukan hanya membelai d**a Auriga yang terpahat dengan sempurna, tapi juga membuat pola-pola abstrak menggunakan kukunya yang sedikit tajam.   "Queen," desah Auriga dengan mata yang masih terpejam. Deru nafas Auriga mulai memburu, bahkan kini dadanya bergerak naik turun dengan begitu cepatnya.   Queen yang sedang sibuk bermain dengan d**a bidang Auriga hanya berdeham, semakin intens melancarkan aksinya begitu melihat bagaimana reaksi tubuh Auriga atas sentuhan yang sedang ia lakukan.   Queen semakin merasa tertantang juga bersemangat, ingin sekali melakukan hal yang lebih dari sekedar sentuhan dan belaian.   "Tapi apa ya?" tanya Queen dalam hati. Queen terus berpikir dan setelah hampir 1 menit berpikir tentang apa yang harus ia lalukan, Queen akhirnya menemukan cara untuk menggoda Auriga.   Secara tiba-tiba, Queen merubah posisinya menjadi duduk dalam pangkuan Auriga. Semuanya berjalan dengan cepat, bahkan Auriga tidak sempat untuk melarang Queen duduk dalam pangkuannya.   Mata Auriga yang sejak tadi terpejam akhirnya terbuka dan saat itulah pandangannya dengan Queen beradu. Queen menatap Auriga dengan tatapan mata sayu, begitu pum dengan Auriga.   "Turun Queen!" titah tegas Auriga yang Queen jawab dengan gelengan kepala. "Enggak mau!" tolak Queen dengan tak kalah tegasnya.   "Pilih turun dari pangkuan Kakak atau Kakak marah sama kamu?" Auriga berkata dengan nada penuh ketegasan, bahkan tatapan matanya pun berubah tegas.   "Queen pilih yang kedua, Kakak marah sama Queen," jawab Queen dengan santainya.   "Queen," desis tajam Auriga sorot mata yang semakin menajam.   "Kakak diam ih, Queen mau pegang Kak. Bentar doang kok," ujar Queen dengan nada merajuk, kesal karena Auriga malah mencoba untuk menurunkannya dari pangkuan pria itu.   "Boleh pegang tapi ada syaratnya." Auriga akan mencoba mengalihkan perhatian Queen dan ia harap kalau ini akan berhasil.   Auriga tidak mau Queen kembali menyentuh tubuhnya, karena setiap sentuhan yang Queen lakukan mampu menyulut nafsu birahi. Berdekatan dengan Queen saja sudah membuat nafsunya berkobar, apalagi jika Queen menyentuh setiap inci tubuhnya.   "Apa syaratnya?" tanya Queen antusias. Jika ia masih bisa memenuhi syarat yang Auriga ajukan maka ia akan melakukannya dengan senang hati.   "Jawab dulu pertanyaan Kakak."   "Pertanyaan yang mana?" Seingat Queen, sejak tadi mereka mengobrol, Auriga sama sekali tidak mengajukan pertanyaan padanya.   "Menikahlah dengan Kakak."   Jantung Queen seketika berdebar dengan sangat cepat begitu ia mendengar kalimat yang baru saja Auriga ucapkan. Queen mendongak, menatap manik mata Auriga yang juga menatapnya dengan raut wajah serius, membuat Queen yakin kalau Auriga memang serius dengan apa yang tadi di ucapkannya.   "Kakak kan sudah bertunangan," lirih Queen dengan kepala tertunduk. Kedua tangan Queen  bertaut, saling meremas satu sama lain. Sebenarnya saat ia mengetahui fakta kalau Auriga sudah bertunangan, ia merasa sedih, marah dan juga kesal.   Queen marah pada Auriga karena bisa-bisanya Auriga menyentuhnya di saat pria itu sudah berstatus sebagai tunangan dari wanita lain. Merasa sedih karena mahkota berharga miliknya sudah hilang dan tidak akan pernah bisa kembali lagi. Queen tidak sepenuhnya menyalahkan Auriga karena pada malam itu mereka dalam keadaan mabuk dan melakukannya tanpa adanya paksaan. Queen juga merasa kesal, kesal pada dirinya sendiri yang tetap berharap kalau Auriga akan bertanggung jawab dengan cara menikahinya, meskipun ia tahu kalau Auriga bukan lagi pria single.   Auriga mengangkat dagu Queen dengan jari telunjuknya, membuat pandangannya dan Queen kembali beradu. "Itu sama sekali tidak penting Queen, yang Kakak butuhkan itu jawabab kamu. Kamu mau atau tidak menikah dengan Kakak?"   "Bagi Queen status Kakak itu penting, Queen tidak mau di bilang perebut pacar orang atau tunangan orang," sahut tegas Queen dengan mata berkaca-kaca.   Auriga sontak memeluk Queen, mendekap Queen dengan erat begitu ia melihat mata Queen yang tampak memerah dan berkaca-kaca. Berkali-kali Auriga mengecup puncak kepala Queen dan perhatian yang Auriga berikan malah membuat tangis Queen semakin menjadi.   Auriga sontak tertawa, gemas saat mendengar tangis Queen yang malah semakin menjadi-jadi. Sepertinya Auriga sama sekali tidak berniat untuk membuat Queen berhenti menangis karena ia malah mentertawakan Queen.   "Jangan tertawa ih!" rajuk Queen di sela isak tangisnya. Dengan susah payah, Auriga pun mencoba untuk berhenti tertawa dan itu berhasil.   "Jangan menangis Sayang." Auriga mengecup puncuk kepala Queen.   "Qu-queen jahat ya?  Queen merusak hubungan Kakak sama tunangan Kakak," ujar Queen susah payah di sela isak tangisnya.   Auriga menghela nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya secara perlahan. "Kakak bukan milik siapapun Queen dan Kakak tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun, dengan kata lain Kakak ini lajang alias jomblo."   "Mana ada jomblo yang sudah bertunangan," sahut sinis Queen.   Bukannya merasa tersinggung karena Queen yang baru saja berkata sinis padsnya, Auriga malah tertawa. Auriga lantas merangkum wajah Queen, menyeka air mata yang membasahi pipi Queen dengan jemarinya. "Ceritanya panjang Queen, tapi kalau Queen mau tahu apa yang sebenarnya terjadi, Kakak akan menceritakannya."   "Ceritakan Kak, Queen mau apa yang sebenarnya terjadi," pinta Queen dengan nada memohon.   "Tapi janji dulu sama Kakak."   "Janji apa?"   "Setelah Kakak menceritakan semuanya, Kakak mau minta jawaban kamu atas lamaran Kakak." Tanpa perasaan ragu Queen mengangguk. "Benar ya?" ulang Auriga memastikan.   "Iya Kak, setelah Kakak menceritakan semuanya, Queen akan menjawab pertanyaan Kakak."   Auriga tersenyum dengan begitu manis membuat Queen tak tahan dan Queen pun ikut tersenyum dengan sama manisnya seperti senyum Auriga.   Auriga mulai menceritakan alasan kenapa ia bisa sampai di jodohkan dan selama Auriga bercerita, Queen menjadi pendengar yang sangat baik. Setelah hampir 30 menit berlalu, akhirnya Auriga selesai menceritakan semuanya tanpa ada yang ia kurangi atau ia lebih-lebihkan. Auriga hanya tidak menjelaskan secara detail alasan kenapa Wildan menjodohkannya dengan Aqila.   "Jadi bagaimana? Kamu mau kan menerima lamaran Kakak?"   Queen merangkum wajah Auriga, membuat manik keduanya kembali beradu. "Kakak sama sekali tidak bohong kan? Apa yang baru saja Kakak ceritakan benar semua kan? Sama sekali tidak di lebih-lebihkan?"   "Tentu saja benar, kalau Queen tidak percaya dengan apa yang baru saja Kakak katakan, Queen bisa bertanya langsung sama Daddy atau Mommy Kakak."   Queen menggeleng lalu menyatukan keningnya dengan kening Auriga. Manik mata keduanya saling beradu bahkan deru nafas mereka saling menerpa wajah masing-masing. "Queen percaya kok sama Kakak," bisik Queen tepat di depan bibir Auriga.   Jarak mereka hanya tersisa beberapa inci saja, sedikit saja keduanya bergerak maka bibir mereka akan saling beradu.   "Jadi, lamaran Kakak di terima?" tanya Auriga tidak sabaran.   "Kakak yakin mau lamar Queen tanpa cincin atau makan malam mewah." Queen menjauhkan wajahnya, membuat Auriga kesal.   "Nanti kalau lamaran Kakak sudah di terima sama kamu, Kakak akan membeli cincin dan menyiapkan makan malam mewah untuk kita berdua."   "Dasar pelit!" teriak Queen sambil mencubit pinggang Auriga. Bukan hanya sekali, tapi Queen berkali-kali mencubit pinggang Auriga dan cubitan Queen benar-benar kuat, membuat Auriga merintih sakit karenanya.   "Kakak bukannya pelit Queen, Kakak hanya tidak mau saat Kakak melamar kamu di tempat umum, kamu malah menolak lamaran Kakak. Kalau lamarannya di tolak, kan Kakak yang malu, sia-sia dong Kakak beli cincin dan menyiapkan makan malam mewah buat kamu."   "Iya juga sih," lirih Queen dengan kepala yang kembali bersandar manja di d**a bidang Auriga.   Auriga menumpukan dagunya di puncak kepala Queen, kembali memeluk Queen dengan erat. "Jadi kamu menerima lamaran Kakak kan?"   "Iya," sahut Queen dengan senyum mengembang. Auriga ikut tersenyum senyum yang tak kalah lebarnya dari senyum Queen.   Baiklah, sekarang Auriga sudah benar-benar yakin dan mantap kalau Queen memang menerimanya dan siap untuk menjadi istrinya. "Terima kasih karena sudah mau menerima lamaran Kakak."   "Iya, tapi Kakak jangan senang dulu, Queen memang menerima lamaran Kakak tapi Daddy belum tentu mau menerima lamaran Kakak." Meskipun Queen sudah mengenalkan Auriga pada Lia sebagai calon suaminya dan Lia menerimanya, tapi Daddynya belum tentu mau menerima Auriga mengingat Daddynya itu sangat overprotektif padanya. Salah satu alasan ia menjomblo sampai saat ini karena Daddynya selalu melarang pria manapun untuk mendekatinya.   "Iya Kakak tahu, makanya Kakak akan berjuang untuk kamu dan Kakak harap kalau kamu mau bersabar." Tadi saat ia mengobrol dengan Lia, Lia juga mewanti-wanti agar dirinya tetap bersabar jika Daddy Queen menolak lamarannya dan tetap berusaha.   "Iya, Queen pasti akan menunggu Kakak," lirih Queen dengan mata terpejam.   "Terima kasih," bisik Auriga.   "Kak."   "Apa Sayang?"   "Kapan kita pulang? Besok Queen harus kembali kerja, kalau Queen enggak masuk kantor, Daddy pasti marah sama Queen dan Queen tidak mau Daddy marah sama Queen." Queen baru ingat kalau besok ia harus kembali bekerja.   "Kita pulang nanti malam ya."   "Tidak bisa nanti sore?"   "Ini sudah siang dan kita sama sekali belum siap-siap, kalau mengejar penerbangan yang nanti sore, tidak akan sempat Sayang."   "Yah, padahal Queen maunya pulang nanti sore bukan nanti malam."   "Memangnya kenapa kalau pulang malam-malam?"   "Queen takut pulang ke apartemennya Kak." Akhir-akhir ini banyak sekali kasus kejahatan di malam hari dan Queen cukup merasa was-was dan juga takut.   "Kan sama Kakak, kenapa harus takut?"   Queen yang sejak tadi bersandar manja di d**a Auriga sontak mendongak, menatap Auriga dengan mata melotot. "Kakak ikut lagi ke Jakarta?" tanyanya tak percaya.   "Iya dong, Kakak tidak akan membiarkan kamu pulang sendirian ke Jakarta, jadi Kakak bakalan ikut kamu balik ke Jakarta."   "Pekerjaan Kakak bagaimana?"   "Tenang saja, mulai minggu depan, Kakak, Mommy dan Bara akan pindah ke Jakarta, kita bertiga akan menetap di Jakarta lebih tepatnya di rumah Kakek dan Nenek."   "Itu artinya, kalau Kakak akan bekerja di Jakarta?" Queen menatap Auriga dengan mata berbinar disertai dengan senyum manis yang manghiasi wajah cantiknya.   Auriga mengangguk dengan senyum terukir di wajahnya. "Iya, Kakak akan bekerja di Jakarta. Senang?"   "Senang, senang banget," sahut Queen antusias sambil kembali memeluk Auriga. Sama seperti Queen yang merasa senang, Auriga juga merasakan hal yang sama, bahkan mungkin jauh lebih bahagia dari Queen.   Pertama, Auriga senang karena Queen setuju untuk menikah dengannya. Kedua, Auriga juga merasa senang karena akhirnya ia akan pindah ke Jakarta, kota kelahirannya dan Bara, tempat di mana orang tua dari Mommynya berada.   Auriga sudah tak sabar untuk segera memulai kehidupan barunya di sana, bersama dengan Denita, Bara dan juga Queen. Auriga berjanji, ia akan membahagiakan Denita, Bara dan juga Queen.   Queen tiba-tiba melepas pelukannya, membuat Auriga merasa kehilangan. "Ck, kenapa Queen senang sekali melepas pelukannya?" rutuk Auriga dalam hati.   "Kenapa di lepas?" tanya Auriga tak terima. Auriga menarik kedua tangan Queen agar kembali memeluknya tapi Queen menolak.   "Kita lanjutkan yang tadi sempat tertunda," ujar Queen dengan tegas. Queen kembali membuka kancing kemeja Auriga yang entah sejak kapan sudah kembali terpasang   "No!" tolak Auriga sama tegasnya. Auriga mencoba menahan kedua tangan Queen yang kini sibuk membuka satu-persatu kancing kemejanya yang tadi sudah ia kancingkan.   Astaga! Auriga pikir Queen sudah melupakannya tapi ternyata Queen masih mengingatnya dan lebih parahnya berniat untuk melanjutkannya.   "Kakak enggak boleh ingkar janji, tadi Kakak sudah janji kalau Queen sudah menjawab pertanyaan Kakak, Kakak akan membiarkan Queen menyentuh Kakak." Queen menepis tangan Auriga sampai akhirnya ia berhasil kembali membuka seluruh kancing kemeja Auriga.   "Kakak tidak bilang seperti itu ya Queen," bantah Auriga cepat.   "Kalau di jabarkan, intinya seperti itu Kak," sahut Queen tak mau kalah. Baru saja Auriga berniat untuk membalas ucapan Queen, tapi Queen sudah terlebih dahulu membungkam mulutnya dengan telapak tangan wanita itu.   Desahan Auriga lolos begitu lidah hangat Queen mulai bermain-main di tubuh bagian depannya.   "Sial! Sial! Sial!" umpat Auriga dalam hati. Kalau sudah seperti ini, Auriga tidak bisa berjanji untuk tidak menyentuh Queen meskipun ia akan mencoba bertahan untuk tidak menyentuh Queen.   Tapi tetap saja, semuanya tergantung pada Queen, sejauh mana Queen akan menggodanya. Jika hanya sebatas sentuhan seperti yang sekarang sedang Queen lakukan, mungkin Auriga bisa menahannya, tapi jika Queen semakin intens menggodanya, maka Auriga menyerah.                                           ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD