06 - Pilihan.

2221 Words
  "Nak, kamu yakin untuk berpisah dengan Wildan?"   Denita yang sejak tadi melamun sontak menoleh, tersenyum pada Lastri yang baru saja memasuki kamarnya. Denita menghampiri Lastri, menuntun Lastri agar duduk di sofa.   "Kamu belum menjawab pertanyaan Ibu, Nak. Apa kamu sudah yakin untuk berpisah dengan Wildan?"   Bukannya menjawab pertanyaan Lastri, Denita malah menunduk sambil menggenggam erat kedua telapak tangan renta Lastri, mengusap punggung renta Lastri dengan penuh kelembutan. "Maafin Denita ya Bu, Denita tidak bisa menjadi istri yang baik untuk Mas Wildan," lirihnya dengan mata berkaca-kaca.   Lastri menggeleng dengan air mata yang mulai jatuh membasahi wajah rentanya. "Yang seharusnya meminta maaf itu Ibu, bukan kamu Nak. Maafkan Wildan ya Nak, maafkan Bapak dan juga Ibu yang tidak bisa berbuat apapun untuk bisa mempertahankan rumah tangga kamu dan Wildan."   "Bu, untuk apa Denita mempertahankan rumah tangga Denita dan Mas Wildan kalau Mas Wildan sendiri tidak mau memperjuangkannya?" Denita semakin menunduk di barengi dengan isak tangisnya yang mulai lolos, terdengar begitu menyayat hati siapapun yang mendengarnya, termasuk Lastri. "Denita memang mencintai Mas Wildan Bu, tapi Mas Wildan tidak mencintai Denita dan  jika Denita tetap memaksa Mas Wildan untuk bertahan, Denita hanya akan semakin tersakiti Bu begitu pun dengan anak-anak dan Denita tidak mau itu terjadi."   Jika dengan melepas Wildan bisa mengurangi rasa sakit yang sejak beberapa tahun ini Denita rasakan, maka ia akan memilih untuk melepas Wildan, membiarkan Wildan meraih kebahagiaannya.   Beberapa hari ini Denita sering berpikir, berpikir kalau mungkin Wildan merasa tersiksa selama menjalani bahtera rumah tangga dengannya mengingat Wildan sama sekali tidak mencintainya.   Meskipun hanya sedikit, tapi Denita merasa bersalah pada Wildan, karena menikah dengannya membuat Wildan tidak bisa menikah dengan wanita yang di cintainya dan fakta itu membuat Denita semakin hancur.   d**a Lastri terasa sesak dan begitu sakit begitu mendengar dan melihat Denita menangis. Denita memang bukan darah dagingnya, tapi Lastri begitu menyayangi Denita seperti putrinya sendiri terlebih ketiga anaknya berjenis kelamin laki-laki, tidak ada perempuan.   Dulu, saat ia tahu kalau Wildan menghamili Denita, ia tentu saja murka pada Wildan dan meminta agar Wildan bertanggung jawab dengan cara menikahi Denita. Bukan hanya Lastri yang meminta agar Wildan bertanggung jawab tapi kedua orang tua Denita juga meminta agar Wildan bertanggung jawab dengan cara menikahi Denita.   Wildan memang menikahi Denita dan Lastri sadar dan tahu betul kalau Wildan tidak mencintai Denita. Mungkin jika Denita tidak hamil, Wildan tidak akan menikahi Denita dan akan menikahi wanita yang di cintainya.   Setiap hari Lastri selalu berdoa, berharap kalau rumah tangga Wildan dan Denita baik-baik saja. Rumah tangga Wildan dan Denita tidak selalu berjalan mulus, banyak sekali cobaan yang datang salah satunya adalah, saat perusahaan yang Wildan pimpin di ambang kebangkrutan karena uang perusahaan yang di korupsi dalam jumlah besar.   Lastri sudah takut, takut kalau Denita akan pergi meninggalkan Wildan tapi ternyata Denita tidak pergi meninggalkan Wildan saat Wildan jatuh terpuruk bahkan hampir jatuh miskin. Denita malah membantu Wildan, menggunakan koneksi dari kedua orang tuanya sampai perusahaan Wildan kembali pulih dan berjaya seperti saat ini.   Denita bukan hanya membantu Wildan secara finansial, tapi Denita juga turun tangan langsung dalam mengelola keuangan di perusahaan Wildan, membuat sistem keuangan yang begitu transparan dan tidak mudah lagi di korupsi oleh pegawai lainnya.   Tapi apa balasan Wildan untuk Denita?   Tidak ada. Yang justru Wildan berikan pada Denita adalah rasa sakit yang berkepanjangan dan Lastri tidak tahu, apa waktu bisa menyembuhkan luka di hati Denita? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.   Lastri tahu kalau Denita sangat mencintai Wildan meskipun pernikahan mereka didasarri rasa tanggung jawab Wildan karena sudah menghamili Denita di luar pernikahan, tapi seiring dengan berjalannya waktu, Denita mencintai Wildan tapi tidak dengan Wildan.   Sama seperti Denita, kini Lastri pun terisak, jauh dalam lubuk hatinya merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Denita. Lastri membawa Denita masuk dalam pelukannya, memeluk Denita dengan erat, membuat tangis Denita semakin menjadi.   Cukup lama Lastri dan Denita menangis dengan posisi saling berpelukan, tangis keduanya terhenti begitu mereka mendengar suara ketukan di pintu kamar Denita.   Lastri dan Denita melerai pelukan mereka, lalu sama-sama menyeka air mata yang jatuh membasahi wajah mereka.    Begitu merasa keadannya sudah jauh lebih baik, Denita langsung mempersilahkan orang yang tadi mengetuk pintu kamarnya untuk masuk dan seperti yang sudah Denita duga, orang yang mengetuk pintu kamarnya adalah Auriga dan juga Bara. Auriga dan Bara menghampiri Denita serta Lastri dan kedua pria dewasa itu sadar kalau Lastri juga Denita baru saja menangis.   "Duduk Kak, ada hal penting yang mau Mommy sampaikan pada kalian berdua dan Mommy harap kalau kalian berdua bisa menerima keputusan Mommy."   Sebenarnya Auriga dan Bara sudah bisa menebak apa yang akan Denita katakan pada mereka tapi tetap saja, Auriga dan Bara memilih diam, menunggu apa yang akan Denita sampaikan padanya.    "Ayah dan Ibu sudah sepakat untuk bercerai, sidang cerai antara Daddy dan Mommy juga sudah terdaftar di pengadilan dan tinggal menunggu jadwal sidang."    Auriga dan Bara masih belum bersuara, keduanya sama-sama bungkam. Baik Auriga dan Bara masih berharap kalau semua ini hanya mimpi belaka dan bukanlah kenyataan. Tapi berapa banyak pun mereka berharap kalau ini semua mimpi, nyatanya ini semua nyata. Kenyataan pahit yang cukup membuat kedua pria dewasa itu terluka, terluka karena orang yang selama ini mereka anggap sebagai panutan adalah sumber kesakitan bagi wanita yang selama ini mereka cintai.   "Kalian sudah sama-sama dewasa, ,Mommy tidak akan melarang kalian kalau kalian ingin ikut dengan Daddy." Denita memang tersenyum tapi jauh dalam lubuk hatinya, ia berharap kalau Auriga dan Bara memilih untuk ikut bersamanya.   Denita tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya jika Auriga dan Bara memilih untuk pergi bersama dengan Wildan ketimbang dirinya. Mungkin jika hal itu terjadi, lebih baik Denita memilih untuk menghilang dari muka bumi ini.    "Auriga ikut Ibu, kemanapun Ibu pergi, Auriga akan ikut," sahut Auriga dengan tegas.   "Bara juga ikut Ibu, Bara enggak mau jauh dari Ibu." Kali ini giliran Bara yang bersuara tak kalah tegasnya dengan Auriga.    Senyum di wajah Denita mengembang dengan sempurna di sertai dengan deraian air matanya yang mengalir dengan begitu derasnya. Kali ini Denita menangis bukan karena sedih tapi karena merasa bahagia, senang karena Auriga dan Bara memilihnya.   Denita merentangkan kedua tangannya, meminta agar Auriga dan Bara mendekat. Auriga dan Bara menghampiri Denita, memeluk Denita dengan erat.    "Kalian yakin mau ikut Ibu? Karena minggu depan, Ibu akan pindah ke Jakarta dan tinggal di sana." Tanpa ragu Auriga dan Bara mengangguk, membuat Denita benar-benar merasa lega.   Denita sudah memutuskan untuk kembali ke Jakarta, tempat di mana kedua orang tuanya berada. Denita belum memberi tahu kedua orang tuanya kalau ia dan Wildan akan berpisah tapi Denita yakin kalau kedua orang tuanya sudah tahu tentang hal ini.   Sementara itu di tempat yang berbeda.   Wildan yang sedang melamun terkejut bukan main begitu ia mendengar suara ketukan di pintu ruangannya. Wildan berteriak, meminta agar orang yang baru saja mengetuk pintu ruangannya masuk.   "Ada apa Laras?"   "Pak Suryo meminta anda untuk untuk menemuinya, di ruangan beliau, sekarang juga Pak."   Wildan mengangguk, lalu bergegas pergi menuju ruangan Suryo yang berada tak jauh dari ruangannya. Wildan langsung memasuki ruangan Suryo, menghampiri Suryo yang sedang berdiri membelakanginya.   "Pak." Wildan berniat menyalami tangan Suryo tapi Suryo melengos, mengabaikan uluran tangan Wildan. Suryo duduk di sofa, dengan gerakan tangan meminta agar Wildan duduk di sofa yang berada tepat di hadapannya.    "Kamu pasti sudah tahu kenapa Bapak memanggil kamu kesini kan?" Suryo menengadahkan tangannya pada Malik, asisten pribadinya dan Malik pun langsung menyerahkan sebuah dokumen pada Suryo.   Wildan hanya mengangguk karena ia sudah tahu, cepat atau lambat, Suryo akan memanggilnya, tentu saja membahas masalah perceraiannya dengan Denita.   "Silahkan tanda tangani." Suryo melemparkan dokumen yang Malik berikan pada meja yang menjadi pemisah antara dirinya dan Wildan. Wildan meraih dokumen tersebut, tapi tidak langsung menandatanganinya dan memilih untuk membaca dokumen tersebut terlebih dahulu.   "Kamu tidak perlu khawatir tentang masalah harta karena Denita sama sekali menuntut seperserpun dari harta yang kalian dapat selama kalian menikah." Wildan terkejut, tak percaya dengan apa yang baru saja Suryo katakan.   "Kamu tidak perlu terkejut Wildan dan sebagai gantinya, Auriga dan Bara akan ikut bersama dengan Denita, kembali ke Jakarta." Lagi-lagi Wildan terkejut tapi ia sudah menduga kalau Auriga dan Bara akan memilih untuk ikut bersama dengan Denita ketimbang dirinya.   "Kalau sudah selesai silahkan keluar." Lagi-lagi Wildan hanya mengangguk dan bergegas menandatangani surat perceraiannya dengan Denita. Begitu selesai menandatangi surat perceraiannya dengan Denita, Wildan pamit undur diri.   "Wildan," panggil Suryo dan Wildan sontak menoleh, saat itulah tinjuan Suryo layangkan pada wajah Wildanz lebih tepatnya pipi kanan Wildan.   Wildan tentu saja tidak sempat menghindar karena itulah ia langsung jatuh tersungkur di lantai dengan darah yang menghiasi sudut bibirnya. Tinjuan yang Suryo berikan begitu kuat, bahkan Wildan bisa merasakan darah mulai mengalir dalam mulutnya.   Wildan tentu saja terkejut dengan apa yang baru saja Suryo lakukan tapi yang terkejut bukan hanya Wildan, Malik pun yang sejak tadi berdiri di belakang Suryo cukup terkejut dengan apa yang baru saja Suryo lakukan pada Wildan.   "Camkan peringatan Bapak, kamu pasti akan menyesal karena sudah memilih untuk menceraikan Denita dan memilih wanita ular itu!" Peringat Suryo penuh penekanan dengan mata berkilat penuh kebencian.   Suryo lantas keluar dari ruangannya di ikuti oleh Malik yang setia mengekor di belakangnya, meninggalkan Wildan yang masih diam dengan kepala tertunduk.                                          ***   Drtt... Drtt... Drtt...   Queen yang sedang rebahan di tempat tidur mengulurkan tangan kananya, meraba nakas, mencari di mana letak ponselnya berada. Begitu ia berhasil meraih ponselnya, Queen sontak melirik siapa orang yang baru saja menghubunginya.   Queen segera merubah posisinya menjadi duduk bersandar di kepala ranjang begitu ia melihat nama 'Mommy' yang tertera di layar ponselnya. Queen segera menganggkat panggilan dari Lia karena jika ia tidak segera mengangkatnya pasti Lia akan marah besar padanya.     "Halo Bunda."   "Queen!" Queen sontak menjauhkan ponselnya begitu ia mendengar teriakan membahana dari sang Mommy. Queen kembali mendekatkan ponsel ke telinga  begitu ia tidak lagi mendengar teriakan dari Lia, Mommynya.   "Bunda, jangan teriak-teriak ih, telinga Queen sakit tahu pas dengar teriakan Mommy!" Peringat Queen dengan nada merajuk.   "GPS yang Bunda pasang di ponsel kamu menunjukan kalau sekarang kamu berada di Bali. Bilang sama Mommy kalau itu sama sekali tidak benar." Lia mengabaikan protes yang Queen ajukan dan itu membuat Queen kesal, tapi rasa kesal Queen tak bertahan lama saat ia sadar dengan apa yang baru saja Lia katakan.   Tadi Lia bilang kalau ada GPS yang di pasang di ponselnya? Dan sejak kapan ada GPS terpasang di ponselnya?   "Bunda!" Kali ini giliran Queen yang berteriak. Lia yang sudah menduga kalau Queen akan berteriak, sejak tadi sudah menjauhkan ponselnya.   "Jangan teriak-teriak Queen, nanti gendang telinga Bunda rusak tahu," kali ini giliran Lia yang mengajukan protes pada Queen.   "Bunda menyadap Queen, Queen enggak suka. Queen bukan anak kecil lagi Bun yang harus selalu di awasi 24 jam lamanya," ujar Queen merajuk.   "Kalau Bunda tidak menyadap kamu, Bunda  tidak akan tahu di mana kamu sekarang. Kamu pasti tidak akan bilang sama Bunda kalau saat ini kamu ada di Bali, kalau Bunda  tidak bertanya langsung sama kamu, iya kan?"   "Maaf Bun," lirih Queen dengan nada menyesal. Ok, Queen akui ia salah, salah karena tidak memberi tahu Lia di mana ia sekarang. Sebenarnya ia bukannya tidak ingin memberi tahu Lia di mana ia berada saat ini, tapi ia lupa memberi tahu Lia kalau saat ini ia sedang berada di Bali.   "Siapa Honey?" Queen menoleh, mendapati Auriga yang kini melangkah mendekatinya. Mata Auriga tampak membengkak juga merah dan Queen tahu kalau Auriga baru saja menangis.   "Bun—"   "Itu suara siapa Queen?" Queen belum menyelesaikan ucapannya tapi Lia sudah terlebih dahulu bertanya.   "Auriga Bun." Dengan santainya Queen menjawab pertanyaan Lia.   Auriga yang kini sudah duduk di samping Queen mengangguk, tahu siapa orang yang kini sedang mengobrol dengan Queen. Calon Mommy mertuanya ternyata sedang menelepon Queen, mungkin khawatir karena Queen tidak berada di Jakarta.   "Auriga itu siapa? Laki-laki atau perempuan?" Lia yang berada di seberang sana mulai merasa panik, cemas, serta khawatir begitu mendengar nama Auriga.   Queen tidak langsung menjawab pertanyaan Lia, tapi ia malah melirik Auriga yang juga sedang menatapnya dengan kening berkerut, seolah bertanya, ada apa?   "Laki-laki Bunda dan dia calon suami Queen Mom," sahut Queen dengan senyum yang kini menghiasi wajahnya.   Auriga tertegun begitu mendengar ucapan Queen, tak menyangka kalau Queen akan berkata seperti itu pada orang tuanya dan apa itu artinya kalau Queen mau menikah dengannya? Senyum di wajah Auriga ikut merekah saat ia melihat senyum tulus yang manghiasi wajah Queen.   "Jangan bercanda Queen!" Peringat tegas Lia.   Queen terkekeh. "Queen sama sekali tidak bercanda Bunda, Auriga memang calon suami Queen. Bunda mau berbicara dengan Auriga?"   "Boleh, kasih ponselnya sama Auriga. Bunda au berbicara dengan pria yang sudah berani-beraninya membawa kamu pergi ke Bali tanpa ijin dari Bunda"   Lagi-lagi Queen tertawa, lalu memberikan ponselnya pada Auriga, memberi tahu Auriga kalau Lia ingin berbicara dengannya.   "Halo Tante," sapa Auriga ramah tanpa rasa gugup atau canggung sedikit pun, bahkan Auriga terdengar sangat antusias.   "Halo, kamu benar Auriga? Calon suami anak saya, Queen?"   Auriga melirik Queen yang kini berbaring di pahanya dan sedang memainkan kancing kemejanya. "Iya Tante, secepatnya saya akan melamar Queen, mungkin minggu depan," sahut Auriga dengan penuh percaya diri.   Queen pikir kalau obrolan antara Lia dan Auriga akan bertahan dalam hitungan menit, tapi ternyata jauh lebih lama dari apa yang Queen bayangkan.   Saat Lia dan Auriga asyik mengobrol, Queen memilih untuk memainkan kancing kemeja Auriga dan tanpa sadar, ia membuka satu-persatu kancingnya, memperlihatkan d**a bidang Auriga yang di hiasi bulu-bulu halus.   Untuk sesaat, Auriga bisa melupakan sejenak masalah keluarga yang saat ini sedang ia hadapi dan mengobrol dengan Lia ternyata sangat mengasyikan sama seperti Denita.                                           ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD