05 - Luka.

2737 Words
  Alih-alih melangkah menuju kamarnya, Bara malah menuju kamar kedua orang tuanya. Kamar yang baru saja di masuki oleh Denita, Mommynya. Bara yakin kalau saat ini Denita sedang menangis.   Bara menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya secara perlahan, terus melakukan hal itu sebanyak 3 kali, mencoba mengusir rasa sesak yang kini ia rasakan.   Dengan tangan bergetar, Bara mengetuk pintu kamar orang tuanya dan tak berselang lama Denita bersuara, mengijinkannya untuk masuk.   Bara membuka pintu kamar secara perlahan, lalu kembali menutupnya dengan rapat. Sekilas Bara bisa melihat Denita yang tengah mengusap kristas bening yang membasahi pipinya. Denita yang sedang duduk di sofa tersenyum, senyum yang Bara tahu menyimpan banyak luka.   Bara menghampiri Denita, duduk di samping Denita dengan tangan yang kini memeluk Denita dengan erat, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Denita. Denita belum bersuara begitu pun dengan Bara karena sejujurnya, Denita menunggu Bara bersuara.   "Kakak kenapa? Kenapa wajahnya sedih?" Denita akhirnya bersuara karena sejak tadi Bara hanya diam. Tadi saat Bara memasuki kamarnya, Denita bisa melihat dengan jelas raut wajah Bara yang tampak sedih jadi Denita pikir kalau Brara pasti sedang ada masalah.   "Ayah dan Ibu akan bercerai kan?" lirih Bara dengan nafas tercekat.   Tubuh Denita seketika menegang kaku dengan d**a yang terasa sesak. "Kak," ujar Denita dengan nafas tercekat. "Darimana Kakak tahu?" Denita semakin mengeratkan pelukannya pada Bara, begitupun dengan Bara.   "Tadi Bara tidak sengaja mendengar apa yang Mommy katakan pada Daddy." Denita bungkam tak bisa lagi mengelak karena cepat atau lambat, Bara akan tahu tentang hal ini. Tahu masalah ia dan Wildan akan bercerai sekarang atau nanti tak akan ada bedanya, sama saja, sama-sama menyakitkan.   "Bara ingin ee-egois Bu." Bara mulai terisak, bahkan terbata. "Bara ingin Daddy dan Mommy tetap bersama dan tidak bercerai, tapi Bara tahu kalau itu hanya akan menyakiti perasaan Mommy," lanjutnya dengan nafas memburu.   Bara meraung dan Denita pun tak kuasa untuk menahan tangisnya. Tangis Denita pecah dan sama seperti Bara, kini Denita pun mulai menangis, menangisi kehidupan rumah tangganya yang di ambang kehancuran karena adanya orang ketiga.   Sungguh, ini benar-benar menyakitkan. Denita  mungkin tidak akan sesakit ini jika saja sejak dulu Wildan mengatakan padanya kalau pria itu ingin berpisah darinya, bukannya malah menjalian hubungan di saat mereka masih berstatus sebagai pasangan suami istri, karena ini bukan hanya menyakiti perasaannya tapi juga menyakiti perasaan kedua anaknya.   "Sa-sakit Bu, rasanya sangat sakit," lirih Bara di sela isak tangisnya. Bara memukuli dadanya yang terasa sesak dan Denita mencoba untuk menghentikannya.   Keputusan Denita untuk bercerai dengan Wildan sudah bulat, keputusan ini tidak Denita ambil dalam sekejap tapi Denita sudah  memikirkannya selama hampir 2 bulan belakang ini.   Denita memutuskan untuk bercerai dengan pria yang sudah hampir 30 tahun ini menjadi suaminya, ayah dari Auriga dan juga Bara. Pria yang sejak dulu sangat ia cintai, tapi sayangnya, pria itu sama sekali tidak mencintai Denita sebagai mana Denita mencintai pria itu.   Pernikahan yang terjadi antara Wildan dan Denita bukan karena keduanya saling mencintai, tapi karena Wildan yang secara tidak sengaja merampas kesucian Denita sampai Denita hamil dan lahirlah Auriga.   Awalnya Denita pikir kalau rumah tangganya dan Wildan akan baik-baik saja, tapi seiring dengan bejalannya waktu, Denita sadar kalau semuanya tidak berjalan sesuai dengan apa yang ia inginkan dan bayangkan.   Inilah akhir dari segala kesakitan yang selama ini Denita rasakan, memilih untuk pergi menjauh dari Wildan dan kembali memulai masa depan dengan kedua anak-anaknya.   "Maafkan Ibu sayang, maaf." Hanya maaf yang bisa Denita katakan, merasa gagal dan bersalah karena tidak bisa memberi keluarga yang utuh pada anak-anaknya. Bara terus menangis begitu pun dengan Denita dan bukan hanya Denita dan Bara yang menangis tapi orang yang kini ada di balik pintu kamar Denita pun ikut menangis dan orang tersebut adalah Auriga.   Auriga menyandarkan punggungnya di pintu kamar Denita yang baru saja ia tutup. Tadinya, Auriga ingin berbicara dengan Denita tapi begitu ia membuka pintu kamar, ia malah melihat Denita dan Bara yang sedang berbicara dan topik yang keduanya bicarakan cukup membuatnya terkejut.   Auriga menyeka air mata yang membasahi pipinya, memilih untuk kembali ke kamarnya, tak ingin Denita dan Bara tahu kalau ia baru saja mendengar obrolan antara keduanya.   Tadinya, Auriga pikir kalau kedua orang tuanya tidak jadi bercerai karena selama beberapa bulan ini mereka tak terlihat terlibat dalam pertengkaran. Pada dasarnya, Auriga memang jarang melihat kedua orang tuanya bertengkar, mungkin karena ia jarang di rumah dan lebih sering menghabiskan waktu di kantornya.   Auriga tentu tahu saat Wildan mengutarakan keinginannya untuk bercerai pada Denita beberapa bulan sebelumnya, karena saat itu ia tidak sengaja menguping pembicaraan keduanya dan bisa di pastikan kalau Widan dan Denita tidak tahu tentang ia yang sudah mengetahui Wildan yang ingin berpisah dengan Denita.   Semenjak hari itu, Auriga menjalani hari-harinya dengan tak tenang, perasaan cemas, takut, marah semuanya berkumul menjadi satu. Menunggu Wildan dan Denita memanggilnya, lalu memberi tahunya dan juga Bara tentang kabar perpisahan mereka.   1 minggu berlalu, 2 minggu berlalu sampai akhirnya 3 bulan berlalu sejak hari di mana Auriga mendengar Wildan meminta cerai pada Denita, membuat Auriga berpikir kalau niat Wildan untuk berpisah dengan Denita tidak terlaksana, tapi kini semuanya jelas, ternyata Denita malah menyetujui ajakan Wildan untuk bercerai dan itu cukup membuatnya terpukul. Auriga tidak menyangka kalau kedua orang tuanya akan benar-benar berpisah.   Tapi Auriga yakin, Denita sudah memikirkan matang-matang keputusannya untuk bercerai dengan Wildan. Mungkin, jika Auriga menjadi Denita dan berada di posisi Denita, Auriga akan melakukan hal yang sama seperti apa yang Denita lakukan, memilih untuk berpisah dari pada mempertahkan rumah tangganya di saat Wildan sendiri tidak ingin mempertahankannya.   Auriga juga tahu apa alasan di balik Wildan yang meminta untuk berpisah dari Denita dan itu semua karena wanita masa lalu Wildan. Wildan selingkuh dengan seorang wanita yang dulu pernah menjadi kekasihnya dan kenyataan itu cukup membuat Auriga terpuruk, tapi di saat yang bersamaan Auriga juga berpikir kalau bukan hanya dirinya yang merasa tersakiti tapi juga Denita yang pasti merasakan sakit yang jauh lebih menyakitkan dari dirinya.   Auriga ingin sekali memukul Wildan dan menanyakan apa alasan Wildan tega mengkhianati Denita? Padahal Denita tidak pernah sekalipun mengeluh pada Wildan di saat hidup mereka serba kekurangan sampai akhirnya kini mereka hidup serba berkecukupan tapi dengan tega Wildan mengkhianti Denita dengan cara berselingkuh di belakang Denita.   Auriga tidak asal menuduh karena ia sendiri melihat Wildan yang tengah berselingkuh dengan wanita masa lalunya. Awalnya Auriga pikir kalau keduanya hanya teman tapi saat melihat keudanya bermesraan layaknya pasangan suami istri, saat itulah Auriga sadar kalau wanita tersebut adalah selingkuhan Wildan.   Queen yang sejak tadi berbaring di tempat tidur menoleh begitu mendengar suara pintu kamar terbuka, terkejut saat melihat mata Auriga memerah dengan sisa-sisa air mata yang ada di pipinya.    "Kakak kenapa?" Queen beranjak menuruni tempat tidur, menghampiri Auriga dan langsung memeluk Auriga dengan erat. Auriga membalas pelukan Queen, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Queen dan mulai menangis.   Hati Queen merasa tercubit begitu mendengar tangisan Auriga. Queen semakin mengeratkan pelukannya, seraya terus mengusap punggung Auriga dan membisikan kata-kata   Setelah merasa kalau Auriga mulai tenang dan tak lagi menangis, Queen melerai pelukannya begitu pun dengan Auriga. Queen mendongak dan ia bisa melihat dengan jelas mata dan hidung Auriga yang kini memerah.   "Kenapa menangis hm?" Queen menyeka air mata Auriga dengan ibu jarinya, tapi air mata Auriga terus mengalir dan malah semakin deras. Queen menghela nafas panjang lalu menuntun Auriga agar Auriga duduk di pinggir tempat tidur.   Saat Queen akan duduk di samping Auriga, Auriga malah menarik Queen agar Queen duduk dalam pangkuannya dan Queen sama sekali tidak menolak. Auriga kembali membenamkan wajahnya di ceruk leher Queen dan kembali menangis.   Queen mendesah pasrah, kembali memeluk Auriga dan mengusap punggung Auriga, berharap sentuhan yang ia berikan mampu membuat perasaan Auriga jauh lebih baik dari sebelumnya.   15 menit sudah berlalu, Auriga dan Queen masih dengan posisi saling saling berpelukan dan Queen tak lagi mendengar tangisan Auriga. Queen mulai mengantuk, bahkan ia sudah berkali-kali menguap.   "Kak, tiduran yu," bisik Queen yang ternyata langsung di angguki oleh Auriga. Queen berniat turun dari pangkuan Auriga tapi Auriga menggeleng dan malah menggendong Queen, lalu mereka pun berbaring di tempat tidur dengan Queen yang kini berada tepat di atas tubuh Auriga.   "Tidurlah," bisik Queen. Auriga memejamkan matanya begitupun dengan Queen. Akhirnya keduanya pun terlelap dengan posisi yang saling berpelukan.   Queen tak tahu berapa lama ia dan Auriga tertidur, tapi saat ia membuka matanya dan melirik jendela kamar, ia bisa melihat langit yang sudah berubah menjadi gelap gulita.   Queen menunduk dan melihat Auriga yang sedang memeluknya dengan erat, bahkan wajah Auriga terbenam di perutnya dan Queen bisa dengan jelas merasakan deru nafas hangat Auriga yang menerpa perutnya, terasa sangat menyiksa karena ia harus menahan rasa geli yang ia rasakan.   Dengan penuh kelembutan, Queen melepas tangan Auriga yang sejak tadi memeluk erat pinggangnya, lalu merubah posisi tidur Auriga menjadi terlentang. Setelahnya, Queen lantas menuruni tempat tidur tak lupa memberi Auriga bantal guling yang langsung di peluk erat oleh Auriga.   "Mungkin Auriga pikir kalau itu dirinya," gumam Queen. Sedetik kemudian Queen terkekeh, gemas melihat tingkah laku Auriga.   Awalnya Queen takut kalau pergerakan yang ia lakukan akan membuat Auriga terbangun, tapi setelah hampir 1 menit Queen menunggu, ternyata Auriga sama sekali tidak merasa terusik dengan pergerakan yang ia lakukan dan sepertinya tidur Auriga malah semakin nyenyak.   Setelah membasuh wajahnya dan sedikit merapihkan penampilannya yang berantakan, akhirnya Queen keluar dari kamar Auriga. Tujuan Queen tentu saja dapur, Queen semakin mempercepat langkahnya begitu ia mendengar suara Denita dari arah dapur.   "Tante."   Denita yang sedang menyiapkan makan malam lantas menoleh, tersenyum manis pada Queen yang kini berdiri di ambang pintu dapur. "Sini sayang." Dengan gerakan tangan, Denita meminta agar Queen mendekatinya.   Dengan langkah ragu, Queen mendekati Denita dan ia bisa melihat apa yang saat ini sedang Denita masak. Bukan hanya ada Denita tapi ada beberapa pelayan yang sedang membantu Denita masak.   "Bagaimana istirahatnya?"   "Lebih dari cukup Tante."   Denita terkekeh, mengusap lembut puncuk kepala Queen. "Jangan panggil Tante dong, panggil Ibu saja."   "Eh, memang boleh?" tanya Queen meragu.   "Boleh dong, kenapa enggak?" Queen mengangguk, lalu membantu Denita menyiapkan makan malam sambil mengobrol banyak tentang Auriga dan juga Bara.   Jika Queen sedang membantu Denita menyiapkan makan malam sambil bersenda gurau, maka Auriga yang masih berada di  kamar di landa rasa panik dan khawatir saat tidak mendapati Queen berada di sampingnya, semakin khawatir begitu ia tahu kalau Queen juga tidak ada di kamar.   Dengan tergesa-gesa, Auriga membasuh wajahnya lalu keluar kamar, mencari di mana Queen berada. Auriga menuruni anak tangga dengan langkah cepat seraya terus mengedarkan pandangannya, mencari sosok Queen di segala penjuru ruangan.   "Queen, kamu di mana?" Auriga akhirnya berteriak dan Queen yang masih berada di dapur bersama dengan Denita pun balas berteriak, memberi tahu Auriga di mana kini dirinya berada.   Dengan langkah lebar, Auriga menuju asal suara, mendesah lega saat melihat Queen dan Denita yang ternyata sedang sibuk menata makanan di piring.   Auriga memelankan langkahnya, lalu memeluk Queen dengan cara melingkarkan kedua tangannya pada pinggang ramping Queen.   Queen tentu saja terkejut, ia bahkan menjatuhkan piring yang sedang ia pegang, tapi Auriga dengan cepat mengambil piring tersebut sebelum benar-benar menyentuh lantai.   Queen berbalik menghadap Auriga, menatap Auriga dengan mata melotot. Seperti biasa, Auriga sama sekali tidak takut dengan tatapan tajam yang Queen berikan karena ia malah memberi Queen senyum terbaiknya. Auriga bahkan mengecup bibir Queen, padahal banyak pasang mata yang kini menatap keduanya.   Denita memilih keluar dari dapur begitu pun dengan para pelayan yang lain. Kesempatan berduaan dengan Queen tak Auriga sia-siakan, ia langsung menjatuhi kecupan-kecupan di wajah Queen membuat tawa Queen lolos.   "Jangan sedih lagi ya Kak." Queen merangkum wajah Auriga dan tanpa Auriga duga, Queen mengecup sudut bibirnya, membuat detak jantung Auriga semakin berdebar tak menentu. "Queen enggak suka melihat Kakak menangis," lirih Queen sesaat setelah mengecup sudut bibir Auriga.   Auriga langsung menahan tengkuk Queen, kembali menempelkan bibirnya pada bibir Queen, melumat bibir ranum Queen dengan rakus, tak memberi waktu pada Queen untuk menghindari ciumanbya.   Denita yang berniat kembali memasuki dapur, menggeleng saat melihat Auriga tengah berbuat m***m pada Queen, padahal jelas sekali kalau Queen tak ingin di cium olehnya.   "Dasar bocah, kenapa harus melakukan kemesuman di dapur?" rutuk Denita. Alih-alih kembali memasuki dapur, Denita memilih berbalik, tujuannya kali ini adalah kamar Bara. Denita akan membangunkan Bara untuk segera bersiap dan menikmati makam malam.   Kini Denita, Auriga, Bara dan Queen sudah berkumpul di meja makan, bersiap untuk menikmati makan malam mereka. Tidak ada yang bertanya di mana Wildan saat ini dan kenapa Wildan tidak ikut makan malam bersama dengan mereka,  mereka menikmati makan malam dengan penuh canda tawa.   Setelah menikmati makan malam bersama, Denita, Auriga, Bara dan juga Queen mengobrol bersama di ruang keluarga dan begitu malam semakin larut, mereka memilih untuk beristirahat di kamar masing-masing tentu saja Queen dan Auriga tidak akan tidur dalam satu kamar yang sama.   Auriga membiarkan Queen tidur di kamarnya, sementara ia memilih untuk tidur di bersama dengan Bara. Awalnya Queen menolak untuk tidur di kamar Auriga dan meminta untuk tidur di kamar tamu, tapi Auriga malah menolak dan meminta agar Queen tidur di kamarnya.   1 jam sudah berlalu sejak Queen memasuki kamar Auriga. Saat ini, Queen sudah berbaring di tempat tidur dengan posisi membelakangi pintu kamar, mencoba untuk memejamkan matanya tapi tak kunjung terpejam, mungkin karena tadi sore sudah tidur.   Saat sedang asyik melamun memikirkan kenapa tadi Auriga menangis, Queen mendengar pintu kamar yang terbuka lalu selang beberapa detik kemudian tertutup di susul suara langkah kaki yang semakin mendekat.   Queen memejamkan matanya, meremas dengan kuat saat selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Queen semakin di landa rasa takut saat ia merasakan pergerakan di balik punggungnya. Queen ingin sekali berlari tapi seluruh tubuhnya terasa kaku, tak bisa ia gerakan.   "Kakak." Queen menghela nafas panjang, merasa lega saat tahu kalau pria yang kini memeluknya adalah Auriga, tadinya Queen pikir maling meskipun kecil kemungkinan kalau maling bisa memasuki kediaman kedua orang tua Auriga mengingat penjagaan di sini teramat sangat ketat.   "Kakak enggak mau tidur sendiri, rasanya enggak enak," adu Auriga dengan manja. "Jadi malam ini Kakak mau tidur sama kamu dan kamu enggak boleh menolak," lanjutnya tegas.   "Jadi, sebelum-sebelumnya Kakak selalu tidur berdua gitu?" Queen berbalik menghadap Auruga, menatap sinis Auriga dan pertanyaan yang baru saja Queen berikan sukses membuat Auriga kelabakan.   "Sebelum kita bertemu satu minggu yang lalu, Kakak selalu tidur sendiri, tapi semenjak malam itu, Kakak sulit tidur karena maunya tidur sama kamu." Auriga sengaja menekan kata 'malam itu' agar Queen tahu maksud dari ucapannya dan sepertinya Queen paham karena kini wajah Queen merona bagai kepiting rebus. Meskipun suasana penerangan di kamarnya remang-remang, tapi Auriga bisa melihat dengan jelas rona merah yang kini manghiasi wajah Queen.   "Gombal." Queen mencubit dengan gemas hidung mancung Auriga.   "Kakak enggak gombal Queen, tapi itu memang kenyataan."   "Terserah," cibir Queen dengan bibir cemberut.   "Ini bibir jangan monyong, nanti Kakak cium baru tahu rasa." Auriga menjawil gemas bibir Queen, membuat Queen melotot tapi pelototan yang Queen berikan sama sekali tidak membuat Auriga takut.   Auriga malah gemas dan ingin sekali melumat bibir ranum Queen yang tampak menggoda tapi Queen seakan tahu apa yang ia pikirkan karena Queen langsung menjauhkan wajahnya dan Auriga hanya bisa merenggut. Queen terkekeh, lalu menarik wajah Auriga agar terbenam di ceruk lehernya.   "Kak." Tangan kanan Queen terulur, meremas dengan lembut rambut Auriga yang ternyata sangat lembut dan juga wangi.   "Apa Sayang?" Auruga memejamkan matanya, menikmati setiap sentuhan yang Queen lakukan di rambutnya.   "Tadi, kenapa Kakak menangis?"   Auriga tidak langsung menjawab pertanyaan Queen, membuat Queen berpikir, kalau mungkin Auriga tidak mau bercerita padanya. "Jangan di jawab kalau Kakak memang belum siap untuk menceritakannya," bisik Queen penuh kelembutan.   Auriga menggeleng, kembali membenamkan wajahnya di ceruk leher Queen. "Kakak mau cerita kok," ujar Auriga lirih.   Queen diam, menunggu Auriga bersuara dan Queen mendengar Auriga hembusan nafas Auriga yang terdengar berat.   "Ayah dan Ibu akan bercerai." Tubuh Queen menegang kaku begitu mendengar ucapan Auriga dan Auriga tentu saja menyadari hal itu.   "Apa karena Queen?" Sekarang banyak sekali pikiran buruk dalam benak Queen, salah satunya adalah, mungkin kah alasan kedua orang tua Auriga bercerai karena dirinya? Karena sepertinya Wildan sangat tidak menyetujui hubungannya dengan Auriga.   Auriga menggeleng, membuat Queen merasa lega. "Bukan Sayang, tapi karena memang Ayah dan Ibu sudah tidak bisa lagi bersama karena satu dan lain hal."   Auriga tidak mau memberi tahu alasan kenapa kedua orang tuanya akan bercerai karena ia takut, takut kalau Queen akan menolak lamarannya begitu tahu alasan kenapa kedua orang tuanya bercerai.   Auriga takut kalau Queen berpikir, dirinya sama seperti Wildan. Karena itulah, Auriga tidak akan memberi tahu Queen alasan kenapa kedua orang tuanya akan bercerai.   Sebenarnya bukan tidak mau, tapi ini bukan saat yang tepat untuk memberi tahu Queen dan jika nanti waktunya tepat, pasti Auriga akan memberi tahukan semua kebenarannya pada Queen.                                          ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD