Kedatangan Tamu yang Tidak Diketahui Motifnya

1506 Words
Setelah seharian sibuk ini dan itu, Saluna akhirnya baru sempat mandi dan berganti baju ke pakaian yang lebih pantas; sweater biru langit dan celana panjang. Agak panas sebenarnya di rumah pakai begini. Pasalnya rumah Saluna ini nggak ada AC-nya. Cuma ada AC alami hasil dari jendela dan ventilasi. Singkatnya, angin. Pernah, sih, dulu rencana pasang AC. Sudah sempat beli AC-nya malah. Tapi dibatalkan karena setelah dipikir-pikir lagi, Pak Wawan--bapak Saluna--merasa tak sanggup untuk bayar pemakaian listrik tiap bulannya. Alhasil, AC yang baru dibeli akhirnya dijual dan laku di tangan keluarganya Jinjin. Biasanya habis mandi sore begini Saluna pakai celana pendek dan kaus oversize berbahan katun favoritnya yang seminggu bisa dua kali dia pakai. Biar adem, katanya. Saking seringnya dipakai, Saluna pernah ditanyai oleh bapaknya yang keheranan, "Kamu itu nggak punya baju lagi ta, Sal?" Saluna repot-repot pakai baju rapi begini ya gara-gara pacarnya--katanya sih bukan--Saruna dan keluarganya yang mau bertamu. Belum jelas, sih, maksud bertamunya apa, tapi kata Ibu roman-romannya sudah pasti mau ngelamar Saruna. Ibu bilang, laki-laki nggak akan sibuk-sibuk bawa orang tuanya ke rumah perempuan kalau nggak punya maksud spesial. Udah kayak martabak telur aja spesial. Bapak dan Ibu excited bukan main, bahkan Ibu yang lelah habis pergi ke rumah Eyang malah bela-belain masak. Buat calon besan, katanya. Saluna sendiri nggak kalah excited. Dari tadi dia sibuk membantu ibu meski keringat sudah menetes di balik sweater-nya itu. Saluna akan menganggap kerja kerasnya membantu ibu hari ini adalah tiket masuk ke dunia yang lebih bahagia. Lho? Kok? Karena kalau Saruna dilamar dan akhirnya menikah, maka artinya dia akan terbebas dari kediktatoran kakaknya itu. Saluna akhirnya bisa hidup tenang dan diperlakukan seperti manusia di tempat ini. Asik, nggak ada yang merintah seenak udel! Membayangkannya saja sudah berhasil bikin Saluna bahagia lahir dan batin. Tapi sebenarnya Saluna masih sangsi. Soalnya dari tadi Saruna mengelak, katanya Chan tidak lebih dari sekadar teman buatnya. Saruna juga bilang ke Saluna kalau dia punya pacar, tapi bukan Chan-Chan itu. Bisa saja, sih, Saruna cuma gengsi. Bisa juga mereka tidak pacaran tapi teman tapi mesra ala-ala begitu selama ini. Friendzone karena tidak mau merusak hubungan pertemanan satu sama lain. Lalu hari ini temannya Saruna itu ingin melepaskan diri dari friendzone. Nggak pakai nembak-nembak lagi, langsung lamar. Menarik. Tapi kalau laki-laki itu benar melamar Saruna, Saluna merasa salut. Bisa-bisanya suka pada nenek sihir begitu. Dia jadi curiga, bisa saja kakak perempuannya itu pasang susuk atau pelet sekalian. Saluna merapikan kasurnya yang acak-acakan sehabis ditiduri bersama Athala--yang sekarang sudah pulang--tadi. Setelahnya, Saluna memilih untuk melesat ke kamar Saruna. Saruna yang sudah rapi dengan rok bunga-bunga itu terlihat gundah, saking gundahnya dia bahkan tidak marah waktu Saluna masuk kamarnya. Padahal biasanya Saluna langsung diusir kejam. "Mbak, Saluna mau nanya," katanya. "Apa?" "Itu temen mbak yang mau ke rumah beneran bukan pacar?" "Beneran elah! Itu temen gue doang. Lagian lo tau sendiri kalau gue punya motto 'I dont need a man'. Gue pacaran aja nggak serius!" papar Saruna. Saluna mengangguk-angguk. Memang benar kalau kakaknya itu salah satu kaum feminis mandiri yang lebih fokus ke karir dari pada cinta-cintaan. Bahkan seingatnya, kakaknya ini nggak punya mantan sama sekali. Pacarnya yang kali ini adalah pacar pertama. Coba-coba aja katanya. Ya, biarpun Saluna sendiri nggak pernah melihat batang hidung pacar Saruna itu. "Tapi Mbak, tadi dia nanya ke Saluna gimana rasanya jadi adek Mbak. Mungkin dia naksir Mbak," kata Saluna menerka-nerka. "Bodo amat! Mau dia naksir sama gue atau gimana kek, pokoknya kalau dia emang ngelamar ya gue tolak," tegas Saruna. "Ibu, Mbak. Ibu gimana? Bukannya Ibu pemegang prinsip 'kalau-ada-yang-lamar-jangan-nolak'?" Kata-kata Saluna diam-diam membuat Saruna semakin tertekan. Mau mati saja rasanya. *** "Assalammualaikum ...." Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Rombongan keluarga yang visualnya tampak superior itu membuat Bapak dan Ibu senang bukan kepalang. Padahal belum jelas niatnya apa. Belum tau juga siapa mereka. Bukannya terlalu awal untuk merasa senang? "Waalaikumsalam," jawab Bapak dan Ibu kompak. "Saya Daniel, papanya Chandra. Ini istri saya," kata pria berkemeja hitam itu. "Oh iya, Pak. Silakan masuk. Saya Wawan Danashtara, Bapaknya Saruna." Bapak menyalami. Saluna dan Saruna juga ikut salim. Sopan santun ini namanya. "Saluna, Om." "Saruna, Om." "Eh? Ini Saruna? Cantik ya," kata Om Daniel. Gigi kelincinya mengintip waktu dia tersenyum. Chandra atau yang Saruna sapa sebagai Chan itu juga ikut dalam kunjungan ini. Dia hanya tersenyum sedari tadi. Bahkan saat salam-menyalam, Chan tidak bisa menyembunyikan senyum yang membuat matanya menyipit itu. Sementara Saruna sedari tadi sudah memberikan Chandra tatapan ketus. Sebuah kode yang amat jelas bahwa dia tak menginginkan ini. "Maksud saya datang kes--" "Ngobrolnya sambil makan malam saja, ya? Istri saya sudah masak," kata Bapak memotong kata-kata Om Daniel. Saluna dari tadi menelan ludahnya, nggak nyangka aja kalau ada orang tua se-hot Om Daniel ini. Rapi, ganteng, awet muda, kelihatan berpendidikan, kinclong, masih atletis pula. Beda jauh sama Bapaknya yang nggak ada hot-hot-nya. Gimana mau hot kalau perutnya aja isi lemak semua? Jangankan kinclong, Bapak mandi saja jarang. Pantas Saruna juga sebelas dua belas. Keturunan ternyata. Semua orang akhirnya duduk di meja makan. Pembicaraan dimulai dengan santai. Satu-satunya pihak yang tegang ya cuma Chandra. Laki-laki itu berkeringat sejak tadi. Mungkin memang karena udaranya yang panas. Mungkin juga karena gugup setengah mati. Pembicaraan dimulai dari yang basa-basi banget kayak, "Tinggalnya dimana?" sampai akhirnya semua tau kalau keluarga Om Daniel ini keturunan Australia. Pantesan hot, batin Saluna. Ibu dan Tante Ellie--nama istri Om Daniel--juga ngomongin beberapa hal seputar dunia ibu-ibu. Sedangkan Saruna cuma diam dari tadi. Saluna tau, kakaknya itu pasti super tertekan detik ini. Apalagi melihat Chandra--atau yang akrab dipanggil Chan itu--juga sama tegangnya. Sampai makan malam selesai, obrolan utama belum juga dimulai. Saruna dan Saluna ditugasi mencuci piring sementara Ibu sibuk menyiapkan teh hangat dan camilan. "Nak Chan ganteng ya, Run. Ibu seneng banget kalau punya mantu kayak dia," kata Ibu. Saruna cemberut bukan main. Bukan ini yang Saruna mau. Satu-satunya yang Saruna inginkan saat ini adalah lulus sidang skripsi dan dapat kerja di perusahaan besar bergaji tinggi. Bukan dilamar begini. "Aku nggak mau nikah sekarang, Bu. Apalagi sama Chan! Chan itu cuma temen Runa!" tegas Saruna. "Lho? Kenapa? Umur kamu kan juga sudah seharusnya menikah, Run. Lagian Nak Chan kurang apa lagi? Udah ganteng, sukses lagi. Kalian juga udah kenal lumayan lama, kan?" Chandra alias Chan memang ganteng. Belum lagi kata Papanya tadi, Chan sudah punya perkebunan kopi sukses di beberapa kota. Dan ya, Saruna dan Chan juga sudah berteman sejak tahun pertama kuliah. Mereka mengenal satu sama lain dengan baik. Tidak canggung pula satu sama lain. Tapi yang namanya perubahan tidak selalu mengenakkan. Bisa saja karena perubahan, hubungan mereka tak akan senyaman sekarang. "Nih, bawain ke depan." Ibu menyodorkan toples kue kering pada kedua anaknya. Mereka hanya menurut. Terutama Saluna yang riang gembira membayangkan kakaknya enyah dari rumah. "Yang sabar, Mbak," bisik Saluna. Saruna duduk di antara Bapak dan Ibu, sama seperti Chan yang duduk diapit kedua orang tuanya. Saluna duduk di pinggir, samping Ibu. Meskipun Saruna kelihatan tidak senang, tapi Saluna tetap nggak sabar mendengar kakaknya itu dilamar dan lamarannya diterima Bapak. Karena kata-kata lamaran itu akan jadi proklamasi kemerdekaan buat Saluna. Kapan lagi ada kesempatan sebegini bagus? Momen ini super langka. Sudah seperti peristiwa munculnya komet Halley yang hanya menampakkan diri setiap tujuh puluh enam tahun sekali. Maka dari itu, Saluna bersumpah akan mengingat momen ini. Saluna akan menguasai rumah tanpa ada yang menyuruh-nyuruh. Kalau Bapak dan Ibu sibuk mengelola tambak atau mengunjungi Eyang, Saluna bisa tidur sampai siang tanpa ada yang teriak-teriak. Saluna bisa putar musik tanpa ada yang sewot. Saluna nggak perlu rebutan dan mengalah ketika mau mandi di pagi hari, dia nggak perlu menunggu Saruna yang mandi saja bisa satu jam lamanya. Membayangkannya saja sukses membuat Saluna melayang-layang di udara. "Jadi, kedatangan kami ke sini ingin melamar anak Bapak dan Ibu untuk anak kami Chandra. Mungkin Bapak dan Ibu juga sudah bisa memperkirakan ini," kata Om Daniel. Bapak senyum lebar sampai pipinya yang mirip bakpao itu terangkat. Ibu juga nggak kalah lebar senyumnya. Orang tua dari pihak Chan juga. Intinya, semua orang terlihat bahagia kecuali Saruna yang cuma bisa merengut nggak jelas. Saruna cuma kepikiran masa depannya. Dia belum mau repot-repot membangun rumah tangga. Dia cuma mau membangun karirnya sampai cemerlang. Terus lanjut sekolah dan dapat gelar S2, S3, dan S S lainnya. Bukan malah dapat suami. "Benar itu, Nak Chan?" tanya Bapak. Chan mengangguk. Rambutnya yang hitam kelam mengkilat diterpa sinar lampu. Kali ini dia tampak lebih tenang. Fase-fase kritisnya sudah hilang, mungkin karena ibu dan bapak tampak sangat welcome. Sama sekali tidak terlihat galak dan menolak. Bapak memang pernah bilang bahwa dia tidak akan bersikap galak pada orang yang mencintai anaknya dengan sepenuh hati. Karena orang yang mencintai anaknya adalah kawan bagi Bapak. Sementara orang yang menyakiti anaknya jelas adalah musuh bagi Bapak. Bapak tak akan galak, selagi anaknya diperlakukan dengan baik dan disayangi sepenuh hati. "Iya, Pak. Kalau diijinkan, saya ingin mempersunting anak bungsu Bapak," tuturnya sopan. "Oh begitu, jadi kamu mau mempersunting anak bung-eh? Anak bungsu?" ulang Bapak. Chan mengangguk mantap, "Iya, Pak. Saya mau mempersunting Saluna sebagai istri saya." Bapak kaget. Ibu kaget. Saruna kaget. Jelas, Saluna lebih kaget.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD