bc

Pandangan Peradaban Masa Depan

book_age18+
0
FOLLOW
1K
READ
serious
like
intro-logo
Blurb

Peran Partai Politik Di Era Digital Politik menurut bahasa Yunani “Politikos” berarti dari, untuk, atau terkait hubungan dengan warga negara”, politik adalah praktik dan teori untuk mempengaruhi orang lain. Pengertian sempitnya politik mengacu pada pencapaian atas posisi pemerintahan dalam melatih, mengorganisir, dan mengawasi masyarakat, khususnya dalam suatu negara. Selanjutnya, dikatakan politik adalah satu bidang studi yang pada praktiknya mendistribusikan suatu kekuasaan dan menunjukan sumber daya dalam suatu kehidupan bermasyarakat (populasi merupakan hierarki yang terorganisir) serta memiliki konteks hubungan antar masyarakat. Nimmo merangkum definisi “politik” dalam bukunya Political Communication and Public Opinion in America, yakni sebagai kegiatan orang secara kolektif yang mengatur perilaku dibawah kondisi konflik sosial. Politik pada dasarnya juga seperti komunikasi merupakan suatu tindakan yang melibatkan pembicaraan. Dalam hal ini tidak sekadar pembicaraan dalam arti sempit tetapi dalam arti yang luas, baik yang bersifat verbal (lisan atau tulisan) maupun yang bersifat nonverbal (berbagai gerak, isyarat, maupun tindakan). Enam hal yang ditekankan dalan ilmu politik, yaitu kekuasaan, negara, pemerintahan, fakta-fakta politik, kegiatan politik, organisasi masyarakat. Sedangkan objek ilmu politik meliputi dua hal yaitu: Material (objek ini berwujud pada perjuangan memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dengan objek negara, kekuasaan, pemerintah, fakta-fakta politik, kegiatan politik, dan organisasi masyarakat). Formal (pengetahuan, pusat perhatian). Dengan demikian, Syarbaini menyimpulkan ada lima konsep tentang ilmu politik, yaitu (1) sebagai usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama, (2) segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintah, (3) segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan, (4) kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum, dan (5) sebagai konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting. Banyak para ilmuwan politik yang menjelaskan tentang sejarah politik walaupun sering bias terhadap sejarah kontemporer. Pada umumnya mereka percaya bahwa tugas ilmuwan politik menawarkan penjelasan-penjelasan retrodiktif bukannya prediksi-prediksi yang kritis dan sangat deskriptif. Mereka yakin bahwa kebenaran terletak pada arsip-arsip pemerintah. (O’Leary, 2000: 790). Selain itu secara garis besar, politik cenderung terbagi dua kubu: Pertama, Hight politics (politik tinggi), yaitu yang mempelajari perilaku politik para pembuat keputusan elit; mereka percaya bahwa kepribadian dan mekanisasi para elit politik adalah kunci pembuat sejarah. Mereka juga percaya bahwa perluasan kekuasaan dan kepentingan diri dapat menjelaskan perilaku sebagian besar kaum elit. Kedua, Low politics (politik bawah), atau politik dari bawah. Mereka percaya bahwa perilaku politik massa memberikan kunci untuk menjelaskan episode-episode politik utama seperti halnya beberapa revolusi yang terjadi. Selain itu bagi mereka kharisma, plot, maupun blunder para pemimpin kurang begitu penting dibanding dengan perubahan nilai-nilai kepentingan dan tindakan kolektivitas. Teknologi digital, adalah teknologi yang tidak lagi menggunakan tenaga manusia, atau manual. Tetapi cenderung pada sistem pengoperasian yang otomatis dengan sistem komputerisasi atau format yang dapat dibaca oleh komputer. Teknologi digital pada dasarnya hanyalah sistem penghitung yang sangat cepat yang memproses semua bentuk-bentuk informasi sebagai nilai-nilai numeris.[6] Dalam teori politik, rendahnya partisipasi politik dapat teratasi oleh faktor modernisasi dan meningkatnya komunikasi massa.[7]. Sehingga bisa dikatakan teknologi digital sebagai produk modernisasi dan alat komunikasi yang memiliki massa yang besar, sangat mungkin sekali turut memberikan andil pada peningkatan angka partisipasi masyarakat pada suatu politik Jika membicarakan sistem digital maka tidak akan terlepas dari perkembangan teknologi. Politik digital atau istilahnya lainnya Cyberpolitics (politik di dunia maya) memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada saat ini. Teknologi secara umum didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan seseorang terhadap suatu objek dengan atau tanpa bantuan alat mekanis, untuk melakukan suatu perubahan dalam objek tersebut. Teknologi digital memiliki peranan dalam dunia politik, yakni bagaimana cara seorang tokoh politik dapat melakukan komunikasi politik yang baik dan tepat.

chap-preview
Free preview
Pandangan Peradaban Masa Depan
Peran Partai Politik Di Era Digital Politik menurut bahasa Yunani “Politikos” berarti dari, untuk, atau terkait hubungan dengan warga negara”, politik adalah praktik dan teori untuk mempengaruhi orang lain. Pengertian sempitnya politik mengacu pada pencapaian atas posisi pemerintahan dalam melatih, mengorganisir, dan mengawasi masyarakat, khususnya dalam suatu negara. Selanjutnya, dikatakan politik adalah satu bidang studi yang pada praktiknya mendistribusikan suatu kekuasaan dan menunjukan sumber daya dalam suatu kehidupan bermasyarakat (populasi merupakan hierarki yang terorganisir) serta memiliki konteks hubungan antar masyarakat. Nimmo merangkum definisi “politik” dalam bukunya Political Communication and Public Opinion in America, yakni sebagai kegiatan orang secara kolektif yang mengatur perilaku dibawah kondisi konflik sosial. Politik pada dasarnya juga seperti komunikasi merupakan suatu tindakan yang melibatkan pembicaraan. Dalam hal ini tidak sekadar pembicaraan dalam arti sempit tetapi dalam arti yang luas, baik yang bersifat verbal (lisan atau tulisan) maupun yang bersifat nonverbal (berbagai gerak, isyarat, maupun tindakan). Enam hal yang ditekankan dalan ilmu politik, yaitu kekuasaan, negara, pemerintahan, fakta-fakta politik, kegiatan politik, organisasi masyarakat. Sedangkan objek ilmu politik meliputi dua hal yaitu: Material (objek ini berwujud pada perjuangan memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dengan objek negara, kekuasaan, pemerintah, fakta-fakta politik, kegiatan politik, dan organisasi masyarakat). Formal (pengetahuan, pusat perhatian). Dengan demikian, Syarbaini menyimpulkan ada lima konsep tentang ilmu politik, yaitu (1) sebagai usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama, (2) segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintah, (3) segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan, (4) kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum, dan (5) sebagai konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting. Banyak para ilmuwan politik yang menjelaskan tentang sejarah politik walaupun sering bias terhadap sejarah kontemporer. Pada umumnya mereka percaya bahwa tugas ilmuwan politik menawarkan penjelasan-penjelasan retrodiktif bukannya prediksi-prediksi yang kritis dan sangat deskriptif. Mereka yakin bahwa kebenaran terletak pada arsip-arsip pemerintah. (O’Leary, 2000: 790). Selain itu secara garis besar, politik cenderung terbagi dua kubu: Pertama, Hight politics (politik tinggi), yaitu yang mempelajari perilaku politik para pembuat keputusan elit; mereka percaya bahwa kepribadian dan mekanisasi para elit politik adalah kunci pembuat sejarah. Mereka juga percaya bahwa perluasan kekuasaan dan kepentingan diri dapat menjelaskan perilaku sebagian besar kaum elit. Kedua, Low politics (politik bawah), atau politik dari bawah. Mereka percaya bahwa perilaku politik massa memberikan kunci untuk menjelaskan episode-episode politik utama seperti halnya beberapa revolusi yang terjadi. Selain itu bagi mereka kharisma, plot, maupun blunder para pemimpin kurang begitu penting dibanding dengan perubahan nilai-nilai kepentingan dan tindakan kolektivitas. Teknologi digital, adalah teknologi yang tidak lagi menggunakan tenaga manusia, atau manual. Tetapi cenderung pada sistem pengoperasian yang otomatis dengan sistem komputerisasi atau format yang dapat dibaca oleh komputer. Teknologi digital pada dasarnya hanyalah sistem penghitung yang sangat cepat yang memproses semua bentuk-bentuk informasi sebagai nilai-nilai numeris.[6] Dalam teori politik, rendahnya partisipasi politik dapat teratasi oleh faktor modernisasi dan meningkatnya komunikasi massa.[7]. Sehingga bisa dikatakan teknologi digital sebagai produk modernisasi dan alat komunikasi yang memiliki massa yang besar, sangat mungkin sekali turut memberikan andil pada peningkatan angka partisipasi masyarakat pada suatu politik Jika membicarakan sistem digital maka tidak akan terlepas dari perkembangan teknologi. Politik digital atau istilahnya lainnya Cyberpolitics (politik di dunia maya) memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada saat ini. Teknologi secara umum didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan seseorang terhadap suatu objek dengan atau tanpa bantuan alat mekanis, untuk melakukan suatu perubahan dalam objek tersebut. Teknologi digital memiliki peranan dalam dunia politik, yakni bagaimana cara seorang tokoh politik dapat melakukan komunikasi politik yang baik dan tepat. Teknologi komunikasi atau informasi adalah istilah yang merujuk pada teknologi komunikasi modern yang terutama mencerminkan aplikasi komputer, telekomunikasi, atau kombinasi dari keduanya. Termasuk televisi yang disiarkan secara global, dan tentu termasuk perangkat yang digunakan sebagai media sosial seperti i-pad dan smartphone. Schiller mengatakan data yang diperoleh lewat satelit –penginderaan-jauh (remote sensing satellite) yang diluncurkan suatu negara maju dapat digunakan untuk memantau hasil panen, mengeksplorasi kandungan logam, gas, dan minyak, pengelolaan hutan, inventori sumber alam nasional, pengendalian banjir, dan penentuan konsentrasi kekayaan ikan bagi industri perikanan, pemetaan rute pipa lewat pegunungan, ekstrapolasi model geologis, prediksi wilayah batuan yang retak untuk pengendalian keselamatan dalam penambangan. Data tersebut dapat digunakan oleh negara itu untuk bernegosiasi dengan negara lain. Untuk tujuan itu, negara maju tersebut dapat bersekongkol dengan negara maju lainnya untuk mengeruk kekayaan alam negara miskin atau negara berkembang yang belum mampu mengolah sumber alamnya sendiri. Informasi yang disiarkan televisi lewat satelit komunikasi dapat dimanfaatkan oleh penguasa untuk mengembangkan dan mengendalikan konflik sosial (termasuk konflik antar negara). Clarke dan Knake (2010) membahas bagaimana pemanfaatan teknologi di era digital khususnya internet, menjadi ajang baru dalam “perang antar Negara” dan bagaimana Negara dapat bertahan dalam peperangan cyber tersebut. Maka tidak mengherankan jika teknologi digital digunakan oleh seorang pemimpin suatu negara untuk mengancam pemimpin negara lain. Contohnya, pada bulan Agustus 1999, Jose Ramos Horta mengancam bahwa jika Indonesia tidak menyelenggarakan referendum bagi kemerdekaan timor timur, maka pasukan cyber dari seluruh dunia akan meretas sistem komputer pemerintah Indonesia yang vital, terutama dalam bidang pertahanan dan perbankan. Perkembangan teknologi di era digital sekarang ini telah memudahkan aspek politik untuk masuk lebih mudah dan lebih terbuka. Dalam hal ini media massa memiliki peranan yang penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat modern di Indonesia termasuk kehidupan berpolitik. Para tokoh memanfaatkan media massa dengan berbagai tujuan, untuk mempercepat proses perubahan sosial di Indonesia, untuk kampanye politik, advertensi dan propaganda. Penggunaan media massa untuk suatu kampanye tampaknya sangat esensial dalam kehidupan politik. Khususnya televisi, surat kabar, dan internet akan menjadi media utama dalam meningkatkan citra diri politisi. Di Indonesia peran teknologi komunikasi dengan sistem digital dapat digunakan sebagai katalisator pertumbuhan demokrasi, antara lain lewat wacana publik, pertukaran pendapat, dan kebebasan pers. Salah satu pemanfaatannya adalah untuk memperlancar dan mempercepat pemilihan umum (kampanye, perhitungan suara, dan penyampaian hasilnya. Dengan demikian teknologi komunikasi dapat memperkuat dan meningkatkan mutu demokrasi. Setelah pemilihan umum tahun 1971, tingkat partisipasi politik rakyat Indonesia mengalami penurunan secara teratur. Pada Pemilu 1971, tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 96,6 persen, dengan jumlah Golongan Putih (golput) hanya 3,4 persen. Memasuki Pemilu era reformasi, Pemilu 1999, tingkat partisipasi pemilih menyentuh 92,6 persen. Tapi angka Golput menjadi semakin tinggi pada Pemilu Legislatif 2004, yaitu 15,9 persen. Dengan kata lain, tingkat partisipasi politik pemilih menurun drastis menjadi 84,1 persen. Pada Pilpres 2004, tingkat partisipasi politik semakin menurun menjadi 78,2 persen dan jumlah Golput 21,8 persen. Pada Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi politik pemilih terus mengalami penurunan hanya 70,9 persen. Pada Pilpres 2009, tingkat partisipasi politik pemilih menurun menjadi 71,7 persen dan jumlah golput mencapai 28,3 persen. Pada Pemilu Legislatif 2014, tingkat partisipasi politik pemilih mengalami peningkatan signifikan sebanyak 5 digit persen, dari 70 persen menjadi 75 persen. Fenomena Golput yang sebelumnya dikhawatirkan meningkat tajam, ternyata tidak terjadi. Peningkatan partisipasi politik pemilih ini bisa jadi dipacu oleh kehadiran teknologi digital (sosial media) di dunia politik. Setidaknya satu fakta yang penting bahwa jumlah pemilih pemula pada Pileg 2014 mencapai 50 juta pemilih. Artinya, bukan sesuatu yang terlalu jauh untuk dikorelasikan, jika sosial media mungkin saja menjadi faktor yang memantik ketertarikan pemilih pemula untuk berpartisipasi secara politik. Karena politik sudah mulai dekat dengan dunia mereka, yakni dunia digital. Media Sosial Penggunaan media sosial tidak sekadar sarana untuk mempererat silaturahmi namun sudah membahas pada isu-isu politik, kebijakan pemerintah, perilaku para tokoh publik. Media sosial telah menjadi bagian dalam setiap kehidupan masyarakat termasuk ranah politik yang bisa dimanfaatkan untuk sarana komunikasi, mempromosikan diri, sosialisasi, termasuk promosi partai politik untuk membangun citra partai. Pemanfaatan media sosial untuk berpolitik biasanya akan terlihat ketika akan diselenggarakannya pemilu untuk kampanye politik. Selain itu dalam era digital pemanfaatan media sosial oleh sejumlah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan di Indonesia dimanfaatkan sebagai salah satu alat komunikasi untuk lebih mendekatkan diri dengan masyarakat. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalnya memanfaatkan f*******:, Twitter,i********:, dan Youtube sebagai salah satu cara untuk menyampaikan pendapat tentang isu-isu terkini baik politik, sosial, budaya yang terjadi di tengah masyarakat. Meski pada pemerintahan sebelumnya televisi dan radio sudah dimanfaatkan meski tidak ada yang mencapai pada ranah media sosial untuk upaya interaksi dengan masyarakatnya. Perubahan yang terjadi di era digital ini seiring dengan pesatnya penetrasi internet di dunia. Jika pada akhir 2000 pengguna internet di dunia 360,9 juta, pada akhir 2013 jumlahnya sudah 2,8 miliar atau 39 persen dari jumlah penduduk dunia 7,4 miliar. Menurut data Internet World Stats, jumlah terbanyak pengguna internet 2014 berada di Asia (1,26 miliar) disusul Eropa (566,2 juta), Amerika Latin dan Karibia (302 juta), Amerika utara (300,2 juta), Afrika (240,1 juta), Timur Tengah (103,8 juta), dan Australia-Oseania (24,8 juta). Partai politik mempunyai peran yang sangat penting dalam mewujudkan Negara Indonesia yang demokratis. Dalam bahasan kali ini, partai politik mempunyai tugas untuk memberikan penanaman nilai-nilai untuk kedewasaan berpolitik (Pendidikan Politik) terhadap masyarakat khususnya terhadap pemilih pemula. Hal inilah yang menjadi salah satu wujud fungsi partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Dimana dimaksudkan, dengan adanya pendidikan politik yang diberikan oleh partai politik mampu mencegah atau meminimalisir terjadinya konflik di kalangan pemilih pemula dalam menuju proses berdemokrasi. Pemilih pemula sendiri diartikan sebagai pemilih yang baru pertama kali akan menggunakan hak pilihnya dan masuk sebagai syarat pemilih diantaranya; 1. Seseorang yang sudah berumur 17 tahun, 2. Sudah/pernah menikah, Dan 3. Purnawirawan. Kenapa harus pemilih pemula yang harus difokuskan dalam pemberian Pendidikan Politik? Hal ini dikarenakan Pemilih Pemula saat ini sedang berada di jaman era globalisasi yang mengakibatkan arus informasi menjadi semakin tidak terbatas dan tidak dibatasi. Pemilih Pemula diibaratkan sebagai bibit emas untuk menumbuhkan pohon demokrasi yang lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan politik bagi pemilih pemula menjadi salah satu urgensi yang harus sama-sama dipikirkan. Pemilih pemula yang tidak pandai memilah informasi akan mudah sekali terkena berita palsu (hoax). Berita palsu (hoax) inilah yang nantinya mampu menjadi sumber konflik ditengah masyarakat. Banyak faktor yang mengakibatkan munculnya berita palsu (hoax), diantaranya adalah: 1. Banyaknya akun palsu, dunia digital yang serba tidak terbatas memungkinkan seseorang memiliki lebih dari satu akun, dan jika akun-akun tersebut membuat berita yang tidak benar serta dibagikan secara bersamaan, maka berita tersebut akan lebih cepat muncul kepermukaan dan akan lebih cepat dikonsumsi oleh masyarakat. 2.Euforia kebebasan berpendapat, setelah reformasi masyarakat merasa memiliki kebebasan dalam berpendapat, sehingga masyarakat lupa akan batasan moral dan etika dalam membagikan segala hal di media sosial. 3.Ingin cepat berbagi informasi, ciri khas masyarakat Indonesia yang suka bercerita mengakibatkan masyarakat Indonesia tidak bisa membedakan mana cerita yang harus diceritakan kepada banyak orang. Tidak bisa membedakan mana ranah privat dan mana ranah publik. 4. Karakter masyarakat, masyarakat Indonesia yang belum paham memilah dan malas mencari kebenaran dari suatu berita mengakibatkan berita palsu (hoax) sangat cepat dikonsumsi serta dijadikan paradigma berpikir sampai kesimpulan bertindak. Solusi, untuk mencegah munculnya faktor-faktor tersebut adalah dengan memberikan Pendidikan Media (Literasi Media) kepada masyarakat khususnya pemilih pemula. Dalam hal ini, partai politik sebagai sarana pengatur konflik dengan memberikan pendidikan politik harus mampu menanamkan nilai-nilai yang bisa membuat pemilih pemula dewasa dalam berpolitik (melakukan partisipasi aktif dalam politik). Melihat kondisi Indonesia yang beragam maka Literasi Media yang harus dibangun adalah Literasi Media yang memuat nilai-nilai keberagaman, dimana partai politik harus mampu meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya pemilih pemula bahwa Indonesia adalah Negara yang kaya akan perbedaan, perbedaan yang ada di Indonesia merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, sehingga apabila terjadi perbedaan pendapat dalam suatu berita yang tersebar di masyarakat. Masyarakat tidak mudah tersulut api yang akhirnya menimbulkan konflik yang berdampak pada perpecahan terhadap persatuan dan kesatuan suatu bangsa. Mengapa harus memulai dengan Literasi Media melalui pendekatan keberagaman, hal ini dikarenakan melalui pendekatan kebhinnekaan atau kewargaan (citizenship education) dan kewargaan digital (digital citizenship) berfokus pada upaya mempersiapkan individu yang melek informasi dan warga yang bertanggung jawab, melalui studi hak, kebebasan, dan tanggung jawab. Upaya ini telah banyak digunakan dalam masyarakat yang rawan konflik kekerasan (Osler dan Starksey, 2005). Untuk itu, partai politik sebagai sarana pengatur konflik secara kongkrit harus mempunyai program kerja yang mampu menanamkan nilai-nilai keberagaman tersebut. Hal ini bisa diawali dengan media atau afiliasi media yang dibuat oleh Partai Politik tidak berisi konten-konten yang berbau SARA sehingga memunculkan stigma negatif para pendukung partai politik/ calon dari partai politik tersebut terhadap lawan politik. Dari sisi kompetensi, literasi media dalam pendidikan kewarganegaraan harus mampu melahirkan kemampuan literasi media yang tinggi ditandai oleh: 1) daya kritis dalam menerima dan memaknai pesan. 2) kemampuan untuk mencari dan memverifikasi pesan, 3) kemampuan untuk menganalisis pesan dalam sebuah diskursus, 4) memahami logika penciptaan realitas oleh media, 5) kemampuan untuk mengkonstruksi pesan positif dan mendistribusikannya kepada pihak lain. Menurut Wijetunge dan Alahakoon (2009) melalui model Empowering 8 (E8) ini, kemampuan melakukan literasi informasi dengan penelusuran suatu berita hoax dilakukan melalui 8 tahapan praktik untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Identifikasi topik/subyek, sasaran audiens, format yang relevan, jenis-jenis sumber 2) Eksplorasi sumber dan informasi yang sesuai dengan topik. 3) Seleksi dan merekam informasi yang relevan, dan mengumpulkan kutipan-kutipan yang sesuai. 4) Organisasi, evaluasi dan menyusun informasi menurut susunan yang logis, membedakan antara fakta dan pendapat, dan menggunakan alat bantu visual untuk membandingkan dan mengkontraskan informasi. 5) Penciptaan informasi dengan menggunakan kata-kata sendiri, edit, dan pembuatan daftar pustaka. 6) Presentasi, penyebaran atau display informasi yang dihasilkan dapat menunjukkan perbandingan dari kedua kelompok pemberitaan sehingga dinilai keakurasiannya. 7) Penilaian output, berdasarkan masukan dari Penilaian output, berdasarkan masukan dari orang lain. 8) Penerapan masukan, penilaian, pengalaman yang diperoleh untuk kegiatan yang akan datang; dan penggunaan pengetahuan baru yang diperoleh untuk pelbagai situasi. Dari beberapa solusi dan penjelasan diatas dapatt dicari peran partai politik dalam melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat khususnya pemilih pemula, diharapkan masyarakat nantinya dapat menyelidiki benar atau tidak informasi yang akan dibagikannya. Jika tidak benar, apalagi memuat fitnah, hingga anjuran kekerasan, maka informasi itu tak perlu disebarkan. Kalau sumber tidak jelas, tidak terverifikasi, tidak masuk akal dan tidak bermanfaat, maka tidak usah disebarkan. Di sisi lain, media massa mainstream termasuk media berita online, diharapkan tetap mengedepankan kompetensi dan independensi, sekalipun media tersebut berafiliasi dengan kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Media boleh saja diperjualbelikan, pemilik silih berganti, tetapi news room harus dipimpin orang yang kompeten dan bermoral dalam mengabdi kepada publik luas. (Wakil Sekretaris DPC PPP Kabupaten Purbalingga, Aji Setiawan) 1] Peran Kaum Intelektual Dalam Dunia Politik Cendekiawan atau intelektual ialah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, mengagas, atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Kata cendekiawan berasal dari Chanakya, seorang politikus dalam pemeritahan Chandragupta dari Kekaisaran Maurya. Secara umum, terdapat tiga pengertian modern untuk istilah “cendekiawan”, yaitu :mereka yang amat terlibat dalam idea-idea dan buku-buku; mereka yang mempunyai keahlian dalam budaya dan seni yang memberikan mereka kewibawaan kebudayaan, dan yang kemudian mempergunakan kewibawaan itu untuk mendiskusikan perkara-perkara lain di khalayak ramai. Golongan ini dipanggil sebagai “intelektual budaya”; dari segi Marxisme, mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya. Oleh karena itu, cendekiawan sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan universitas. Namun, Sharif Shaary, dramawan Malaysia terkenal, mengatakan bahwa hakikatnya tidak semudah itu. Ia berkata: “Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan… seorang cendekiawan adalah pemikir yang sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat” Berbeda dengan dunia politik. Politikus (jamak: politisi) adalah seseorang yang terlibat dalam politik, dan kadang juga termasuk para ahli politik. Politikus juga termasuk figur politik yang ikut serta dalam pemerintahan. Dalam demokrasi Barat, istilah ini biasa terbatas kepada mereka yang menjabat atau sedang mencoba mendapatkannya daripada digunakan untuk merujuk kepada para ahli yang dipekerjakan oleh orang-orang yang tersebut di atas. Perbedaan seperti ini tidak begitu jelas jika berpedoman pada pemerintahan yang non-demokratis. Dalam sebuah negara, para politikus membentuk bagian eksekutif dari sebuah pemerintah dan kantor sang pemimpin negara serta bagian legislatif, dan pemerintah di tingkat regional dan lokal. Salah satu hal menarik untuk dibicarakan setelah pesta demokrasi adalah peran kaum inteletual dalam ranah perpolitikan Indonesia. Banyak ulama yang mencoba terjun ke dalam kancah politik, dengan alasan politik sebagai sarana memperjuangkan kebenaan. Situasi semacam itu ternyata menjadi sorotan masyarakat. Banyak yang mempertanyakan apakah ulama benar-benar mampu berpolitik? Apakah dengan terjunnya kaum inteletual dalam bidang politik dapat mengubah suasana perpolitikan di Indonesia? Ada pendapat yang menyatakan agar kaum inteltual terdidik mundur dari dunia politik, karena tugasnya membela kebenaran kepada masyarakat. Politik itu kotor, sedangkan dalam sejarah kejayaan Islam, peran intelektual sangat besar. Khalifah Islam adalah para pemimpin yang selalu dan sangat memerhatikan masalah ilmu pengetahuan dan keintelektualan. Di belakang khalifah adalah deretan orang yang ahli dalam bidang masing-masing. Maka tak ayal kalau khilafah Islamiyah bisa mencapai kejayaan karena keintelektualannya. Peranan kaum intelektual dahulu sebagai inspirator kemerdekaan Indonesia. Di antaranya HOS Cokroaminoto, Dr Wahidin Sudiro Husodo, Agus Salim, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, Ki Hajar Dewantoro, M Natsir dan sejumlah intelektual ulama serta intelektual lainnya. Pendapat yang berusaha untuk memisahkan intelektual dengan politik sebenarnya pendapat yang sekuler. Pendapat yang mengotomi politik itu sendiri. Politik dinilai sebagai sesuatu yang hina, sehingga agama yang sifatnya suci tidak diperbolehkan masuk. Politisi boleh bohong tapi tidak boleh salah, ilmuwan tidak boleh bohong tapi boleh salah adalah jargon yang banyak membuat ilmuwan atau ulama yang terjun di dunia politik kehilangan arah tujuannya. Bila hal seperti ini terus terjadi dan berkembang di dalam dunia intelektual, maka akan menjadi momok bagi ulama maupun ilmuwan. Akhirnya mereka akan makin jauh dari dunia politik, sehingga terciptalah sebuah negara yang sekuler. Negara yang asas pemikirannya selalu berlandaskan untung dan rugi, tanpa menghiraukan etika dan moral. Maka kita perlu mempersandingkan kembali antara intelektual dengan politik, keduanya saling melengkapi. Politik tidak akan terkontrol tanpa adanya kehadiran intelektual. Politik yang busuk adalah politik yang tanpa dilandasi intelektual. Politik dianggap kotor dan kejam karena tidak dikawal dengan intelektual. Jadi kehadiran intelektual dalam dunia politik sangatlah penting. Keduanya tidak bisa dan tidak boleh dipisahkan. Sekarang ini Indonesia tengah dilanda krisis politikus yang intelek, sehingga elite politik banyak yang tidak bermoral. Kekuasaan dalam pikirannya hanyalah sebuah alat untuk meraih kenikmatan dunia. Pemilu baginya hanyalah ajang perlombaan antara menang dan kalah. Ada perbedaan mendasar politisi Indonesia dulu dan sekarang. Politisi zaman dulu itu juga seorang intelektual, kalau politisi yang sekarang tentu berbeda dengan politidi jaman dahulu yang penuh patriotisme dan idealisme. Politisi zaman dulu itu mereka kuat literasinya dan menguasai banyak bahasa. Para tokoh bangsa di masa lalu merupakan politikus yang amat berani. Tidak jarang saling bergesekan karena perbedaan ideologi. Sebab meski perbedaan ideologi di masa awal kemerdekaan itu amat tajam antara Islam, nasionalis, komunis/sosialis, namun tak sampai dibawa para tokoh itu ke ranah personal. Cukup berhenti di ranah ideologi atau pandangan politik. Misalnya saja Soekarno yang kala itu ditahan Orde Baru amat percaya tugasnya bisa digantikan wakilnya Muhammad Hatta yang kerap berbeda pandangan dengannya. Bahkan seorang Isa Anshary (tokoh Masyumi) kala itu bisa bercengkerama dengan D.N Aidit (pemimpin Partai Komunis Indonesia-PKI), padahal lawan luar biasa itu. Maka, tidak bisa disalahkan kalau Indonesia tidak bisa bangkit lagi seperti zaman perjuangan dulu. Tokoh elite politiknya tidak sebobot dengan politikus dulu. Contohnya, Soekarno dan Hatta. Mereka adalah tokoh politik dan juga tokoh intelektual. Sekarang Indonesia perlu berbenah diri kembali. Indonesia perlu mencetak generasi penerus politikus yang akan memikirkan bangsa dengan politikus yang intelek. Indonesia memerlukan pemimpin yang bisa memadukan antara intelektual dan politik, sehingga dapat bangkit kembali dari penjajahan dan keterpurukan. (*) Aji Setiawan, mantan wartawan majalah alKisah, tinggal di Purbalingga Jawa Tengah 2] Menguatnya Politik Identitas Menjelang Pemilu NUSANTARANEWS.CO – Politik identitas berpusat pada politisasi identitas bersama atau perasaan ‘kekitaan'yang jadii basis utama perekat kolektivitas kelompok. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa ‘sama’, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya. Penguatan politik identitas sangat kentara sekali menjelang Pemilu 2019 belakangan ini. Puritanisme atau ajaran kemurnian atau ortodoksi juga berandil besar dalam memproduksi dan mendistribusikan ide ‘kebaikan’ terhadap anggota secara satu sisi, sambil di sisi lain menutup nalar perlawanan atau kritis anggota kelompok identitas tertentu. Politik identitas, menurut Abdillah (2002) merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa. Politik identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas; secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas. Fitur dikotomi oposisional menjadi fondasi utama yang membedakan perasaan kolektivitas ke-kita-an terhadap yang lain. Tetapi kenyataannya, pada tataran individual di era modernisasi yang serba mekanik, muncul ‘kegagapan’ untuk memahami struktur masyakarat yang plural, maka intoleransi semakin meningkat. Pendeknya, terjadi ketidaksesuaian social imagination atau imajinasi sosial tentang kehidupan sehari-hari manusia modern dan interaksinya dengan masyarakat umum. Munculnya penguatan politik identitas karena, pertama, adanya kesenjangan ekonomi. Suatu daerah dengan angka kesenjangan ekonomi tinggi cenderung membuat politik identitas berkembang contohnya di Jakarta.Catatannya Bawaslu, daerah yang rawan adalah daerah yang punya kesenjangan ekonomi. Faktor kedua, rendahnya literasi baik politik dan komunikasi. Soal literasi politik, banyak partai politik yang tidak bisa mengelola konflik dengan baik. Sementara kecerdasan masyarakat cenderung lemah menyikapi masalah tersebut. Kemudian, soal rendahnya literasi komunikasi dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat dalam membedakan opini yang berisi ujaran kebencian dengan fakta yang beredar di ruang publik. Kita paham bahwa salah satu instrumen yang digunakan untuk menyebarkan politik kebencian adalah Medsos. Tanpa literasi komunikasi orang gagal membandingkan opini dan fakta. Faktor ketiga yakni buruknya kelembagaan politik. Kondisi ini terjadi karena partai-partai cenderung memusatkan kekuasaan di tangan elite. Partai dianggap sering kali gagal mengelola konflik yang berimbas ke level masyarakat. Hampir selalu gagal mengelola konflik. Konflik-konflik internal di parpol membawa konsekuensi kalau tidak partainya pecah, kemungkinan kedua adalah konflik akan masuk ke penagdilan dan berlarut-larut. Politik identitas juga tumbuh subur karena polarisasi politik. Model politik identitas mulai mencul di tahun 2016. Efek dari model politik ini punya efek sangat kuat dan menimbulkan pembelahan di masyarakat.Dengan polarisasi yang tegas maka sangat mudah bagi elite politik untuk memicu konflik yang menyebabkan pembelahan. Terakhir karena lemahnya kewenangan Presiden Joko Widodo terhadap dua institusi TNI-Polri. Padahal, isu SARA disebut bukan isu baru yang bisa ditangani oleh pemerintah pada tahun 2009 dan 2014 lalu. Lemahnya grip atau cengkraman kekuasannya Jokowi pada hampir semua level. Salah satu yang paling repot adalah karena grip kekuasaan Jokowi pada 2016, 2017 tidak cukup kuat di TNI-Polri. Jika kita mau, tahun 2019 bisa saja kita sebut tahun politik identitas, karena di tahun inilah kita begitu mudah menemukan isu identitas menggelinding bebas. Pada kasus-kasus tertentu, politisasi identitas bukan saja telah berhasil membuktikan keampuhannya secara telanjang di hadapan kita, tetapi juga telah menghadirkan kenyataan-kenyataan baru yang begitu dahsyat, melebihi era-era sebelumnya. Berkenaan dengan kenyaataan ini, tentu masih segar dalam ingatan kita, bagaimana kekuatan isu identitas terbukti ampuh memukul jatuh seorang gubernur petahana yang pada waktu itu memiliki tingkat elektabilitas luar biasa, bahkan dengan angka kepuasan publik mencapai lebih 70 persen. Bercermin dari peristiwa ini, dalam alam politik yang serba cair —untuk tidak memgatakan pragmatis— sangat mungkin akan muncul rentetan-rentetan peristiwa serupa pada tahun-tahun selanjutnya. Faktanya, menjelang akhir 2017, secara kasat mata dapat kita saksikan isu-isu identitas kian ramai menyeruak. Berbagai pihak, khususnya kalangan elite politik tertentu, kian matang dan piawai memanfaatkan situasi. Sentimen-sentimen atas nama identitas menyebar luas ke ruang publik. Ironisnya, masyarakat sebagai subjek politik acap menerimanya dengan sukarela. Bahkan beberapa kelompok menyambutnya dengan gelora heroisme diri, yang kemudian memolesnya dengan terma-terma pembelaan terhadap keyakinan, kebangkitan kaum pribumi, perlawanan atas penjajahan ekonomi kelompok “asing”. Menggaet Agama Sebuah penelitian menyebutkan, sembilan dari sepuluh orang Islam dan Kristen, delapan dari sepuluh orang Konghucu dan Budha, serta lima dari sepuluh orang Hindu menilai agama sebagai bagian dalam aktivitas keseharian mereka (A’la, 2014). Fakta ini membuktikan betapa sulit memisahkan agama dari aktivitas keseharian masyarakat. Termasuk di dalamnya menyangkut urusan politik. Dalam realitas politik Indonesia, kenyataan ini menjadi angin segar bagi para politisi. Hal ini didukung oleh sejarah perjalanan politik Indonesia, di mana kebanyakan politisi dari lintas ideologi seringkali mendudukkan agama sebagai strategi polical marketing. Pertanyaan besarnya kemudian, dengan tingkat rasionalitas dan kesadaran politik masyarakat yang semakin tinggi, apakah unsur emosional keagamaan akan tetap menemukan tajinya dalam perhelatan kontestasi politik yang akan datang, minimal di tahun politik 2019 ini? Jika mengikuti situasi politik saat ini, ada kecenderungan aspek emosional (agama) masih akan memengaruhi jalannya sirkulasi politik ke depan. Bahkan, bukan suatu yang mustahil jika nantinya akan banyak partai politik memanfaatkan (simbol) agama. Itulah sebabnya, meski selama ini akrobat politik SARA beroperasi dalam ruang terbuka, namun modus operandinya lebih dominan pada domain-domain keagamaan. Di sini, mereka tahu dan paham betul, agama sebagai narasi agung dapat memproduksi dan mereproduksi kekuasaan yang dahsyat untuk bisa menghasilkan ketaatan dari para pemeluknya (Michel Foucault, 1975). Oleh karenanya, adalah sebuah kecerobohan jika saat ini kita menaruh kepercayaan, bahwa dalam perhelatan pesta demokrasi ke depan kontestasi politik kita akan steril dari isu-isu sensitif. Yang kita rasakan saat ini, iklim demokrasi mengalami gelombang pasang, baik di level daerah maupun nasional. Kondisi ini, sesungguhnya berkelindan kuat dengan maraknya penggunaan simbol-simbol identitas, utamanya yang berkaitan dengan dimensi agama. Pada batasan-batasan tertentu, menggaet agama dalam dunia politik sesungguhnya sah-sah saja. Dengan catatan, kehadiran agama murni ditujukan untuk membumikan nilai ajaran agama itu sendiri. Sebaliknya, akan menjadi naïf jika agama sekadar menjadi formalitas untuk kepentingan syahwat politik. Karena yang demikian hanya akan menghadirkan kekacauan, dan pemberangusan hak asasi kelompok masyarakat tertentu. Politik identitas seharusnya dapat hilang karena pemilu merupakan kontes kompetensi, bukan membedakan suku, partai, serta pihak sana dan sini. Karena itu kepada para pejabat di daerah yang punya kewenangan dan tanggung jawab harus bersama-sama dan kompak. Itu kuncinya. Kalau pimpinan daerah bersatu padu, maka daerah aman, membuat Indonesia aman, damai dan sejahtera. (***) 3] Dunia Pers Di Tengah Pandemi Jurnalisme itu hidup ditentukan khalayak. Rumus ini terpatri kuat oleh Goenawan Muhammad sang pendiri Majalah Tempo. PT Tempo, selain menggarap majalah, koran juga online, komunitas Utan Kayu,JIL, Obat-obatan,KBR 68H. Saya kira Tempo adalah rujukan garda terdepan jurnalisme bermutu yang paling unggul saat ini karena akurat, tajam dan banyak membela kepentingan khalayak.Selain Tempo , raksasa media lainnya adalah Kompas dan Jawa Pos.Media cetak memang lain, di banding media online, media daring, media elektronik (televisi dan radio) apalagi setelah WiFi masuk ke desa-desa, khalayak mempunyai ruang pilihan yang sangat beragam. Tentu berbeda saat Orde Baru berkuasa di mana narasi pemerintah adalah sama idemnya dengan narasi media. Seragamisasi wacana itu diproduksi oleh Orba melalui Menteri Penerangan. Media yang berlawanan dengan pemerintah, pasti disikat(diberangus-breidel-red)SIUPP pasti dicabut, wartawannya di bui dengan berbagai alasan menentang pemerintah. Media-media yang masih bertahan hari ini adalah media yang sudah pasti kaya modal, idiologi medianya jelas, iklan banyak, oplah tinggi, kesejahteraan jurnalis terjamin, uang lembur dan transpot di luar gaji pokok, pekerja pers dapat saham dan dapat asuransi JAMSOSTEK.Kondisi mainstream lembaga pers semacam itu hanya dimiliki oleh tokoh-tokoh pers yang punya idiologi, integritas dan berpihak serta mencintai kebenaran dan kejujuran. Bila menengok sejarah penerbitan Pers Kebangsaan, kiranya para sejarawan Pers Indonesia bisa membaca kembali kehadiran Tirto Adhi Soerjo dengan “Medan Prijaji” adalah permulaan pertambia menjadikan pers sebagai alat pergerakan. Surat Kabar “Medan Prijaji” yang terbit pertama kali pada pada hari Jum’at, 1 Januari 1907 mempunyai jargon kebangsaan ini kemudian berfungsi sebagai pers, baik tugasnya sebagai jurnalistik yang memberi kabar, sekaligus mengadvokasi publik dari kesewenang-wenangan kekuasaan maupun kemauan untuk membangun perusahaan pers yang mandiri dan otonom.Dalam sejarah mencapai Indonesia merdeka, wartawan Indonesia tercatat sebagai patriot bangsa bersama para perintis pergerakan di berbagai pelosok tanah air. Di masa pergerakan, wartawan bahkan menyandang dua peran sekaligus. Wartawan berperan sebagai aktivis pers yang melaksanakan tugas-tugas pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional. Selain itu wartawan juga berperan sebagai aktivis politik yang melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan membangun perlawanan rakyat terhadap penjajahan. Kedua peran tersebut mempunyai tujuan tunggal, yaitu mewujudkan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wartawan Indonesia masih melakukan peran ganda sebagai aktivis pers dan aktivis politik. Dalam Indonesia merdeka, kedudukan dan peranan wartawan khususnya, pers pada umumnya, mempunyai arti strategi sendiri dalam upaya untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Setelah mengetahui sejarah awal pers di Indonesia, kita dapat melihat bahwa pers di Indonesia memiliki arti yang sangat penting. Pers Indonesia turut memberikan kesaksian, mencatat dan sekaligus menjadi pendorong perjuangan bangsa untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Saat ini diharapkan pers Indonesia dapat memberikan kontribusi positif untuk mengembangkan Indonesia ke arah yang lebih baik. Reformasi telah bergulir, kebebasan pers saat ini bisa dinikmati oleh siapa saja dan berdampak besar bagi kemajuan hak berdemokrasi dan penegakan HAM. Episode Lengsernya Soeharto dan berlanjut dengan Pemerintahan Reformasi secara berturut-turut Habibie, Gus Dur, Mega ternyata membawa dampak luarbiasa dalam perkembangan pers nasional. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia langsung masuk ke dalam barisan tiga negara yang dikategorikan memiliki kebebasan Pers, sesudah Filiphina dan Thailand. Beberapa organisasi pers, semacam AJI malah membentuk South East Asia Press Alliance (SEAPA), yang bertugas mengekspor kebebasan pers ke negara-negara tetangga. Indikasi pers bebas di Indonesia kini memang tidak ada yang menyangkal. Media Massa, baik cetak maupun elektronik, sekarang nyaris tidak punya hambatan lagi dalam meliput dan menyiarkan berita. Semua tampil berani. Hampir tidak ada lagi tabu-tabu politik yang semasa Orba berkuasa begitu membelenggu ruang gerak pers. Apapun bisa ditulis: Keluarga Cendana, Cikeas, Century, Wisma Atlet, Proyek Hambalang sampai masalah HAM dan SARA. Semua bisa ditulis dan disebarkan. Begitupula dalam organisasi wartawan, semua bebas membentuk organisasi. Tapi di balik cerita manis prosesi demokrasi dengan adanya kebebasan pers sendiri masih tersisa wajah buruk pers. Kekerasan demi kekerasan terhadap wartawan terus terjadi. Simak saja laporan Tahunan AJI (Aliansi Jurnalis Independen).Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ada 84 kasus kekerasan yang menimpa wartawan di berbagai daerah sejak 1 Januari hingga 25 Desember 2020. Tapi dari sekian kasus yang menimpa wartawan itu, barangkali sampai sekarang yang tidak ada yang mampu menandingi tragisnya kematian Fuad Muhammad Safrudin, akrab dipanggil Udin, yang bekerja sebagai wartawan Bernas. Sejak penganiayaan yang terjadi pada 13 Agustus 1996 yang berbuntut tewasnya Udin, kasus tersebut selama 25 tahun belum terungkap jelas. Pandemi Covid-19 membuat kerja jurnalis ikut terdampak. Misalnya semenjak ada Covid-19 dan diberlakukan Physical Distancing dan Work from Home (WFH) membuat para jurnalis harus melakukan orientasi pemanfaatan digital, yang biasanya mereka harus bekerja di lapangan namun kini mereka harus kerja dari rumah. Bekerja dari rumah membuat para jurnalis mau tidak mau merasakan kesulitan. Misalnya saja dalam hal mengakses internet. Di beberapa kota, internet di kota seperti Bogor, Depok dan Bekasi saja terkadang masih sulit diakses. Bahkan karena dampak Pandemi, saat ini warung internet sudah banyak ditutup, berganti usaha yang lain. Efeknya apa, misalnya ketika wawancara berlangsung melalui telepon atau video call tiba-tiba internet terputus, kan jadi susah. Atau ketika lagi liputan virtual, jaringan lambat pasti Jurnalis juga merasa kesusahan. Bagaimana lagi dengan teman-teman jurnalis yang berada di Papua pasti lebih susah lagi.Oleh karena itu jurnalis didorong untuk kreatif semaksimal mungkin agar keakuratan dan kualitas informasi masih bisa tetap terjaga. Biasanya metode jurnalis yang paling jitu dilakukan untuk menjaga keakuratan dan kualitas informasi didapatkan melalui metode wawancara secara langsung. Namun dikarenakan pandemi, tidak memungkinkan untuk mereka melakukan wawancara secara langsung kecuali hanya menggunakan metode wawancara melalui telepon dan melalui jaringan media sosial seperti f*******:, Twitter, instalgram dll. Sekalipun ada relaksasi di beberapa wilayah, tetap harus mematuhi protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) agar tidak ada kontak langsung antar objek liputan di mana pun. Berkurangnya akses aktivitas di lingkungan kerja, mestinya disikapi dengan mengerahkan segala daya dan upaya melalui perangkat teknologi yang ada untuk menghasilkan laporan jurnalistik yang baik dan bermutu. Memang bila dilihat dari persaingan media, siapakah yang akan sanggup bertahan di kondisi pandemi sekarang ini? Evolusi persaingan media sekarang tengah terjadi di tengah industrialisasi media yang tengah sekarat selama masa Pandemi Covid-19 setahun terakhir ini . Pandemi ini belum berakhir, seorang jurnalis bisa menulis apa saja secara kreatif, naratif mulai kolom, opini, artikel, resensi, investigasi dll. Manfaatkan waktu sebaik mungkin untuk menulis dan berkarya.(***) 4] Tantamfan Dunia Pers Pasca Pandemi Covid 19 Oleh: Aji Setiawan (Mantan Ketua PWI-Reformasi Korda Dista Yogyakarta) Menjelang masa berakhirnya Pandemi Covid-19 (new normal) perlu diungkapkan kondisi kebebasan pers di Indonesia pada tahun 2020 dan sekaligus memasuki masa tahapan pendataan pemilih Pilkada 2020. Ada tiga hal yang membuat kebebasan pers di Indonesia tidak tumbuh. Pertama adalah sistem yang korup yang membuat lembaga negara tak berfungsi dengan baik Kalau sistemnya korup di mana negara tidak akan menoleh kepentingan secara interest, kepentingan sesaat, tidak akan mungkin ada kebebasan pers. Dalam situasi seperti itu jangan diharapkan akan ada lahir regulasi-regulasi yang akan melindungi kebebasan pers. Kita lihat konteks sekarang bagaimana sikap DPR dan pemerintah ngotot merevisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang isinya kita anggap mempertahankan pasal-pasal lama yang bisa memenjarakan wartawan. Kedua, kemiskinan yang menjerat kalangan wartawan. Kebebasan pers di Indonesia, sulit tumbuh jika kesejahteraan wartawan memprihatinkan. Bahkan sampai jelang dinihari tadi saya berdiskusi dengan banyak media online,tentang kesulitan meraih ceruk iklan dan pasar media di saat Pandemi. Mau tidak mau, media online, terbit gratis dan tidak bisa bekerja sama dengan partai politik untuk memuluskan kandidat calon bupati dalam Pilkada. Ingat , tugas jurnalis adalah berdasar fakta bukan uang yang bicara dan kuasa. Jika gaji wartawan tidak cukup. Dia tidak akan punya waktu yang cukup banyak berkonsentrasi menghasilkan karya jurnalistik yang baik. Konsentrasinya akan terpecah dengan membuat berita yang bagus dengan makanan bagus di atas meja dengan ada uang untuk membayar sekolah anak-anaknya. Jadi dengan situasi seperti itu, kemiskinan akan berpengaruh terhadap kebebasan pers.Karena itu mengapa kesejahteraan adalah tema yang penting kalau kita berbicara kebebasan pers. Hal terakhir yang memengaruhi kebebasan pers di Indonesia adalah iklim ketakutan. Wartawan sering menghadapi ancaman, dan itu tidak hanya berwujud ancaman fisik Dalam kasus di Indonesia yang kami lihat berdasarkan monitoring, dunia pers saat ini malah berada dalam ancaman dari berbagai sisi, dari regulasi wartawan berhadapan dengan KUHP dan UU ITE. Dua pasal yang banyak dikritik karena dengan sangat mudah memenjarakan wartawan. Kekerasan terhadap wartawan diperparah oleh tradisi impunitas di Indonesia sehingga pelakunya tidak diadili dengan semestinya. Jangankan wartawan dipukul. Wartawan mati saja dalam kasus Udin sampai sekarang tidak ketahuan siapa pelakunya. Itu tradisi impunitas yang membuat bagaimana kebebasan pers mau hidup dalam situasi tersebut. Itu beberapa kondisi yang membuat kebebasan pers di Indonesia ini benar-benar dalam tantangan. Kasus kekerasan menjadi perhatian besar dunia pers lndonesia. Perlu diungkapkan, pelaku kekerasan terhadap wartawan sepanjang tahun 2019 umumnya polisi. Fakta itu tergambar dalam aksi demonstrasi Mei 2019 yang menolak hasil pemilihan presiden, serta demo menolak RKUHP dan revisi Undang-Undang KPK. Sebagian besar ya motifnya polisi marah karena wartawan merekam polisi melakukan kekerasan. Padahal itu bagian kontrol sosial yang dilakukan oleh pers karena melakukan kekerasan bukan hanya kepada wartawan dan warga sipil. Itu kenapa kami tidak terlalu heran ketika kasus kekerasan itu banyak yang tidak diproses karena tradisi impunitas di kalangan penegak hukum Indonesia. Menanggapi laporan lembaga pemantau Reporters Without Borders (RSF) yang menunjukkan indeks kebebasan pers Indonesia naik ke peringkat 119 pada 2020 dari posisi 124 pada tahun sebelumnya, perubahan itu mencerminkan kemajuan kebebasan pers di Indonesia. Cerminan kemajuan kebebasan pers belum tentu, kalau melihat apa yang terjadi selama 2019 situasi di dalam negeri tidak membaik. Kalau indeks Indonesia tahun ini naik mungkin bukan karena kita membaik di dalam negeri tapi situasi di luar negeri yang lebih buruk. Dengan demikian secara keseluruhan kemerdekaan pers di Indonesia sudah mulai membaik. Hanya saja, masih ada beberapa faktor yang menghambat kemajuannya. Kemudian kesejahteraan juga masih menjadi persoalan, dan pendidikan. Tapi kami juga temukan dibeberapa wilayah seperti di Papua dari 34 provinsi masih terbawah, ini beberapa persoalan yang dihadapi. Maka dalam indeks pers itu bisa ditemui apa yang sebenarnya menjadi persoalan pers di Indonesia dan apa yang harus diperbaiki. Padahal, kebebasan pers penting sebagai pemandu bagi publik, alarm bagi publik dan pemerintah, dan seruan atau ‘gonggongan’ ke penguasa. Jika merujuk pandemi yang tengah terjadi. Peran itu sudah dilakukan ketika pers menuliskan soal Corona di Wuhan akhir Januari hingga Februari. Sebenarnya itu sinyal awal yang seharusnya jadi kesadaran pemerintah untuk awas secara diri. Dan kita tahu pemerintah baru bersikap serius di pertengahan Maret. Sekarang kita sudah masuk akhir Juli, melokalisir Convid yang gagal, dan di berbagai tempat manapun , grafik penyebarannya cenderung semakin meningkat. Di sisi lain, pers juga jadi penyangga penting ketika trias politica tidak berjalan. Misalnya saat ini, DPR yang memiliki fungsi pengawasan justru terlihat akrab dengan pemerintah. Di sinilah peran dari pers yang disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi “Menjaga independensi dari kekuasaan itu sangat penting, karena begitu dia tidak independen, dia akan berhenti menggonggong. Entah karena dia diberi iklan. Entah karena pengelolanya dekat dengan penguasa. Itu beberapa faktor yang menyebabkan media tidak lagi menggonggong. Itu yang kita sesalkan,” katanya. Dijaga Kode Etik Kerja jurnalistik tak hanya soal kebebasan pers. Tidak sedikit media yang akhirnya dilaporkan karena pelanggaran etik. Hingga April 2020, setidaknya 113 kasus masuk ke Dewan Pers. Di tahun sebelumnya, ada 626 kasus. Jenis pelanggarannya terdiri dari laporan pencemaran nama baik, pemberitaan sepihak, penyebaran informasi yang sifatnya obrolan privat, pencampuran fakta dan opini, judul yang menghakimi, narasi pembunuhan karakter, penyiaran identitas pelaku kejahatan di bawah umur, pemerasan hingga pembunuhan karakter. Sampai saat ini, Dewan Pers memperkirakan ada 47.000 media massa dengan 43.300 di antaranya merupakan media online. Dari jumlah itu, baru 15.000 wartawan yang terdaftar lewat uji kompetensi. Dalam hal ini, kebebasan pers dan kerja jurnalistik berlandaskan kode etik merupakan dua sisi yang tak bisa dipisahkan. Hanya dengan integritas, kemandirian dan profesionalitas pers bisa menegaskan independensinya untuk menjalankan tugas mulia yakni menyuarakan kebenaran.(***) 5] Persaingan Media Massa Pada Era Digital Kini Kian Sengit Oleh : Aji Setiawan,ST OPINI | MEDIA-DPR.COM, Koran, Majalah , Tabloid Media cetak, elektronik, dan online saat era digitsl sekarang ini saling menampilkan informasi teraktual dan mendalam untuk menarik perhatian publik. Oleh sebab itu, muncul anggapan persaingan itu akan mematikan media cetak karena gencarnya pemberitaan media online dan elektronik. Salah satu kasus terkini adalah diutupnya koran Tempo Interakif (Koran Tempo Edisi Cetak) pada Februari 2021. Namun, anggapan ini pernah dibantah Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Arif Budi Susilo. Menurut Arif, media cetak, yakni koran/surat kabar akan terus hidup. Bahkan, antara media cetak dan online justru akan saling bersinergi untuk menyampaikan informasi yang beragam dan kaya. Media cetak dan online akan saling bersinergi dan tak akan mematikan karena keduanya memiliki konsep pemberitaan yang berbeda. Media online menyampaikan berita secara cepat dan singkat. Sedangkan, koran atau surat kabar menyampaikan berita yang lebih kontekstual untuk pembacanya. Contohnya ketika terjadi sebuah peristiwa, media cetak akan mencoba menyampaikan secara perinci, mulai dari awal kejadian, penyebab, hingga langkah-langkah yang dilakukan untuk mengatasi peristiwa itu. Dengan demikian ketika mendapatkan informasi sebuah peristiwa melalui media online, untuk info yang lebih mendalam, orang tetap membaca koran. Media cetak semestinya selalu optimistis, koran atau media cetak tetap sangat dibutuhkan pembaca dan tak akan pernah hilang oleh zaman. Apalagi, bila media cetak itu mempunyai segmentasi khusus. Karenanya media cetak sebaiknya menyasar kalangan pembisnis atau sektor roda ekonomi masyarakat. Dengan segmentasi seperti itu, media cetak tersebut akan terus dinantikan masyarakat karena mereka akan mendapatkan wawasan yang lebih luas dan mendalam tentang sebuah peristiwa kehidupan, memetakan problema masalah dan menemukan solusi serta jawaban. Untuk menghadapi ketatnya persaingan media, media cetak dan online harus saling bersinergi. Pada era milenial , paling tidak media saat ini, , perusahaan penerbit surat kabar tak bisa hanya mengandalkan satu media. Misal, hanya koran atau sebatas pada media online. Kaarena ketatnya persaongan baik harus tampil di media cetak dan media online, harus kedua-duanya. Boleh juga menggabungkannya dengan elektronik. Berita online akan menyampaikan informasi yang bersifat breaking news dan untuk finishing akan disampaikan melalui media cetak. Tantangan lain media cetak dan online adalah lonjakan jumlah unit bisnis media, terutama media online dan TV lokal. Soal media cetak mestinya tetap optimistis flatform media konvensional tersebut memiliki masa depan yang baik. Sampai sekarang, peran media cetak belum tergantikan. Kedalaman dan ketajaman muatan pemberitaan media cetak tidak bisa tergantikan oleh media online. Pasca tumbangnya pemerintahan Orde Baru, tantangan pers saat ini bukan lagi menghadapi rezim pemerintah, melainkan kepentingan dari pebisnis dan politikus. Kesuksesan pers kerap diboncengi oleh para politikus dan pengusaha. Pers terancam kehilangan independensinya dan dipaksa menjadi partisan. Tapi media cetak jangan antipati politic, karena politik adalah salah satu entitas sekaligus anggota komunitas dari media. Persoalannya paling aktual media saat ini masih rendahnya tingkat kesejahteraan pekerja media (wartawan) yang berbanding terbalik dengan euforia bisnis media di Tanah Air. Industri media semakin ramai, kantor-kantor berita berdiri megah, tapi sayang, kehidupan para wartawannya menyedihkan. Tentu sangat tidak manusiawi dan tidak habis pikir ketika mendapati ada wartawan yang digaji kurang dari Rp 500 ribu per bulan, terutama mereka yang berada di daerah. Karena itu, muncul wartawan-wartawan 'amplop' yang suka memeras dan bekerja hanya demi uang. Transisi pemerintahan menuju pada tahun 2024, mendekati masa transisi pemerintahan di Indonesia, peran pers sangat dibutuhkan. Terutama, untuk menciptakan kebebasan masyarakat yang teratur. Dengan pers berkualitas, masyarakat mendapatkan mutu pemberitaan yang terjamin. Karena itu, pers harus terus didukung untuk meningkatkan profesionalisme. Dengan semakin berkualitasnya pers, upaya membangun demokrasi yang berkeadilan sosial dalam suasana yang aman, tertib, dan damai bisa lebih mudah terlaksana. Pers adalah salah satu pilar penting dalam tegaknya demokrasi di negara kita. Apa yang diperjuangkan oleh pers sama dengan prinsip negara, yakni demokrasi, rule of law, dan social welfare. Kemerdekaan berekspresi yang juga berarti kebebasan pers, lanjutnya, merupakan komitmen pertama yang ada di dalam UUD 1945, bahkan menjadi kalimat pertama dalam Pembukaan. Bertolak dari UUD tersebut, pers mempunyai peran kebangsaan yang tidaklah kecil. Untuk mencerdaskan bangsa, seperti yang diamanatkan oleh konstitusi, Pers perlu didukung penuh perjuangan pers untuk menciptakan pers yang bebas, profesional, dan sejahtera. Bukan zamannya lagi pers diintervensi oleh kepentingan penguasa atau pemilik modal. Pers berjuang untuk kecerdasan dan kemandirian masyarakat. Pers mampu melahirkan pemimpin bangsa yang hebat. Pers memiliki peran strategis melalui karya-karyanya dalam mendorong lahirnya pemimpin yang sering berjibaku dengan problem-problem masyarakat serta memberikan solusi. Fungsi pers sebagai sarana informasi, sosial kontrol, hiburan, dan edukasi sangat mutlak. insan pers konsisten menjalankan fungsinya dengan objektif, hal itu menjadi jaminan untuk melahirkan pemimpin bangsa yang bervisi masa depan. Pers sehat adalah pers yang dalam menjalankan profesinya menjunjung tinggi idealisme. Juga, pers sehat ditandai dengan industrinya yang sehat dan motivasi yang sehat pula. Setiap elemen bangsa berharap kelahiran perusahaan media massa membawa semangat mengungkap kebenaran. Tak lupa pula soal kesejahteraan insan pers.(***) Aji Setiawan,ST mantan wartawan Jogja Pos dan majalah alKisah. (***) 6] 14 Agustus 2019 16:14 OlehRedaksi Mewujudkan Pemerintah Yang Bersih dan Berwibawa Pemerintahan yang bersih merupakan tujuan dan harapan yang selalu diinginkan masyarakat di dunia. Pemerintahan yang bersih dan berwibawa, yaitu pemerintahan yang selalu memberlakukan dan menjunjung nilai-nilai demokratis serta bebas dari praktik KKN. Secara sederhana, Pemerintahan yang bersih dapat dijelaskan sebagai kondisi pemerintahan yang para pelaku yang terlibat di dalamnya menjaga diri dari perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Korupsi adalah perbuatan pejabat pemerintah yang menggunakan uang pemerintah dengan cara-cara yang tidak legal. Kolusi adalah bentuk kerjasama antara pejabat pemerintah dengan oknum lain secara ilegal pula (melanggar hukum) untuk mendapatkan keuntungan material bagi mereka. Nepotisme adalah pemanfaatan jabatan untuk memberi pekerjaan, kesempatan, atau penghasilan, bagi keluarga ataupun kerabat dekat, sehingga menutup kesempatan bagi orang lain. Pemerintahan yang penuh dengan gejala KKN biasanya tergolong ke dalam pemerintahan yang tidak bersih, dan demikian pula sebaliknya. Konsep pemerintahan yang bersih dan berwibawa identik dengan konsep Good Governance (pemerintahan yang baik). Untuk menegakkan pemerintah yang bersih dan berwibawa di perlukan berbagai kondisi dan mekanisme hubungan yang berpotensi menopang pertumbuhan moralitas politik. Berikut ini akan kami paparkan beberapa kondisi dan mekanisme hubungan pemerintah yang berupa bentuk-bentuk pemerintahan dan sistem-sistem pemerintahan. Istilah pemerintahan dalam arti organ dapat pula dibedakan antara pemerintah dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti sempit.entuk pemerintahan yang terkenal yaitu Kerajaan (monarki) dan Republik.Negara Kerajaan atau (monarki) adalah suatu Negara yang dikepalai oleh seorang raja, sultan atau kaisar (bila kepala Negaranya laki-laki) dan matahari atau ratu (bila kepala negaranya perempuan). Kepala Negara diangkat (dinobatkan) secara turun-temurun dengan memilih putra/putri (atau sesuai dengan budaya setempat) dan menjabat untuk seumur hidup. Republik berasal dari bahasa latin res republica yang arinya kepentingan umum. Sedangkan menurut istilah Negara dengan pemerintahan rakyat yang di kepalai oleh seorang presiden sebagai kepala Negara yang dipilih sendiri dan oleh rakyat untuk suatu masa jabatan tertentu. Biasanya presiden dapat dipilih kembali setelah habis masa jabatannya. Ada beberapa sistem yang dikembangkan dalam mengelola mekanisme pemerintahan. Pengelompokan sistem pemerintahan ini tidak lain untuk lebih jauh melihat perbedaan dan kesamaan untuk berbagai sistem pemerintahan, dengan mengetahui tolak ukur pertanggung jawaban pemerintah suatu Negara terhadap rakyat yang diurusinya. Ada dua sistem pemerinathan yang terkenal di dunia yakni parlementer dan prersidensial. Sistem pemerintahan dengan bentuk kabinet parlementer, yaitu kabinet yang menteri-menterinya bertanggung kepada parlemen. Hal ini karena parlemen yang memilih menteri-menteri yang tepat begitu juga perdana menterinya sendiri. Anggota parlemen dapat mejatuhkan setiap kesalahan masing-masing menteri. Dalam sistem pemerintahan presidensil ini, Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggara kekuasaan eksekutif Negara yang tertinggi di bawah Undang-undang Dasar. Dalam sistem ini tidak dikenal dan tidak perlu dibedakan adanya kepala Negara dan kepala pemerintahan. Keduanya adalah Presiden dan Wakil presiden. Dalam menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggung jawab politik berada di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the president). Presiden dan Wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung, dan karena itu secara politik tidak bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat atau lembaga parlemen, melainkan bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilihnya. Para Menteri adalah pembantu Presiden dan Wakil Presiden. Menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, dan karena itu bertanggung jawab kepada presiden, bukan dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Kedudukannya tidak tergantung kepada parlemen. Akan tetapi, karena pentingnya kedudukan para mentri itu, kewenangan presiden untuk mengangkat dan memperhentikan mentri tidak boleh bersifat mutlak, tanpa kontrol parlemen. Para mentri adalah pemimpin pemerintahan dalam bidangnya masing-masing. Merekalah yang sesungguhnya merupakan pemimpin pemerintahan sehari-hari. Oleh karena itu, para mentri hendaklah bekerjasama yang seerat-eratnya dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bahkan, susunan kabinet dan jumlah mentri yang akan diangkat, karena berkaitan dengan anggaran pendapatan dan belanja Negara, ditetapkan oleh presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, Presiden tidak dapat mengangkat dan memperhentikan para menteri dengan seenaknya. Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam sistem presidensil sangat kuat sesuai dengan kebutuhan untuk menjamin stabilitas pemerintahan, ditentukan pula bahwa masa jabatan presiden Lima tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan. Di samping itu, beberapa badan atau lembaga Negara dalam lingkungan cabang kekuasaan eksekutif ditentukan pula independesinya dalam menjalankan tugas utamanya. Lembaga-lembaga eksekutif yang dimaksudkan adalah bank Indonesia sebagi bank sentral, kepolisian Negara dan kejaksaan agung sebagai aparatur penegak hukum, dan tentara nasional Indonesia sebagai aparatur pertahanan Negara. Pengertian governance dalam hal ini adalah proses pengaturan, pembinaan dan pengendalian kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Secara bebas good governance dapat diterjemahkan menjadi pemerintahan yang bersih dan berwibawa atau pemerintahan yang amanah. Secara umum governance mengandung unsur-unsur utama yang terdiri dari: (1) akuntability, (2) transparansi, (3) openness, (4) rule of law (Bhatta: 1996) dalam (Karhi: 1997). Akuntabilitas adalah kewajiban bagi aparatur pemerintahan untuk bertindak selaku penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijaksanaan yang ditetapkannya. Unsur ini merupakan inti dari pemerintahan yang baik (good governance) Akuntabilitas aparatur pemerintah terdiri dari tiga jenis yaitu akuntabilitas politik, akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas hukum (Brautigam, 1991). Sedangkan menurut LAN (1998) akuntabilitas pemerintah di bagi atas Akuntabilitas manajerial, akuntabilitas keuangan, dan akuntabilitas operasional. Akuntabilitas politik berkaitan dengan pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat berkaitan dengan mekanisme sistem pemilu dan mekanisme ceck and blances kekuasaan yang ada pada masyarakat. Akuntabilitas keuangan yaitu kewajiban aparat mempertanggungjawabkan penggunaan keuangan negara kepada rakyat. Sedangkan akuntabilitas hukum berkaitan dengan semua unit-unit pemerintahan dapat bertanggung jawab secara hukum atas segala tindakannya, termasuk organisasi pemerintahan yang pada prakteknya telah merugikan kepentingan rakyat harus mampu mempertanggungjawabkan dan menerima tuntutan hukum atas tindakannya. Transparansi merupakan instrumen penting untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Rakyat harus mengetahui secara terbuka atas segala proses perumusan kebijaksanaan publik dan implementasinya. Dengan demikian segala tindakan dan kebijaksanaan pemerintah harus dilaksanakan secara terbuka dan diketahui umum. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah pula harus terbuka dan memberikan kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan kritikan dan tanggapan terhadap pemerintah yang dinilai tidak transparan. Pemerintah yang baik dan terbuka akan memberikan informasi dan data yang memadai bagi masyarakat sebagai bahan untuk melakukan penilaian atas jalannya pemerintahan. Determinan utama untuk menciptakan pemerintahan yang berwibawa adalah kualitas sumber daya manusia aparatur yang berkualitas. Hal ini penting karena SDM aparatus dapat berfungsi sebagai perencana, implementasi, pengendali dan evaluasi seluruh program-program pembangunan. Oleh karena itu, hal penting yang harus diperhatikan adalah aparatur harus bermoral dan berakhlak yang tinggi yang ditandai oleh kebersihan akidah, kebersihan akhlak, kebersihan tujuan hidup, bersih harta dan bersih pergaulan sosial.Aparatur pemerintah juga harus berpengetahuan dan berkemampuan untuk melaksanakan tugas yang diembannya secara profesional. Aspek kelembagaan pemerintah ke depan akan berubah sesuai dengan perubahan peran pemerintah yaitu dari ”rowing” kearah steering. Oleh karena itu desain kelembagaan pemerintah harus disesuaikan dengan platform more steering the rowing, yaitu organisasi yang bersifat flat, efisien, fleksibel, matrikial, kaya fungsi, miskin struktur dan yang lebih penting lagi adalah organisasi yang dapat menumbuhkan semangat pemberdayaan masyarakat. Perimbangan kekuasaan menandaskan adanya mekanisme check and balances antara beberapa pemegang kekuasaan, baik kekuasaan yang ada di birokrasi maupun kekuasaan yang ada di masyarakat. Faktor kepemimpinan birokrasi terutama mensyaratkan akhlak mulya, bersih dan tidak cacat moral. Hal ini penting dipenuhi karena faktor kepemimpinan sangat menentukan dalam memberikan pelayanan yang adil, transparan, terbuka dan tidak berpihak kepada kepentingan individu atau golongan. Syarat intelektualitas dan wawasan kepemimpinan mengharuskan pemimpin birokrasi memiliki visi yang jauh kedepan, demokratis, responsif, mendahulukan kepentingan umum dan kemampuan menggunakan sumber daya organisasi untuk mecapai tujuan yang diinginkan.(***) 7] Sakhsiyah NU dalam Keagamaan dan Kebangsaan Selasa, 21 Desember 2021 BERITABANGSA.COM – Al Hadrotusyaikh KH Hasyim Asy’ari telah menggariskan Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah mahzab yang dianut NU, ini telah termaktub dalam Qonun Asasi NU. “Cara beragama kami adalah berpegang teguh pada Kitab Tuhan kami Yang Maha Agung, Sunnah Nabi SAW, serta apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi’in dan para imam hadits. Kepada semuanya itu kami bersandar; dengan apa yang diucapkan oleh Abû ’Abd Allâh Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal kami berbicara, dan kami menjauhi orang-orang yang menentangnya. Sesungguhnya dia adalah pemimpin yang mulia yang dengannya Allah membangun kebenaran dan melenyapkan kesesatan…”(Al-Asya’ri, 1401 H/1981 M: 17) Dr. Jalal Muhammad Musa dalam buku Nasy-ah Al-Asy’âriyyah wa Tathawwurihâ mengungkapkan bahwa, istilah Ahlussunnah Waljama’ah mengandung dua pengertian; âm dan khâsh. Makna âm-nya adalah sebagai pembanding kaum Syi’ah. Dalam konteks ini, Muktazilah dan kelompok lainnya masih mengakui keabsahan hadis –terlepas dari bagaimana mereka memposisikannya sebagai sumber ajaran Islam-masuk dalam kategori ini. Sedangkan makna khâsh-nya sebagai sebutan bagi para pengikut Asy’ariah dan Maturidiah dalam pemikiran kalam. (Chatibul Umam, dkk, 1998:9) Dalam konteks ke-NU-an, paham Ahlussunnah Waljama’ah mencakup aspek akidah (teologi), syari’ah, dan akhlak (dibahas secara rinci dalam poin C bab ini). Paham Ahlussunnah Waljama’ah bagi NU, merupakan integralisasi ajaran yang mencakup seluruh aspek-aspek keagamaan yang didasarkan pada manhaj (pola pemikiran) Asy’ariah dan Maturidiah dalam hal akidah, empat imam mazhab besar dalam fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), dan Abul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Al-Ghazali serta para imam lainnya yang sejalan dengan syari’ah Islam dalam hal tasawuf. Hampir satu abad lamanya Nahdlatul Ulama eksis di bumi Indonesia. Faktor utama yang memperkuat basis legitimasi NU di tengah masyarakat adalah komitmennya pada nilai-nilai luhur, konsisten mengusung agenda perubahan dan keberpihakannya terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Agenda-agenda besar NU tentunya menyentuh seluruh level masyarakat sehingga keberadaannya mampu mewakili kepentingan sebagian besar masyarakat Islam Indonesia. Para ulama pesantren pendiri NU mempunyai visi dan misi serta strategi gerakan kultural: menjaga, melestarikan dan mengembangkan Islam Ahlussunnah Waljamaah di tengah-tengah kondisi dan dinamika kehidupan. Prinsip dasar, kaidah, tradisi dan metode keilmuan Islam Ahlussunnah Waljamaah ini telah memperteguh kaum Nahdliyin dalam berpikir, bersikap dan bertindak, baik dalam relasi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia maupun manusia dengan alam semesta. Hubungan tersebut dibangun dalam suatu sistem kehidupan yang menjamin tegaknya moralitas keagamaan dan martabat kemanusiaan serta tegaknya jiwa dan semangat amar ma’ruf nahi munkar. NU berpendirian bahwa Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin, memiliki makna dan fungsi universal, suci, fitri, hanif serta dapat diterima dan diamalkan oleh seluruh umat manusia. Ragam ras, budaya, agama, aliran dan lainnya dipahami Islam sebagai sunnatullah. Pluralitas adalah rahmatullah bahkan amanah ilahiyah dan kemanusiaan yang harus dimaknai dan disikapi dengan saling mengenal, memahami, membuka diri, merangkul dan mendialogkan secara kreatif untuk menjalin kebersamaan dan kerjasama atas dasar saling menghormati. NU berpendirian bahwa realitas kehidupan harus dilihat secara substantif, fungsional, terbuka, dan bersahabat. NU memandang bahwa klaim dan monopoli atas kebenaran merupakan sikap yang tidak etis. Sikap itu merupakan potensi konflik yang dapat memecah belah masyarakat. Karena itu NU berpendirian bahwa setiap orang atau kelompok hendaknya menerima kebenaran dan kebaikan pihak lain yang berbeda dengan tetap mengacu kepada nilai intelektual, moral keagamaan, dan kemanusiaan. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, NU telah bertekad untuk terikat dengan kesepakatan – kesepakatan nasional yang mengatur kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, serta mewujudkannya dalam realitas. Meskipun demikian NU berpandangan bahwa prinsip berbangsa dan bernegara harus tetap menghargai dan menghormati keyakinan dan keberagamaan masyarakat. Kiprah dan dinamika NU adalah keislaman, keindonesiaan, kemanusiaan dan rahmatan lil ‘alamin. Karena itu NU meneguhkan kultur, struktur, sistem dan mekanisme lembaganya sebagai organisasi agama dan sosial yang bercirikan Ahlussunnah Waljamaah. NU bukanlah organisasi politik dan secara organisatoris tidak terikat dengan partai politik dan organisasi kemasyarakatan manapun. NU adalah organisasi sosial keagamaan yang independen dan mempunyai kebebasan dalam menentukan sikap dan langkahnya. NU menjunjung tinggi demokrasi, konstitusi, dan hukum. NU juga menghargai keterbukaan, kooperatif, dialogis dan moderat. Karena itu NU menentang segala bentuk diskriminasi, radikalisme, anarkisme, dan terorisme. Spesifikasi NU yang membedakan dengan organisasi lainnya adalah agenda mengusung Ahlussunnah Waljamaah. Dalam tataran aplikatif, faham Ahlussunnah Waljamaah dijabarkan dalam naskah Khittah NU yang merupakan landasan berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai acuan Ahlussunnah Waljamaah. Dengan sadar mengambil posisi aktif, menyatukan diri di dalam perjuangan nasional bangsa Indonesia. Menjadi warga negara RI yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945. Memegang teguh ukhuwah dan tasamuh. Mendidik untuk menjadi warga negara yang sadar akan hak/kewajibannya. Tidak terikat secara organisatoris dengan organisasi politik atau organisasi kemasyarakatan manapun. Warga NU adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik. Warga NU menggunakan hak politiknya secara bertanggung jawab, menumbuhkan sikap demokratis, konstitusional, taat hukum dan mengembangkan mekanisme musyawarah. Khittah NU merupakan landasan dan patokan – patokan dasar. Dengan seizin Allah keberhasilan perwujudan Khittah ini tergantung kepada kegiatan para pemimpin dan warga NU. Jamiyyah NU akan mencapai cita – citanya dengan melaksanakan Khittah ini. Hal inilah yang menyebabkan NU menjadi representasi umat Islam dunia. NU telah dilihat sebagai warna lain Islam di belahan dunia, di samping Universitas Al-Azhar Mesir, Rabithah Alam Islami, dan Muktamar Alam Islami. Tidak berlebihan jika NU memiliki dinamika dan orientasi yang senantiasa berusaha membangun keteladanan dalam bersikap dan berperilaku, baik di tingkat masyarakat, bangsa, dan negara. *) Aji Setiawan Seorang Mantan Sekretaris PMII Komisariat KH Wachid Hasyim UII Yogyakarta, tinggal di Purbalingga Jawa Tengah. 8] Memperkuat Literasi, Membangun Peradaban Literasi saat ini menjadi soko guru dari peradaban dan juga masa mendatang. Dengan budaya literasi, kita bisa melacak jejak peradaban yang tertulis. Karena itulah, penting meningkatkan budaya literasi di masyarakat. Budaya literasi merupakan jalan menuju peradaban Indonesia yang maju.Kemampuan manusia yang bersosialisasi dengan sesama maupun dengan alam, merupakan hasil aktivitas membaca. Karena itu, budaya membaca atau literasi menjadi penting agar masyarakat Indonesia menjadi generasi cerdas menjawab zaman serta mengedalikan situasi alam lingkungan Bagaimana manusia bisa membangun nilai untuk mengendalikan alam? Ya dengan membaca, dengan bacaan. Kalau tidak nanti manusia yang dikendalikan alam.Secara sederhana literasi yang dalam bahasa Inggrisnya literacy memiliki makna keberaksaraan atau kemampuan membaca dan menulis (the ability to read and write). Literasi berasal dari bahasa Latin, literatus, yang berarti "a learned person" (orang yang belajar). Dalam bahasa Yunani, juga dikenal istilah literra (huruf), sehingga literasi melibatkan kemampuan membaca dan menulis. Dalam perkembangan selanjutnya istilah literasi mengalami perluasan makna, sehingga muncul ragam literasi, seperti literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, dan lain sebagainya. Namun semuanya tidak terlepas dari kemampuan menggali dan mengelola informasi yang sebagian besar melibatkan kemampuan membaca dan menulis. Kemajuan peradaban suatu bangsa sangat terkait dengan kemampuan literasi. Kita mengenal bangsa - bangsa yang memiliki peradaban besar dalam sejarah, seperti Mesopotamia, Mesir Kuno, Yunani, China, dan India. Mereka adalah bangsa-bangsa yang telah memiliki tradisi literasi yang kuat pada zamannya. Budaya literasi yang tinggi membentuk masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Sedangkan pengetahuan adalah kekuatan yang menentukan eksistensi dan kemampuan suatu bangsa dalam persaingan global. Tradisi tulis menulis adalah tradisi intelektual, sebuah pilihan mainstream dari kaum intelektual dari peradaban kaum terpelajar dan terdidik. Literasi dalam konteks kekinian merupakan faktor esensial dalam upaya membangun fondasi yang kokoh bagi terwujudnya masyarakat berpengetahuan dan berkarakter. Tidak hanya membaca, menulis & berhitung, tapi juga bentuk cognitive skills yang tercermin pada kemampuan mengidentifikasi, memahami, dan menginterpretasi informasi yang diperoleh untuk ditransformasikan ke dalam kegiatan-kegiatan produktif yang memberi manfaat sosial, ekonomi, dan kesejahteraan. Makna literasi sudah diperluas, melampaui pengenalan abjad dan angka. Tetapi sudah bisa diperluas menjadi; Kemampuan mengembangkan Iptek untuk kegiatan produktif yang memberi manfaat ekonomi, kemampuan meningkatkan daya saing ekonomi, kemampuan mengatasi persoalan, meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan, serta Kemampuan berpikir logis, kritis dan analitis. Karenanya perluasan paradigma literasi sebagai dasar peradaban akan dimulai.Dalam kontek kekinian, memiliki definisi dan makna yang sangat luas, literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berfikiran kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar. Secara sederhana, budaya literasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan atau kualitas melek huruf atau aksara yang didalamnya berkaitan dengan membaca dan menulis Ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang kokoh dalam membangun tradisi literasi. Tingkat kemajuan suatu masyarakat, daerah atau bangsa itu ternyata dapat diukur dari tradisi literasinya, berapa banyak waktu sehari-harinya yang digunakan untuk membaca dan juga menulis, salah satunya di ungkapkan oleh Daniel Lerner, dalam buku “The Passing of Traditional Society” yang menjelaskan bahwa ada empat unsur pemacu modernisasi yaitu ; Pertama, tingkat melek huruf, Kedua, urbanisasi, Ketiga, partisipasi media dan Keempat, partisipasi politik. Dari keempat unsur diatas, kemampuan membaca suatu masyarakat ternyata menempatkan urutan pertama yang dapat memicu perubahan sosial yang besar. Ini artinya tradisi membaca menjadi sangat penting bila kita mendambakan peradaban yang berkemajuan. Pernyataan bahwa tradisi literas , khususnya membaca ada kaitannya dengan kemajuan peradaban diperkuat juga landasan teologis, kita bisa memahami dari wahyu yang pertama di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu ayat 1-5 surat al-alaq, yang bunyi ayat pertamanya adalah “Iqro” yang artinya Bacalah! Ternyata perintah Allah SWT yang pertama adalah membaca, bukan bekerja atau berdo’a. begitu pula jika kita membaca kisah kisah masa lalu, berkaitan dengan pusaka negeri Amarta ternyata berupa kitab bukan keris, tombak atau pedang. Hal ini setidaknya bertanda bahwa membaca dan menulis (literasi) adalah pekerjaan mulia dan utama. Yang menjadi problem kita adalah, dari berbagai penelitian dan survei menunjukan kemampuan dan kemauan masyarakat Indonesia dalam hal membaca ternyata sangat lemah. Di antaranya kita bisa melihat dari laporan penelitian yang dilakukan oleh Central connecticut State University di New Britain,Conn, Amerika Serikat yang menempatkan Indonesia pada posisi 60 dari 61 negara. Indonesia hanya setingkat lebih tinggi dari Botswana ,sebuah negara miskin di Afrika. ( The Jakarta Post, 12 maret 2016). Juga bisa kita baca dari sensus BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2006,menunjukan 85,9 % masyarakat memilih menonton televisi, 40,3% mendengar radio dan hanya 23,5% membaca surat kabar. Dan akhirnya bila kita menengok sejarah, nengutip Nash Hamid Abu Zaid, peradaban Islam adalah peradaban teks. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kemunduran peradaban kita saat ini sangat dimungkinkan karena telah meninggalkan tradisi membaca dan sekaligus menulis. Tentu ini adalah tantangan tersendiri untuk membangkitkan kembali minat dunia baca dan menulis. Perlu waktu luang untuk membaca, merenung dan menulis yang baik secara disiplin. Menulis adalah kemampuan seseorang yang dilatih secara terus menerus. Tradisi membaca dan menulis adalah tradisi kaum intelegensia yang masih tersisa di akhir-akhir jaman sekarang. Tentu kita bukan sebagian orang apatis, yang menolak sekolah sebagai tempat pendidikan terbaik. Maka mari kita galakan tradisi literasi dari diri sendiri, dari lingkungan terdekat dan mulai dari sekarang dalam upaya membangun peradaba masa depan yang lebih baik. Mantan Ketua PWI-Reformasi Korda Jogjakarta, Aji Setiawan (***) 9] Prinsip Politik Islam Dalam Memilih Pemimpin Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani (politika-yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya polites (warga negara) dan polis (negara kota). Secara etimologi kata “politik” masih berhubungan dengan policy (kebijakan). Sehingga Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Di dalam bahasa Arab, Politik dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulamasalafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa – yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara). Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus(siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya, mengaturnya, dan menjaganya. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib). Rasulullah SAWsendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : “Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi(tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah”. Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak haditsterkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi MuhammadSAW bersabda : “Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka.” (HR. Al Hakim) Politik Adalah Fitrah Masyarakat kita masih banyak yang berpendapat bahwa politik itu kotor dan harus dijauhi. Sehingga anggapan seperti itu membuat masyarakat kita sangat apatis, apriori (benci), dan alergi dengan politik dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Hal itu mungkin terjadi karena hasil pantauan masyarakat dilapangan dan lewat media terhadap politik selama ini selalu menunjukkan gejala yang buruk. Orang-orang yang terlibat di dalamnya dapat bergeser orientasi politiknya menjadi politik imperialis, berkhianat, koruptor dan semena-mena. Apalagi, setelah panggung politik dunia dirasuki politik Machiavelli yang menghalalkan segala cara, semakin menjadi-jadilah kebencian masyarakat terhadap politik. Lantas pertanyaannya, apakah politik itu selalu buruk? Itulah yang harus dimengerti oleh masyarakat secara benar, Karena Persepsi yang keliru terhadap politik tentu akan melahirkan sikap-sikap yang keliru pula. Padahal, politik itu keharusan yang tak bisa dihindari. Karena secara praktis, politik merupakan aktivitas yang mulia dan bermanfaat karena berhubungan dengan peng-organisasian urusan masyarakat/publik dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Tak ada orang yang bisa menghindari politik karena setiap orang pasti hidup di suatu negara, sedangkan negara adalah organisasi politik tertinggi. politik merupakan bagian dari kehidupan manusia dan tidak ada seorang pun yang bisa lepas dari politik. Begitu kita lahir, kita sudah bergabung dengan organisasi tertinggi yakni negara. Tidak ada seorangpun yang hidup tanpa terikat oleh politik. Orang yang ingin mempengaruhi kebijakan negara haruslah merebut kekuasaan politik. Orang yang menyatakan tidak mau terlibat dalam politik dan membiarkan kekuasaan politik diambil orang, maka dia terikat pada kebijakan-kebijakan pemenang kontes politik, betapa pun tak sukanya dia pada kebijakan itu. Karena itu, dapat dikatakan bahwa politik itu adalah fitrah atau sesuatu yang tak bisa dihindari. Pandangan Islam Mengenai Politik Islam adalah agama universal, meliputi semua unsur kehidupan, dan politik, Negara dan tanah airi adalah bagian dari islam. tidak ada yang namanya pemisahan antara agama dan politik. karena politik bagian dari risalah Islam yang sempuran. Seperti ungkapan bahwa tidak ada kebaikan pada agama yang tidak ada politiknya dan tidak ada kebaikan dalam politik yang tidak ada agamanya. Di dalam Islam pun, politik mendapat kedudukan dan tempat yang hukumnya bisa menjadi wajib. Para ulama kita terdahulu telah memaparkan nilai dan keutamaan politik. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa Dunia merupakan ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia. memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan). Lengkapnya Imam Al- Ghazali mengatakan: “Memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa) adalah saudara kembar. Agama adalah dasar perjuangan, sedang penguasa kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal akan sia-sia”. Dari pandangan Al-Ghazali itu bisa disimpulkan bahwa berpolitik itu wajib karena berpolitik merupakan prasyarat dari beragama dengan baik dan nyaman. Begitulah islam memandang pollitik Karena paraktiknya politik itu banyak diwarnai oleh perilaku jahat, kotor, bohong, dan korup, timbullah kesan umum bahwa politik (pada situasi tertentu) adalah kotor dan harus dihindari. Mujaddid Islam, Muhammad Abduh, pun pernah marah kepada politik dan politisi. Karena berdasarkan pengalaman dan pengamatannya waktu itu beliau melihat di dalam politik itu banyak yang melanggar akhlak, banyak korupsi, kebohongan, dan kecurangan-kecurangan. Muhammad Abduh pernah mengungkapkan doa taawwudz dalam kegiatan politik ,”Aku berlindung kepada Allah dari masalah politik, dari orang yang menekuni politik dan terlibat urusan politik serta dari orang yang mengatur politik dan dari orang yang diatur politik”. Tetapi dengan mengacu pada filosofi Imam Al-Ghazali menjadi jelas bahwa berpolitik itu bagian dari kewajiban syari’at karena tugas-tugas syari’at hanya bisa direalisasikan di dalam dan melalui kekuasaan politik atau penguasa (organisasi negara). Dalam kaitan inilah ada kaidah ushul fiqh yang menyebutkan “Ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” (Jika ada satu kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kalau tidak ada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain wajib juga diadakan/ dipenuhi). Dengan kata lain, “jika kewajiban mensyiarkan nilai kebaikan Islam tak bisa efektif kalau tidak berpolitik, maka berpolitik itu menjadi wajib pula hukumnya.” Inilah yang menjadi dasar, mengapa sejak awal turunnya Islam, muslimin itu sudah berpolitik, ikut dalam kegiatan bernegara, bahkan mendirikan Negara, dan Rasulullah, SAW, Khulafaur Rasyidin serta para pemimpin islam terdahulu telah membuktikanya. Memilih Pemimpin Yang Terbaik Dalam konteks keindonesiaan sekarang ini kaum muslimin tidak boleh apatis terhadap pemilihan pemimpin. Kita tidak boleh bersikap golput atau “tidak akan memilih ” yang mana pun hanya dengan alasan tidak ada pemimpin yang ideal. Kita tetap harus memilih karena siapa pun yang terpilih akan menentukan arah kebijakan negara yang juga mengikat kita. Setiap calon pemimpin yang akan dipilih, pasti ada kelebihan dan tidak sedikit kekurangannya serta ada pendukung dan penolaknya masing-masing. Menghadapi alternatif seperti itu kita harus tetap memilih dengan kesadaran penuh bahwa takkan pernah ada alternatif yang ideal untuk dipilih. Bahkan, mungkin saja, semua alternatif yang tersedia semuanya sangat tidak ideal. Jika demikian halnya, maka ada kaidah akhaff al-dhararain, yaitu memilih yang paling sedikit jeleknya di antara alternatif-alternatif yang sama-sama jelek. Dalam hal prinsip dan sistem pemerintahan, misalnya, tidak ada yang betul-betul baik dari antara sistem-sistem yang tersedia. Baik teokrasi, demokrasi, monarki, aristokrasi, oligarki, maupun tirani semuanya samasama tidak ideal dan mengandung segi-segi kelemahan. Tetapi, sebagian terbesar negara-negara di dunia memilih prinsip dan sistem demokrasi, bukan karena sistem itu bagus melainkan karena ia mengandung kelemahan yang paling sedikit jika dibanding dengan sistem yang lain. Maka itu, pilihlah yang terbaik dari yang ada, meskipun tidak ideal. Karena itu kita harus berkontribusi untuk negeri ini dengan memilih pemimpin dengan bijaksana. Memilih pemimpin yang bisa mengatur urusan negara dengan baik, memakmurkan dan mensejahterakan rakyat, pemimpin yang jujur, tegas dalam bersikap dan mempunyai kewibaan serta pemimpin yang bisa menampung aspirasi umat islam dan didukung oleh mayoritas umat islam. Negara Indonesia adalah salah satu negara terbesar berpenduduk muslim di dunia, 85 % penduduk di negeri kita adalah beragama Islam dan sebagai muslim. Oleh sebab itu layaknya kita mengharapkan pemimpin yang memperjuangkan aspirasi umat islam dan melenyapkan segala kerusakan dan kezaliman yang bisa merugikan rakyat, negeri dan agama. Karenanya dipandang perlu memilih pemimpin dari kalangan Islam dan kader-kader partai Islam. Karena dengan menitipkan suara kepada partai Islam, diharapkan kebijakan yang diambil mampu memberikan efek domino dalam memberi nilai-nilai Islam sebagai sumber hukum positip dalam ranah pengambilan keputusan politik dan hukum yang ada di Indonesia. Sahabat Utsman bin Affan Ra pernah berkata, Kezaliman yang tidak dapat dilenyapkan Alquran akan Allah Swt lenyapkan melalui tangan penguasa. Itulah aura pemimpin yang diharapkan. (Aji Setiawan) 10] Membedah Perilaku Generasi Z Juni 8, 2021 Admin 0 Komentar Aji Setiawan PENAPERSATUAN – Generasi yang satu ini memang terkenal lebih serba bisa, lebih global, dan berpikir lebih terbuka. Kepiawaian mengoperasikan teknologi nyatanya menjadi salah satu yang menonjol dari generasi ini. Tapi tunggu dulu nih, meski begitu banyak juga loh informasi yang menyebutkan jika Generasi Z cenderung tidak mudah terpengaruh sama iklan? Benar nggak ya kira-kira? Kali ini, akan dibahas soal segmen pasar untuk generasi Z. Tentunya menjalankan bisnis dengan segmen pasar yang tepat merupakan sebuah impian banyak orang, bukan? Siapa yang nggak mau kan? Jika kondisi ini bisa memungkinkan terciptanya penjualan yang maksimal dan lebih menguntungkan. Untuk bisa mendapatkan target pasar yang tepat dan loyal, tentunya kamu harus memahami karakter dari calon konsumen itu sendiri. Perlu di ketahui juga, untuk memahami konsumen nggak hanya konsumen saat ini aja, tapi juga wajib memahami konsumen masa depan juga. Seperti contoh Generasi Z, yang nyatanya menjadi konsumen yang berpotensial dalam memberi keputusan untuk membeli. Ada beberapa ketentuan juga bagi kamu, bila ingin mempertimbangkan Generasi Z sebagai target pasar yang akan kamu incar. Salah satunya, pentingnya bagi bisnis kamu untuk memahami cara berkomunikasi dengan Generasi Z. Nah, kali ini dipaparkan beberapa tips bagaimana cara memasarkan brand kamu ke generasi Z serta memahami karakteristik mereka. Karakteristik perilaku Generasi Z paling tidak bisa dianalis; Pertama, hidup berdampingan dengan teknologi baru. Kalangan milenial sempat merasakan merasakan masa kecil tanpa kecanggihan internet, berbeda dengan gen Z ini yang tumbuh dewasa bersama dengan gadget-nya. Karena itulah mereka pun bisa dengan cepat beradaptasi dengan berbagai teknologi baru yang bermunculan. Hal ini pun nyatanya bisa kalian manfaatkan untuk menjangkau mereka. Gimana sih caranya menjangkau mereka? Gampang banget! Kamu tinggal memanfaatkan teknologi terbaru untuk mengenalkan dan memasarkan produk kamu. Seperti contoh, bermainlah di sosial media seperti twitter dan i********: untuk memancing pasar generasi Z agar tertarik dengan produkmu. Dengan itu, akan lebih mudah untuk menarik minat para generasi Z terhadap bisnis yang kamu jalankan. Kedua, G-Z tidak tergoda oleh iklan? Mungkin poin kedua ini agak sedikit mencengangkan ya, karena selama ini iklan nyatanya menjadi salah satu sarana promosi paling jitu oleh pelaku bisnis. Bahkan hasilnya pun selalu jelas dalam mendongkrak usaha, maka hal berbeda mungkin yang bakal dibutuhkan ke depannya. Tapi kalau diingat lagi, generasi Z sendiri punya karakteristik yang berbeda lho! Dan pada umumnya disebut jika mereka tidak akan mudah tergoda dengan iklan. Pemasaran lewat iklan dinilai tidak efektif jika kamu menyasar generasi Z, apalagi jika iklan yang kalian tawarkan pun tak mengunggah selera kebanyakan anak generasi Z. Eits, meski begitu pasar generasi Z masih bisa dijangkau dengan pola pemasaran lain yang lebih kreatif dan kekinian serta menerapkan berbagai pola pemasaran yang benar-benar baru dan belum banyak digunakan. Sehingga bisnis kamu bisa dikenal. Pada akhirnya, kamu juga kan yang akan mendapatkan keuntungan. Ketiga, jangan lupa harga! Karakteristik generasi Z yang perlu kamu ketahui selanjutnya yakni kebiasaan generasi Z yang lebih mementingkan soal biaya ketika ingin melakukan pembelian. Mereka menggunakan internet untuk membanding harga, dan tidak ada jumlah pemasaran yang dapat menarik minat mereka, kecuali jika harganya pas di kantong mereka. Bahkan kebiasaan yang tak bisa dilepas dari generasi Z yakni kebiasaan mereka yang lebih memilih menggunakan internet untuk mencari perbandingan, padahal mereka berada di sebuah toko, namun barang yang diinginkannya tak sesuai dengan keinginannya. Nggak menyerah sampai situ, mereka pun mensiasatinya dengan mencarinya di internet. Untuk bisa tembus pasar kepada generasi Z, kamu harus bisa mendengarkan suara dan preferensi mereka serta komunikasi secara autentik di seluruh sosial media. Nah, yang kayak gitu yang akan mereka lirik. Tapi balik lagi nih, coba luangkan waktumu untuk riset kembali secara detil jika kamu memang yakin untuk menargetkan usahamu kepada generasi Z. Hal ini penting, mengingat generasi ini akan memiliki minat dan juga karakter tersendiri yang tentunya berbeda dengan generasi lainnya walau masih memiliki banyak kesamaan dengan generasi milenial.(***) 11] Islam Nusantara dan Tradisi Lokal Indonesia Oleh:Aji Setiawan Dalam sejarahnya, Islam begitu mewarnai sendi-sendi kehidupan –budaya, adat, tradisi- masyarakat Nusantara. Pun sebaliknya. Terjadi dialektika diantara keduanya sehingga membentuk karakter Islam yang khas Nusantara. Aswaja sebagai basis pemahaman keagamaan telah mengakar dalam keberislaman sejak awal masuknya Islam di Nusantara. Jalur Aswaja telah ditempuh para ulama dalam mendapatkan hukum yang tepat di Nusantara ini sekaligus starategi berdakwah dan berkomunikasi dengan masyarakat nusantara yang beraneka ragam. Selain itu, aswaja juga membangun sekaligus melestarikan tradisi-tradisi dalam ranah rasionalitas dan spiritualitas yang termanifestasi dalam suatu tradisi seni seperti di Aceh maupun direkam dalam kitab- kitab ulama nusantara. Islam Nusantara atau model Islam Indonesia adalah suatu wujud empiris Islam yang dikembangkan di Nusantara setidaknya sejak abad ke-16, sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi, dan vernakularisasi terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal, yang sesuai dengan realitas sosio-kultural Indonesia. Narasi Islam Nusantara sebenarnya sudah dimulai pada dekade tahun 1970 dan 1980-an saat gelombang kaum intelektual Indonesia mulai pulang dari pendidikan di luar negeri. Gelombang intelektual muslim Indonesia mulai dari Prof Nurkholis Madjid, Prof. Ayumardi Azra, KH Abdurahman Wakhid dll melalui tulisan mereka di berbagai media, jurnal, buku dll. Puncaknya istilah ini secara perdana resmi diperkenalkan dan direduksi ulang serta digalakkan kembali oleh organisasi Islam Nahdlatul Ulama pada 2015, sebagai bentuk penafsiran alternatif masyarakat Islam global yang selama ini selalu didominasi perspektif Arab dan Timur Tengah — misalnya Wahabisme. Islam Nusantara didefinisikan sebagai penafsiran Islam yang mempertimbangkan budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia dalam merumuskan fikihnya.[2] Pada Juni 2015, Presiden Joko Widodo telah secara terbuka memberikan dukungan kepada Islam Nusantara, yang merupakan bentuk Islam yang moderat dan dianggap cocok dengan nilai budaya Indonesia. Penyebaran Islam di Indonesia adalah proses yang perlahan, bertahap, dan berlangsung secara damai. Satu teori menyebutkan bahwa Islam datang secara langsung dari jazirah Arab sebelum abad ke-9 M, sementara pihak lain menyebutkan peranan kaum pedagang dan ulama Sufi yang membawa Islam ke Nusantara pada kurun abad ke-12 atau ke-13, baik melalui Gujarat di India atau langsung dari Timur Tengah. Pada abad ke-16, Islam menggantikan agama Hindu dan Buddha sebagai agama mayoritas di Nusantara. Islam tradisional yang pertama kali berkembang di Indonesia adalah cabang dari Sunni Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang diajarkan oleh kaum ulama, para kiai di pesantren. Model penyebaran Islam seperti ini terutama ditemukan di Jawa. Beberapa aspek dari Islam tradisional telah memasukkan berbagai budaya dan adat istiadat setempat. Praktik Islam awal di Nusantara sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran Sufisme dan aliran spiritual Jawa yang telah ada sebelumnya. Beberapa tradisi, seperti menghormati otoritas kyai, menghormati tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo, juga ikut ambil bagian dalam tradisi Islam seperti ziarah kubur, tahlilan, dan memperingati maulid nabi, termasuk perayaan sekaten, secara taat dijalankan oleh Muslim tradisional Indonesia. Akan tetapi, setelah datangnya Islam aliran Salafi modernis yang disusul datangnya ajaran Wahhabi dari Arab, golongan Islam puritan skripturalis ini menolak semua bentuk tradisi itu dan mencelanya sebagai perbuatan syirik atau bidah, direndahkan sebagai bentuk sinkretisme yang merusak kesucian Islam. Kondisi ini telah menimbulkan ketegangan beragama, kebersamaan yang kurang mengenakkan, dan persaingan spiritual antara Nahdlatul Ulama yang tradisional dan Muhammadiyah yang modernis dan puritan. Sementara warga Indonesia secara seksama memperhatikan kehancuran Timur Tengah yang tercabik-cabik konflik dan perang berkepanjangan. Patut disadari bahwa ada aspek keagamaan dalam konflik ini, yaitu munculnya masalah Islam radikal. Indonesia juga menderita akibat serangan teroris yang dilancarkan oleh kelompok jihadi seperti Jamaah Islamiyah yang menyerang Bali. Doktrin ultra konservatif Salafi dan Wahhabi yang disponsori pemerintah Arab Saudi selama ini telah mendominasi diskursus global mengenai Islam. Kekhawatiran semakin diperparah dengan munculnya ISIS pada 2013 yang melakukan tindakan kejahatan perang nan keji atas nama Islam. Sekalipun kini dikepung dengan berbagai aliran, Islam Akhlus Sunnah Waljamaah yang ada di bumi Nusantara, kalangan NU tradisional tetap eksis melalui lembaga pesantren untuk menyemai Islam yang rahmatan lil alamin.(***)Penulis mantan wartawan alkisah (***)12] Daftar Pustaka: 1] ,Aji Setiawan ,Peran Partai Politik Di Era Digital, Gema Pos,2 Desember 2020 2] Aji Setiawan, Peran Kaum Intelektual Dalam Dunia Politik, Nusantaranews.co, 11 Mar 2019 3] Aji Setiawan, Menguatnya Politik Identitas Menjelang Pemilu, Nusantaranews.co, 12 Feb 2019 4] Aji Setiawan Dunia Pers Di Tengah Pandemi, Pelita Banren, 20 Januari 2020 5] Aji Setiawan, Pers Pasca Pandemi Covid 19, 19 Juli 2020 6] Aji Setiawan, Peta Persaingan Media Kian Sengit, Media DPR, Kamis, 20 Mei 2021 7] Aji Setiawan,14 Agustus 2019 ,Brata Pos, Mewujudkan Pemerintah Yang Bersih dan Berwibawa 8] Aji Setiawan, Sakhsiyah NU dalam Keagamaan dan Kebangsaan , Berita Bangsa, Selasa, 21 Desember 2021 9] Aji Setiawan, Memperkuat Literasi, Membangun Peradaban, Gema Pos 21 FEBRUARY 2021 10.Aji Setiawan, Prinsip Politik Islam dalam Memilih Pemimpin,Gema Pos, 07 MARCH 2021 11.Aji Setiawan, Membedah Perilaku Generasi Z, Pena Persatuan, Juni 8, 2021 12.Aji Setiawan, Islam Nusantara dan Tradisi Lokal Indonesia , Pena Persatuan, 27Juni 2022 Oleh:Aji S

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Rise from the Darkness

read
8.4K
bc

FATE ; Rebirth of the princess

read
35.9K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

Rebirth of The Queen

read
3.7K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.4K
bc

DIHAMILI PAKSA Duda Mafia Anak 1

read
40.8K
bc

TERNODA

read
198.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook