2. Harap yang Sulit Diwujudkan

1731 Words
"Pagi putri kecilnya Papa!" sapa Ritz seraya memasuki kamar Zanna dengan membawa setumpuk hadiah kiriman penggemar yang telah disterilkan selama beberapa hari. Zanna Meijer yang pekan lalu genap berusia enam tahun hanya melambai tanpa semangat ke arah Ritz dari tempat tidurnya. Melihat putrinya tampak lesu, Ritz segera mendekat, lalu duduk di sisi Zanna. Dibelainya kepala Zanna seraya bertanya, “Putrinya Papa kenapa enggak semangat?” “Enggak semangat aja,” balas Zanna sembari cemberut. “Coba lihat Papa bawa apa!” ujar Ritz berusaha terdengar ceria. Zanna hanya menatap datar ke arah tumpukan hadiah yang Ritz bawa. Dalam hati Ritz merasa khawatir. Seharusnya, tidak seperti ini reaksi seorang anak kecil ketika melihat hadiah. Apalagi putrinya baru saja berulang tahun. Namun, jika diingat-ingat, perubahan sikap Zanna justru terjadi setelah hari ulang tahunnya. Biasanya, gadis kecil ini selalu ceria. Lantas, apa yang membuatnya mendadak murung? “Kita buka hadiahnya, yuk!” ajak Ritz sambil mulai meraih satu kotak kado dari tumpukan. Alih-alih ikut membuka atau terlihat penasaran, wajah Zanna tetap saja tampak murung. Setelah semua bungkusan dibuka, hanya satu hadiah yang menarik perhatian Zanna. Tangannya terulur mengambil sebuah buku ensiklopedia tentang binatang. Melihat hadiah yang Zanna pilih, tiba-tiba saja Ritz teringat sesuatu. Setiap tahun, di antara begitu banyak kiriman hadiah untuk Zanna, pasti terselip satu buku tentang binatang. Ajaibnya, Zanna pasti menyukai buku itu. Kemudian, bayangan perempuan yang Ritz jumpai di gerbang rumah pekan lalu kembali muncul dalam benaknya. Ritz mengamati dengan heran ketika perempuan di hadapannya diam saja. Tanpa Ritz tahu, perempuan itu tengah berusaha sekuat tenaga melawan kegugupannya ketika tiba-tiba saja mereka kembali dipertemukan. Sambil menunggu perempuan itu bicara, Ritz berusaha mengamati dengan lebih saksama. Sayang, dia tidak bisa melihat wajah perempuan itu karena tertutup masker. Rambut pun terhalang topi. Namun, secara keseluruhan, profilnya tampak tidak asing. "Maaf, sepertinya Bapak salah mengenali orang," ujar perempuan itu setelah mengerahkan kekuatannya untuk terlihat tenang. Entah mengapa, Ritz tidak langsung percaya. Dia masih saja merasa familier dengan sosok di hadapannya ini. Namun, Ritz tidak mau memaksa dan memilih mengalah saja. "Kalau begitu, boleh saya tahu kamu siapa?" Ritz bisa menangkap sedikit getar dalam suara perempuan itu ketika menjawab, "Saya hanya pegawai toko yang ditugaskan untuk mengantar hadiah ini." “Siapa yang meminta kamu mengirim hadiah itu?” “Kalau itu saya tidak tahu. Mungkin Bapak bisa lihat sendiri setelah membuka hadiahnya.” Tanpa menunggu tanggapan Ritz lagi, perempuan itu segera berlalu dari sana. Untuk beberapa saat Ritz masih memandangi punggung yang tengah menjauh itu. Namun, dia segera menghalau berbagai pikiran yang sempat terlintas di benaknya dan melangkah masuk. Sekarang, jika dipikirkan kembali, mungkin sosok perempuan itu tidak asing karena Ritz pernah tanpa sengaja bertemu sebelumnya. Mungkin tahun-tahun sebelumnya perempuan itu pernah mengantarkan kado untuk Zanna juga. “Zanna suka buku tentang binatang ya?” ujar Ritz ketika melihat putrinya sudah asyik melembari halaman demi halaman. “Suka banget.” Dari kecil Zanna memang senang belajar tentang binatang dan Ritz tahu itu. “Hadiah yang lain enggak mau dilihat dulu?” Zanna menggeleng cepat. “Enggak menarik.” Lama Ritz mengamati putrinya, lalu perlahan dia mengambil buku di tangan Zanna. “Zanna, Sayang, boleh lihat Papa dulu?” Zanna balas menatap ayahnya dengan tatapan ingin tahu. Ritz meraih kedua tangan Zanna dan menggenggamnya. “Zanna kenapa beberapa hari ini kelihatan sedih?” Alih-alih menjawab, Zanna hanya terus memandangi Ritz dengan mata biru beningnya. “Apa Zanna sedih karena tahun ini enggak bisa pesta?” “Sedih dikit aja, tapi enggak sedih-sedih amat,” sahut Zanna polos. “Kan lagi Covid, semua temen Zanna juga enggak bisa pesta. Jadi, enggak apa-apa.” Ritz tersenyum mendengar jawaban lugu nan bijak dari putrinya. Namun, hal itu justru membuatnya tambah bingung. “Kalau gitu, apa karena hadiah-hadiahnya kurang bagus?” “Semua hadiahnya bagus.” Meski berlimpah harta sejak lahir, Zanna dididik untuk menghargai setiap pemberian yang diterimanya. “Terus yang bikin Zanna sedih banget apa?” Zanna tampak ragu-ragu untuk memberi tahu ayahnya. Setelah beberapa, air mata Zanna mulai berlinang. “Zanna mau Mama.” Jawaban putrinya membuat Ritz merasa tertampar detik itu juga. “Zanna pengin Mama pulang pas Zanna ulang tahun,” ujar gadis kecil itu sembari terisak-isak. “Zanna pengin hadiah ulang tahunnya Mama aja, enggak mau yang lain.” Hancur hati Ritz mendengar keinginan putrinya. Hanya sebuah permintaan sederhana, tetapi merupakan hal yang sulit diwujudkan. Seketika itu juga dia meraih Zanna dalam pelukan, lalu berbisik penuh penyesalan, “Maafin Papa, Sayang.” "Papa bisa cari Mama?" bisik Zanna sarat kerinduan. "Hm?" gumam Ritz terkejut. Rasanya sudah cukup lama sejak terakhir kali Zanna menanyakan tentang ibunya. Perlahan Zanna melepaskan diri dari pelukan ayahnya, lalu menatap Ritz penuh harap. “Papa bisa bawa Mama pulang?” Lidah Ritz kelu. Dia merasa begitu berdosa telah memisahkan Zanna dengan ibunya. “Kalo Papa bisa bawa pulang Mama, Zanna janji enggak akan minta hadiah apa-apa lagi sampai umur sepuluh nanti,” pinta Zanna memelas. Rasanya Ritz nyaris putus asa. Tampak jelas Zanna sangat menginginkan ibunya. Bagi anak sekecil Zanna yang begitu gemar dengan hadiah, janji yang dia ucap terdengar sangat tulus dan penuh pengorbanan. Bagaimana Ritz harus menanggapi permintaan putrinya yang demikian penuh damba? Jika dia mengiakan, tetapi nyatanya tidak dapat dipenuhi, tentu Zanna akan makin kecewa. Namun, jika dia mengatakan tidak bisa, sudah pasti hati Zanna akan patah. Apa pun tanggapan yang dia beri, pada akhirnya akan mengecewakan Zanna. Ritz benar-benar tidak mampu berkata-kata. Dia hanya bisa membatin sembari menahan pedih. Gimana Papa bisa bawa mama kamu pulang kalau nyatanya mama kamu udah bahagia dengan pilihannya sendiri? *** Di tempat dan waktu berbeda, sosok yang begitu Zanna rindukan tengah tenggelam dalam kesibukan rutinitasnya. Sore itu, Yuta tengah memandikan bocah lelaki yang begitu lincah dengan paras tampan dan menggemaskan. "Zev, baju Mama basah, Sayang!" seru Yuta terkejut saat Zevulon mencipratkan air sembari berjingkrak ceria di bawah pancuran air. "Mama manji uga,” ujar bocah lelaki yang beberapa bulan lalu telah menginjak usia tiga tahun itu. Pengucapannya masih belum terlalu jelas, tetapi justru hal itu menambah daya tarik Zev. Membuat siapa saja jatuh hati saat berhadapan dengannya. Yuta tertawa mendengar Zev menyuruhnya mandi juga. "Mama mandinya nanti, Zev." "Manji cama Jev." Kini Zev makin bersemangat mencipratkan air ke arah Yuta. "Enggak boleh, Sayang.” Kembali Yuta tergelak, lalu berusaha memberi pemahaman kepada putranya. “Laki-laki sama perempuan enggak boleh mandi sama-sama. Zev kan laki-laki. Mama perempuan." Tanpa sadar pikiran Yuta melayang ke tempat lain. Dia tidak kuasa menahan angannya untuk membayangkan tentang sosok Zanna. Siapa yang selama ini memandikan putrinya? Namun, Yuta tidak dibiarkan berlama-lama dalam lamunannya. Zev memandangi ibunya, kemudian bertanya, "Jev manji cama Papa boyeh?" Senyum Yuta menghiasi wajahnya ketika mengangguk. "Kalau sama Papa boleh, Sayang." Keseruan keduanya di kamar mandi terganggu oleh teriakan Ashana. "Ta, coba sini!" "Aku lagi mandiin Zev. Kenapa, Ash?" balas Yuta setengah berteriak untuk mengalahkan suara air. "Nanti selesai mandiin Zev ke sini ya! Aku mau kasih lihat sesuatu." Asha adalah sahabat Yuta yang empat tahun terakhir ini berbagi segalanya bersama. Suka duka, rencana masa depan, bahkan tempat tinggal. Keduanya sama-sama wanita penuh luka yang membawa kesakitan mereka masing-masing, kebetulan usia pun sebaya. Keduanya bertemu dan akhirnya berjalan bersama untuk saling menguatkan sampai hari ini. Usai memandikan Zev, Yuta segera mendatangi Asha yang tengah duduk di meja makan. "Kamu mau kasih lihat apa?" "Coba kamu baca, Ta." Asha memutar layar laptop ke arah Yuta. "Ada yang mau les lagi sama kamu?" ujar Yuta setelah melihat sekilas halaman percakapan Asha dengan seseorang. Asha adalah seorang guru les yang mengajar secara privat dengan mendatangi rumah muridnya. Sejak pandemi melanda, Asha kebanjiran permintaan untuk mengajar anak-anak yang orang tuanya tidak sanggup mendampingi di rumah. "Coba baca baik-baik namanya," ujar Asha gemas. "Nama anak Zanna Meijer. Usia enam tahun …." Suara Yuta terdengar bergetar ketika membaca baris demi baris di layar. "Nama wali … Lauritz Meijer." Asha mengulurkan tangan untuk menggenggam sahabatnya, lalu bertanya hati-hati, "Apa harus aku ambil, Ta?" "Kenapa tanya aku?" balas Yuta gugup. "Apa kamu enggak lihat?" tanya Asha gemas. Kepala Yuta saat ini tidak bisa diajak berpikir. "Lihat apa?" "Ini kesempatan untuk kamu buat bisa ketemu lagi sama Zanna." "Enggak segampang itu, Ash." Yuta menggeleng getir. "Anggaplah kamu jadi gurunya Zanna. Terus gimana caranya kamu bawa Zanna ketemu aku?" "Kamu yang masuk ke rumah itu dan jadi gurunya Zanna, Ta." "Aku?" Yuta mengerjap tidak percaya. "Aku enggak yakin Ritz bakal kasih izin buat aku ketemu Zanna." Selama ini, Yuta hanya bisa mengamati Zanna dari jauh. Mencuri-curi dengar mengenai kabar putrinya sendiri. Betapa besar rindu yang Yuta rasa untuk kembali memeluk buah hatinya. "Yang ketemu Zanna itu Asha, bukan Yuta," sahut Asha berkeras. "Maksud kamu?" bisik Yuta ngeri. Rasanya dia mulai bisa menebak rencana Asha. Jangankan untuk dilakukan, baru dipikirkan saja Yuta sudah goyah. Baru membayangkan dirinya kembali berhadapan dengan Ritz saja sudah berhasil membuat lutut Yuta gemetar. Pertemuannya dengan pria itu pekan lalu masih begitu membekas dalam ingatan Yuta. Untungnya, hari itu Yuta berhasil menghadapi Ritz dengan mempertahankan akal sehat. Saat itu, Yuta bertekad untuk tidak membiarkan dirinya menjadi lemah lagi. Sudah empat tahun dia berjuang untuk menjadi kuat dan Yuta tidak akan kalah begitu saja. Mati-matian Yuta memerintahkan otaknya sendiri untuk tenang dan meyakinkan diri jika Ritz tidak bisa mengenalinya. Kala itu, wajahnya tertutup masker dan rambutnya tidak lagi tergerai panjang seperti dahulu. Apalagi hari itu dia mengenakan topi. Sangat kecil kemungkinannya Ritz bisa mengenali Yuta. "Pakai nama aku, Ta." Asha menatap Yuta penuh tekad seraya mengguncang lengan sahabatnya. "Zanna enggak perlu tahu kalau yang datang itu mamanya, yang penting kamu bisa lihat Zanna. Kamu selalu bilang kalau kamu kangen Zanna dan ingin banget bisa ketemu langsung, lihat dia dari dekat." Kembali Yuta menggeleng lesu. "Zanna mungkin enggak tahu wajah aku, tapi orang-orang di rumah itu tahu, Ash." Yuta tidak tahu apa yang akan terjadi jika dia datang menemui Zanna setelah semua yang terjadi selama ini. "Kamu lupa kalau sekarang kita harus selalu pakai masker ke mana-mana?” Mata Asha berkilat cerdas. “Kalau perlu kamu bisa pakai APD sekalian." Perlahan harap itu mulai tumbuh. Namun, Yuta masih terlalu takut. "Aku enggak yakin, Ash." "Coba pikirin dulu," pinta Asha sungguh-sungguh. Belum sempat Yuta menanggapi lagi, suara mobil yang mendekat terdengar dari luar. "Kayaknya itu Mas Bimo," ujar Asha. Mendengar nama Bimo disebut, Zev yang tengah bermain mobil-mobilan di ruang tamu langsung berlari ke teras. "Zev, jalan aja!" seru Yuta mengingatkan. Zev berjingkrak kesenangan saat melihat sosok Bimo di dalam mobil. "Papa!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD