bc

Selamat Tinggal Luka

book_age18+
281
FOLLOW
5.2K
READ
love-triangle
HE
second chance
arrogant
single mother
drama
bxg
like
intro-logo
Blurb

Menikah di atas perjanjian dengan Lauritz Meijer, seorang aktor ternama berdarah Belanda, tidak pernah terbayang oleh Yuta Maharumi. Jatuh cinta kepada Ritz juga tidak pernah Yuta rencanakan, apalagi sampai memiliki anak bersama.

.

Namun, momen pengakuan cintanya menjadi hari terburuk dalam hidup Yuta. Saat Yuta mengungkapkan rasa hatinya, detik itu juga Ritz mengusirnya dan mengakhiri hubungan mereka. Ritz bahkan meminta Yuta meninggalkan putri kecil mereka yang belum genap berusia dua tahun.

.

Takdir akhirnya mempertemukan mereka kembali setelah empat tahun berlalu. Mampukah Yuta berdamai dengan luka yang telah Ritz torehkan begitu dalam di hatinya?

chap-preview
Free preview
1. Luka yang Begitu Dalam
Jauh setelah putrinya terlelap, Yuta Maharumi masih mendekap tubuh mungil Zanna begitu erat. Berat dan tidak rela rasanya untuk berpisah. Hati Yuta dipenuhi sakit dan kecewa, tetapi dia harus menguatkan diri. Yuta sadar, kehadirannya tidak lagi diinginkan di rumah ini. Sebelum diusir, lebih baik Yuta melangkah pergi atas kehendaknya sendiri. "Sayang, maafin Mama ya," bisik Yuta sembari memandangi wajah lelap Zanna. "Andai bisa, Mama juga ingin kita terus sama-sama, tapi keadaannya sekarang begini." Yuta terus memandangi wajah putrinya. Mungkin ini adalah kali terakhir dia bisa mendekap tubuh mungil Zanna sepuas hati. Esok nanti, entah apa yang terjadi. Namun, satu hal yang Yuta tahu pasti, dia tidak akan ada saat Zanna berulang tahun yang ke-2 beberapa bulan lagi. "Maaf kalau Mama harus pergi." Yuta menggenggam jemari mungil Zanna, lalu mengecupnya lembut. "Bukan Mama enggak sayang sama Zanna, bukan Mama mau ninggalin Zanna, tapi kehadiran Mama udah enggak diinginkan lagi di sini." Membayangkan dirinya tidak akan ada lagi di sisi Zanna pada waktu-waktu mendatang, dunia Yuta terasa gelap. "Semua ini salah Mama. Andai Mama enggak mengungkapkan perasaan Mama ke Papa, semua enggak akan jadi begini." Yuta tidak sanggup lagi membendung air matanya. Sesak itu harus dia tumpahkan. "Harusnya Mama enggak pernah bicara soal perasaan Mama yang sebenarnya." Hari ketika Yuta mengungkapkan perasaannya kepada Lauritz Meijer merupakan satu dari segelintir momen terburuk dalam hidupnya. Momen yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, nyatanya malah menjadi kenangan pahit. “Aku cinta sama Mas Lau.” “Rumi, apa kamu lupa ucapan aku di awal sebelum kita membuat perjanjian ini?” Tatapan Ritz seketika berubah kecewa. “Jangan melibatkan cinta dalam pernikahan ini.” Perubahan sikap Ritz membuat Yuta kaget bukan main. “Tapi … Mas Lau bilang kalau Mas Lau sayang sama aku.” “Sayang berbeda dengan cinta, Rumi,” ujar Ritz kaku. Setelah itu, nadanya terdengar sinis. “Mungkin selama ini kamu salah mengartikan perasaan aku.” “Tolong jelasin karena aku enggak mengerti, Mas,” bisik Yuta hampir menangis. “Aku menyayangi kamu sebagai orang yang dekat dengan aku, sebagai keluarga aku, tapi bukan perasaan cinta,” tutur Ritz dingin. “Harusnya Mama bersyukur dengan kehadiran kamu dan enggak berharap lebih. Bisa memeluk kamu, menyayangi kamu, harusnya itu udah lebih dari cukup buat Mama,” bisik Yuta sesak ketika kenangan akan malam itu memenuhi benaknya. “Sayang Mama terlalu serakah dan mengharapkan sesuatu yang terlalu tinggi.” Perlahan Ritz berdiri dari tempat tidur, lalu menyambar pakaiannya. “Aku rasa perjanjian ini udah enggak bisa dilanjutkan lagi.” “Maksud Mas Lau apa?” bisik Yuta gemetar. “Aku pernah bilang, kalau salah satu di antara kita jatuh cinta, semua urusan akan jadi rumit dan itu artinya perjanjian harus diakhiri,” ujar Ritz tanpa perasaan. “Perjanjian di antara kita udah enggak bisa dilanjutkan lagi karena semua akan jadi rumit mulai sekarang.” “Jadi, maksud Mas Lau kita akan pisah?” bisik Yuta ketakutan. “Andai kamu enggak membiarkan perasaan cinta yang sia-sia itu tumbuh, kita pasti masih bisa terus bersama.” "Mama yang bodoh, Sayang. Bisa-bisanya Mama berpikir kalau Papa juga punya perasaan yang sama dengan Mama." Yuta tertawa sumbang seraya menggeleng tidak percaya. "Berani-beraninya Mama berharap kalau Papa juga mencintai Mama dan kita bisa hidup bahagia bersama selamanya. Mama lupa kalau pernikahan kami cuma pura-pura." Yuta tidak akan pernah lupa sedingin apa tatapan dan ekspresi Ritz malam itu. "Andai Mama bisa kembali ke hari itu, Mama enggak akan pernah mengatakan apa-apa ke Papa." Sebuah kesadaran membuat Yuta cepat-cepat meralat ucapannya sendiri. "Salah! Seharusnya sejak awal Mama jaga hati Mama baik-baik. Harusnya Mama enggak membiarkan hati Mama luluh dan jatuh cinta.” Perempuan mana yang tidak akan jatuh dalam pesona seorang Lauritz Meijer? Aktor muda berwajah tampan dengan mata birunya yang menghanyutkan, postur tubuh yang menjulang membuat kesempurnaannya kian bertambah, belum lagi darah Belanda yang membuat wajah Ritz tidak pasaran. Semua itu masih ditambah dengan prestasinya yang memukau sebagai aktor berbakat. Jelas tidak perlu diragukan lagi soal kekayaannya. Baik warisan, sebagai anak tunggal, juga hasil usahanya sendiri. Ritz adalah paket lengkap yang mampu membuat perempuan jatuh hati, tergila-gila, bahkan bertekuk lutut mengemis cintanya. Betapa beruntungnya Yuta ketika pria itu memilihnya sebagai istri. Meski pernikahan mereka dijalani berdasarkan perjanjian, tetapi Ritz memperlakukan Yuta dengan sangat baik. Tidak saja baik, Ritz bahkan menempatkan Yuta di posisi spesial dan semua orang terdekat mereka pun mengakui hal itu. Tidak sedikit yang menduga bahwa Ritz telah jatuh cinta. Jadi, salahkah jika Yuta pun berpikir demikian? Terlebih lagi, salahkah Yuta jika hatinya luluh dengan semua perlakuan manis yang Ritz tunjukkan? “Hanya karena Papa bersikap baik, bukan berarti dia mencintai Mama.” Namun, kini Yuta sadar jika dirinya salah besar. “Harusnya Mama sadar, Papa kamu memang baik ke semua orang. Kebaikan yang dia tunjukkan ke Mama bukan karena Mama spesial." Semua ini masih terasa bagai mimpi bagi Yuta. Jika dia mengenang hidupnya satu bulan yang lalu, semua masih terasa sempurna. Namun, hari ini semua sudah begitu berbeda. Hanya dalam beberapa minggu saja perubahan besar telah terjadi. Bahkan, hanya butuh waktu satu malam untuk menjungkirbalikkan keadaannya. "Mama yang salah, Sayang. Mama yang salah …," gumam Yuta berulang-ulang. Jika menuruti perasaan, rasanya Yuta masih ingin terus bertahan di sana dan mendekap Zanna lebih lama lagi. Namun, dia harus menguatkan hati dan melangkah segera meninggalkan tempat ini. Yuta membaringkan Zanna dengan sangat hati-hati ke tempat tidur, memandanginya lagi untuk terakhir kali, kemudian berbalik. Dia mengambil sebuah tas jinjing, lalu melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Berbekal tas yang ukurannya tidak seberapa itu, Yuta meninggalkan rumah Ritz yang telah memberinya perlindungan selama hampir empat tahun terakhir. Tidak banyak yang Yuta bawa, hanya perbekalan seadanya untuk bertahan hidup selama beberapa pekan. Bukan Ritz melarang Yuta pergi dengan membawa banyak harta, pria itu bahkan berencana melepas Yuta dengan segala kemewahan yang menyertai, hanya saja Yuta tidak ingin. Semua itu hanya akan membuatnya makin sakit. Yuta hanya ingin membawa sesuatu yang benar-benar miliknya, sementara tabungan, aset, kendaraan, dan segala macam hal lainnya, semua itu kepunyaan Ritz. Zanna saja tidak bisa Yuta bawa bersama karena Ritz memintanya meninggalkan putri mereka. Mirisnya lagi, bahkan untuk membawa pergi hatinya saja Yuta sudah tidak mampu. Hatinya sudah tidak lagi berbentuk, hancur berantakan akibat penolakan Ritz yang kejam. Satu-satunya hal yang masih Yuta miliki hanya harga dirinya. Yuta melangkah tanpa arah meninggalkan rumah Ritz. Dia belum memiliki rencana apa-apa. Hanya satu yang Yuta inginkan, pergi menjauh dari Ritz sebelum pria itu yang mengirimnya pergi. Jika sesuai rencana, dalam waktu dekat Yuta akan pindah ke rumah lain yang telah Ritz siapkan. Namun, Yuta sudah tidak mau lagi hidup di bawah bayang-bayang Ritz. “Di mana aku harus tidur malam ini?” gumam Yuta bingung sembari menatap bagian luar gerbang rumah Ritz yang mewah. Yuta tidak bisa gegabah memilih tempat pelariannya. “Ke mana pun aku pergi, besar kemungkinan orang-orang akan mengenali aku.” Jika dahulu Yuta sangat bersyukur karena Ritz telah membantunya sampai menjadi selebritas ternama, kini dia menyesal. Andai wajahnya tidak dikenali seluruh negeri, Yuta bisa pergi ke mana saja dengan bebas. Sayangnya, sebagai selebritas yang tengah bersinar, wajahnya akrab dengan semua orang. Ke mana saja dia pergi, awak media pasti akan mengejarnya. Ke mana saja dia bersembunyi, orang suruhan Ritz pasti akan menemukannya dengan mudah. Memesan transportasi online bukanlah pilihan bijak karena jejaknya pasti akan mudah ditelusuri. Membuka kamar di hotel pun sama saja. Apalagi jika dia sampai menggunakan kartu sebagai transaksi pembayaran. Saat ini, tekad Yuta begitu bulat untuk lenyap dari pandangan Ritz. Meski itu berarti dia harus kembali hidup sengsara seperti dahulu. Dalam tas yang Yuta bawa, hanya ada pegangan uang tunai yang jumlahnya tidak seberapa. Ponsel tidak dia bawa demi memutus komunikasi juga jejak. Dompet berisi berbagai macam kartu pembayaran pun dia tinggal. Hanya kartu identitas yang masih Yuta bawa. Kini, Yuta harus kembali memulai semuanya dari nol, seperti ketika dia belum mengenal Ritz. Sebelum memantapkan langkahnya menjauhi gerbang rumah Ritz, Yuta berbisik getir, “Sama seperti ketika kamu mengambil aku dari kubangan dan mengubah hidup aku, sekarang dalam sekejap juga kamu melempar aku kembali ke kubangan.” *** Empat tahun telah berlalu. Kini, di tempat yang sama, Yuta berdiri memandangi gerbang rumah Ritz. Jika dahulu dia menggenggam sebuah tas jinjing, sekarang yang ada di tangan Yuta adalah sebuah kotak kado berwarna merah muda dengan pita emas cantik pada bagian atasnya. Untuk pertama kalinya selama empat tahun terakhir, Yuta menginjak tempat ini lagi. Tentunya dia tidak berniat masuk. Yuta hanya ingin mengantarkan hadiah untuk putrinya yang hari ini tepat berusia enam tahun. Selama empat kali ulang tahun Zanna yang telah terlewati, Yuta hanya mengirim hadiah lewat orang lain. Namun, entah mengapa kali ini dia ingin mengantarkannya sendiri. Yuta tidak berharap banyak jika dia bisa melihat Zanna dari kejauhan mengingat situasi pandemi saat ini. Putrinya pasti dijaga ketat di dalam rumah demi menjauhkan gadis kecil itu dari penyebaran Covid-19. Namun, tidak mengapa. Hanya berdiri di luar gerbang saja sudah membuat Yuta merasa dekat dengan putrinya. Perlahan Yuta menghampiri gerbang, lalu berjongkok hati-hati. Di dekatnya ada beberapa hadiah cantik yang lain, mungkin dari para penggemar Ritz yang mengetahui hari ulang tahun Zanna. “Selamat ulang tahun, anak Mama yang cantik,” bisik Yuta seraya meletakkan kotak hadiah yang dia bawa. “Semoga Zanna suka hadiahnya.” Yuta tidak ingin berlama-lama di sana karena takut berpapasan dengan orang yang mungkin dia kenal. Tepat ketika Yuta berdiri dan berbalik, sebuah mobil berhenti di depan gerbang. Jantung Yuta berdegup tidak karuan ketika pintu mobil di sisi pengemudi terbuka, lalu sosok yang paling ingin dia hindari melangkah turun. Pria yang telah menorehkan luka begitu dalam di hidupnya. Sosok Ritz masih sama seperti dalam ingatan Yuta. Tahun-tahun yang berlalu tidak membuat pria itu berubah. Ritz tidak tampak menua, bahkan makin tampan di usianya yang kini telah menginjak 35 tahun. Pesonanya masih sama seperti dahulu. Namun, hanya sakit yang Yuta rasa di hatinya saat melihat sosok itu. Sebelum sempat Yuta berpikir, pria itu sudah mendekat dan mengadang langkahnya. “Kamu siapa?” Jika sosoknya saja sudah membuat jantung Yuta tidak karuan, kini suara Ritz membuat wanita itu sulit bernapas. Dalam hati Yuta mengutuk dirinya yang mendadak kelu dan bersikap seperti ini di hadapan Ritz, padahal dia bukan lagi gadis kemarin sore. Jika delapan tahun yang lalu berhadapan dengan Ritz membuatnya gentar, rasanya wajar karena ketika itu usia Yuta baru 20 tahun. Namun, seharusnya sekarang tidak lagi begitu. “Apa kamu datang membawa hadiah untuk putri saya?” ujar Ritz lagi saat tidak mendapat jawaban dari Yuta. Hal yang dapat Yuta lakukan hanya mengangguk kaku. Ritz mengamati penampilan perempuan di hadapannya. “Apa kita saling kenal?” Kali ini Yuta menggeleng gugup. Tanpa sadar Ritz mengamati sosok itu dengan lebih cermat. “Rasanya sosok kamu tidak asing.” Detik itu juga keringat dingin membanjiri tubuh Yuta. Lututnya bahkan nyaris ambruk ketika Ritz makin mendekat, lalu sedikit membungkuk agar tatapan mereka sejajar. Mata biru yang menghanyutkan itu masih sanggup menghipnotis Yuta. “Saya yakin kalau saya mengenal kamu,” ujar Ritz tanpa ragu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
94.3K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.9K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.0K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook