CH 07 ~ Broken

1631 Words
Kanaya keluar mobil dengan perasaan hancur dan merasa dipatahkan hatinya untuk kesekian kali oleh Steve. Dia membanting pintu tanpa mengindahkan panggilan Steve yang memintanya untuk berhenti. "Kanaya kamu marah pada Daddy, hah?" "Tunggu Kanaya!" Namun Kanaya masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Tak peduli Steve mengetuk berulang kali mengajaknya berbicara baik-baik. "Naya, kumohon, kamu jangan begini, Sayang." Kanaya menutup dua telinganya rapat, saking tak ingin mendengar apa pun yang diucapkan Steve. "Kita bisa bicara baik-baik. Kenapa kamu marah kalau Daddy akan menikahi Wenda? Bukankah dia adalah wanita yang baik dan cocok untuk Daddy?" "Tidak!" Kanaya terus menggeleng. "Naya, jangan bersikap kekanak-kanakan." Barulah Kanaya melepaskan dua tangan yang menutup telinganya. "Kekanakan?" Dia makin yakin, Daddy-nya benar-benar tak menerimanya karena dia hanyalah gadis yang kekanak-kanakan. "Bagaimana aku harus membuktikan bahwa aku bukan gadis yang kekanakan?" Steve berulang kali mengetuk pintu kamar Kanaya. Tapi tidak juga dibukakan pintu. "Naya, baby girl. Buka pintunya! Kanaya!" Steve merasa bersalah. Karena perkataannya tadi sepertinya begitu menyakiti hati gadis kecilnya. Seumur hidupnya Steve belum pernah menaruh perhatian lebih terhadap seorang gadis selain kepada Kanaya. "Baiklah, Daddy akan menganggap kamu hanya butuh waktu menerima ini semua. Tapi jangan mengurung diri di kamar, Daddy tidak mau kamu begitu." Sejak Kanaya kecil masuk ke dalam dunianya, Steve bahkan tidak melirik wanita lain. Kebetulan Wenda datang, ia memberikan sedikit warna berbeda di hidup Steve. Perlahan Steve mulai menerima kehadiran Wenda. Tapi, gadis kecilnya tidak menyukai hal itu. Lalu, apakah dia tetap menjalani hubungan dengan Wenda? Ataukah mengakhirinya? Steve benar-benar bingung. "Tidak bisakah kamu melihat hatiku, Daddy?" Kanaya hanya bisa menangis dari balik pintu. "Tuan muda, ada apa dengan nona Kanaya?" tanya Bi Mer. "Bi, tolong Bibi coba bujuk Kanaya ya. Dia tidak mau menemui ku. Bibi bujuk agar Kanaya mau bercerita pada Bibi. Mungkin dengan ku dia merasa kesal, jika dengan Bibi kurasa dia akan berkata jujur apa maunya." Steve menghembuskan napasnya berat. Meski dia sedikit sadar, Naya menginginkan dirinya. Tapi, itu semua terlalu rumit, dan agak mustahil baginya. "Baiklah, Tuan sebaiknya istirahat dulu. Mengenai non Kanaya biarkan Bibi yang bicara nanti," ujar Bi Mer yang sudah di anggap Mama oleh Kanaya. "Terima kasih, Bibi. Kalau begitu aku ke kamar dulu," ujar Steve. Bi Mer mengangguk. Ia langsung mengetuk pintu kamar Naya. "Nona, buka pintunya. Ini Bibi," ucapnya. Tak lama kemudian, benar saja akhirnya Kanaya membukakan pintu kamarnya. "Bibi," ucap Naya dengan mata sembab dan pipi yang basah. "Ya Allah, Non. Kok malah nangis sendirian?" ucap Bi Mer yang langsung menghapus air mata Kanaya. "Nggak apa-apa kok, Bi. Ini bukan karena menangis, Naya cuma kelilipan," jawabnya tidak mau mengaku di hadapan orang tua adopsinya itu Bi Mer menatap lekat kedua mata Naya. "Jangan bohong sama Bibi. Ayo cerita, kenapa Non Kanaya nangis?" Kanaya tetap menggeleng, tidak mau mengatakan alasannya. "Naya enggak nangis Bibi." Saat itu tangisnya malah pecah. Hal itu membuat Bi Mer ikut merasa bersedih. "Sayang, jangan berpura-pura, ayo ceritakan pada Bibi. Kamu kan anak Bibi, jangan sungkan," ucap Bi Mer yang langsung memeluk tubuh Kanaya lagi. Gadis itu pun akhirnya tak dapat menutupi kesedihannya. Hatinya begitu terluka saat mengetahui bahwa Daddy-nya akan menikahi wanita lain. "Bi, Daddy mau menikah dengan Wenda," ucap Naya dengan suara bergetar. Bi Mer terkejut, "menikah dengan Wenda? Apa Daddy-mu yang mengatakan hal itu?" tanya Bi Mer. "Ya, Daddy yang bilang bahwa ia akan melamar Wenda. Bibi, Naya benci! Naya nggak mau Daddy menikahi Wenda!" tekan Naya dengan emosinya yang kembali meluap. Wanita paruh paya itu memahami perasaan Kanaya. Pikirnya mungkin Kanaya takut kalau kasih sayang daddy-nya akan berkurang terhadapnya. Tapi, Bi Mer juga berpikir di usia Steve yang sudah kepala tiga, rasanya wajar kalau Steve ingin menikah juga. "Kanaya cantik. Kamu nggak boleh seperti itu. Coba kamu lihat Bibi. Ayo tatap mata Bibi," pinta Bi Mer. Sambil mengapit kedua pipi gadis di hadapannya. "Nah, kamu perhatikan kata-kata Bibi ya, Daddy-mu itu memang sudah waktunya menikah. Sebagai pria dewasa, tentu Daddy-mu perlu seorang wanita untuk dapat mendampinginya, menjadi istrinya, Naya paham, kan?" Kanaya tentu memahami hal itu. Tapi ia juga tidak mungkin mengatakan pada Bi Mer kalau ia ingin Steve menikahi dirinya, tidak wanita lain selain dia. "Naya anak yang baik, Naya juga pasti menyayangi Daddy, iyakan? Kalau begitu Kanaya tidak boleh marah kepada Daddy. Naya harus mendukung rencana Daddy itu, apa Naya paham?" tanya Bi Mer lagi. Gadis itu malah merasa semakin terluka. Tidak ada yang memahami perasaan cintanya terhadap Steve. Tidak ada sama sekali, batin Kanaya. "Menurut Bibi, apa Naya tidak lebih cantik dari Wenda?" "Hem, maksudnya gimana, Non?" "Aku jauh lebih cantik dari Wenda, bukankah aneh jika..." Bi Mer memiringkan kepalanya sambil memerhatikan Kanaya yang sedikit bergumam. "Ya, gimana maksudnya Non?" "Enggak. Bi, Naya mau ke rumah Alice. Boleh, ya?" "Ke rumah Alice, mau apa?" tanyanya. Naya mengangguk. "Hanya sebentar." "Baiklah. Naya boleh pergi. Tapi di antar Paman Bas ya?" Naya menggeleng cepat. "Tidak usah Bi. Naya sudah memesan taksi." "Duh... Kenapa malah pesan taksi, hm? Daddy-mu akan marah kalau tahu kamu pergi tidak di antar paman," ucap Bi Mer cemas. "Bibi, kali ini saja, Naya janji hanya hari ini, dan Naya akan pulang sebelum malam datang," Saat ini waktu menunjukkan pukul 3 sore. "Hm, baiklah. Tapi ingat jangan pulang malam, oke?" Kanaya mengangguk dan mengambil tasnya. Ia mengecup punggung tangan Bi Mer. "Naya pergi dulu ya, Bi." Di dalam taksi Kanaya masih merasa hatinya hancur berkeping-keping, saat semua harapannya untuk bersama Daddy-nya seolah musnah. Naya tidak menyangka kalau Steve lebih menyukai Wenda dibandingkan dirinya. Apa memang selama ini Steve tidak memiliki perasaan apapun terhadapnya. Ya Tuhan, lalu rasa ini hanya aku yang merasakannya sendirian, batin Naya merasa perih. "Jika Daddy tidak bisa menerima ku, untuk apa lagi aku di sini." Entah apa yang dipikirkan Kanaya. Dia malah menjemput masalah baru dengan pergi ke sebuah bar. Ini kali pertama Kanaya masuk ke tempat itu. Biasanya, dia hanya mendengar bahwa Steve bertemu dengan Wenda di tempat yang seperti itu. Tapi sekarang? "Aku juga bisa ke tempat seperti ini." "Maaf, apakah kamu pelajar?" "Bukan, saya punya teman yang bekerja di dalam. Saya mau bertemu dengannya." Security itu melihat tampilan Kanaya. Dia tidak yakin Kanaya sudah cukup umur untuk masuk ke dalam bar. "Kamu tidak masalah jika saya ingin melihat KTP?" "Saya sudah tujuh belas tahun. Teman saya di dalam, Bapak nggak percaya?" "Bukan begitu, Nona, tapi..." "Kanaya, kamu, kah itu?" Suara itu membuat Kanaya menoleh. "Hai, V." "Apa dia teman kamu?" tanya security itu pada V. "Iya, Pak, dia teman saya. Biarkan dia masuk." "Oh, ya sudah, silakan masuk." Kanaya mencebikkan bibir, dia lalu masuk mengikuti V. "Untung ada kamu, V." V tersenyum. Dia adalah teman Kanaya. Bisa dibilang dulu dia tidak sengaja menolong Kanaya, sehingga mereka akhirnya berteman. "Pasti kamu ditahan karena kamu terlalu polos, Nay." "Polos gimana?" Kanaya memperhatikan setiap pengunjung yang datang. Kalau dilihat, memang hanya dia yang berpakaian tertutup. Sebab yang lainnya lebih terlihat berani dalam berpakaian. "Oh jadi karena aku ke sini pakai baju begini?" Naya menyentuh dress yang dia kenakan. "Aneh, padahal kata daddy..." Naya menutup mulut, dia selalu saja melibatkan Steve dalam segala hal. "Hem? Kamu ngomong apa?" "Enggak." "Apa kabar kamu? Kenapa murung begitu sih?" tanya V sambil menuang oren jus untuk Naya. "Enggak, aku cuma lagi gabut aja," jawab Naya malas. "Pengen ketemu kamu, kebetulan katanya kamu kerja di sini. Ya udah aku susulin aja." "Kapan kamu cari aku, Nay?" "Beberapa hari lalu, tapi kata ibu kos kamu, sekarang kamu jarang pulang karena kerja di bar ini." Naya melirik sekilas, ada seorang pria yang duduk di tempat lain, dan ersenyum pada nya. "Naya, jangan mau didekati dengan pria yang ada di sini." "Kenapa?" V menggeleng. "Mereka punya pikiran buruk terhadap kamu." "Pikiran buruk?" Apa sama buruknya seperti pikirannya saat melihat Steve? "Maksud kamu pikiran m***m?" "Astaga Nay. Kamu terlalu blak-blakan," ucap V sambil terkekeh. "Aku selalu berpikiran buruk dan m***m pada Daddy. Hah, jadi aku ini tidak se polos yang orang-orang kira," gumamnya pelan lalu menghela napas. "Nih, minum dulu," ujar V sambil menyodorkan segelas orange jus untuk Naya. "Makasih, kamu lembur ya?" tanya Kanaya. "Oh iya, kamu berhutang nama." "Hutang apa?" V lagi-lagi hanya tertawa. "Penasaran siapa nama asli ku? Bukannya keren nama V." "Tapi aku mau tau nama asli kamu lah, V." "Kapan-kapan akan aku beritahu." "Dasar kamu." Naya melihat gelas oren jus pemberian V. Bukannya lucu, ke bar hanya meminum oren jus. Di sekitarnya banyak botol-botol minuman yang unik. Kanaya penasaran ingin mencoba itu. Naya memandangi gelas berisi minuman berwarna jingga itu. Kemudian ia melirik beberapa botol bir yang berjejer di depannya. Sambil menyentuh botol-botol itu, Naya penasaran bagaimana rasa minuman tersebut. "V, aku boleh minum ini?" tanya Kanaya sambil mengangkat sebuah botol vodka. V mengerutkan kening. "Itu vodka. Yakin kamu mau mencoba minum itu? Nanti kamu mabuk." Naya menimbang-nimbang ucapan V barusan. "Aku mau coba sedikit aja, coba deh kamu tuang," pinta Naya. "Benar nih? Yakin kamu?" jawab V merasa ragu-ragu. "Ya, aku mau coba," jawab Naya yakin. Akhirnya pria itu menuangkan minuman itu pada gelas kecil, lalu memberikan kepada Naya. "Jangan salahkan aku kalau kamu mabuk. Jadi sedikit aja." Naya mengangguk. Ia mengambil minuman yang ada pada cawan kecil itu, lalu meminumnya dalam sekali teguk. "Ah, ini pahit ya?" ucap Naya merasa aneh dengan rasa minuman tersebut. Dia hampir memuntahkan itu. Tapi setelah lidahnya merasakan itu lebih lama, rasanya malah menyatu dan memberikan efek panas serta nagih? V tertawa melihat wajah polos Kanaya. "Kamu lucu, makanya kalau belum pernah, nggak usah kepo kepingin tahu rasanya," ucap V langsung merebut gelas yang ada di tangan Naya. "Jangan di ambil, berikan lagi satu gelas." V tentu saja terkejut. "Lagi?" Kanaya mengangguk, "ya, satu gelas lagi," ucapnya tanpa ragu. "Kanaya kamu dalam masalah. Kalau orang tua mu tau kamu minum ini, kamu akan dimarahi nanti. "Nggak, tidak akan ada yang se peduli itu." Naya lalu menuang sendiri minuman yang ada di depannya, meneguknya berulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD