#4

1362 Words
“Kamu akan membiarkannya gosong?” “Eh?” Dia melihatku bersama Winter, tapi reaksi pertamanya adalah itu? Romeo melewatiku, berjalan ke arah kompor lalu mematikannya. Asap berbau sangit meliuk-liuk dari atas wajan. Hangus. Ada masanya, dua detik, pikiranku kosong. Aku tolah-toleh. Winter hilang. Secepat itu dirinya bersembunyi. Pantas reaksi Romeo sangat wajar. Cowok itu bergerak menuju sofa lantas duduk di sana. Aku menatapnya, melepas napas yang sejak tadi tertahan lewat mulut. Hampir saja. “Ganti baju. Kita harus pergi ke suatu tempat.” Romeo melepas kancing lengan, meletakkan arloji di meja dan melonggarkan dasi lalu bersandar. Dia selalu terlihat lelah. Padahal umurnya baru 17. Dia seringkali memijat keningnya seperti itu, seperti orang tua. Aku beralih ke meja makan, menuangkan air putih. “Ke mana?” Aku menatapnya. Dia tidak menjawab. Seperti biasa. Aku membawakan minum. “Boleh minta tolong?” tanyaku, seraya membungkuk, meletakkan gelas ke atas meja. “Kabari dulu kalau mau datang. Meski tunanganku, kamu tidak bisa masuk begitu saja.” Dia menurunkan tangannya dari pelipis, terlihat protes. Aku menegakkan tubuh dan bersedekap. “Ya… aku kan bisa saja lagi mandi. Mau lihat aku telanjang?” Romeo melirik sadis. Aku tersenyum simpul. “Kabari dulu. Oke?” Dia berpaling seraya menghela napas. Kuanggap itu tanda setuju karena dia tidak protes. “Aku harus pakai baju apa, nih? Formal? Kasual?” Maksudku, tempat yang akan kami tuju. Setidaknya aku tidak salah kostum, kan? “Santai saja.” “Oke.” Aku menuju loteng, lalu berbalik karena ingat sesuatu. “Omong-omong, terima kasih sudah menyediakan baju-baju untukku. Kudengar kamu yang memilihnya. Memang cuma kamu yang tahu aku. Semuanya sesuai seleraku. Terima kasih.” ** “Hei, kamu tidak mengajakku bertemu dengannya, kan?” Aku menarik kemeja Romeo, berbicara dengan bibir dirapatkan, agar gadis itu tidak mendeteksi gerak bibirku. Seorang gadis seumuran diriku, duduk di ruang tunggu salon, melambai riang ke arah kami. Ke arah Romeo, lebih tepatnya. Dia selalu riang bertemu Romeo. Aku yakin itu dia. Romeo mengabaikanku dan menujunya. Aku terpaksa mengikutinya. “Hai, Baby!” Gadis itu berdiri dan langsung merangkul Romeo, mencium pipi kiri dan kanannya. Aku pernah protes tentang itu, tapi dia bilang cium pipi wajar dilakukan di luar negeri. Negeri mana? Eropa? Dia lupa kami tinggal dan besar di Asia Tenggara. Aku saja, tunangannya, tidak pernah mendaratkan bibir di wajah itu. Dia melemparkan senyum sinis padaku dan menyapa singkat. “Hai, Anna.” Aku buang muka dan tertawa kering. Dia mengabaikan reaksiku dan melancarkan aksi manjanya kepada tunanganku. “Aku tidak percaya kamu menjemputku ke salon seperti ini, Rome. Orang-orang akan berpikir kamu cowok yang baik, huh?” Romeo menghela napas, terang-terangan, lewat mulut. “Aku tidak punya waktu. Habis ini ada rapat lagi, jadi kupikir lebih baik aku yang mendatangimu.” Aku nyaris menyemburkan tawa. Gadis itu, Lissa Irishara, mencebik sebal. “Sudah sepakat, kan?” Lissa mengangguk lalu kembali melempar tubuhnya ke sofa ruang tunggu. Romeo mengikutinya. Kuperhatikan cara jalannya. Dia makin cantik. Tubuhnya makin sempurna. Pinggul ramping lenggak-lenggok. Beda denganku yang melangkah lebar-lebar. Rambutnya keriting sepinggang dan diombre. Dia pasti mau pemotretan dan besok saat sekolah, rambutnya sudah hitam lagi. Sungguh melelahkan. Aku juga duduk dan melihat-lihat majalah. Wow. Wajah Lissa terpampang di halaman depan kaver yang k****a. Tak heran, jika dia digadang-gadang akan mengikuti Asia’s Next Top Model setelah lulus tahun depan. Dia memang cantik luar biasa. Tanpa sadar, aku menghela napas. “Hei, Anna,” panggilnya. “Kamu benar-benar merepotkan, tahu?” Aku melirik romeo. Cowok itu tampak pura-pura tidak dengar. “Kalau tidak bisa bertanggung jawab atas ulahmu sendiri, diam saja!” Kulempar majalah ke atas meja. Jengkel. “Kamu ngomong apa, sih?” “Kamu akan bersekolah di Rafflesia School, Anna,” sahut Romeo. Aku menaikkan alis. Yang berarti sekolah Lissa juga. “Kita sepakat untuk sembunyikan identitas kamu. Kita akan pura-pura nggak kenal,” jelas Romeo lagi. Kulihat Lissa bersedekap, masih menatap sebal dan jijik seolah aku ini parasit. “Tanpa persetujuanku?” “Terus, kamu mau putus sekolah gitu aja?” “Memang ada, sekolah yang mau terima pelaku penusukan kayak kamu?” Lissa meniup-niup kukunya. Dia habis pegang t**i? Aku mengalihkan pandangan. Merasa disudutkan. Yang selalu aku sebal dari dulu, Romeo pernah bilang Lissa lebih dewasa dari aku. Meski genit dan centil begitu, dia lebih dewasa dariku, katanya. “Kenapa repot-repot? Aku bisa sekolah di rumah seperti sebelumnya.” “Kamu benar-benar tidak tahu terima kasih ya, Anna?” “Aku nggak ngomong sama kamu.” Lissa memutar bola matanya. “Romeo?” Aku menuntut penjelasan. “Kamu ingin mencobanya, kan? Waktu di Seoul, kamu pernah mengeluh jenuh selalu di rumah dan bilang ingin sekolah di sekolah biasa. Sudah tidak ingin lagi? Tidak apa-apa. Aku bisa membatalkan semuanya.” Aku tertegun. Wajahku terasa kebas dan gerah. Dia ingat semua itu? Cowok itu dan Lissa terus menatapku, menunggu respons. Aku bergeming dan tidak berkedip. “Oke,” jawabku, akhirnya. “Terima kasih.” Kalimat terakhir kuucapkan dengan memelankan suara dan buang muka. Lissa pura-pura tidak dengar. “Bisa diulangi?” Benar-benar. “Sudahlah.” Romeo menengahi. Lissa tersenyum mengejek. “Bersikap baiklah padaku. Selama setahun aku akan pura-pura tidak kenal kamu dan pura-pura lupa kejadian penusukan itu.” Aku mendecih. “Kamu juga diuntungkan, bukan?” Kulipat tangan di depan d**a, bersedekap. “Kamu tidak akan melakukan sesuatu tanpa upah.” Lissa mengusap-usap rambut di sebelah telinga. Kebiasaannya saat grogi. Kebiasaan yang terbiasa tidak hilang bahkan setelah hampir sepuluh tahun tidak bertemu. Aku mendekat pada Romeo dan menyipitkan mata. “Katakan. Apa yang kamu berikan padanya?” Romeo menghela napas. Selalu. “Sebuah resort. Di Bali.” “Heh!” Lissa protes karena Romeo membocorkannya. Aku tertawa terbahak-bahak, terpingkal-pingkal hingga sakit perut. Romeo melihat arlojinya dan berdiri. “Aku harus pergi.” “Antar aku pulang dulu, kan?” tanyaku. Cowok menyebalkan itu menggeleng. “Aku buru-buru.” “Terus?” Rara datang menjawab pertanyaanku. Kehadiran wanita berponi keriting itu membuat Lissa balas mengejekku. Dia tertawa dan pamit masuk ke dalam ruang perawatan setelah seorang terapis menjemputnya. ** “Tidak mudah untuk Lissa menyembunyikan identitasmu, Anna. Dia model terkenal.” Rara memberi tahuku, seraya mengemudi Rolls Royce Phantom dengan setir di sebelah kiri. Romeo memang kuno, seperti namanya. Semua mobilnya tipe lama. Dia bahkan mengendarai VW kodok saat di Korea. Aku tidak menjawab, menatap luar jendela. Kemacetan membuat mobil klasik ini cukup menjadi sorotan. Dua-tiga empat pasang mata terus memandangi kagum, ada juga yang menengok sebentar, lalu berpaling—tidak peduli. Reaksi orang-orang. Bagaimana reaksi orang-orang jika tahu di dalam mobil ini ada seorang pelaku percobaan pembunuhan? Romeo benar, tentang menyembunyikan identitasku. Itu yang terbaik. “Seragammu sedang dibuat. Ukuran M, kan?” Aku mengangguk, tidak peduli Rara menyadarinya atau tidak. Rafflesia School. Bahkan seragamnya dibuat di toko khusus. Aku pernah lihat emblem yang dipakai Romeo. Terbuat dari emas dengan butir berlian biru. Aku adalah kriminal paling beruntung di dunia, kan? Omong-omong, ini sekolah formal pertamaku. Selama di Seoul, Papa tidak mengizinkanku keluar. Mama pun setuju, karena menurut mereka, identitasku harus dirahasiakan untuk berjaga-jaga. Tidak mudah menjadi anak orang terkenal di Korea. Apalagi, anak seseorang yang mempunyai skandal perselingkuhan dengan artis ternama, Han Ji Eun. Dan keputusan itu tepat. Aku baik-baik saja sekarang. “Bagaimana rumahnya, Anna?” Rara melirik dari spion. Rumahnya? Ada seorang buronan di sana. “Lumayan. Sinyalnya bagus setelah pohonnya dipangkas.” Aku menyandarkan lengan ke dekat jendela dan menopang dagu, menikmati pemandangan hijau. Sudah dekat rumah. “Aku turun di sini saja.” “Heh?” Rara refleks mengerem. Aku segera melompat turun. Selain karena tidak ingin Rara bertemu Winter, aku juga ingin berjalan-jalan. Sebelum menutup pintu, aku membungkuk dan melongok ke dalam. “Bilang Romeo, besok aku berangkat naik bus saja. Aku sudah memutuskan untuk jadi murid biasa. Aku juga tidak akan menyapa Romeo. Aku janji tidak akan merepotkan siapa pun.” Aku menutup pintu sebelum Rara sempat merespons. Jalan setapak dengan pepohonan lebat segera menyegarkan napas dan jalan pikiranku. Romeo bahkan memberikan sebuah resort secara cuma-cuma demi melindungiku. Sudah seharusnya aku bersyukur, kan? Namun, rasa lega itu berlangsung sementara. Sebuah mobil sudah terparkir di halaman saat aku sampai. Pintu terbuka lebar. Sebelum bertemu, aku sudah menduga dia akan datang. Papa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD