#3

1655 Words
        Aku pasti dianggap gila, jika orang-orang tahu, aku membiarkan seorang pembunuh menginap. Pagi ini, dia masih tertidur di atas sofa ruang tamu dengan selimutku. Semalaman aku duduk di tangga dan terus menggenggam pisau untuk berjaga-jaga. Namanya Winter, aktor sekaligus penyanyi yang sedang naik daun. Sebab sejak awal telah menjadi konsumsi publik, polisi secara terbuka membeberkan kejahatan sadis itu dilakukan dengan cara menyabet tubuh korban menggunakan sabit, yang menembus dari punggung hingga ke d**a. CCTV di lorong hotel membuat gamblang bahwa hanya Winter yang berada di TKP pada waktu kejadian. Setelah membunuh, pria itu melenggang santai di lorong hotel dengan mengenakan hoodie hitam dan membawa sabit. Seperti malaikat maut. Sejak hari ini, orang-orang memanggilnya Handsome Grim Reaper. Yah, dia benar-benar Malaikat Maut Tampan. Visualnya luar biasa. Dengan mata sendu, dia penjahat tertampan yang pernah kulihat. Dia membaca jurnalku. Tentang kejadian di Korea, tentang rencana penyembunyian identitasku. Dia mengetahui identitasku. Annamaya Ditta Iskandar, anak Jordy Iskandar, pelaku penusukan yang diumpat orang-orang, seorang gadis yang tidak mempunyai masa depan. Kami membuat kesepakatan. “Aku menyembunyikan identitasmu, kamu menyembunyikan aku. Gimana?” Aku tak dapat berkata-kata. Ujung pisau runcing yang diarahkannya mengintimidasiku. Secepat inikah karma? Kemarin aku menusuk Han Ji Eun dengan pisau, kini seseorang menodongku. “Aku tidak tahu ada hutan seperti ini di Jakarta. Tempat yang sangat sempurna untuk bersembunyi, bukan?” Dia memutar-mutar pisau di tangannya, melihat sekitar. Aku menatap lampu tidur dari keramik. Sepertinya cukup keras untuk menghantam kepalanya. “Jangan coba-coba.” Dia mengetahui rencanaku. “Aku hanya ingin tinggal beberapa hari. Pelit banget, sih?” “Bunuh aku saja,” putusku. Dia terdiam sejenak, tampak terkejut, lalu membuang pisau itu ke lantai. “Sayang sekali. Aku bukan pembunuh. Aku tidak membunuhnya. Aku dijebak dan menjadi buronan. Seminggu. Izinkan aku tinggal selama seminggu. Aku akan mencari cara membersihkan nama baikku.” Aku tertawa geli. “Kenapa harus?” Dia mengangkat bahu. “Ya, tidak apa-apa, sih, kalau tidak mau. Aku tinggal menyerahkan diri. Dan pada konferensi pers, saat semua kamera mengarah padaku, aku akan—“ “Stop!” Aku memotongnya. Dia akan membocorkan identitasku. Dia terkekeh. “Tiga hari.” Dia mengernyit. “Mana cukup.” “Tiga hari.” Dia mengangkat tangan. “Oke, oke.” Maka, aku menyembunyikannya di lemari saat Rara datang semalam. Aku mendorongnya pergi, dengan mengatakan aku akan baik-baik saja. “Polisi terus melakukan pencarian di sekitar sini. Aku aman, kok.” Rara membiarkanku meski wajahnya resah. Sejak saat itu, aku tahu betapa bodohnya diriku, tapi kali ini saja, aku tidak ingin merepotkan Romeo. Biar kuatasi ini sendiri. Dia menggeliat. Aku berdiri, hendak naik , tapi tidak jadi, karena kupikir, kenapa harus aku yang menghindar? Ini rumahku. Aku kembali duduk kikuk di tangga. Dia membuka mata dan beringsut bangun. “Hei, pagi,” katanya, sambil menguap. Aku mendecih geli. ‘Pagi’, katanya? Seolah semua ini normal. “Ngapain di situ?” Aku segera menyadari posisiku. Tanganku masih menggenggam pisau yang lurus menghadapnya. Aku menarik pisau itu dan meletakkannya perlahan di anak tangga. Dia terkekeh. “Kamu berjaga semalaman? Seperti hansip?” “Hansip?” Dia tertawa lagi, menganggap kemiskinan kosakata bahasa Indonesiaku sebagai lelucon. “Satpam. Security. Tahu kan, security? Tanpa sadar, bibirku membulat membentuk huruf ‘O’ besar. Kenapa harus pilih kata-kata yang tidak umum, sih? Dia berdiri dengan menepuk lutut keras-keras. “Nah, sekarang kita harus apa? Biasanya, jam segini aku sudah di lokasi syuting. Sekarang, aku pengangguran. Ah, ya, apa ada baju untukku?” Aku menyipit. “Kamu buronan, bukan pengangguran. Bukankah kamu terlalu santai? Kamu tidak berniat membersihkan namamu, ya? Kamu benar-benar membunuhnya?” Diam membungkus rentetan pertanyaanku. Dia menghela napas dan memijat pelipisnya. “Yah... Sebenarnya aku tidak tahu apa yang akan kulakukan. Satu-satunya orang yang bisa membantuku tewas. Manajer bagi seorang artis adalah segalanya. Tapi, aku—“ Ini pertama kali bagiku, melihat dia tampak bingung sekaligus sedih. Aku segera menyesali ucapanku. Mungkin, dia memang tidak membunuhnya. “Pokoknya, aku hanya sebentar di sini. Jangan khawatir, oke? Sekarang, aku lapar. Bisa buatkan makanan?” Aku terkejut. “Kamu pikir ini layanan hotel?” Dia menatap tajam dan menyeringai jahil. “Bukannya kamu butuh uang?” Eh? Sialan! Sebenarnya berapa banyak yang kutulis di jurnal? Dia tahu itu juga! “Baju, makanan dan tempat tidur. Tenang saja, aku akan membayar semuanya. Aku ini artis terkenal, tahu?” Dia mengatakan itu seraya berlalu dan sok keren. Mulutku ternganga, terheran-heran dan kehabisan kata. ** Aku melempar setumpuk baju kepada Winter yang duduk santai menonton televisi. Berita kriminal. Polisi masih melakukan pencarian. Dia gila, ya, menonton dirinya sendiri? “Apa ini?” “Baju-baju papaku. Jangan rewel tentang model dan ukurannya. Papaku kelahiran 70-an.” Dia membentangkan baju-baju itu seperti sedang belanja di mal. “Oke, lumayan. Beberapa harusnya kamu rawat dengan baik. Cukup banyak merek-merek terkenal—“ Dia berhenti bicara, sadar aku meninggalkannya. “Ikut aku.” Dia mengekoriku hingga ruang baca. Aku menyalakan lampu, berjalan masuk lalu berjongkok dan menyibak sebuah karpet di lantai. Sebuah penutup lubang rahasia tersembunyi di baliknya. “Apa ini?” Kutarik penutup dan anak-anak tangga terbentang di bawah sana. Aku masuk. Lubangnya hanya seukuran satu orang. Aku masuk lebih dulu, setelah itu Winter mengikuti. “Astaga…” Dia berkacak pinggang, melihat sekitar seraya berkacak pinggang. Ruang penyimpanan anggur rahasia. Papa dan Mama menyembunyikan ini dariku. Saat itu, mereka pasti tidak ingin anak kecil sepertiku melihat minuman keras.  Tanpa mereka tahu, sewaktu kecil aku pernah mengintip Mama turun ke sini saat tengah malam. Mereka sangat harmonis saat itu, hingga minum bersama dan tertawa bahagia. “Tidur di sini.” “Heh?” Aku melotot. “Jangan banyak mau kenapa, sih? Kamu itu harus sembunyi. Kamu buronan! Kita tidak tahu siapa yang akan datang. Rara, Romeo, tukang sampah, tukang koran—“ “Ya, ya, ya. Oke.” Diam. Aku masih berapi-api. Dia memandangku seperti menunggu sesuatu. “Apa lihat-lihat?” “Oh, sudah? Kirain mau mengomel lagi.” Eh, eh…. “Aku mau mandi. Buatkan makanan, ya?” Dia berlalu. Aku nyaris menimpuknya dengan botol anggur. ** “Bau apa ini?” tanyanya, begitu keluar dari kamar mandi. Panik, aku buru-buru menyeka cangkang-cangkang telur dari meja dapur hingga jatuh berhamburan ke lantai. Aku tidak bisa menunjukkan bahwa aku sedang berusaha membuat sesuatu untuk sarapannya. Malu! Namun, dia memergokiku dan melongok ke dalam wajanku. Dia terkekeh geli. “Bikin apa? Telur hitam?” Wajahku hangat. Sepertinya merah. “Telur dadar, tahu! Telur dadar!” Dia terbahak-bahak. Aku menoleh sebal dan saat itu tersadar, kemeja Papa di tubuhnya belum dikancingkan dengan benar. Dadanya yang bidang dan berotot kentara jelas. Aku mengacung-acungkan spatula padanya. “Pakai baju yang benar. Kamu pamer badan bagusmu?” Dia melihat dadanya sendiri kemudian menatapku lalu tersenyum nakal. “Bagus, kan? Kamu mengakuinya. Badan bagus ada untuk dipamerkan. Apa aku terlalu menggairahkan sampai wajahmu merah begitu?” Aku refleks memegang pipi. Apa benar? Kulitku memang teraba hangat, sih. Tapi... “Tidak,” elakku. “Menggairahkan apanya? Wajahku merah karena kompor! Nih, kompor!” Aku memukul-mukul wajan dengan spatula. Dia tersenyum menggoda. Aku meremas gagang spatula kuat-kuat, mengumpat diri sendiri. Aku terlihat salah tingkah, bukan? Sialan. “Kamu mau buat dadar?” Dia melongok ke dalam wajan lagi. Aku mengibas-ngibas spatula. “Sana pergi, jangan ikut campur.” “Mau kuberi tahu resep rahasia dadar yang renyah dan bisa jadi banyak? Dua butir saja bisa jadi satu bulatan yang besar.” Aku terdiam. Renyah dan besar. Seperti yang kuinginkan. Seperti dadar buatan Mama. Sejak semalam, setelah kembali ke rumah ini, aku teringat dadar buatan Mama. Dadar yang renyah dan besar. “Kocok telurnya hingga berbusa.” “Sudah.” “Minyaknya harus banyak dan panas.” Aku menggaruk belakang telinga. “Oh.” “Dan rahasia yang paling penting adalah....” Dia sengaja membuat penasaran. Mungkin menyenangkan baginya melihatku seperti amatiran. “Tuang telurnya dari jarak yang tinggi dengan arah memutar yang cepat.” Aku mendengarkannya dan tanpa sadar segera melakukan semua instruksinya. Kuambil telur, garpu dan mangkuk. Selagi mengocok telur, aku sempat menoleh. Dia tersenyum memandangiku. “Apa lihat-lihat?” tanyaku, berusaha ketus. “Garamnya mana?” Astaga, bodoh! Aku bergegas mengambil garam dan menuangkannya sejumput. “Bawang bombai dan daun bawangnya jangan lupa. Dadar biasanya wangi, kan?” “Ah, benar.” Aku berlari ke arah kulkas. Bagaimana dia bisa lebih tahu dariku, sih? “Aku sering membuatnya waktu zaman susah dulu,” katanya, setelah aku kembali dengan daun bawang dam bawang bombai, seolah tahu isi pikiranku. “Kocok yang kuat, kenapa, sih?” “Diam!” Beberapa saat kemudian, aku selesai mengaduk semuanya dan bersiap menuangkannya ke dalam minyak panas. Angkat mangkuk tinggi-tinggi dan tuang dengan memutar, katanya. Aku melakukannya dan berhasil. Jantungku berdebar saat mau mencobanya. Satu gigitan.... “Eh, benar! Persis buatan Mama!” Tanpa sadar aku bersorak. Tuhan, aku rindu sekali rasa ini! Dia memperhatikanku mengunyah. Apa aku terlihat rakus? Terserah. Aku sangat bangga dengan masakanku sendiri. Aku melahap lagi dan lagi. Hingga.... Habis. “Lapar?” tanyanya, tepat setelah suapan terakhir mendarat di mulutku dan tersisa piring kosong yang berminyak. Aku tersedak. Dia tertawa. “Buat lagi,” perintahnya. “Banyak latihan biar bisa.” Dia lantas meninggalku ke arah jendela. Aku mulai memasak lagi. “Hei, sejak kapan mobil itu ada di sana?” Aku sontak menoleh dan mengikutinya mengintip dari balik gorden. Mobil Romeo terparkir di halaman. “Sepertinya tidak ada orangnya.” Benar. Kaca film yang agak transparan membuatku tahu tidak ada orang di dalam sana. Kalau begitu, berarti.... “Hei, kamu sudah kunci pintu?” Aku menyikutnya, panik. “Heh? Kenapa aku yang kunci? Ini rumahmu!” Lantai rumah ini yang terbuat dari kayu akan berderit-derit jika diinjak. Sekarang, bunyi derit itu terdengar dari ruang depan. Makin lama makin dekat. Hanya dalam sekejap mata, sebelum aku berhasil menyuruh Winter sembunyi, cowok itu, Romeo Aditama, tahu-tahu berdiri di hadapanku. Kira-kira, bagaimana reaksinya jika tahu aku tinggal bersama—meski cuma tiga hari, dengan seorang buronan kasus pembunuhan?        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD