#2

1381 Words
Jakarta, 20 Desember 2020 Parkir Inap 2 Bandara Soekarno Hatta, mobil Hyundai Atoz merah muda B 394 SP. Tak salah. Aku mengembuskan napas lewat mulut, lega menemukan Rara. Kaca jendela mobil diturunkan. Dari balik kemudi, wanita berkacamata bulat dengan poni keriting melambai padaku. “Masuklah.” Aku mencoba membuka pintu belakang, tapi terkunci. Aku melongok dari kaca depan. Rara menatap tanpa perasaan bersalah dan butuh seperempat menit hingga sadar. “Ah? Maaf. Kupikir kamu mau duduk di sebelahku.” Rara segera turun dan berlari membukakan pintu belakang. “Tidak bisa dibuka dari dalam.” Aku masuk dan Rara menutup pintu. Aroma lavendel yang lembut menyentuh penciuman. Rara masuk. Selagi menarik sabuk pengaman, dia menyadari Aku memperhatikan gantungan akrilik bergambar wajah Rara dan kacamata bulatnya bergoyang-goyang di spion tengah. “Benar, ini mobilku. Romeo menyuruhku agar tidak terlalu mencolok. Kamu sedang menjadi perhatian publik, hmm? Berita tentang penusukan Han Ji Eun menyebar ke mana-mana.” Aku menyandarkan kepala dan memejam. Lelah. Aku ingat dia memang banyak bicara. “Menyetir sajalah. Jangan banyak bicara.” “O-oke.” Rara memutar kunci hingga mesin menyala. Untung derunya halus. Mobil mulai meninggalkan bandara. Masih gerimis dan jalanan basah. Sebuah pesawat di langit terbang rendah dan semakin rendah sementara mobil melaju pelan. Aku nyaris terpejam, tapi tersentak lagi ketika Rara bicara. “Ada minum di depanmu, Anna. Tidurlah, aku akan menyetir dengan hati-hati.” Namun, tidak sesuai dengan janjinya, dia cukup sering mengambil rem mendadak. Usai memasuki tol Cengkareng, ketenangan itu semakin terasa mustahil. Rara menyalip sana-sini seolah ingin cepat-cepat buang air. Ya, Tuhan... dia juga sangat tidak bisa diam. “Romeo memintaku mengurus semuanya selama kamu di sini. Aku sudah melihat rumah ibumu dan membersihkannya. Listrik dan air menyala dengan baik. Tidak seperti dulu, sekarang sudah banyak minimarket dan restoran. Kira-kira lima ratus meter. Kalau pakai mobil cuma sekitar... hem.. lima menit? Kamu tidak akan benar-benar tinggal di hutan, kok. Anggap saja liburan di vila.” Dia menoleh ke arahku, mungkin merasa diabaikan karena aku tidak memberi respons. Keluar tol. Rara diam sebentar saat putar balik. Bunyi tik-tak-tik-tuk indikator lampu sein mengisi keheningan sementara sebelum akhirnya Rara mencerocos lagi. “Sinyalnya kurang baik, tapi di loteng kamu bisa tetap mengirim pesan. Kamu akan menempati kamar di loteng, kan? Ah, ya... aku juga sudah meminta orang untuk memotong ranting pohon akasia di belakang rumah. Pohon yang sangat tua, huh? Sinar matahari terhalang karenanya.” “Apa harus dipotong?” Rara melirik dari spion. “Kurasa begitu. Eh, atau kamu mau membiarkannya? Sinar matahari sangat mengganggu, kan?” Aku menahan napas dan mengerjap lambat. “Pohon itu....” “Tidak apa-apa, aku bisa membatalkannya, kok.” Rara menyela. Aku berpaling menatap ke luar. “Tidak apa-apa, rapikan saja.” “Oke,” sahut Rara cepat. Rumah itu bukanlah rumah itu jika tanpa pohon akasia. Aku dan Mama sering duduk di bawahnya, menikmati roti panggang buatan Mama. Aku tidak suka bepergian, jadi Mama sering mengajak berpiknik atau berkemah, tidur dalam tenda yang dipasang di bawah pohon itu. Mama memakaikan losion anti nyamuk dan kami akan menghitung bintang sebelum tidur. Macet di perempatan lampu merah. Aku membuka kaca, menyelipkan sebatang rokok di kedua bilah bibir, menyulutnya dan membuat Rara menoleh. “Kamu merokok sekarang?” Kenapa tanya kalau sudah tahu? Dua gadis remaja di tepi jalan menarik lurus pandanganku Mereka mengikik menonton sesuatu di ponsel. Kudengar Rara menghela napas berat, mungkim merasa diabaikan. Tiba-tiba terdengar jeritan. Dua remaja tadi melempar ponsel ke jalan raya, bertepatan dengan lampu menyala hijau, hingga sebuah motor melindas ponsel itu. Aku menyipit ngeri mendengar bunyi keras tanda hancurnya ponsel itu. “Pembunuhan! Jonathan dibunuh!” teriak gadis-gadis itu. Mobil di belakang memijit klakson. Rara tergagap memajukan persneling dan menginjak gas. “Ada apa, sih?” Dengan satu tangan, wanita itu meraih ponsel di dashboard demi menjawab rasa penasaran. Lantas, dia meringis ngeri. “Ya, Tuhan....” Seseorang ditemukan tewas dalam siaran langsung i********:. Mulanya, seorang kru televisi hendak merekam aktivitas sang artis dan manajernya saat mereka menginap di sebuah hotel tempat wisata. Namun, begitu membuka pintu kamar sang artis, mereka menemukan manajer tersebut sudah tergantung dalam posisi terbalik dengan luka sayatan di bagian d**a. “Gila, ya, sadis banget! Dagingnya sampai kelihatan jelas di kamera!” Aku mual mendengar komentar Rara yang membuatku mau tak mau membayangkan. Mobil nyaris menabrak motor yang berlawanan arah. Aku menggeram. “Menyetir saja, Rara! Menyetir yang benar!” “O-oke, maaf.” Rara meletakkan ponsel, menyemburkan napas lewat bibir yang mengerucut dan meremas kemudi penuh tekad. Aku melirik sebutir keringat di pelipisnya Sepertinya, benar-benar pembunuhan yang menakutkan. Hening sementara. Rara tampaknya tidak ingin membuat kesalahan lagi. “Nah, kita hampir sampai.” Aku menegakkan punggung dan melihat sekitar. Mobil memasuki hutan. Hutan ini sebenarnya hanya tanah milik keluarga dan bukan hutan pedalaman dengan hewan buas atau tanaman beracun. Hanya disebut ‘hutan’ karena pepohonan berbaris rapat dan lebat. Seperti Rara bilang, dekat dengan kota. Aku mengeluarkan kepala, membiarkan udara sejuk membelai-belai wajah. “Sudah berapa lama? Sepuluh tahun, ya? Hutan ini pasti merindukanmu.” Rara asisten pribadi Romeo sejak kecil. Usia Rara dengan Romeo dan diriku terpaut lima tahun. Jadi, saat berusia lima tahun dulu, Rara sudah menggendong-gendong kami yang dijodohkan sejak lahir. Benar katanya, tak terasa sudah sepuluh tahun dirinya di Korea. Selama di sana, aku hanya melihat Mama tersiksa dan menderita hingga mati. Di sana Papa tidak pernah ada untukku dan malah menyembunyikan identitasku. Sekolah di rumah, keluar rumah hanya saat dilarikan ke klinik karena sakit asam lambung. Dipikir-pikir, hidupku keras sekali selama sepuluh tahun belakangan. ~oOo~ “Romeo titip ini. Nomornya sudah kuaktifkan. Aku juga sudah menyimpan nomorku dan nomornya. Besok Romeo akan datang dan setiap tiga hari sekali aku akan menyetok makanan. Tapi, kapan pun kamu butuh bantuan, telepon saja aku. Jangan sungkan ya?” Di halaman rumah, Rara menyerahkan ponsel baru. Aku menerimanya begitu saja, memandang rumah di hadapanku dengan setengah tak percaya. “Aku pulang, ya?” Rara pamit. Aku tidak memperhatikannya hingga Rara menginjak gas dan pergi. Aku terpaku. Dalam bayanganku, Mama menyambut di teras rumah bergaya Jawa modern itu. Mama secantik biasanya dan sehat. Wanita itu memelukku dan kami tertawa bahagia karena telah melepas rindu. Lalu, Mama menuntunku masuk, mendudukkan di ruang makan dan kami menyantap telur dadar paling lezat di dunia bersama-sama. Namun, derit pintu yang terlalu nyaring membuatku sadar. Ruangan berbau lembap dan lantai dingin. Tanda rumah telah lama kehilangan kehangatannya. Mama tak ada lagi. Aku menutup pintu dan menuju loteng. Loteng tengah adalah ruangan kecil dan terbuka. Hanya muat satu ranjang kecil, lemari dan sebuah meja kursi. Aku berdiam memandangi jendela yang menghadap pohon akasai di halaman belakang sebelum mendekat dan membukanya. Sinar matahari dan angin panas segera menerpa wajah. Aku menghalau mata dengan telapak tangan karena silau. Lalu, setelah membuka mata, aku melihatnya. Seorang pria. Dia menengadah di bawah pohon eks dengan mata terpejam seolah menikmati udara segar. Mungkinkah penebang yang Rara bilang? Pria itu kemudian menyadari keberadaanku dan tersenyum. Aku mengangguk takzim dan pelan-pelan menutup jendela. ** Rara sudah menyiapkan semuanya untukku. Makanan dan pakaian, hingga perban dan Betadine untuk merawat lukaku. Dia juga memberikanku buku sketsa dan jurnal. Soal Forest, dia akan segera membuat janji bertemu. Aku pun meminta tolong padanya untuk memasang lampu baru di loteng. Lampu itu selalu berkedip-kedip, mati-menyala, menyala-mati. Ponsel di sebelah bantal berdering. Entah sejak kapan aku tertidur. Loteng gelap. Sepertinya sudah malam dan lampu mati total. “Aku akan ke sana sekarang, Anna. Jangan bukakan pintu untuk siapa pun. Mengerti?” Rara terdengar panik. Aku tidak begitu mengerti dan suaranya pun putus-putus. “Mayat manajer yang tadi. Pelakunya sudah ketemu dan dia kabur ke arah hutan rumahmu!” Manajer? Oh, siaran langsung itu? “Dengarkan aku. Dia berambut hitam, berwajah Asia dan kantung bawah matanya tebal seperti orang kurang tidur. Dia memakai hoodie hitam saat melarikan diri.” Aku tidak dapat mendengar Rara dengan benar. Sesuatu menggangguku. Aku merasakan kehadiran seseorang. Di sana. Di depan meja tulis. Siluet tubuhnya tampak mendekat padaku. Lampu tiba-tiba menyala. Terang benderang. Aku terkesiap. Si Penebang tadi berada di depanku sekarang. Tunggu.... Rambut hitam, hoodie hitam, wajah Asia, kantong mata tebal dan tubuh tinggi.... Benar dia. Si Penebang. Dia buronan itu. Dia mengacungkan sesuatu. Buku jurnalku? Sebelum aku mampu berpikir dengan benar, dia menodongkan pisau padaku. “Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD