Semuanya Tak Lagi Sama
Mentari telah bersinar hangat di atas angkasa yang berwarna biru. Saatnya para penghuni dunia menyambut hari yang baru. Semua orang sudah sibuk dengan berbagai urusan hidup. Kecuali aku yang masih terlelap dalam mimpi semu. Mimpi yang telah sering berulang, dimana aku berlari mengejar cahaya yang semakin sayu. Ketika cahaya itu hilang dari pandangan, aku merasa tenggelam dalam kegelapan.
Itu bukanlah mimpi buruk, karena berada di dalam kegelapan itu rasanya menenangkan. Tak ada yang dapat mengusikku, tak perlu ada perlawanan. Kubiarkan diriku hanyut dalam kesunyian. Namun ketenangan itu tak lama bertahan, suara yang tak asing memanggil namaku berulang-ulang. “Rian…Rian…” Kegelapanpun mulai sirna dan aku membuka mata perlahan.
“Rian! Cepetan bangun! Udah jam 6 lebih ini! Jangan sampai terlambat ke sekolah!” Ucap wanita yang minggu lalu baru saja berusia 43 tahun. Ia adalah ibuku, Suciati namanya. Sosok yang penuh perhatian dan sayang keluarga. Meskipun hanya sebagai seorang ibu rumah tangga, ia juga berusaha ikut membantu perekonomian keluarga kami dengan berjualan pakaian secara online.
“Cepetan Riaaaan!” Teriak ibuku yang berteriak dari lantai 1.
“Iya Buu” Balasku.
Aku duduk di pinggir dipan, karena masih mengumpulkan nyawa dulu. Ku lihat sekeliling kamar, disampingku ada lemari pakaian berukuran besar dengan ukiran kayu yang indah. Di seberang dipan ada meja belajar sederhana dengan tumpukan buku yang berantakan. Kulihat di sana juga ada pigura kecil berisi foto keluarga kami saat liburan bersama di daerah Puncak minggu lalu. Aku tersenyum kecil. Aku sadar bahwa aku bahagia menjadi bagian dari keluarga ini. Meskipun hanya ada kami bertiga di rumah yang tergolong mungil, namun kebahagiaan yang kami rasakan ini selalu kami syukuri.
“Riaan!” Suara ibuku yang memanggil dengan nada sedikit kesal.
“Iya bu!” Aku segera beranjak membuka lemari pakaian dan mengambil seragamku.
Ya, namaku Rian Budi Santoso, biasa dipanggil Rian. Aku adalah seorang siswa biasa dari SMA Jurusan IPA kelas XII-A di sekolah negeri daerah Bandung. Ini merupakan waktu yang sangat genting bagiku, yaitu menghadapi horor bernama Ujian Nasional atau disingkat UN. Katanya, UN disebut sebagai pintu gerbang kesuksesan karir, ia menentukan kesuksesan kita di masa depan. Aku yang sebenarnya tidak terlalu bodoh ini juga tetap harus belajar mati-matian dari berbagai materi pelajaran termasuk ikut les di luar jam sekolah. Seserius itulah momok bernama UN ini.
Selesai mandi, aku segera bersiap untuk sekolah. Di halaman depan sudah terdengar suara motor Babe, panggilanku ke ayah, nama aslinya Satria. Babe bekerja sebagai staf di Pemda Bandung yang kebetulan tidak jauh dari rumah. Ia sosok yang bijaksana dan tidak banyak bicara tetapi kadang bisa bercanda untuk memecahkan suasana hingga membuat kami tertawa. Kulihat babe sedang sarapan di meja makan, aku menghampirinya.
“Wah telor ceplok ya, kesukaanku nih” Aku mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan telur ceplok.
“Telurnya sudah agak dingin, kamu kelamaan sih. Cepetan sarapan terus berangkat sekolah. Sekarang jam setengah 7, jangan sampai terlambat” kata babe.
“Siap be” Aku segera menyantap makanan yang sudah tersedia. Menu ini hanya simpel, nasi dan telor ceplok dengan taburan garam di atasnya. Meskipun sudah sedikit dingin, tapi entah kenapa hatiku masih bisa merasa kehangatan dari masakan ibu. Ku tengok sekeliling tapi tidak kulihat ibuku. “Ibu kemana be? Kok gak keliatan?”
“Lagi ke tempat Bu Retno, tetangga sebelah rumah, katanya Bu Reto mau pesen selusin baju seragam untuk grup pengajian ibu-ibu kompleks” Jawab Babe.
“Wah pagi-pagi gini sudah laris saja dagangannya” Selesai sarapan, aku mencuci piring. Sedangkan babe sudah menungguku di halaman. Aku segera menyusul, mengeluarkan motor dari garasi dan bersiap berangkat dengan beriringan dengan Babe meskipun nanti kami berpisah di tengah jalan. Tiba-tiba kepala ibu muncul dari pagar tetangga sebelah.
“Udah mau berangkat ya. Hati-hati di jalan”
Aku dan Babe sama-sama mengangguk. Lalu Babe berangkat duluan, aku menyusul di belakangnya. “Berangkat dulu bu”
“Ya” jawabnya singkat sambil melambaikan tangan.
Untuk sampai di sekolahku hanya butuh waktu 20 menit, itu sudah termasuk hitungan macet di jalan. Setelah memarkirkan motor, aku segera menuju ke kelas. Di depan kelas ada Ucok yang baru datang juga. “Ui Cok, tunggu aku!” Ucok berhenti menungguku.
Ucok merupakan satu-satunya sahabatku yang setia. Kami selalu bersama dari kelas X, jika ada tugas kelompok, maka kami tak terpisahkan. Meskipun dia tidak terlalu cerdas, tapi aku tahu dia selalu berusaha semaksimal mungkin dalam belajar. Orangtuanya membuka toko kelontong, aku sudah beberapa kali main ke rumah Ucok dan bertemu dengan keluarganya yang ramah dan sedikit heboh.
Aku menepuk punggung sahabatku itu. “Kamu kenapa kok lesu, Cok? Padahal masih pagi gini”
“Tadi pagi, aku baru ingat kalau ada PR Matematika. Sulit sekali, aku baru kerjakan 7 dari 10” Jawab Ucok.
“Owalah. Padahal kemarin kan sudah ku ingatkan ketika pulang sekolah” Aku menggelengkan kepala, ini bukan pertama kalinya Ucok berbuat hal yang sama seperti ini.
“Ya namanya manusia kan bisa lupa. Aku lihat hasil PR mu dong. Hehe, kan kamu lebih pinter dari aku, Yan '' Rayunya.
“Ok, ntar ku lihatkan” jawabku santai.
“Yes! Gitu dong, sering-sering bantu sohibmu ini” Ucok terlihat senang mendengarnya.
“Haha, Ya udah masuk kelas yuk” aku mendoro punggung sahabatku itu masuk ke dalam kelas.
Sudah ada banyak teman di dalam kelas. Mereka terlihat sibuk masing-masing. Beberapa saling berbincang dan ada juga yang sedang menyalin PR dari teman lainnya. Sepertinya bukan hanya Ucok saja yang lupa kalau ada PR Matematika pagi ini. Aku duduk di kursiku bersebelahan dengan Ucok, ia dengan sergap menyalin PR dari bukuku yang baru ku keluarkan dari dalam tas.
“Duh tiba-tiba perasaanku gak enak ya” Rasanya hati ini tidak tenang, tapi tak bisa diungkakan karena tidak ada stimulus tertentu saat itu..
“Perutmu mules apa gimana?” balas Ucok yang masih menyalin PR.
“Gak kok, bukan masalah itu, entahlah. Gak enak aja” jawabku.
Kemudian ada 3 siswi masuk kelas secara beriringan, mereka adalah geng paling ditakuti di kelas. Ketua gengnya bernama Dita, seorang siswi tomboy yang kadang semena-mena. Orangtuanya merupakan anggota DPRD yang sekaligus menjadi salah satu investor penting di sekolah kami. Bahkan guru BK kewalahan menghadapinya karena sudah dipesan untuk tidak bermasalah dengan Dita.
“Hey guys lihat deh, ternyata si Irian sudah sampai duluan” Ucap Dita mengejek Rian dengan panggilan Irian. Teman gengnya menertawakan Rian karena hal sepele itu.
“Namaku Rian, bukan Irian” Balasku tegas.
“Ya…ya~ Suka-suka aku lah, aku yang punya mulut, kenapa kamu yang ribut? Week” Dita dan gengnya duduk di kursi masing-masing. Rasanya kesal tapi aku tak ingin bermasalah dengannya di pagi hari yang dapat merusak moodku.
“Oww jadi itu yang kamu maksud perasaanmu gak enak tadi? Orang seperti itu gak perlu ditanggepin. Dia cuma bawa masalah aja” Pesan Ucok sok bijak.
“Iya aku tahu itu” Balasku.
“Atau jangan-jangan Dita suka sama kamu, terus cari perhatian gitu” Canda Ucok sambil cekikikan.
“Haduh mana mungkin. Masa ada orang yang suka sama seseorang, bukannya sayang malah nge-bully” Jawabku serius.
“Haha, iya juga ya” kata Ucok.
Sama seperti Ucok, Dita juga salah satu orang yang selalu sekelas denganku sejak kelas X. Sejak kelas X itu, entah apa salahku, Dita selalu mencari masalah, seperti ingin membuatku marah. Selama ini aku hanya bisa memendam kekesalan setiap kali dibully olehnya. Aku paham tak ada gunanya marah padanya karena jika hal itu menjadi masalah besar, yang akan disalahkan adalah lawannya meskipun Dita yang memulai. Ya, dia dikenal kebal hukum di sekolah, tak ada yang bisa membantahnya termasuk guru Bimbingan Konseling.
Hari itu berlalu seperti biasa, setelah pulang sekolah, aku melanjutkan belajar ke tempat Les kemudian pulang ke rumah. Biasanya sampai di rumah sudah pukul 16 tapi hari ini, kami dipulangkan lebih cepat, sekali lagi muncul perasaanku tidak enak. Aku pulang dengan hati-hati. Sesampainya di rumah, kulihat pintu utama terbuka dan terdengar suara barang pecah belah yang dibanting.
“Gara-gara kamu!” itu teriakan ibu. Apa yang terjadi padanya hingga mengamuk seperti itu?
“Ibu! Stop!” Teriakku yang baru sampai halaman rumah. Sudah ada motor Babe di garasi yang terbuka. Setelah mengunci motor di halaman, aku segera berlari masuk ke dalam rumah. Namun ibu tak menghiraukan kata-kataku tadi, ia masih melempar barang-barang yang ada di ruang tamu. Ruang tamu yang biasanya rapi dan bersih pun menjadi berantakan seperti kapal pecah.
“Stop Bu! Ada apa ini? Stop dulu!” Aku segera memeluk ibuku yang emosinya sedang meledak-ledak demi bisa berusaha menenangkannya. Ibu perlahan menjadi lebih tenang tetapi justru mengeluarkan air mata dan sesekali meraung. Setelah situasi terdengar lebih tenang, barulah Babe keluar dari kamar utama.
“Kamu sudah gila! Lihat apa yang sudah kamu lakukan? Yang kamu lempar itu semua benda berharga! Apa kamu bisa ganti rugi itu semua, ha?” Babe marah sambil menuding ibu yang sebenarnya masih dalam kondisi belum cukup stabil. Sontak ibu kembali menggila seperti orang kesetanan, melepaskan diri dari pelukanku dan berlari ke arah babe. Babe kabur menyelamatkan diri ke dapur.
“Semua gara-gara kamu! Dasar tukang selingkuh!” ibu mengambil pecahan vas yang ada di bawah, kemudian melemparkannya ke Babe yang sedang berlari. Kemarahan ibu semakin memuncak dan tak terkendali, pecahan vas yang dilempar tadi ternyata mengenai lengan kanan Babe hingga berdarah.
“Aaarrgh!” teriak Babe kesakitan kemudian menutup pintu dapur dengan kasar.
Ibu mendadak lemas dan bersimpuh di atas lantai, ia tak kuasa berdiri lagi. Ia menangis sejadi-jadinya, karena merasa dikhianati oleh suami yang selama ini ia kira setia.
“Sudah Bu! Sudah...” Aku ikut menangis sambil memeluk ibu yang sedang rapuh itu. Aku di usia yang masih remaja ini, dengan mengalami hal tersebut di depan mata membuatku terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Meskipun demikian, aku paham dari situasi tersebut bahwa Babe bukanlah sosok lelaki setia seperti yang selama ini kami ketahui. Di tengah kekacauan tersebut, Babe yang sudah terluka karena pecahan vas tadi pun menjadi murka dan memutuskan ingin menceraikan istri yang sudah 20 tahun setia menemaninya dari nol. Tak ada yang bisa aku lakukan sebagai anak kecuali menenangkan ibu di depanku.
Setelah situasi mulai tenang, tetangga yang sejak tadi sebenarnya penasaran, kini sudah berani menghampiri masuk rumah dan ikut menenangkan ibu. Kemudian aku dan ibu diajak istirahat di rumah pak RT untuk sementara, pak RT juga bersedia membantu mediasi antara keduanya. Namun pada akhirnya, kedua pihak sepakat untuk berpisah, proses perceraiannya terasa sangat cepat karena keputusan keduanya sudah bulat. Berdasarkan hasil putusan pengadilan agama, hak pengasuhan ku jatuh kepada Babe. Setelah kejadian itu, ibu tinggal di rumah paman yang berada daerah Cilegon, sedangkan aku dan babe tetap tinggal di rumah Bandung.
Semenjak perceraian tersebut, Babe menjadi sering marah-marah padaku meskipun karena hal sepele. Di mata Babe, aku kini hanya menjadi beban hidupnya bahkan sesekali Babe jadi ringan tangan memukulku. Aku mengalami stres yang hebat, bahkan hampir depresi. Namun aku terus bertahan dan menyemangati diri, keluargaku kini memang terpisah namun aku ingin membuktikan bahwa aku bisa meraih kesuksesan meskipun dari keluarga broken home ini. Di sisi lain, efek dari perceraian tersebut menjadikanku sebagai sasaran bully oleh teman-teman di sekolah termasuk Dita. Tanpa kusadari, aku berubah menjadi sosok yang lebih pendiam namun siap meledak kapan saja.