Hajatan Dan Hujatan

617 Words
Di kampung ini, hampir setiap bulan tetangga mengadakan hajatan. Entah itu anak mereka di khitan atau acara pernikahan. Tak jarang mereka juga mengadakan syukuran untuk anaknya yang baru pulang dari kota. Sebagai toleransi antar tetangga aku hanya pergi untuk membantu dalam masak-memasak. Sebelum jam delapan pagi, sudah banyak tetangga yang lain mendatangi rumah Pak Bejo yang kebetulan hari ini anaknya akan di sunat. Setelah memoleskan bedak dan lipstik, aku siap berangkat. Sebelum benar-benar pergi, kusempatkan untuk berpamitan dengan Mas Satria yang sedang menikmati pisang goreng di teras bersama Ayah mertua. "Berangkat sekarang?" Tanya Ayah mertuaku. Aku mengangguk sopan "Antarkan dulu istrimu." "Sebentar ya dek. Habiskan dulu kopinya sekalian Mas mau berangkat kerja." Aku mengangguk lagi, lalu duduk di samping Mas Satria. "Anaknya Pak Bejo di sunat kan?" "Iya Pak." "Ibumu gak ikut kondangan?" Aku mengedikkan bahu, sedari pagi tak melihat batang hidungnya. "Mungkin lupa Karti." "Ayo dek." Mas Satria berdiri dari tempatnya. "Eh sebentar Widya." Sergah Ayah. Refleks kami berhenti "Ada apa Pak?" Tanyaku "Jangan lupa bawa jajanannya ya. Soalnya enak." Aku hanya tersenyum tipis. Dalam hati hanya bisa beristighfar. Entah mengapa Tuhan seakan mengujiku dengan hadirnya kedua orang tua Mas Satria. Ayah yang doyan jajan dan sangat pelit serta perhitungan belum lagi Ibu mertuaku yang sangat egois dan selalu meminta duit. Ujian yang Allah berikan padaku begitu besar, hingga kadang aku tak sanggup memikulnya. Kami berpamitan pada Ayah. Lalu mengendarai motor matic milik Mas Satria yang dibelinya ketika masih bujangan. Dalam perjalanan, Mas Satria terus membuatku tertawa dengan leluconnya yang garing. Suamiku itu sedikit humoris walau kadang tak pernah mengerti perasaanku. "Dek." "Ya Mas?" "Gak usah bawain bapak jajanan ya, malu-malu in." "Iya Mas. Kenapa bapak begitu ya mas." "Maklumlah dek, umur bapak sudah tua sekali jadi tingkahnya kembali seperti anak-anak." "Tapi aku gak betah Mas. Aku pengen punya rumah sendiri." "Kita tanya ibu dulu ya." Katanya yang membuat hatiku mencelos. Beginilah rumah tanggaku, aku harus hidup di rumah yang isinya dua kepala keluarga dan dua ibu rumah tangga. Beda pemikiran dan tujuan jelas membuatku merasa tak bebas dan harus selalu mengalah dengan mereka. Bukannya aku ingin suamiku durhaka, tapi aku benar-benar tak suka tinggal bersama mereka yang sangat perhitungan. Terlebih lagi Mas Satria yang selalu menjadikan ibunya sebagai pemikir utama dalam apa yang ingin kami lakukan. Setiap hal harus dengan persetujuan ibu mertua. Kadang aku merasa tak punya pemimpin dalam rumah tangga. ___________________________________________________________ "Loh Bu Karti mana?" Tanya salah seorang tetangga, salah satu teman ibu "Masih di rumah Mbak." Jawabku, sembari mengupas bawang merah yang akan di jadikan pelengkap sop "Tumben Bu Karti terlambat." "Gak tau Mbak, saya juga gak lihat dia dari tadi pagi." "Satu rumah kok gak sampai lihat sih." Selip ibu yang berbadan sedikit gempal Aku hanya tertawa, "Iya Mbak." "Maaf-maaf saya agak telat ini." Tiba-tiba saja Ibu muncul di antara sekelompok pengupas bawang. Beberapa teman Ibu nampak kegirangan. "Dari tadi ditungguin." Kata salah satu tetangga "Cucian di rumah numpuk." Cucian apa? Aku terkejut namun tetap diam. Seingatku pagi-pagi buta aku sudah mencuci semua piring kotor dan juga pakaian. Membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan bahkan aku masih sempat menggoreng pisang yang telah dilahap oleh Ayah dan Mas Satria. Dalam hati, aku sudah merasakan firasat yang tak baik "Bagaimana, ada menantunya kok masih nyuci." "Saya tadi buru-buru Mbak." Timpalku ahkirnya sebelum Ibu membuat drama lagi. "Saya takutnya, anak menantu saya kecapean. Dia kan butuh istirahat supaya badannya sehat dan bisa hamil." Lagi-lagi kata-kata Ibu membuatku teriris, menahan tangis dan memilukan. Aku hanya diam dan pasrah mendapat tatapan dari para tetangga yang prihatin dan juga seperti menghujatku. Salah apa aku? Apakah kemandulan sebagai bentuk kehinaan? Bisa apa aku? Aku bukan Tuhan yang dapat menciptakan apapun. Tidak bisakah mereka mendoakan? Dan bukannya menghujat? Ya Allah, berikanlah aku kekuatan dan berikanlah petunjuk bagi mereka bahwa engkau yang maha kuasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD