Aku ingin hamil

527 Words
Hujan mengguyur Bumi, menyegarkan tanah yang gersang beberapa waktu belakangan. Di tengah rahmat-Nya aku hanya bisa berharap suamiku pulang lebih awal. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, namun hingga kini suamiku belum pulang dari bekerja. Mas Satria begitu giat bekerja, meski hanya sebagai kuli bangunan namun kebutuhan sehari-hari masih cukup jika orang tuanya tak merepotkan. Kadang aku kasihan padanya, membanting tulang demi menafkahi ku dan kedua orang tuanya yang sudah renta. Namun, aku dan Mas Satria selalu percaya bahwa Allah pasti akan membalas kebaikan hambanya meski sekecil batu. "Satria belum pulang Wid?" Ibu yang datang dari arah depan, langsung duduk di depanku "Belum Bu." "Sudah kamu telfon?" "Gak diangkat." "Coba telfon lagi." Akupun menurut dan mencoba menghubungi Mas Satria kembali. Namun nihil, tetap tak di angkat olehnya. "Gak diangkat Bu." "Ya sudah, kamu tungguin suamimu. Ibu mau tidur." Kata mertuaku, aku langsung meng-iyakan. Rasanya aku ingin langsung menemui Mas Satria ke tempat kerja. Mengabaikan hujan yang semakin deras. Kucoba terus menghubungi dan mengirimkan pesan padanya namun tetap tak ada respon. Sampai pada ahkirnya deru suara motor Mas Satria terdengar di gendang telinga. Aku buru-buru membuka pintu, sebelum itu aku berlari kearah kamar untuk mengambil handuk. "Ini mas." Kusodorkan handuk itu "Terima kasih dek." "Mas langsung mandi aja. Aku buatin teh hangat dulu." "Iya." Katanya dan mengikuti perintahku. Kadang, aku merasa kasihan pada suamiku yang harus seperti ini demi kami. Tapi tak ada lagi yang bisa ku perbuat selain hanya sebagai istri yang melayani suaminya. Aku tak bisa menambah penghasilan Mas Satria apalagi membuatnya bahagia. "Dek, kenapa melamun?" Mas Satria yang sudah mandi, ikut bergabung bersamaku. "Maafkan aku mas. Aku menyusahkan kamu." Mas Satria mengelus puncak kepalaku. "Ini sudah tugas Mas, tugasmu ya ini bikinin teh, masak dan menyiapkan keperluanku." "Semoga Allah yang membalas semuanya ya Mas." "Aamiin." Mas Satria lalu menyeruput teh hangat yang kubuat. "Mas, aku ingin hamil seperti orang-orang." Tuturku lirih. Mas Satria meletakan gelas di atas meja. Lalu merubah posisinya lebih menatapku "Aku juga ingin dek." "Aku juga pengen punya rumah sendiri." Ungkapku lagi. Malam ini rasanya aku ingin menyebutkan semua keinginan dan ketidak nyamanan ku berada dirumah ini. "Sabar ya dek." "Kenapa jawab Mas selalu begitu?, Kurang sabar apa aku mas?" "Aku tidak bisa meninggalkan Bapak sama Ibu. Mereka sudah lansia, lagi pula aku anak bungsu yang harus menjaganya." "Sampai kapan begini?" Mas Satria mengedikkan bahunya tak tahu. Aku yang kurang puas dengan jawabannya tentu semakin geram. Mas Satria begitu acuh dengan apa yang ku inginkan. "Tapi Mas, kita bisa buat rumah di belakang. Masih ada lahan kosong." Mas Satria hanya diam saja, sembari menghela napas. Kemudian menyeruput teh yang perlahan dingin. "Mas usahain." "Mas." Kataku menyusul suamiku yang beranjak pergi. "Apa?" "Kamu selalu begini, kasar dan dingin ketika aku meminta sesuatu." "Permintaan mu yang aneh-aneh." "Aneh apanya?, Mas yang gak ngerti perasaanku!" Kataku sedikit keras "Sudah ya Dek. Mas capek mau istirahat." Mas Satria meninggalkankanku diruang tengah. Suamiku itu langsung masuk kedalam kamar mengistirahatkan diri. Dalam hati aku hanya bisa menangis. Istri mana yang tak sedih apabila suaminya acuh dan tak mengerti perasaan istrinya. Apalagi lebih mementingkan perasaan orang tua. Aku merasa hanya menjadi pemuas nafsunya saja, karena setiap keinginanku tak pernah di kabulkan. Aku menangis di tengah derasnya hujan, biarlah mengalir bersamaan dengan kekecewaan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD