From Ansara

1607 Words
Aku mematut diri di depan kaca spion yang ada tepat di depan kepalaku, katanya, “tak ada wanita secantik diriku”, kurasa itu bisa-bisanya Radit saja. Kulihat pesan Radit tersemat di layar depan ponselku. Dia bilang kalau dia agak telat datang ke kafe karena pekerjaannya belum selesai. Aku segera mengirim pesan balasan, kukatakan kalau aku saja yang akan membeli kue untuk acara malam ini. Dia hanya menjawab singkat seolah memang kerjaannya begitu banyak, hingga tak sempat untuk mengetik kata lain selain kata YA. Aku berhenti di depan toko kue. Kue yang kupesan sudah jadi sejak satu jam yang lalu, sponge cake vanilla kesukaan Radit. usai membayar kue ini, aku melesat menuju kafe favorit kami.  Pesan dari Radit kembali masuk, katanya dia baru saja selesai dengan pekerjaannya. Aku mengirim pesan balasan, aku memintanya untuk hati-hati, jangan ngebut karena jalanan tampak licin, memang hujan besar baru saja reda. Aku sampaikan kalau aku akan tetap menunggu sampai dia benar-benar datang.  Radit tak menjawab pesanku, mungkin sekarang dia sudah di jalan. Aku tak sabar bertemu  dengannya, setelah satu minggu tak bertemu karena pekerjaannya yang cukup banyak dan aku pun sibuk di butik, akhirnya aku dan dia bisa sama-sama menyempatkan datang ke sini, meski sudah satu jam aku menunggunya di sini. Tak berapa lama pesan darinya masuk. [Aku benar-benar terjebak macet, kamu bisa, ‘kan bersabar untukku lagi.] Aku tersenyum membaca kalimat terakhirnya. [Aku selalu dan akan terus bersabar untukmu.] Itu pesan balasan yang ku kirim padanya. Bukan bermaksud berbangga diri, belum cukupkah kesabaranku selama ini? Aku menunggu kesiapannya untuk bertemu kedua orang tuaku. Dia bilang setelah merayakan ke setahun hubungan kami, dia siap untuk datang pada kedua orang tuaku dan melamarku.  Aku hanya bisa menghela napas, saat kusadari kalau aku berada di sini selama dua jam. Aku mencoba menyalakan lilin di atas kue. Namun, tiba-tiba angin memadamkannya, dinginnya bahkan menusuk hingga ke pori-pori kulitku. Aku tercenung menatap asap tipis dari ujung sumbu lilin yang terasa melambat. “Mbak--” Aku terkesiap saat ku lihat seorang pelayan berdiri di depanku, “sebentar lagi kafenya mau tutup.”  Aku tergemap dan merasa bimbang, antara pulang atau tetap di sini menunggu Radit, namun, aku sudah berjanji untuk tetap menunggunya di sini sampai dia benar-benar datang. “Sebentar, Mbak, saya telepon pacar saya dulu.” Aku menatap pesan yang dikirimkan Radit satu jam yang lalu, katanya dia masih di jalan terjebak macet. Aku tak bisa menunggu lagi, ku dekatkan ponsel ke telinga usai menekan tombol panggil. Sialnya nada sampai sambung habis tak ada jawaban apa-apa darinya, perasaanku mulai tak enak. Aku hanya bisa bergumam mempertanyakan kapan dia datang sembari kembali mendial nomor Radit. Operator memberi tahu kalau nomor Radit berada di luar jangkauan, entah kenapa resah perlahan menyelimuti, aku berharap tidak terjadi apa-apa dengannya.   Perasaanku terasa semakin kacau. “Kamu jadi datang, ‘kan?” lirihku sembari mengulang panggilan.  “Maaf, ya, Mbak. Kafenya sudah harus tutup.”  Jantungku mencelus, aku hanya bisa membasahi tenggorokanku, untuk pertama kalinya aku kecewa, Radit tak memenuhi janjinya. Dua jam aku menunggunya di sini. Perlahan aku bangkit dan membawa kue yang kubeli ke dalam mobil. Aku menjatuhkan kening ke roda kemudi, menyembunyikan wajah senduku dari gelapnya malam. Air mata tak dapat kutahan lagi dan aku masih tertunduk di atas roda kemudi, aku hanya ingin menyembunyikan rasa kecewa dari seluruh dunia.  Tok! Tiba-tiba sebuah pukulan tepat di kaca jendela mobil membuatku terkesiap. Aku tercenung menatap Radit tengah berdiri di depan jendela mobilku. Rasa terkejut membuatku menghela napas yang cukup panjang. Aku tak bisa lagi menyembunyikan rona bahagiaku, hingga perlahan kedua sudut bibirku melengkung membentuk senyum. “Aku tahu kamu pasti datang,” ucapku seraya menurunkan kaca jendela mobil. Namun, aku merasa kesunyian itu datang, hanya gelap, tak ada sosok Radit yang tadi kulihat berdiri di depan pintu mobilku.  Mungkin dia sedang menjahiliku, seniat itu dia memberiku kejutan.  Aku segera ke luar dan mencarinya ke sekitar mobil. “Radit,” teriakku sembari terus mencarinya, tak mungkin aku salah dengar, jelas-jelas tadi aku mendengar ketukan dan melihat kalau dia benar-benar ada di depanku. “Dit, kamu jangan jahilin aku dong, aku udah capek nungguin kamu dari tadi. Udah berasa tua tau nggak dua jam nungguin kamu di sini,” keluhku sembari menjatuhkan b****g di depan pintu mobil.  Hanya ada desau angin yang kudengar tengah menggoyangkan dedaunan, seolah angin sedang memerintahkan tumbuhan-tumbuhan itu untuk menemaniku di sini sendirian bersama dengan kecewaku, namun, hingga beberapa detik tercenung, akhirnya aku tersadar, dan hanya bisa menghela napas panjang. Aku menyadari kalau Radit tidak datang dan barusan yang kulihat itu hanya bayanganku saja, halusinasi karena aku terlalu berharap Radit ada di sini.  *** “Dari mana kamu, kenapa semalaman nggak pulang? Ayah telepon nomor kamu nggak aktif.” Aku tertunduk saat ayah mencecarku dengan beberapa pertanyaan, dia bahkan marah melihat penampilanku yang berantakan. Bunda mendekat dan menggenggam kedua pipiku. “Kamu ada masalah?” tanyanya pelan.  Aku menggeleng. Andai aku bisa bercerita kalau aku sedang kecewa pada seorang laki-laki yang selama setahun terakhir ini telah kupacari. Namun, aku malas memperhatikan reaksi ayah yang sudah pasti akan sangat berlebihan dengan ini.  “Kamu dari mana?” Ayah mengulangi pertanyaannya.  “Aku nginap di butik, Yah,” bohongku. Padahal semalaman aku tidur di mobil yang tak jauh dari kafe tempatku menunggu Radit dan saat aku bangun, aku mencari Radit ke tempat kosnya, tapi dia tidak ada di sana dan penjaga kos bilang kalau semalaman Radit tidak pulang.  Ayah menatapku lekat seolah dia tengah mencari kebenaran dari jawabanku. “Kenapa pulang? Kenapa nggak langsung kerja?” “Aku nggak bawa baju ganti, Yah.” “Agung telepon kalau butik belum dibuka, bahkan sejak pukul tujuh pagi tadi. Kamu bohong Ansara.” Jantungku mencelus. Aku segera tertunduk menyembunyikan wajah malu yang bercampur sedih, kecewa, hampa, kesal, marah dan lain sebagainya, semua rasa yang membuat hatiku resah bercampur membentuk satu kesatuan yang sulit kujelaskan dengan kata-kata.  Aku memilih meninggalkan kemarahan ayah dan pergi ke kamar. Ayah terlalu over protektif, bahkan di usiaku yang 23 tahun ini aku belum boleh pacaran kalau aku belum siap menikah. Selama setahun terakhir ini aku menunggu Radit siap untuk menikah, selain karena Radit merasa kalau dia masih terlalu muda untuk menjalani biduk rumah tangga, dia juga merasa belum mapan dan karirnya baru saja dimulai.  “Ansara!” panggil Ayah dari bawah tangga. Aku tak menjawab dan memilih masuk ke kamar lalu mengunci pintu. Sampai detik ini aku gagal mengusir rasa kecewaku pada Radit, setelah malam itu kita lewati bersama apa dia benar-benar akan lari dari tanggung jawabnya? Semoga tidak. Aku masih berharap dan akan terus berharap. Dia sudah janji untuk melamarku di depan kedua orang tuaku dan aku tidak ingin dia lari meninggalkan janjinya tanpa konfirmasi apa-apa.  Radit adalah teman kuliahku, dia beberapa bulan lebih muda dariku. Wajar jika dia belum siap untuk membangun biduk rumah tangga, tapi aku terlanjur cinta dan itu membuatku siap menunggunya sampai kapanpun dia siap. Meski mungkin jika ayah tahu hubunganku dengannya, ayah akan mendesaknya untuk segera menikah. Ayah bilang jangan terlalu lama pacaran, nggak baik, mungkin itu kalimat yang akan aku dengar sebagai nasehat.  Aku tahu alasan ayah seperti itu adalah karena kematian Mbak Kirana yang bunuh diri akibat ditinggalkan pacarnya, padahal dia sedang hamil, cerita itu sering aku dengar dari kakak sulungku, Mbak Kirani. Namun, tak seharusnya ayah menyamakan aku dengan almarhumah kakakku itu, jelas kami berbeda dan aku yakin Radit tidak akan lari dari tanggung jawabnya, dia akan datang, aku tahu itu, aku mengenalnya sudah cukup lama, kami satu fakultas, meski berbeda jurusan, tapi kami cukup sering bertemu. Ketukan di daun pintu membuatku terkesiap. “Ini Bunda,” ucap wanita yang sudah menjadi perantara Tuhan untuk menghadirkanku ke dunia.  “Aku capek, Bund, nanti aja,” pekikku sembari merebahkan tubuh di ranjang, kalau Bunda tahu aku malah tidur dan bukannya mandi, dia pasti marah, tapi aku memang sedang ingin bermalas-malasan saja untuk hari ini. “Kamu udah makan belum?” tanya Bunda agak keras, takut mungkin aku tidak mendengar suaranya. “Belum, nanti aja, Bund, aku belum lapar.”  “Kamu ada masalah?” Aku menghela napas.  “Kalau ada, kamu bisa cerita sama Bunda,” kata Bunda masih di depan pintu kurasa karena suaranya begitu jelas, meski aku menutup kepalaku dengan bantal.  “Aku nggak apa-apa kok, Bund, cuma lagi kesal aja dan aku cuma butuh waktu untuk sendiri,” kataku. Aku harap Bunda mengerti dan tak mendesakku untuk bercerita sesuatu yang malas kuceritakan pada siapapun.  “Kamu kalau butuh teman cerita, Bunda siap dengerin kamu.”  “Iya,” sahutku sembari berbalik membelakangi pintu dan lebih memilih bercokol dengan selimut. Pikiranku kembali mengurai tentang Radit yang sampai detik ini belum ada kabar darinya, padahal ini sudah tengah hari.  Ketukan kembali menggema. “Sara, bangun kamu, Agung minta kunci butik, dia nanya kenapa belum buka padahal ini hari minggu dan mall pasti ramai.” Aku menghela napas dan segera bangkit. Lalu berjalan ke dekat pintu usai menyambar kunci yang teronggok di mejaku, aku membuka pintu sedikit lalu menganjurkan tanganku ke luar, namun, wajahku tetap bersembunyi dari ayah. Ayah terlalu peka saat aku berbohong padanya.  “Ayah tahu kamu menyembunyikan sesuatu,” tebaknya sembari menyambar kunci dari tanganku. “Kalau kamu kedapatan melanggar peraturan ayah, kamu harus merasakan akibatnya.” Aku tahu itu ancaman yang nyata. Ayah tak pernah main-main dengan apa yang dia ucapkan, ayahku terlampau tegas, sehingga terkadang kami tak bisa berkutik sama sekali dengan keputusannya.  “Nggak ada yang kusembunyikan, Yah.” Aku segera menarik tanganku, lalu menutup pintu, aku dengar ayah teramat kesal saat dia bilang kalau aku tidak sopan. Aku disekolahkan tinggi bukan untuk bersikap tidak sopan seperti itu, begitu katanya. Aku hanya bisa bergumam kata maaf di balik pintu yang sudah tertutup. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD