Sudah dua hari ini aku kehilangan konsentrasi, Deris bilang aku nggak seseru dulu, Mama bilang aku jadi pendiam, sementara papa bilang, kalau papa suka aku yang seperti ini, lebih kalem. Namun, justru aku malah merasa asing dengan diriku sendiri. Setiap malam, sekelebat hitam mampir di depan mata, terkadang hanya lewat di belakang dengan embusan angin yang mengalun lembut menyentuh tengkuk leherku, lalu sedetik kemudian aku dikejutkan dengan suara jendela yang terbanting keras. Padahal kulihat jendela masih tertutup rapat.
Mendadak aku merasa menjadi seorang pengecut, takut dengan hal-hal yang tidak pasti, meski mencoba menyangkal nyatanya aku memang mengalaminya. Deris bilang, aku ketempelan usai meliput acara tengah malam itu. Aku tidak ingin percaya, sumpah, terlalu bodoh untuk percaya hal demikian, tapi sialnya, apa yang aku alami benar-benar mengoyak keyakinanku.
“Bapak Alifian Fauzi,” panggil salah seorang perawat. Aku segera bangkit, namun, sebelumnya aku menoleh menatap Deris yang hanya duduk di kursi besi depan ruang dokter sembari memainkan gawainya. “Anter gue, Ris.”
Deris menoleh dan menatapku dari atas sampai ke bawah, lalu balik lagi dari bawah ke atas. “Bisa sendiri ah, udah gede juga,” komentarnya.
“Astaga, masa bantuin abangnya nggak mau, gue bilangin mama, loh.”
Aku berjalan lebih dulu dan Deris mengikutiku dari belakang. Kedatangan kami disambut hangat oleh Dokter Miranti. Dia memintaku untuk naik ke ranjang dan berbaring di sana. Dokter Miranti mendekatkan stetoskop ke d**a, beberapa detik di beberapa titik, lalu dia menggunakan alat pengukur darah untuk memeriksa seberapa tinggi darahku, karena kata Mama, kalau nggak darah tinggi, paling aku cuma kurang darah. Namun, sebelumnya wanita berjas putih itu meletakkan ujung jarinya tepat di urat nadiku, agak lama, seolah sedang memeriksa berapa detik sekali nadiku berdenyut. Begitulah mungkin kiranya, karena Dokter Miranti tampak menghitung dan menyamakan dengan arlojinya.
“Keluhannya apa aja, Pak?” tanyanya kemudian.
“Sudah dua malam, Dok, saya nggak bisa tidur.” Aku kemudian meraba tengkuk leher yang terasa begitu berat. “Sebelah sini sakit, rasanya berat, gitu, Dok.” Lalu kuarahkan telapak tangan ke puncak kepala. “Di sini juga rasanya kayak ditusuk-tusuk paku.”
“Kayak udah nyoba aja ditusuk paku,” cibir Deris seraya bergumam. Adikku memang kerjaannya menyambar kaya petir.
Rupanya Dokter Miranti mendengar gumaman Deris karena saat ini dia tersenyum tipis. Namun, setelahnya dia berdehem. “Tapi, normal kok, Pak.” Dia kemudian duduk di singgasananya. Aku pun segera turun dari ranjang sempit itu, lalu duduk tepat di depan Dokter Miranti.
“Kalau kurang istirahat memang biasanya seperti itu, Pak, terkadang badan terasa menggigil, perut menjadi kembung, tapi Pak Alfian tidak mengalami itu, ‘kan?”
Aku menarik napas mencoba mengingat, tapi sepertinya aku memang tidak mengalami hal itu. “Nggak, Dok.”
“Berarti ini cuma kurang istirahat aja, kurang tidur membuat Bapak merasa lelah. Memang kenapa nggak tidur, banyak pikirankah?”
Aku hanya tergemap menatap Dokter Miranti, bukan karena kecantikannya yang paripurna, tapi karena memang otakku tidak bisa menangkap dan mencari sumber beban di pikiranku itu, karena jelas-jelas hubunganku dengan Putri baik-baik saja, lagi pula aku tidak begitu memikirkan soal orang tua Putri yang belum memberikan restu padaku.
Beban pikiranku yang nampak begitu jelas di depan mata, adalah korban kecelakaan itu, yang sejauh ini belum ada perkembangan apa-apa soal keluarganya yang kehilangan. Mungkin aku hanya merasa simpatik saja, bukan karena hal lain.
“Bapak banyak makan buah dan sayur, ya, terus istirahat yang cukup, saya kasih vitamin ya, Pak, tapi, saya rasa Bapak tidak perlu obat tidur.” Dokter Miranti kemudian menulis sesuatu di atas secarik kertas, lalu memberikannya padaku.
“Terima kasih, Dok,” sahutku sambil mengambil kertas tersebut.
Lalu kami keluar dari ruangan Dokter Miranti. Setelah membayar administrasi dan menebus vitamin yang diresepkan Dokter Miranti, aku memutuskan untuk segera pulang, namun Deris tampak kesal dia berjalan melewatiku sembari bergumam, “Udah jauh, ngantri, bela-belain nggak kerja, taunya cuma dapet tips makan buah dan sayur doang, udah gitu dikasih sirup, argh ….”
Deris membuat ubun-ubunku kembali berdenyut. Aku segera menyusulnya. Lalu tanpa segan aku mendaratkan telapak tangan di kepalanya. “Terus lu maunya apa? Mau gue beneran sakit parah, biar lu nggak sia-sia nganter gue ke sini, hm?” cecarku.
“Ajim!” Deris memegangi kepalanya yang mendapat pukulan dariku, namun sebenarnya tak seberapa, dia hanya sedang berakting. Ingin mengikuti jejak Nicholas Saputra, sang idola.
Kini kami sudah berada di dalam mobil, Deris siap menancap gas. Aku sebenarnya merasa aneh dengan apa yang dikatakan Dokter, pasalnya aku seperti merasakan sakit yang teramat sangat di tengkuk leherku. Sejujurnya aku lelah tetap terjaga di sepanjang malam, tapi mau bagaimana lagi, bayangan korban ledakan itu terus saja menghantuiku, belum lagi saat tiba-tiba kedua matanya terbuka. Astaga! Aku hanya bisa menghela napas.
“Jangan banyak melamun,” ucap Deris di tengah perjalanan. Namun, aku tak ingin menanggapi, sudah kukatakan aku memang mungkin terlihat aneh, diputusin pacar saja aku tak seaneh ini. “Kenapa sih?” tanya Deris lagi. “Jadi pendiam nggak cocok lu, sok kalem kayak ice bear, nggak pantes,” komentarnya lagi.
Aku hanya menggelengkan kepala. Malas sekali menanggapi perkataannya, tapi kalau aku cerita soal aku yang mengalami beberapa hal diluar nalar, apa dia tidak akan menganggapku aneh? Padahal aku sering menyebutnya aneh saat dia mencoba mengungkapkan apa yang dia rasakan. Kata Mama, Deris terlahir istimewa dengan mata batin yang tajam. Entahlah keistimewaan itu apa menguntungkan untukku jika aku terlahir seperti Deris, baru mengalami tiga hari saja aku merasa sering kehilangan kesadaran, Bi Jum katanya sering menemukanku hampir memotong tanganku sendiri. Ini gila sih, entah itu hanya karangan saja atau bagaimana yang jelas seperti kataku tadi, aku merasa asing dengan diriku sendiri akhir-akhir ini.
***
Aku terperanjat saat bayangan itu kembali datang. Sepertinya aku benar-benar bisa berakhir gila bila terus-menerus seperti ini. Kenapa Dokter tak resepkan saja aku obat tidur? Dari tadi aku hanya tidur beberapa detik dan berakhir dengan d**a yang sesak disertai tubuh yang kesulitan bergerak. Sleep paralysis, ya akhir-akhir ini hampir setiap malam aku mengalaminya. Kata Dokter ini tak ada kaitannya dengan hal gaib, hanya aku yang sudah merasa lelah, namun, beban pikiran membuatku merasa tidak nyaman, sehingga aku mengalami hal ini, tidur dalam keadaan setengah sadar, namun, aku malah merasa sesak, tapi tak bisa berontak dan tak bisa menjerit, tubuhku hanya terasa kaku. Untung aku berhasil bangun, kalau tidak, entahlah.
Tiba-tiba angin masuk melalui jendela kamar, percikan air hujan terbawa dan mengenai lantai. Aku tidak tahu sejak kapan langit basah dan turun hujan. Perlahan aku bangkit dan berjalan menuju jendela. Kalau tidak salah sebelum tidur, aku sudah memeriksa semua kunci jendela, aku bersumpah kalau aku melakukannya secara sadar. Ingin sekali aku minta pertanggungjawabannya (entah siapa) karena kini lantai dekat jendelaku basah.
Setelah aku menutup dan mengunci jendela, aku kembali ke kasur. Namun, jantungku terasa mencelus, hingga membuatku terperanjat. Sesosok makhluk berdiri di depanku. Aku hanya bisa mematung, tak bisa berlari, bahkan kau tak bisa bertanya siapa dia. Entah kenapa aku merasa suaraku lenyap tertelan. Ini persis seperti mimpi, tapi terlalu nyata untuk dikatakan mimpi.
“Tolong saya,” desisnya, tapi aku tidak bisa melihat wajahnya, dia hanya berdiri cukup jauh di sudut kamar dalam gelap dan begonya aku hanya termangu sembari menajamkan telinga. “Beritahu dia tentang kondisi saya sekarang.” Dan aku baru menyadari kalau itu adalah korban kecelakaan tempo hari.
"Katakan pada Ansara, kalau saya ingin pulang, saya ingin pulang, ingin pulang." Kalimat terakhir dari perkataannya hilang terbawa angin, hingga aku hanya mendengar suara tipis di bagian akhir, seiring lenyapnya bayangan yang tertelan gelap itu.
Tidak seperti tadi, sekarang kakiku dapat melangkah dengan cepat, aku segera ke luar dari kamar menuju kamar Deris. Lalu aku mengetuk pintunya keras dan tanpa jeda. Sang pemilik kamar mengeluh usai membuka pintu.
“Kenapa sih, Bang, ganggu aja?” ucapnya, dia kemudian memutar badan, lalu kembali ke tempat tidur. “Lagi mimpi Selena Gomes juga,” dengkusnya seraya naik ke ranjang dan merebahkan tubuhnya di sana.
Aku segera mengikuti dan tidur di sebelahnya. Menarik napas dalam-dalam seraya menatap langit-langit kamar. “Sejak kapan anggota keluarga kita bertambah?” tanyaku tak begitu serius.
“Maksudnya?” Deris berbalik dan menatapku. Aku hanya bisa menghela napas. Entahlah aku merasa hampir gila dibuatnya, apa aku katakan saja kalau barusan aku melihat makhluk entah jenis apa aku malas sekali menyambutnya hantu.
“Kebanyakan liputan malam, wajar kalau ada setan yang ikut.”
Aku mengernyitkan dahi sembari menatap Deris, kalimat yang diucapkannya terdengar seperti cibiran. Kalau aku katakan, aku tidak mempercayai hal seperti itu, tapi jelas sekali kalau tadi aku mengalaminya.
Tiba-tiba pintu kamar Deris terbanting, keras sekali. “Astagfirullah!" pekik kami bersamaan. Deris menatapku tajam. “Lu nggak nutup pintu ya, Bang?”
Aku mengedikkan bahu. “Anginnya berevolusi kali, jadi lebih kuat dari sebelumnya,” dengkusku. Itu bukan candaan, aku hanya sedang mencoba melebur ketakutan. Harus sesuai dengan yang Deris tahu kalau aku ini pemberani, meski hari ini aku benar-benar merasa menjadi manusia paling pengecut yang mungkin pernah dia kenal. Dan apa yang aku alami selama tiga hari terakhir ini benar-benar telah mengoyak imanku.
“Tapi, kalau angin nggak akan sekenceng itu,” ucap Deris seraya duduk dan menegakkan tubuhnya. “Bang, lu beneran ketempelan deh kayaknya,” gumam Deris seraya melorotkan tubuhnya dan kembali tidur, dia lalu memejamkan mata kuat-kuat. Aku hanya bisa mengernyit memperhatikannya.
“Please! Jangan ganggu, kalau abang gue punya salah, minta pertanggung jawabannya sama dia, bukan sama gue, please!”
Aku semakin mengernyitkan dahi. “Lu kenapa sih, hm?” Melihat Deris seperti ini, aku merasa kembali resah, seketika bulu romaku kembali berdiri tegak.
“Bang, buruan minta maaf, Bang,” titah Deris sembari tetap terpejam. Namun, aku hanya terpaku menatap keanehan adikku itu, sepertinya dia juga melihatnya, kalau Deris memang indigo, harusnya dia bersikap biasa, tak usah selebay ini, lagi pula makhluk-makhluk (sudah kubilang aku tidak ingin menyebutnya hantu) adalah teman-temannya, 'kan?
Deris kemudian menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Aku bersumpah ini adalah keanehan terakhir yang aku alami. Esok dan seterusnya hariku harus berjalan dengan baik seperti biasanya.
***
Deris mengajakku menemui temannya, entah untuk apa, aku ikut saja. Namanya Genta, berkulit putih dengan rambut yang agak gondrong, sepertinya lebih gondrong dia dibanding diriku. Aku bahkan tak pernah membiarkan rambutku menjuntai seperti itu, aku lebih suka menguncirnya, tapi mungkin di pernikahanku nanti aku akan memotong rambutku dan mengabulkan keinginan Putri tampil selayaknya laki-laki macho, tapi apa selama ini dia pikir aku kurang macho karena mempunyai kuncir? Entahlah bukan itu yang sedang kami bahas disini.
Deris menceritakan pada temannya kejadian yang kami alami semalam, tapi aku tidak bilang kalau kejadian itu berlangsung selama 3 hari biarkanlah mereka berdua menebak, bukankah kata mereka kalau mereka itu adalah orang-orang istimewa?
Genta menggenggam tanganku. “Ada seseorang yang menginginkan abang buat bantuin dia,” ucap Genta yakin. Entah ilham dari mana, hingga dia begitu yakin dengan kalimatnya. Aku sampai mengernyitkan dahi memikirkan kata Ilham, dan aku malah teringat pada temanku, Ilham saputra namanya. Anak mami yang takut kuman, masuk jurusan biologi, agar bisa melihat perwujudan makhluk yang ditakutinya, orang aneh yang pernah kukenal. Atau justru aku yang aneh karena membawa Ilham ke dalam topik pembicaraan ini?
Genta berdehem agar aku kembali ke topik dan segera memperhatikannya. “Seseorang yang baru meninggal sekitar tiga hari yang lalu dengan kondisi tubuh hangus terbakar. Dia ingin abang bantuin dia,” katanya.
Jantungku mencelus. Namun, kali ini aku mengangguk membenarkan tebakan Genta, apa aku harus akui kalau Genta hebat karena dia bisa menebak apa yang selama ini ada dalam pikiranku, padahal bayangan itu masih ada di kepalaku dan belum kujelaskan sama sekali.
“Namanya Radit.” Genta tiba-tiba membuka mata dan menatapku.
“Kalau gitu kalian aja yang bantuin dia,” usulku.
“Saya nggak ada kepentingan sama dia, Bang.”
“Gue juga sama.”
Genta tersenyum sembari menjauhkan tangannya dari tanganku. Kemudian dia menyandarkan punggung ke sandaran sofa.
“Cara ngusirnya gimana?” bisikku. “Gue pengen hidup normal kayak dulu.”
“Dia nggak bisa pergi sebelum abang bantuin dia.”
“Hah? Serius?”
Genta mengangguk. Berarti apa yang aku dengar semalam memang nyata dan bukan halusinasi. Aku memang ingin mempertahankan keyakinanku, jadi aku terus mendoktrin pikiranku sendiri kalau apa yang kualami dan kudengar semalam itu adalah halusinasi.
“Kenapa harus gue?”
“Dia juga nggak tahu kenapa harus abang.” Genta mengedikkan bahu. “Dia cuma mau abang menyampaikan pesan terakhir ke pacarnya,” imbuh pria bertubuh tambun itu.
Sialnya jantungku mencelus dan teringat kalimat semalam yang kudengar. “Ke mana gue harus datang?” tanyaku pada Genta.
“Sebentar.” Genta mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu di sana, lalu dia memberikannya padaku. “Datang ke alamat ini.”
Keningku mengernyit. “Yakin?”
Genta mengangguk. “Coba aja, tapi aku nggak bisa nganter, ada kuliah, paling kalau mau diantar besok sore.”
Aku menoleh pada Deris. “Gue juga kuliah terus kerja, Bang, lagian kemaren udah bolos kerja, masa sekarang bolos lagi, nggak enak,” keluh Deris. Iya, aku belum lupa, kemarin aku memaksanya mengantarku ke Dokter karena nggak kuat bawa mobil sendiri.
“Ya udah, gue ke sana sendiri.”
“Semoga sukses, Bang,” ucap Genta sembari mengulurkan tangannya, tanpa menunggu lama kusambut uluran tangan itu. “Makasih,” ucapku. Dia mengangguk seraya tersenyum.