Ansara : Sesak

2122 Words
Tiga hari Radit menghilang tanpa kabar, aku khawatir, takut jika sesuatu terjadi padanya. Aku tak pernah mendapati Radit seperti ini, dia selalu mengabariku meski cuma sekali dalam satu hari. Kemana aku harus mencarinya? Gilang juga tidak tahu di mana Radit, begitupun dengan teman-temannya yang lain.  Aku menghadap cermin dan menenangkan diri sembari menatap bayanganku di sana. Berkali-kali aku membisikan sesuatu, kalau Radit baik-baik saja, dia akan kembali secepatnya, lalu melamarku dan mengajakku menikah, sesuai dengan janjinya. Aku terus menguatkan dan meyakinkan diriku kembali, yang sialnya keraguan terus mampir setiap aku mencoba meyakinkan diriku soal Radit yang akan segera menghubungiku.  Aku terkesiap saat mendengar pintu diketuk. Mbak Kirani menyembulkan kepala, usai membuka pintu. “Ada yang cariin kamu, Ra.” Aku segera mendekat. “Siapa?” tanyaku antusias, hatiku berharap itu Radit, tapi sialnya hati kecilku berkata itu bukan dia. Namun, aku harus membuktikan siapa yang datang ke rumah. Usai menyampaikan hal itu Mbak Kirani pergi entah kemana dan hanya aku sendiri yang mendekati pintu utama yang sudah terbuka lebar. Seorang pria berkemeja biru tua dengan skinny jeans berdiri membelakangi pintu. Rambutnya ikal sebahu dikuncir dan nampak lucu.  “Cari saya?” tanyaku seraya mendekat. Pria itu kemudian berbalik dan mengangguk. “Ya, saya--” dia mengulurkan tangan, tak menunggu lama kusambut uluran tangannya itu, kulihat ada name tag sebagai tanda pengenal yang menunjukkan dari mana dia berasal. “Alfian Fauzi, reporter dari kantor berita, Beritaku.” Aku mengangguk. “Ansara.” Lalu kulepaskan tanganku darinya, kemudian mundur dan memberinya jalan untuk masuk. “Silakan masuk,” pintaku. Dia langsung masuk dan aku memintanya untuk duduk, lalu aku pun duduk di depannya. “Ada perlu apa ya?” tanyaku.  Pria itu tampak gugup, terlihat dari bagaimana dia menarik napas. “Saya datang ke sini karena Radit,” ucapnya. Jantungku seketika berdegup mendengar kalau dia datang ke sini karena Radit.  “Sekarang dia di mana?” tanyaku tanpa basa-basi.    Namun, pria itu malah menghela napas. Entahlah melihat dari bagaimana dia bersikap, perasaanku jadi tidak enak. “Kakak temannya?” tanyaku lagi.  Pria itu malah menggelengkan kepala dan seketika jantungku mencelus, kalau dia bukan temannya, lalu siapa, kenapa dia datang seolah Radit telah memintanya untuk menemuiku?  Sedetik kemudian dia berdehem. “Tiga hari yang lalu, pukul 9 malam, lewat 15 menit, 21 detik, saya mendapat perintah dari atasan untuk mendatangi tempat terjadinya ledakan yang berasal dari sebuah mobil dan mengakibatkan satu orang tewas terbakar.” Pria itu lalu tertunduk, sementara aku hanya bisa tercenung menatapnya dengan perasaan yang terasa semakin kalut. “Saya pikir itu Radit,” imbuhnya pelan. Lagi-lagi jantungku mencelus, tanganku bergetar dan tak terasa air mata jatuh melintas di kedua pipiku.  “Polisi memang masih menyelidiki identitas korban karena tidak ditemukannya tanda pengenal.” Aku menghela napas, lalu menyeka air mataku kasar. Mendengar kalimat terakhir yang pria itu katakan aku berharap kalau itu hanya perkiraan dan bukan benar-benar Radit. “Terus kenapa kamu bisa begitu yakin kalau dia adalah Radit?”  Pria itu malah menatapku.  “Kamu mau menipu saya?” Kali ini ada emosi dari nada bicaraku. Aku tidak akan biarkan siapapun mempermainkanku, tiga hari aku menunggu kabar dari Radit, lalu ada orang datang membawa kabar seperti itu, tentu saja aku kesal. Namun, sedetik kemudian dia menggelengkan kepala. “Kalau ikut saya ke kantor polisi dan ke rumah sakit untuk memastikan itu Radit atau bukan, kamu mau, ‘kan?” tanyanya. Aku mencoba membasahi tenggorokanku yang mendadak kering. “Nggak, saya nggak mau.” Aku bangkit dengan segera, lalu menunjuk pintu. “Lebih baik sekarang kamu keluar. Saya tidak mau mendengar omong kosong ini lagi.” Jelas aku menganggap ini sebuah omong kosong, bukankah pria itu tadi bilang kalau korban tidak dikenali, tapi kenapa dia seolah yakin kalau itu memang Radit? Dia diam menatapku. “Kenapa masih diam?” tanyaku sengit.  Sedetik kemudian dia  bangkit. “Kalau membantu polisi untuk memecahkan kasus ini, kamu mau, ‘kan? Kasihan keluarga korban," ucapnya lagi. Astaga! bagaimana caranya aku bilang kalau aku tidak mau. Hanya gelengan kepala sebagai jawaban terakhir yang kuberikan. “Keluar!” pekikku kasar. Pria itu menghela napas, dia lalu berjalan ke arah pintu, lalu kembali menoleh. “Kapanpun kamu butuh bantuan, kabari saya, karena saya ingin kasus ini cepat selesai dan kematian Radit bisa segera diketahui keluarganya.” Seketika mataku membulat. “Cukup! Kamu pasti salah orang, Radit baik-baik saja.” Napasku sedikit berat, namun ada hati kecil yang menolak kalimat terakhirku. Ada apa dengan diriku, apa aku percaya orang ini? Tidak! Ini tidak benar.  “Tolong keluar!” titahku seraya mendekat pada pria itu. “Jangan menambah runyam pikiran saya,” tambahku sembari menutup pintu. Namun, air mataku malah mengucur, entah kenapa aku menjadi sesedih ini, padahal sudah kukatakan kalau Radit baik-baik saja, dia sehat dan dia akan kembali.  Mbak Kirani mendekat dan berdiri di depanku. “Kenapa?” tanyanya penasaran.  Aku menarik napas dan segera menyeka pipiku yang basah, lalu berbalik dan menatap Mbak Kirani, sedetik kemudian aku menghambur ke pelukannya. “Orang tadi bilang, kalau temanku kecelakaan, tubuhnya hangus terbakar, tapi tidak ditemukan tanda pengenal, lalu apa aku harus percaya?” Mbak Kirani mengurai pelukanku. Aku memang tidak menyebut Radit sebagai pacar bukan karena aku malu atau tidak mengakuinya sebagai orang spesial di hatiku. Aku hanya tidak ingin pertanyaan-pertanyaan timbul mempertanyakan sejak kapan aku punya pacar, tapi itu tidak penting. Sesaat setelah Mbak Kirani mengurai pelukan, dia menyeka pipiku. “Sekarang kamu datang ke kantor polisi, lalu lihat mayatnya di rumah sakit. Buktikan kalau itu bukan teman kamu,” saran Mbak Kirani.  Aku tercenung, harusnya aku memang melakukan itu. Aku kemudian mengangguk. “Sekarang kamu susul pria tadi,” tambah Mbak Kirani. Lalu aku berbalik dan membuka pintu. Kulihat mobil pria itu masih terparkir di depan pagar di pinggir jalan. Lalu aku berlari ke arahnya dan mengetuk kaca jendela mobilnya. “Iya?” tanyanya usai menurunkan kaca.  “Saya akan ikut kamu, tapi bukan berarti saya percaya kalau itu adalah Radit,” ucapku sembari menatap tajam matanya. “Saya hanya ingin membuktikan kalau itu bukan Radit.” “Oke.” Dia mendorong pintu mobil dan membukanya. Aku kemudian masuk dan duduk di sebelahnya. Perlahan mobil melaju meninggalkan halaman rumahku.  “Polisi menyimpan beberapa barang bukti terkait kecelakaan itu,” ucapnya di sela-sela mengemudi.  “Kenapa kamu begitu yakin kalau itu Radit?” kalimat tersebut malah menambah keraguan dalam hatiku, aku terus menyangkal, tapi ada resah yang terus bergulung menyelimuti hati ini. “Saya nggak terlalu yakin, hanya mencoba membantu seseorang yang kehilangan pacar dan seseorang yang tidak bisa menjelaskan kenapa dia menghilang.” Jantungku mencelus, aku tercenung menatap pria itu. “Berarti kamu memang yakin kalau itu Radit?” lirihku disertai tetesan air mata, keyakinan tentang Radit tiba-tiba terkoyak. “Saya nggak tahu, saya belum pernah bertemu Radit sebelumnya,” sahutnya tanpa menoleh.  “Apa?" seketika keningku mengernyit. Satu yang tidak aku mengerti kalau dia tidak pernah bertemu Radit kenapa dia bisa seyakin itu akan hal ini. "Jadi, sebenarnya kamu siapa?” tanyaku memastikan. “Tadi saya sudah bilang kalau saya reporter."  Aku menghela napas. “Kenapa aku merasa kamu terlalu berbelit-belit,” gumamku. Pria itu terdengar berdehem. "Dia mendatangi saya untuk meminta tolong agar menyampaikan ini sama kamu.” “Orang gila,” gumamku seraya menjatuhkan punggung ke sandaran jok mobil. Ujung mataku dapat melihat kalau dia tersenyum miring. “Bahkan saya rela di sebut gila sama orang yang baru saya temui, padahal jelas-jelas saya tidak ingin terlibat di sini, tapi tiga hari ini saya tidak bisa tidur karena pacar kamu terus mengganggu saya.” “Stop!” pekikku kesal. Aku segera menyeka air mata dengan kasar. “Jangan katakan seolah itu memang Radit.” Pria itu kemudian menoleh. “Kalau memang itu benar-benar Radit. Kamu akan menyesal karena menyebut saya gila.”  “Terserah!” aku segera membuang muka dan menatap ke samping kiri ke luar jendela.  Tak berapa lama, mobil berhenti di depan kantor polisi. Aku turun dari mobil mengikuti pria gila itu. “Selamat siang, Pak,” sapanya pada seorang pria berseragam Polisi berpangkat Letnan. “Saya Alfian Fauzi.” Dia mengulurkan tangan dan menjabat tangan Pak Polisi tersebut. “Ada yang bisa kami bantu?” “Soal kecelakaan mobil tiga hari yang lalu di jurang itu, apa sudah ada perkembangan?” Jantungku mencelus,  aku mengedarkan pandangan, sementara hatiku terus bergumam kalau aku telah melakukan kesalahan dengan datang ke tempat ini. Polisi itu duduk dan mengeluarkan beberapa benda. “Hanya ini bukti-bukti yang mungkin saja bisa mengidentifikasi korban.” “Apa sejak kejadian tempo hari, ada yang melapor ke sini untuk kasus kehilangan anggota keluarga?”   Polisi pun menggelengkan kepala sebagai jawaban. Aku mencari kebenaran dengan menatap satu-persatu barang bukti tersebut, sebuah liontin berbentuk love dengan ukiran huruf A dan R, membuatku dadaku sesak, apalagi saat kubuka di dalamnya terdapat fotoku dan foto Radit, seketika jantungku terambau, dunia telah membawa kesadaranku, hingga aku merasa lututku lemas dan aku terjatuh entah di pangkuan siapa.  Saat aku tersadar, aku sudah duduk di kursi dengan seorang pria berkemeja biru tua. “Radit,” gumamku seraya menegakkan tubuh, dan kulihat Polisi datang membawakan segelas air.  “Minum dulu,” ucap wartawan itu. Gelombang-gelombang kesedihan menguap, membuat hatiku hancur tercecer. Aku meneguk air yang dianjurkan dekat bibirku. Sementara air mata ini tak dapat lagi kukuasai, hingga air yang kuminum terasa asin bercampur dengan air mata yang tak henti-hentinya turun. Benarkah yang kualami? Pertanyaan tersebut tiba-tiba melambung.  Tiba-tiba seorang polisi yang lain berdiri di depan kami, dia menganjurkan sebuah foto. “Kami sudah memeriksa kepemilikan plat nomor mobil ini.” Jantungku kembali mencelus saat melihat nomor plat mobil tersebut. “Pemiliknya Raditya Kusuma.”  Aku benar-benar merasa seperti mengawang, duniaku terasa gelap, hanya ada aku yang duduk di sudut dengan bayang-bayang Radit. “Kenapa?” lirihku seraya tertunduk.  “Ssshhh ….” Kurasakan bahuku ditarik dan seorang pria merengkuhku dalam pelukannya. “Kenapa harus Radit?” gumamku lagi. Aku hanya bisa meratap dalam pelukan pria itu, bahkan aku tak pedulikan jika air mataku membasahi kemeja biru tua miliknya.  “Semua sudah terjadi, tak ada yang bisa menghindari takdir.” Napasku tiba-tiba tersendat saat mendengar kalimat itu menusuk telingaku. Jadi, inilah takdirnya, aku tak bisa bersatu dengan orang yang aku cintai.  Dia terus mengusap bahu kananku. Aku sebenarnya masih berharap ini semua tidak benar, tapi nahasnya semua bukti mengarah ke sana.  “Dia bilang kalau dia ingin pulang,” ucap pria itu. Aku segera menjauh darinya, dengan kening mengernyit, aku menatap pria itu, entah apakah dia bisa mempertanggungjawabkan kebohongannya itu atau tidak. “Kamu harus mengantarnya pulang,” imbuhnya. Aku ingin sekali menampar pipinya. Kenapa dia berkata seolah Radit bergentayangan di sebelah orang yang mengaku bernama Alfian Fauzi itu.  “Mbak ini keluarganya?” tanya Polisi tersebut. Aku menggeleng. “Keluarga Radit semuanya di Semarang,” jawabku dengan kedua mata yang kembali berembun, aku tertunduk. Aku tidak sanggup membayangkan betapa sedihnya keluarga Radit, jika tahu ini.  “Pak kalau begitu, kami ingin melihat jenazahnya.”  Aku segera mengangkat wajahku saat kudengar suara reporter yang kembali menginterupsi.  “Silakan, saya harap kalian secepatnya mengabari keluarga korban.” Aku segera bangkit, namun sebelumnya aku meminta liontin ini pada Polisi. Lalu aku pergi mengikuti pria itu, usai mengucapkan terimakasih. Sepanjang jalan aku tidak bisa berkata apapun, aku hanya bisa termenung, menatap dirinya yang kini hanya tinggal bayangan. Tak ada yang lebih pedih, selain kehilangan, kami memang baru satu tahun menjalani ini. Dit, aku benar-benar kesepian, kenapa kamu ninggalin aku sendirian? Aku menggenggam liontin yang tadi kuminta dari polisi itu. Ini adalah kenangan terakhir, mungkin ini juga adalah kado anniversary pertama dan terakhir darinya.   Mobil kemudian berhenti di depan rumah sakit. Pria itu segera turun dari mobil, sementara aku masih duduk tercenung, meyakinkan diri kalau itu bukan Radit, aku terus menyangkal kalau itu bukan dia. Tiba-tiba pintu mobil terbuka dan pria itu berjongkok di depanku. Aku berbalik dan menoleh padanya. “Kalau kamu nggak kuat, nggak apa-apa. Saya tahu ini berat buat kamu.” Aku menarik napas dan mengeluarkannya perlahan. Aku mengangguk dan pria itu pun segera bangkit, lalu sedikit bergeser untuk memberiku jalan. Dia kemudian mengayun tangan seraya mengangguk. Dia mempersilakan aku untuk jalan lebih dulu. Diikuti pria itu dari belakang. Kini kami berjalan di koridor rumah sakit. Berkali-kali aku menghela napas sembari menyeka air mata yang entah kenapa rasanya sulit sekali untuk berhenti.  Pintu kamar mayat perlahan dibuka. Jantungku mencelus kala melihat setiap ranjang berisi manusia yang tak bernyawa ditutupi kain putih.  “Korban kecelakaan tiga hari yang lalu, yang mana, Mas?” tanya Alfian Fauzi.  “Sebelah sini, Pak.” Petugas rumah sakit itu menunjukkan di mana jasad Radit berada. Tidak, aku tidak ingin menyebut Radit sebagai jasad. Namun, kala penutup mayat itu dibuka, jeritanku memecah keheningan ruangan tersebut, entah kenapa aku merasa pertahanan diriku hilang dan tubuhku luruh ke lantai. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD